Pengelolaan Hutan Berbasis Kesetaraan Gender
Salam Perspektif Baru,
Hari ini kita berbincang-bincang khusus dengan seorang perempuan yang aktif menggerakkan masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian lingkungan hidup atau merawat bumi. Dia adalah Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Pontianak, Kalimantan Barat.
Laili Khairnur mengatakan bahwa bagi perempuan di Kalimantan Barat, baik masyarakat lokal maupun masyarakat adat, alam dan perempuan adalah identitas diri. Itu yang pertama. Kedua, itu juga sebagai identitas sosial. Ketiga, itu sebagai bagian dari identitas budaya. Itu karena memang aktivitas sehari-hari bahwa perempuan sangat dekat dengan isu-isu pengelolaan sumber daya alam. Terakhir, sebagai bagian dari identitas livelihood (mata pencaharian).
Menurut Laili, peran perempuan masih sangat dipinggirkan dalam skema-skema perhutanan sosial, baik oleh negara maupun oleh para penggerak kita sendiri, dimana perspektif Gender and Social Inclusion (GESI) itu masih sangat rendah di dalam proses ini.
Kami Gemawan mendorong teman-teman dan juga semua pihak yang bekerja dalam isu perhutanan sosial ini untuk memperhatikan atau memasukkan perspektif Gender and Social Inclusion lainnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses perhutanan sosial. Itu karena realitasnya adalah perempuan yang benar-benar dekat dengan proses atau pengelolaan alam yang ada di lapangan, di tingkat tapak.
Dengan keterlibatan perempuan, mereka melihatnya ini adalah bagian dari aktivitas sehari-hari mereka sebagai hutan atau lingkungan sumber daya alam dan diri mereka itu adalah bagian yang tidak terpisahkan, baik dari perspektif identitas sendiri, sosial, budaya dan juga ekonomi.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Laili Khairnur.
Perempuan pada hakekatnya memiliki keterkaitan dalam penyelamatan bumi. Ini karena perempuan adalah tulang punggung keluarga yang erat kaitannya dengan lingkungan hidup dan butuh kelestarian lingkungan hidup. Saat ini berbagai cara dan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup atau menyelamatkan bumi itu telah digagas oleh perempuan dalam bentuk gerakan atau komunitas, baik itu secara global, nasional maupun di tingkat tapak.
Kami ingin mengetahui cerita, bagaimana partisipasi perempuan di daerah Anda yaitu di Pontianak, Kalimantan Barat untuk merawat bumi dan pengelolaan sumber daya alam seperti hutan?
Mungkin saya berbicaranya di Kalimantan Barat karena Pontianak adalah kotanya. Jadi, kami bekerja di Kalimantan Barat khususnya ada di sembilan kabupaten dan juga dua kotamadya. Tapi saya ingin fokus di kabupaten dan juga kota dalam konteks menjaga lingkungannya, terutama hutan dan juga isu-isu yang terkait dengan mengurangi atau mencegah percepatan dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi.
Bagi Gemawan dan bagi saya sebagai seorang perempuan, alam dan lingkungan adalah kami sendiri yaitu perempuan. Kita mengenal istilah Ibu Pertiwi, mother earth, yang itu bukan hanya sebagai relasi tapi itu sudah bagian dari sesuatu yang menyatu. Perspektif inilah yang membuat Gemawan dalam bekerja atau berkarya menjadikan pemberdayaan perempuan itu isu yang penting, terutama mensinergikannya dengan isu-isu pengelolaan sumber daya alam.
Itu karena bagi perempuan di Kalimantan Barat, baik masyarakat lokal maupun masyarakat adat, alam dan perempuan adalah identitas diri. Itu yang pertama. Kedua, itu juga sebagai identitas sosial. Ketiga, itu sebagai bagian dari identitas budaya. Itu karena memang aktivitas sehari-hari bahwa perempuan sangat dekat dengan isu-isu pengelolaan sumber daya alam.
Terakhir, mungkin kami menyebutnya lebih senang sebagai bagian dari identitas livelihood (mata pencaharian). Itu ekonomi tapi yang lebih cenderung kepada livelihood, bukan kepada sesuatu yang memang ekonomi dalam konteks yang materialistis. Itu karena memang tidak semua yang dilakukan oleh perempuan dalam pengolahan sumber daya alam berorientasi ekonomi yang sifatnya ingin mendapatkan uang semata, tapi itu bagian dari persoalan bertahan hidup atau kebutuhan sehari-hari seperti livelihood.
Yang kami lakukan di Kalimantan Barat banyak sekali, terutama dalam konteks menjaga perempuan dan pengelolaan sumber daya alam khususnya di isu hutan dan juga isu lahan. Itu sangat erat kaitannya seperti yang disampaikan oleh Anda tadi bahwa itu yang dilakukan oleh Gemawan setiap hari, oleh kawan-kawan di lapangan dan juga oleh masyarakat, serta kelompok-kelompok perempuan yang menjadi mitra kerja dan yang difasilitasi oleh Gemawan.
Kita tahu bahwa saat ini perempuan di berbagai daerah aktif menjaga sekaligus mengelola lingkungan hidup, dalam hal ini salah satunya adalah hutan karena itu sebagai sumber penghidupan dan juga sumber pengetahuan. Kalimantan Barat mempunyai banyak hutan, bagaimana kondisi hutan Kalimantan Barat saat ini? Kalau saya mengikuti pemberitaan bahwa itu setiap tahun selalu berkurang jumlahnya. Apakah betul?
Kalau dari data pemerintah, hutan di Kalimantan Barat sekitar delapan juta hektare lebih yang tersisa. Tapi itu sebenarnya hanya data karena realitasnya yang kaitanya dengan kawasan hutan, bahwa definisi kawasan hutan belum tentu itu berhutan. Mungkin kawan-kawan, bapak, dan ibu sekalian sudah memahami terkait dengan terminologi politis bahwa semakin luas hutan itu kelihatannya semakin keren bagi Indonesia. Tapi dalam kenyataannya tidak seperti itu karena memang aktivitas deforestasi itu masih terjadi, meskipun berkurang dari 10 tahun terakhir.
Dulu kita mengenal banyak sekali aktivitas industri yang berbasis hutan dan lahan yang mengakibatkan deforestasi. Misalnya, ekspansi perkebunan sawit, tambang, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan lain-lain. Itu fakta dan juga belum lagi bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Salah satunya adalah kebakaran hutan, itu juga mempengaruhi pengurangan dari jumlah hutan yang ada di Kalimantan Barat. Tetapi dengan yang tersisa ini, kami sebagai orang lokal dan masyarakat adat di Kalimantan Barat tetap berusaha untuk menjaga hutan tersebut. Meskipun berkurang, kita tetap berusaha untuk mempertahankannya yang tersisa ini.
Bagaimana upaya-upaya Anda dan kaum perempuan serta lembaga Gamawan untuk tetap menjaga hutan di Kalimantan Barat?
Kami di Gemawan mempunyai beberapa strategi. Pertama, kita memang berusaha untuk memanfaatkan skema-skema perlindungan hutan dan lahan yang sudah ditetapkan pemerintah, misalnya dengan perhutanan sosial. Kami mendorong itu seluas-luasnya agar masyarakat mengambil atau mengklaim skema ini supaya mereka bisa mendapatkan legalitas dalam pengelolaan dan pengakuan, baik melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan adat.
Skema lain yang kami lakukan adalah melalui klaim pemetaan atau tata ruang desa. Kami meyakini bahwa dengan tata ruang desa yang baik, pengakuan di tingkat desa oleh Pemerintah Desa dan oleh masyarakat sendiri adalah salah satu upaya dalam perlindungan kawasan hutan dan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) yang berhutan.
Yang lain adalah membuat skema-skema dimana masyarakat, terutama kelompok perempuan dan petani, berusaha menyepakati secara internal bahwa mereka akan melakukan perlindungan sendiri yang kami sebut dengan Community Conservation Livelihood Agreement (CCLA). Jadi, mereka yang akan melindungi wilayahnya sendiri dengan kesepakatan mereka. Misalnya, ini wilayah yang tidak boleh ditebang, ini wilayah yang memang harus dijaga karena ada mata airnya, atau menjadi sumber penghidupan, dan lain-lain. Itu yang kami lakukan saat ini, dan juga kampanye.
Menarik juga, tadi dikatakan bahwa untuk menjaga hutan itu Anda dan kaum perempuan juga lembaga Gemawan memanfaatkan skema-skema hutan yang disediakan oleh pemerintah, seperti Perhutanan Sosial. Padahal skema-skema tersebut hanya memberikan hak akses bukan hak milik. Mengapa mau memanfaatkan skema-skema hutan tersebut?
Itu karena menurut kami ini sebagai salah satu peluang. Kalau tidak diambil skema itu maka akan ada penumpang-penumpang bebas atau kami menyebutnya free rider yang akan memanfaatkan juga skema-skema itu. Memang itu dibolehkan juga di dalam aturan. Kalau di Gemawan sendiri kita akan selalu mengambil semua kesempatan dan peluang untuk menjaga hutan. Kalau tidak begitu atau kita biarkan, maka akan semakin rusak.
Peluang ini yang kami manfaatkan benar-benar, apalagi ini adalah legalitas. Menurut kita, sebenarnya legalitas itu hanya bagian dari pengakuan saja. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana komitmen dan perspektif dari masyarakat itu sendiri dalam menjaga hutan nya. Jadi, menjaga hutan karena memang benar-benar ini adalah kebutuhan internal bukan karena kebutuhan dari eksternal.
Tujuan dari pemerintah membuat program perhutanan sosial atau skema-skema hutan untuk bisa dikelola oleh masyarakat adalah agar masyarakat bisa memanfaatkan sumber daya alam yang ada di hutan. Bagaimana peran perempuan atau keterlibatan peran perempuan dalam skema Perhutanan Sosial ini?
Betul, menurut saya, ini juga menjadi catatan bersama bahwa peran perempuan ini masih sangat dipinggirkan dalam skema-skema perhutanan sosial, baik oleh negara maupun oleh para penggerak kita sendiri, dimana perspektif Gender and Social Inclusion (GESI) itu masih sangat rendah di dalam proses ini.
Kami Gemawan mendorong teman-teman dan juga semua pihak yang bekerja dalam isu perhutanan sosial ini untuk memperhatikan atau memasukkan perspektif Gender and Social Inclusion lainnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses perhutanan sosial. Itu karena realitasnya adalah perempuan yang benar-benar dekat dengan proses atau pengelolaan alam yang ada di lapangan, di tingkat tapak.
Gamawan sendiri mendorong, misalnya, di kelembagaan Perhutanan Sosial itu harus ada keterwakilan perempuan karena itu penting. Kedua, dalam pengelolaannya misalnya di kelompok usaha Perhutanan Sosial harus ada kelompok-kelompok perempuan yang memang setiap hari berkaitan dengan aktivitas ekonomi dari aktivitas atau apa yang sudah disediakan oleh hutan itu. Itu yang kami dorong. Kemudian yang lain adalah perspektif gendernya. Perspektif gender itu kita sebut juga dengan equal feminism, kaitannya dengan bagaimana sustainability, keberlanjutan itu menjadi penting dalam pengelolaan hutan.
Tadi dijelaskan bahwa dalam pengelolaan perhutanan sosial harus memiliki perspektif gender dalam hal ini adalah perspektif perempuan. Ketika perspektif gender yaitu perspektif perempuan masuk dalam pengelolaan Perhutanan Sosial, apakah suara perempuan didengar ataukah hanya yang penting ada wakilnya saja di sini tapi suaranya tidak pernah didengar?
Kalau kita bicara gender maka itu sebenarnya bukan hanya bicara tentang perempuan, tapi bagaimana proses, akses, kontrol, manfaat yang bisa didapatkan secara adil antara laki-laki dan perempuan. Tapi realitasnya bahwa perempuan masih tertinggal, ini yang kita intervensi dengan apa yang disebut affirmative action.
Kami benar-benar menjadikan perspektif Gender and Social Inclusion itu yang substansial, bukan hanya sebatas lip service atau ketika Anda sudah diberi peluang tapi hanya diam dan mendengarkan, tidak seperti itu. Bagi kami, ini bukan persoalan tampilan, ini persoalan substansi, persoalan hak, ini persoalan hajat hidup si perempuan, keluarga, dan juga masyarakat itu sendiri dalam pengelolaan hutan.
Jadi, memang aktivitas yang dilakukan, baik misalnya keterwakilan, suara, bahkan pengetahuan yang dimiliki yaitu pengetahuan lokal yang dimiliki oleh perempuan di dalam pengelolaan hutan, pengakuan terhadap hak mereka, itu harus menjadi catatan atau perspektif utama dalam melakukan kerja-kerja pemberdayaan perempuan di dalam isu-isu perhutanan sosial.
Hal lain yang menurut saya dan kami penting adalah bagaimana kesadaran bersama itu yang harusnya menjadi bagian secara integral dari semua pihak khususnya pemerintah kemudian pemerintah desa, lembaga pengelola hutan itu sendiri untuk memasukkan perspektif ini secara bersama-sama.
Ketika pengelolaan Perhutanan Sosial sudah memasukkan perspektif Gender and Social Inclusion, apakah bisa diceritakan praktik baik yang ada di Kalimantan Barat ketika pengelolaan perhutanan sosial melibatkan perempuan, dan apakah hasilnya lebih bagus?
Kalau di Gemawan, ini sudah menjadi prespektif, tidak hanya di Perhutanan Sosial tapi juga di aktivitas-aktivitas skema lainnya baik yang dilakukan oleh masyarakat dan lainnya. Pertama, kalau kami melihat terutama Kelompok Usaha Perempuan Sosial (KUPS) yang melibatkan perempuan itu menjadi sangat aktif.
Kedua, mereka benar-benar melakukan aktivitasnya itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Saya melihat banyak yang menganggap Perhutanan Sosial ini skemanya hanya menjadi sebuah program, tapi bukan menjadi bagian dari kebutuhan dan juga realitas sehari-hari yang memang dilakukan oleh masyarakat.
Dengan keterlibatan perempuan, mereka melihatnya ini adalah bagian dari aktivitas sehari-hari mereka sebagai hutan atau lingkungan sumber daya alam dan diri mereka itu adalah bagian yang tidak terpisahkan, baik dari perspektif identitas sendiri, sosial, budaya dan juga ekonomi. Saya melihat memang sangat berbeda, meskipun menurut orang ini subjektif, tapi menurut kami itu realitas yang terjadi.
Bagaimana dengan dampak ekonomi bagi perempuan dan keluarga ketika Perhutanan Sosial dikelola secara adanya perspektif gender ini?
Kalau melihat itu memang ini menjadi salah satu catatan dalam konteks Perhutanan Sosial. Salah satu jargonnya adalah bahwa masyarakat sekitar hutan harus sejahtera. Menurut saya, ini yang menjadi PR bersama bagaimana mengintegrasikan atau mencarikan jalan keluar dalam upaya-upaya penguatan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Misalnya, produk yang dihasilkan oleh kelompok usaha tersebut selama ini hanya untuk konsumsi makan di internal mereka. Tapi sekarang sejak ditata dengan tata usaha produktif, maka itu menjadi sesuatu yang bisa menghasilkan pendapatan secara ekonomi bagi masyarakat. Misalnya juga karena dikemas dengan baik, sehingga pemasaran itu menjadi penting. Kalau selama ini dari kelompok yang kami dampingi, mereka sudah bisa menjual hasil atau produk dari Perhutanan Sosial mereka.
Apa langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam ini, khususnya perhutanan sosial?
Menurut saya, aturannya harus diperkuat meskipun sudah ada kata-kata keterlibatan perempuan, tapi menurut saya itu tidak cukup. Itu karena memang tidak otomatis atau tidak secara langsung sebuah aturan itu langsung diimplementasikan. Yang kita hadapi ini tidak hanya persoalan sistem, tapi juga persoalan mindset atau mental model yang dihadapi oleh masyarakat kita sendiri yang kita sebut dengan budaya patriarki.
Jadi, integrasi antara kekuatan sistem dan bagaimana mengubah mental model itu menjadi penting dalam konteks memainstreamkan Gender and Social Inclusion dalam perhutanan sosial ini. Menurut saya, ini harus dibantu atau didukung dan didorong sekuat-kuatnya oleh pemerintah sebagai bagian dari yang tidak terpisah dalam skema perhutanan sosial ini.