Pajak Karbon untuk Changing Behavior Masyarakat
Salam Perspektif Baru,
Hari ini kita bahas topik pajak karbon dengan narasumber Pande Putu Oka Kusumawardani, yang saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
Pande Putu Oka Kusmawardani mengatakan tujuan utama penerapan pajak karbon di Indonesia adalah memberikan dorongan untuk mengubah behavior masyarakat. Dari sebelumnya yang aktivitasnya mungkin kurang ramah lingkungan, kemudian menjadi aktivitas ekonomi yang lebih mendukung rendah karbon, sehingga lebih bisa diterima karena memiliki dampak yang minim terhadap lingkungan.
Artinya, penerimaan negara bukan suatu hal yang menjadi prioritas utama dalam penerapan carbon tax, tetapi changing behavior yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Itu yang menjadi perhatian utamanya. Memang tujuan utama dari penerapan pajak karbon ini adalah untuk changing behavior dari masyarakat, lebih ke arah situ.
Sebetulnya pada saat kita bicara perubahan iklim dan mitigasinya, ini semua memang ada biaya yang dibutuhkan. Kalau dari dokumen yang di-submit oleh pemerintah, sebetulnya ada kebutuhan pendanaan aksi untuk mitigasi perubahan iklim mencapai sekitar Rp 343,6 triliun per tahun. Tetapi memang ini masuk ke dalam hal-hal yang memang diperhatikan oleh pemerintah.
Selama ini APBN kita sudah banyak berkontribusi dalam sisi pembiayaannya. Tidak kurang dari sekitar 4% dari APBN kita setiap tahunnya digunakan untuk membantu penanganan perubahan iklim. Tapi memang ini belum cukup, sehingga kemudian sumber lainnya juga cukup banyak. Artinya pemerintah juga mengupayakan berbagai sumber lainnya.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Pande Putu Oka Kusumawardani.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan adanya jenis pajak baru, yaitu pajak karbon mulai Juli 2022. Di dunia, pajak karbon sudah diterapkan di banyak negara sejak lama. Contohnya, Finlandia sejak 1990, Jepang pada 2012, Tiongkok 2017, dan Singapura sejak 2019. Mengapa negara kita baru menerapkan pajak karbon sekarang?
Memang kita sadari saat ini ada beberapa inisiatif di berbagai negara yang juga sudah diterapkan sebelumnya. Artinya dalam konteks ini dampak perubahan iklim menjadi permasalahan global yang penanganannya perlu dilakukan bersama.
Di Indonesia kalau kita lihat mengapa kita akhirnya mau turut menerapkan pajak karbon ini, dari sisi perubahan iklim adalah peningkatan risiko bencana hydrometeorology mencapai 80% dari total bencana yang terjadi di Indonesia. Misalnya, kita lihat ada curah hujan, cuaca yang tidak menentu, banjir, kekeringan, yang akhirnya nanti dikhawatirkan juga menyebabkan kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan dan lautan, bahkan sampai keragaman hayatinya juga akan terganggu.
Dengan konsideran ini, Indonesia juga menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada 2016 seperti diketahui kita sudah meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya juga ada kewajiban untuk menerapkan Nationally Determined Contribution (NDC).
Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri, dan 41% dengan kemampuan yang dibantu oleh dukungan internasional pada 2030. Prioritas utama dari penurunan emisi gas rumah kaca ini ada pada sektor kehutanan, sektor energi, dan transportasi, yang kira-kira kalau ditotalkan sudah mencakup sekitar 97% dari total target penurunan emisi NDC di Indonesia.
Salah satu kebijakan penting dari pengendalian perubahan iklim ini adalah penetapan nilai ekonomi karbon atau yang dikenal dengan sebutan carbon pricing. Carbon pricing atau nilai ekonomi karbon biasanya didefinisikan untuk memberi harga, istilahnya sebagai strategi pemberian harga atau valuasi atas emisi dari gas rumah kaca atau karbonnya tersebut.
Biasanya ada dua jenis carbon pricing yang diterapkan di berbagai negara, yaitu instrumen perdagangan dan instrumen non perdagangan. Misalnya, untuk instrumen perdagangan adalah izin emisi dan omset emisinya. Sedangkan untuk yang non perdagangan biasanya adalah pajak atau pungutan atas karbon, dan Results Based Payment (RBP) atau pembayaran berbasis kinerja. Pajak karbon ini adalah salah satu dari instrumen carbon pricing yang non perdagangan.
Kami menangkap bahwa penerapan pajak karbon ini menjadi bukti bahwa pemerintah berkomitmen menggunakan berbagai instrumen fiskal, salah satunya adalah pajak karbon, untuk membiayai pengendalian perubahan iklim yang menjadi agenda prioritas pembangunan, terutama dalam hal ini adalah pengurangan emisi karbon dimana kita sudah berkomitmen di dalam Paris Agreement.
Apakah memang cocok pajak karbon ini diterapkan di Indonesia?
Sebenarnya kalau kita katakan cocok atau tidak cocok, semuanya itu sebetulnya diharapkan bisa masuk pada konteks yang diperlukan. Artinya, pajak karbon ini memang hanya satu dari sekian banyak instrumen yang bisa digunakan untuk mendorong behavior yang dibutuhkan tadi, yaitu upaya pada kelestarian lingkungan.
Sebetulnya apa manfaatnya untuk kita memiliki instrumen ini? Jadi, pajak karbon ini memberikan sinyal yang kuat bahwa akan didorong perkembangan yang inisiatifnya lebih ke arah green economy. Dalam konteks ini ada upaya untuk mendorong inovasi teknologi, investasi, dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan untuk aktivitas sehari-harinya yang lebih ramah lingkungan.
Dari sisi penerimaan negara, itu dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi yang lebih ramah lingkungan atau memberi dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah untuk program usahanya.
Artinya, pada saat nanti penerapan pajak karbon ini dilakukan, tujuan atau objektif utamanya adalah untuk changing behavior masyarakat dari aktivitas yang tidak terlalu ramah lingkungan menjadi ke arah yang lebih green economy. Tentunya manfaatnya itu bisa dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk fleksibilitas penerimaan negara, yang nantinya juga bisa digunakan untuk membantu kesejahteraan masyarakat.
Apa perbedaan pajak karbon kita dengan pajak karbon di luar negeri, atau apa keistimewaan pajak karbon kita dibandingkan dengan negara lain?
Sebenarnya kalau kita bicara mengenai pajak karbon dan instrumen carbon pricing, itu memang sudah banyak dilakukan dan diterapkan di berbagai negara, terutama negara-negara maju dengan catatan memang bervariasi. Artinya, yang diterapkan itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Kalau dari sisi statistiknya, ada sekitar 65 inisiatif carbon pricing yang sudah dilakukan di berbagai negara pada 2021 di sekitar 45 negara di dunia, menurut catatan dari World Bank. Itu variasi antara perdagangan karbon atau tradingnya dengan carbon tax.
Perbedaan secara general, biasanya yang diterapkan di berbagai negara antara carbon trading atau perdagangan di pasar karbon dengan perpajakan atau carbon tax merupakan suatu hal yang tidak saling terkoneksi satu sama lain. Artinya, penerapannya bisa memilih salah satunya.
Rencananya di Indonesia nanti dalam penerapannya adalah pajak karbon akan digunakan salah satunya dengan tujuan untuk mendorong perkembangan dari pasar karbon di Indonesia. Artinya, konektivitas antara penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon akan ada konektivitas antara keduanya. Dengan apa? Nanti akan ada penerapan seperti cap and trade dan cap and tax. Konektivitas antara pasar karbon dan carbon tax di Indonesia adalah memperhatikan hal itu. Ini mungkin yang membuat perbedaan dan yang membuat kondisinya dibilang sedikit unik.
Kalau dikaitkan dengan adanya pasar karbon, bukankah itu akan mengurangi pendapatan negara dari pajak karbon. Itu karena perusahaan yang seharusnya membayar pajak karbon ke negara, maka dia bisa saja membeli pengurangan emisi karbon dari perusahaan lain yang memang berhasil mengurangi emisi karbon mereka.
Sebetulnya memang ada implikasi ke arah itu. Artinya, memang tujuan utama penerapan pajak karbon di Indonesia adalah memberikan dorongan untuk mengubah behavior masyarakat. Dari sebelumnya yang aktivitasnya mungkin kurang ramah lingkungan, kemudian menjadi aktivitas ekonomi yang lebih mendukung rendah karbon, sehingga lebih bisa diterima karena memiliki dampak yang minim terhadap lingkungan.
Penerapan pajak karbon ini tentunya memperhatikan juga konektivitas dengan pasar karbon karena perkembangan pasar karbon ini juga banyak manfaatnya. Selama ini pasar karbon kita memang belum banyak perkembangannya. Dengan adanya instrumen pajak karbon ini, ke depannya diharapkan lebih meng-encourage lagi.
Artinya, pada saat penerapan pajak karbon ini bagaimana implikasi dari konektivitas keduanya pada saat pajak karbon diterapkan atas emisi yang memang melebihi batas emisi tertentu, yang nanti ditetapkan oleh Kementerian terkait berkoordinasi juga dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (LHK) dan kementerian pembina sektor.
Dari sisi emisi karbon yang dikenakan pajak karbon nanti ada aspek bisa dikurangkan dengan jumlah izin emisi yang diterbitkan dengan yang dimiliki oleh pengusaha dan karbon omsetnya dari credit mechanism. Selisihnya itu nanti yang bisa masuk ke dalam pajak karbonnya.
Artinya, penerimaan negara bukan suatu hal yang menjadi prioritas utama dalam penerapan carbon tax, tetapi changing behavior yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Itu yang menjadi perhatian utamanya. Memang tujuan utama dari penerapan pajak karbon ini adalah untuk changing behavior dari masyarakat, lebih ke arah situ.
Pengurangan emisi karbon ini penting untuk mencegah terjadinya perubahan iklim. Ketika terjadi perubahan iklim, maka kita perlu ada upaya-upaya atau langkah-langkah untuk mitigasi perubahan iklim. Selama ini berapa biaya yang telah dikeluarkan oleh Indonesia untuk melakukan mitigasi perubahan iklim, dan dari mana dana tersebut diambil?
Sebetulnya pada saat kita bicara perubahan iklim dan mitigasinya, ini semua memang ada biaya yang dibutuhkan. Kalau dari dokumen yang di-submit oleh pemerintah, sebetulnya ada kebutuhan pendanaan aksi untuk mitigasi perubahan iklim mencapai sekitar Rp 343,6 triliun per tahun. Tetapi memang ini masuk ke dalam hal-hal yang memang diperhatikan oleh pemerintah.
Selama ini APBN kita sudah banyak berkontribusi dalam sisi pembiayaannya. Tidak kurang dari sekitar 4% dari APBN kita setiap tahunnya digunakan untuk membantu penanganan perubahan iklim. Tapi memang ini belum cukup, sehingga kemudian sumber lainnya juga cukup banyak. Artinya pemerintah juga mengupayakan berbagai sumber lainnya.
Antara lain, dukungan pendanaan yang dikolaborasikan dari berbagai sumber, baik sektor umum, swasta, maupun internasional, bilateral maupun multilateral, dan tentunya dari APBN serta sumber-sumber dari pembiayaan lainnya. Misalnya, melalui Green Sukuk dan Sustainable Development Goals (SDG) Bond. Dalam konteks ini pajak karbon memang masuk dalam konteks sisi pendanaan juga, tetapi dalam penerapan di awalnya ini memang changing behavior yang menjadi prioritas utama.
Pemerintah bersama DPR sudah menetapkan bahwa besaran pajak karbon Rp 30 per kg. Berapa kira-kira dana yang didapat dari pajak karbon untuk satu tahun, dan apakah itu cukup untuk membiayai upaya kita melakukan mitigasi perubahan iklim?
Sebetulnya dari sisi ini Rp 30 per kg itu tarif untuk pajak karbon sesuai dengan yang ditetapkan di dalam Undang-undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), itu minimal tarifnya sekian. Yang di kemudian hari tarifnya bisa dilakukan adjustment atau penyesuaian. Mengingat implementasinya ini memang masih difokuskan pada upaya untuk mengubah perilaku dari stakeholder terkait, maka aspek penerimaan negaranya itu sebetulnya memang tidak menjadi tujuan utama. Kemudian dalam penerapannya ada sisi kemungkinan untuk mengurangi kewajiban dari pajak karbon tersebut melalui mekanisme pengkreditan dari sisi izin emisi karbon yang memang sudah dilakukan oleh pengusaha.
Jadi, konteksnya di sini penerapan pertama kali adalah pada PLTU batubara, yang dengan mekanisme tadi ada pengurangan ketika dimasukkan dari sisi penerimaan pajaknya tidak terlalu besar, sehingga memang pada konteks ini sisi penerimaan itu memang bukan menjadi prioritas yang pertama.
Dana yang didapat dari pajak karbon PLTU batubara ini akan dipergunakan untuk apa? Apakah untuk pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan? Sehingga merubah behavior penggunaan kita dari emisi karbon yang kotor menjadi emisi energi yang bersih.
Memang sesuai dengan amanah di Undang – Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penerimaan dari pajak karbon ini dapat digunakan untuk salah satunya adalah mendanai dampak perubahan iklim. Tapi nanti pengelolaannya itu tentunya harus melalui mekanisme APBN yang selama ini memang dilakukan.
Artinya, tambahan penerimaan dari pajak karbon ini nantinya diharapkan bisa menambah ruang fiskal yang lebih fleksibel bagi APBN kita, sehingga nantinya bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal yang memang merupakan prioritas dari pembangunan kita. Termasuk diantaranya membiayai program-program yang terkait dengan mitigasi dampak perubahan iklim.
Tapi tidak terbatas pada hal itu karena dengan mekanisme APBN sebetulnya itu bisa digunakan untuk mendanai hal lainnya, seperti memberikan bantuan sosial kepada rumah tangga yang miskin, yang mungkin terdampak dengan pajak karbon ini. Kemudian memberikan subsidi kepada investasi-investasi yang merupakan prioritas dan termasuk mendorong percepatan program transisi energi. Artinya, dari sisi pemanfaatan dananya bisa dilihat mana yang bisa memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat kita.
Bagaimana roadmap ke depannya? Apa saja sektor yang akan terkena pajak karbon ini? Apakah sampai dengan kegiatan sehari-hari masyarakat yang banyak menghasilkan emisi karbon seperti misalnya kendaraan bermotor?
Tentunya dalam penerapan pajak karbon ini, pemerintah akan melihat berbagai hal yang terkait, termasuk dalam melakukan transisinya secara prudent, hati-hati, dan juga tentunya mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait. Ini supaya nanti penerapan dari pajak karbon bisa tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi.
Pengenaan pajak karbon ini dalam desainnya memang dilakukan secara bertahap, mempertimbangkan perkembangan dari pasar karbon, pencapaian target emisi, persiapan sektornya, dan juga kondisi ekonominya. Artinya, sistem pengenaan pajak karbon ini akan diusahakan tetap bisa mengawasi keadilannya dan juga keterjangkauannya, sehingga nanti dampaknya terutama kepada rakyat kecil bisa diminimalkan.
Memang di tahap awal ini pajak karbon diterapkan secara terbatas pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Mekanismenya adalah cap and tax, ada pajak yang mendasarkan pada batas emisi. Nantinya untuk tahun 2025 dan seterusnya, ketika nanti perdagangan karbon ini sudah diimplementasi secara penuh, maka dimungkinkan dilakukan perluasan ke sektor-sektor lainnya.
Tentunya kita tetap memperhatikan kesiapan dari sektor terkait seperti kondisi ekonominya, kesiapan pelaku usahanya, dan juga dampak atau skalanya. Jadi, saat ini pemerintah sedang menyusun roadmap untuk kedepannya, terutama untuk setelah tahun 2025. Tapi Batas waktu itu tentunya akan menjadi perhatian.