Solusi Mengatasi Kelangkaan Minyak Goreng
Salam Perspektif Baru,
Minyak goreng merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Hal ini karena minyak goreng adalah salah satu bahan pokok yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat dari segala lapisan golongan. Hari ini kita bahas persoalan mengenai kelangkaan minyak goreng sawit dengan peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) Universitas Gadjah Mada (UGM) yaitu Dr. Hempri Suyatna, M.Si. yang juga dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Menurut Hempri Suyatna, memang banyak kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah, seperti dulu ada penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET), kemudian juga menerapkan HET untuk minyak curah. Tapi itu semua tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan karena akar permasalahannya tidak diselesaikan.
Hempri mengatakan tata kelola distribusi harus menjadi kata kunci. Jadi, untuk proses distribusinya ditawarkan bisa diambil alih oleh BUMN atau Lembaga yang dimiliki oleh negara yang kemudian memiliki fungsi untuk mendistribusikan. Itu pun kalau pemerintah mampu melakukan hal itu.
Ini yang memang jadi persoalan, artinya ada sisi rente ekonomi dan mungkin juga mempunyai rente politik, sehingga jalur distribusi itu susah untuk dinormalkan. Itu karena kalau kita cermati dari perspektif ekonomi politiknya seperti itu.
Jadi, sebenarnya tinggal kemauan dan komitmen pemerintah dalam rangka memperbaiki, bertindak tegas, dan sebagainya. Apakah pemerintah berani atau tidak? Atau kalau lebih berani, apakah bisa mengganti atau membuat jalur-jalur distribusi yang bisa menjadi pesaing dari mereka seperti yang saya sudah katakan.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Dr. Hempri Suyatna, M.Si.
Dalam dua bulan terakhir minyak goreng menjadi barang langka di berbagai daerah, dan kalau pun ada harganya jauh di atas normal. Karena itu pemandangan antrian warga memburu minyak goreng murah menghiasi media massa dan media sosial dalam dua bulan terakhir. Apa yang menyebabkan terjadi kelangkaan minyak goreng sawit, padahal kita merupakan negara penghasil terbesar sawit?
Saya kira ini memang hal yang menjadi perdebatan. Sebenarnya kasus ini muncul sejak Desember 2021 dan sampai sekarang pun kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi. Padahal dari satu sisi, kita merupakan negara yang memiliki potensi sawit yang luar biasa.
Misalnya, data yang saya himpun dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), setiap tahun kita bisa menghasilkan 52,098 juta ton per tahun. Sementara di sisi domestik bisa menyerap sekitar 18,422 juta ton per tahun, dan dari sisi ekspor ada 33,676 juta ton per tahun. Ini saya kira jumlah yang luar biasa.
Tapi memang harus kita cermati, bahwa persoalan kelangkaan minyak goreng ini bermula dari sisi hulu sampai ke hilir yang saya kira ini menjadi problem mengapa kemudian minyak goreng itu langka.
Dari sisi hulu, misalnya, kita lihat bahwa kenaikan harga CPO di dunia justru direspon oleh para pengusaha sawit untuk kemudian mengekspor produk sawit mereka ke luar negeri. Ini sangat disayangkan karena memang kalau kita lihat bahwa mayoritas kebun sawit itu dimiliki oleh swasta dan cukup dominan, sedangkan BUMN itu hanya sekitar 4%. Penguasaan dari sisi produk itu dari hulu juga ada persoalan di situ.
Dari sisi hilir, kalau kita lihat banyak berbagai bentuk penimbunan minyak goreng. Misalnya, di rantai perdagangan di level tengah sampai hilir. Kalau di hilir kita lihat jangan-jangan juga banyak penimbunan, misalnya, dilakukan di level bawah. Ini yang memang harus kita cermati, sehingga problem kelangkaan minyak goreng terus terjadi.
Di satu sisi, menurut saya, memang banyak kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah seperti dulu ada penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET), kemudian juga menerapkan HET untuk minyak curah. Tapi itu semua tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan karena akar permasalahannya tidak diselesaikan. Termasuk yang terakhir terjadi di awal April 2022, yaitu memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng. Saya kira itu tidak benar-benar menyelesaikan akar permasalahan dari kelangkaan minyak goreng yang terjadi di Tanah Air kita.
Mengapa kebijakan pemerintah tersebut kurang berdampak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai? Apa yang salah dengan kebijakan-kebijakan tersebut?
Saya kira memang permasalahannya adalah kebijakan-kebijakan ini tidak pernah menyentuh akar persoalan yang sebenarnya ini bermula dari hulu. Jangan-jangan ada oligarki-oligarki pasar yang kemudian menyebabkan ini terus terjadi.
Di sisi lain, kalau kita lihat banyak efektivitas dari kebijakan-kebijakan pemerintah, misalnya, mengenai bagaimana pemerintah menghilangkan berbagai distorsi pasar, ini yang menurut saya kurang diperhatikan dengan baik.
Kalau kita lihat dari sisi level konsumen, itu juga banyak terjadi kepanikan sehingga justru ini akan memperburuk kondisi supply yang ada di masyarakat, yang akhirnya menyebabkan banyak penimbunan di level bawah. Inilah yang menyebabkan banyak terjadi isu kelangkaan minyak goreng, sehingga menyebabkan kebijakan tersebut tidak berhasil secara optimal.
Apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahannya?
Persoalan ini sudah muncul sejak November - Desember 2021 dan dipicu oleh kenaikan harga CPO. Memang minyak goreng di Indonesia tergantung pada peredaran minyak sawit yang CPO. Tingginya harga CPO justru banyak dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha besar untuk mengekspor produk mereka keluar negeri daripada memenuhi kebutuhan pasar domestiknya. Saya kira ini satu kunci akar persoalan.
Kedua adalah sejauh mana keberanian pemerintah untuk memberantas berbagai bentuk mafia distribusi, baik dari level hulu sampai ke hilir. Ini sebenarnya yang harus segera dipecahkan daripada harus menaikan HET, kemudian berdampak pada relaksasi harga minyak yang bebas, dan menyebabkan harga minyak terlalu tinggi. Ini yang menjadi persoalan dan yang dipermasalahkan adalah kenapa tidak menyentuh dari permasalahan distribusi minyak yang harus dibenahi. Tata Kelola niaga, dan tata kelola pemasaran, juga harus kita benahi dan optimalkan.
Mengenai kenaikan harga CPO, bukankah pemerintah sudah mengambil kebijakan berupa adanya Domestic Market Obligation (DMO) yang harus dipatuhi oleh produsen minyak goreng sawit. Semula DMO adalah 20%, untuk pasar domestik dinaikkan menjadi 30 %. Tapi, mengapa masih terjadi kelangkaan?
Menurut saya, ini persoalan kepatuhan, misalnya, pengusaha di dalam melakukan itu juga menjadi masalah. Kalau secara logika pasti mereka akan memperoleh banyak keuntungan untuk menjual itu ke luar negeri. Kemudian juga banyak penyimpangan-penyimpangan yang sulit untuk dikontrol dirantai distribusi. Ini yang menyebabkan kebijakan itu juga gagal.
Bagaimana upaya untuk mencegah terjadinya penyimpangan, terutama dalam pemenuhan DMO sehingga tidak terjadi kelangkaan minyak goreng di pasar domestik dalam negeri?
Optimalisasi tata kelola distribusi, itu yang saya kira harus menjadi kata kunci. Bisa atau tidak kita membuat distribusi itu benar-benar berjalan? Artinya, selama ini mungkin aspek produksi dan distribusi jadi satu yaitu produksi dan distribusinya dari swasta. Apakah bisa atau tidak kalau misalnya aspek distribusinya dilakukan oleh pihak pemerintah? Paling tidak bisa meminimalkan berbagai bentuk penyelundupan atau penimbunan yang muncul di dalam proses itu.
Ini yang harusnya dipecahkan, bagaimana mencegah hal itu terjadi termasuk bagaimana melakukan tindakan untuk mereka yang melanggar. Ini yang harus benar-benar dilakukan dengan cara menindak, tidak hanya di level hilirnya. Kadangkala yang di hilir ditindak tegas, sedangkan di level hulu atau tengahnya tidak ada ketegasan. Itu yang akhirnya menjadi masalah.
Sepengetahuan saya mengenai distribusi minyak goreng ini ada tiga distributor yaitu distributor besar, sub distributor, dan agen minyak goreng yang biasanya berada di sekitar pasar. Dimana kebocoran tersebut terjadi atau penyimpangan-penyimpangan tersebut terjadi?
Kalau menurut saya, semuanya terjadi kebocoran. Memang yang paling urgent adalah di distribusinya. Distribusi di paling ujung atau hulu ini yang menjadi kata kunci. Distributor menengahnya yang harus diperbaiki termasuk di level bawah. Jadi, semuanya terintegrasi dan harus diperketat, termasuk di konsumen juga.
Bagaimana cara mencegah terjadinya kebocoran distribusi ini?
Menurut saya, memang selama ini keterbatasan sumber daya manusia yang menjadi kendala. Jadi, untuk proses distribusinya ditawarkan bisa diambil alih oleh BUMN atau Lembaga yang dimiliki oleh negara yang kemudian memiliki fungsi untuk mendistribusikan. Itu pun kalau pemerintah mampu melakukan hal itu.
Bukankah kita sudah memiliki Badan Urusan Logistik (BULOG)?
Tapi ini juga tidak efektif, artinya selain BULOG, pemerintah juga harus mengoptimalkan berbagai bentuk lembaga yang lain atau mungkin juga BUMN seperti Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Tapi, pertanyaannya adalah siap atau tidak mereka, terutama kaitannya dengan konteks finansial? Saya kira BULOG, RNI, dan sebagainya merupakan lembaga yang bisa saja mengambil alih proses distribusi yang terjadi selama ini.
Mengenai adanya kebocoran dari distribusi ini dan juga adanya pernyataan pemerintah bahwa kelangkaan dan kebocoran distribusi itu karena ada pihak yang bermain atau istilahnya ada mafia. Apakah Anda juga melihat hal tersebut?
Kalau melihat problem yang terjadi, dimungkinkan ada mafia tersebut. Artinya, memang ada dugaan-dugaan adanya mafia. Ini yang membuat persoalan lama tidak pernah selesai. Selama ini justru pemerintah juga tidak pernah menyelesaikan akar permasalahan.
Pemerintah justru memberikan BLT minyak goreng, yang mana itu hanya sekadar sebagai “pemadam kebakaran” dan tidak menyelesaikan kebutuhan distribusi terpenuhi lagi. Kemudian, apakah benar BLT minyak goreng ini juga digunakan untuk mengkonsumsi minyak goreng atau justru untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif yang lain? Saya kira ini juga harus diperhatikan.
Menyinggung mengenai BLT minyak goreng, mengapa Anda menilai ini tidak efektif, padahal kenyataannya di masyarakat sekarang mulai reda kelangkaan minyak goreng dengan adanya BLT tersebut?
Pertama, kebijakan-kebijakan yang sifatnya karitatif ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Tapi, paling tidak mungkin bisa meredam emosi atau kemarahan. Kedua, aspek dari apakah program tersebut tepat sasaran atau tidak. Memang belum ditemukan kasus-kasus yang tidak tepat sasaran, tapi perlu untuk dicermati.
Misalnya, sasarannya adalah kelompok Program Keluarga Harapan (PKH). Apakah ada update data terkait dengan PKH tersebut? Seharusnya yang menerima adalah yang sudah tidak dalam kategori miskin. Laporan-laporan tersebut juga belum muncul. Termasuk yang mendapat bantuan adalah pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan pelaku usaha gorengan. Apa kriteria pelaku usaha gorengan itu? Misalnya, warteg juga menjual gorengan, mie goreng juga termasuk gorengan, dan makanan yang lain. Saya kira kriteria itu perlu diperjelas.
Bagaimana kalau misalnya dana untuk BLT minyak goreng ini dipakai untuk mengimpor minyak goreng sehingga ketersediaannya tercukupi di dalam negeri? Dulu kita juga sering mengalami kelangkaan gula, garam, bahkan beras. Solusinya adalah dengan mendatangkan atau impor barang-barang tersebut. Apakah itu juga bisa dilakukan untuk kasus minyak goreng ini, artinya dana BLT digunakan untuk impor?
Kalau konteks impor, saya tidak begitu sepakat karena dari sisi ketersediaan potensi sawit dan minyak itu sebenarnya kita punya. Kita bisa memenuhi kebutuhan domestik. Yang menjadi penting adalah bisa atau tidak kalau misalnya dana itu juga dialokasikan untuk memperbaiki jalur distribusi.
Misalnya, peran BULOG dioptimalkan. Itu karena mungkin BULOG tidak memiliki peran penting gara-gara kemampuan finansial mereka itu rendah, sehingga tidak cukup kuat untuk bersaing dengan pengusaha-pengusaha besar. Jalur distribusi ini memerlukan kekuatan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang besar. Apakah bisa dana tersebut dioptimalkan untuk itu, ehingga ini bisa mencegah akar permasalahannya?
Kalau ingin BLT minyak goreng, maka ketepatan sasaran, akurasi data, validasi data kemiskinan harus dioptimalkan untuk itu. Jangan sampai salah sasaran dan hanya sebagai program bagi-bagi. Artinya, satu sisi harus memperkuat jalur distribusi dan satu sisi juga memperkuat bagaimana BLT bisa tepat sasaran, termasuk juga mengenai konsumen. Saya kira ini penting untuk kita awasi.
Dulu mengapa langka? Itu karena ternyata banyak konsumen yang memborong minyak goreng, tapi sisi lain banyak masyarakat miskin yang tidak mampu membeli. Atau dulu juga tidak pernah diumumkan, kadangkala satu keluarga bisa menyebar empat orang untuk antri dimana-mana. Itu tidak terpantau dari sisi sampai ke level konsumen. Jadi, banyak yang mempunyai cadangan minyak goreng tinggi, tapi di sisi lain banyak juga konsumen yang tidak mempunyai cadangan minyak goreng. Saya kira ini juga harus diperhatikan.
Tadi sering disebutkan mengenai memperbaiki jalur distribusi. Seperti yang kita ketahui bahwa di jalur distribusi itu banyak yang merasa mendapatkan keuntungan, sehingga disebut ada “mafianya”. Kalaupun itu diperbaiki, apabila mafianya tidak diberantas, apakah bisa diperbaiki jalur distribusinya karena ini menyangkut rente ekonomi. Bagaimana cara menghilangkan mafia ini agar jalur distribusi yang Bapak usulkan tersebut bisa berjalan efektif?
Ini yang memang jadi persoalan, artinya ada sisi rente ekonomi dan mungkin juga mempunyai rente politik, sehingga jalur distribusi itu susah untuk dinormalkan. Itu karena kalau kita cermati dari perspektif ekonomi politiknya seperti itu.
Sebenarnya tinggal kemauan dan komitmen pemerintah dalam rangka memperbaiki, bertindak tegas, dan sebagainya. Apakah pemerintah berani atau tidak? Atau kalau lebih berani, apakah bisa mengganti atau membuat jalur-jalur distribusi yang bisa menjadi pesaing dari mereka, seperti yang saya sudah katakan.
Jalur-jalur pemerintah ada banyak yang bisa dilakukan, ataupun jalur-jalur lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengontrol bahwa distribusi ini benar-benar tepat sasaran dan tidak ada mafia. Saya kira tidak hanya mengenai minyak goreng, tapi juga Sembako. Itu yang harus diperbaiki untuk kemudian mengembangkan atau mendorong program ini bisa tepat sasaran.