Mulai Ada Pembusukan di Masyarakat Politik
Salam Perspektif Baru,
Hari ini kita akan bicara mengenai politik dan kebudayaan karena narasumber kita kali ini sebagai ahli politik yang sudah sangat termasyur di Indonesia dan menjadi tier satu political analyst di Indonesia sejak era Orde Baru, yaitu Prof. AS Hikam.
AS Hikam mengatakan dirinya melihat kecenderungan politik identitas di dalam masyarakat sipil kita memang cenderung meningkat karena respon dari negara ini juga kadang-kadang bisa dianggap sebagai respon yang tidak tuntas.
Menurut AS Hikam, realitas dari electoral politik sama sekali tidak meng-address persoalan yang ada di masyarakat. Mereka betul-betul hanya menggunakan kesempatan mereka untuk memperkuat atau memperlama posisi mereka sendiri-sendiri, sementara sama sekali tidak peka terhadap apa yang terjadi di masyarakat.
“Jadi, sebetulnya kalau saya melihat di dalam elektoral politik dan masyarakat politik, partai politik dan parlemen, mohon maaf saya harus mengatakan, sudah mulai ada proses pembusukan.”
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancara dengan narasumber Prof. AS Hikam.
Ini adalah sebuah legacy yang diwariskan oleh (almarhum) Wimar Witoelar untuk diskursus politik dan demokrasi kita. Tapi sebelum kita bicara mengenai topik terkini, apakah Prof bisa memberikan sedikit komentar mengenai legacy WW tentang demokrasi? Ini karena Prof. AS Hikam juga merupakan salah satu tokoh pro demokrasi yang dulu juga sama-sama dengan Wimar ada di awal-awal reformasi, dan ada di pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Buat saya pribadi, (Alm) Wimar adalah seorang jurnalis yang bisa menjadi idola bagi kita sebagai bangsa, terutama pada waktu itu situasi krisis yaitu krisis legitimasi dari suatu rezim, dan kemudian melangkah menuju suatu babakan baru yaitu demokratisasi.
Saya termasuk orang yang merasa terhormat sekali karena pernah diwawancarai oleh beliau ketika baru saja ditunjuk oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menjadi salah seorang pembantu presiden di Kabinet Persatuan Nasional. (Alm) Wimar ini bukan hanya seorang yang jujur, tetapi juga sangat berani dan dia mampu untuk melihat hal-hal yang barangkali tidak terlalu banyak diketahui atau dipersepsikan oleh publik.
Misalnya, ketika saya diangkat (sebagai menteri) saat itu hampir semuanya melihat sebagai sesuatu yang mengejutkan, atau dianggap sebagai sesuatu yang sedikit aneh. Tetapi justru Pak Wimar pada waktu wawancara pertama saya melihat itu suatu hal yang positif.
Pertama, sebagai new diskors dan bahkan semacam game changer yang diusahakan oleh Gus Dur di dalam membentuk kabinetnya termasuk saya. Setelah itu saya mengikuti terus sampai kemudian acara perspektif dari Wimar tidak ada lagi.
Tapi Wimar tetap konsisten dan tidak ragu-ragu untuk memberikan kritik walaupun sambil ketawa-ketawa. Karena itu saya kira memang ada pihak-pihak yang juga risih dengan wawancara-wawancara Wimar. Saya tidak tahu apakah hilangnya media perspektif itu hanya karena ada orang-orang yang tidak terlalu suka sehingga tidak menggunakan itu.
Saya bayangkan dengan adanya Perspektif Baru ini memang sekarang adalah momentumnya. Perspektif Baru harus ada dan harus diteruskan karena sekarang kita mempunyai banyak pilihan, bukan hanya ada di televisi dan radio saja tapi juga podcasting.
Jadi, kalau Didit memang ada di sini, saya kira Perspektif Baru harus dikembangkan dalam berbagai mode seperti Twitter, YouTube, Facebook dan sebagainya. Legacy Wimar yang jujur dan berani itu memang menjadi trademark yang luar biasa dan sangat dibutuhkan bangsa ini.
Kita langsung ke politik nasional yang paling kekinian. Saya minta Prof. AS Hikam untuk membaca beberapa fenomena. Kita tahu bahwa bangsa kita terbelah sudah hampir dua kali pemilu. Sepuluh tahun betul-betul terpolarisasi antara dua kubu. Polarisasi itu tidak berakhir setelah Prabowo masuk ke dalam kabinet, justru berlanjut lebih keras.
Tapi kita lihat kemarin di Sirkuit Formula E, Presiden Jokowi dan Gubernur Anies Baswedan berlenggang-lengang cukup mesra. Apakah ini menjadi game changer baru dalam rekonsiliasi politik di Indonesia? Bagaimana kita membaca dalam konteks menghentikan polarisasi dan memunculkan game changer baru dalam politik kita?
Pertama, tentu event itu memang bisa dibaca sebagai sesuatu yang barangkali baru. Tapi apakah itu game changer? Saya meragukan karena era Jokowi secara formal akan selesai pada 2024. Kalau masih ada orang yang ingin berspekulasi bahwa ini adalah suatu timing yang sedang dibuat supaya ada kemungkinan untuk kembali lagi, itu boleh-boleh saja.
Tapi overall, tujuan secara elektoral politik tampaknya ini sudah bisa dikatakan “selesai” karena paling tidak secara official partai politik yang mendukung Jokowi seperti PDIP, Nasdem, dan Gerindra sudah menyatakan bahwa mereka tidak tertarik atau tidak mendukung sama sekali upaya untuk menunda pemilihan umum (Pemilu), apalagi memperpanjang masa jabatan.
Pertemuan dengan Anies Baswedan bisa jadi akan dibaca sebagai simbol bahwa ada rekonsiliasi. Tetapi Baswedan ini masih belum terlalu bisa diandalkan akan betul-betul menjadi Baswedan ketika berkompetisi dengan Ahok pada level yang lebih tinggi lagi. Menurut analisa, sekarang serangan terhadap Anies Baswedan juga sangat tinggi, misalnya dari PSI dan lain sebagainya, sehingga membaca apa yang dilakukan oleh kedua tokoh besar ini memang harus hati-hati.
Yang jelas untuk bisa merekonsiliasikan situasi sekarang ini yang disebut dengan pembelahan tadi memang tidak cukup hanya ada pertemuan seperti itu. Yang diperlukan adalah semacam kesepakatan bersama bahwa demokrasi itu tetap berjalan dan tidak ada pilihan lain kecuali melanjutkan agenda demokrasi seperti halnya Pemilu. Karena itu harus dibuka kesempatan kepada semua orang, dan tidak ada lagi pikiran-pikiran untuk kembali lagi secara langsung maupun creeping ke otoritarianisme.
Kita sudah melihat bahwa rakyat sebagai responden survei, hampir semua menolak dan bahkan kalau kita lihat ditambah dengan survei terbaru tentang popularitas Jokowi, saya kira itu juga cukup membuat kita harus sadar bahwa rakyat Indonesia tidak bisa di-bully semaunya sendiri oleh elit. Itu karena ternyata ada penurunan yang luar biasa di dalam popularitas Jokowi.
Semoga ini bouncing back lagi tapi bouncing back dalam pengertian untuk memberikan kesempatan kepada Jokowi dan pemerintahannya untuk menata betul supaya pembelahan itu bisa lebih dipersempit lagi, jangan sampai melebar.
Masyarakat sipil kita juga sekarang sudah terpengaruh mengalami pembelahan-pembelahan, dan ini sangat tidak baik atau istilahnya tidak baik-baik saja bagi kepentingan demokrasi ke depan. Jadi, jangan sampai legacy perjuangan Wimar dan kawan-kawan untuk melakukan re-demokratisasi di Indonesia terganggu oleh pembelahan, apalagi karena memang sistem struktur kita ini sudah berubah sekali.
Kita sudah semakin jelas mengikuti pola sistem politik ekonomi neoliberal. Jadi, ini memang kerjaan yang sangat berat dan lawan dari neoliberal tidak bisa semakin menciptakan kondisi-kondisi yang pro kepada rakyat, tetapi yang lebih sistemik dan dilapisi dengan suatu etika bernegara yang lebih bisa dipertanggung jawabkan.
Kalau kita bicara pembelahan, ada upaya re-demokratisasi yang masih terus menerus dilakukan. Tapi baru – baru ini kita ketahui bahwa ada cemar dalam proses demokratisasi kita, ruang kebebasan kita dengan tragedi yang dialami oleh Ade Armando. Bagaimana Prof. Hikam melihat peristiwa memilukan ini dalam konteks pembelahan, polarisasi, dan upaya re-demokratisasi?
Kalau saya lihat sejak awal, saya mengatakan in principle apa yang dilakukan terhadap saudara Ade Armando ini memang sesuatu kebiadaban atau ketidaksantunan publik yang dipertontonkan atas nama kebebasan berpendapat.
Jadi, saya kira ini harus diselesaikan secara hukum. Tetapi juga harus menjadi satu proses untuk melihat bahwa di dalam era yang sangat dipengaruhi oleh sosial media ini, opini publik bisa dengan cepat switch dari yang positif menjadi sangat negatif. Itu tergantung bagaimana kemudian publik dibiasakan oleh suatu tontonan-tontonan yang menciptakan suatu mindset yang menganggap bahwa saudara Ade Armando itu menghina Islam, menjadi buzzer RP dan lain-lain.
Kalau terus-menerus digemakan tentu akan menciptakan satu mindset dari kelompok tertentu yang ketika ada momentum seperti demonstrasi, walaupun demonstrasi ini baik-baik saja tapi kemudian dimanfaatkan. Itulah yang kita masih belum tahu menganalisanya. Misalnya, kenapa saudara Ade Armando ada di situ. Itu saja sudah menciptakan semacam kesempatan untuk menciptakan teori konspirasi lagi.
Padahal, sebetulnya Ade Armando sangat berniat baik sekali pada saat itu. Tapi karena ada background bahwa pandangan sebagian masyarakat sudah negatif dan diulang terus-menerus, maka itulah post-truth yang sering kita singgung bahwa yang penting bukan datanya atau faktanya, tapi bagaimana suara-suara yang negatif itu menjadi semacam alat kontrol bagi kewarasan dan kemudian publik menggunakan kesempatan seperti itu.
Saya tentu mengutuk apa yang dilakukan oleh sebagian dari masa itu, tetapi juga mengutuk bagaimana masyarakat kita atau publik kita itu sama dengan masyarakat di tempat lain seperti di Amerika dan sebagainya. Kemudian out of control di dalam memahami yang namanya teknologi sosial media. Ini tidak mudah sama sekali, dan jangan kemudian malah dipakai pretex untuk melarang demonstrasi lagi.
Dalam hal ini demonstrasi mahasiswa sudah menjadi victim karena paling tidak ada semacam stigma bahwa demonstrasi mahasiswa kemarin itu tidak legitimate. Padahal demonstrasinya itu legitimate. Tapi karena ada nila setitik itu, kemudian seolah-olah menghapuskan semuanya.
Inilah yang disebut post-truth politik atau situasi post-truth yang kemudian menjadikan kita mempunyai cancel culture. Semua upaya mahasiswa seolah-olah di-cancel hanya karena situasi itu. Saya tidak meremehkan peristiwa yang dialami oleh Ade Armando, tapi memang situasi itulah yang kemudian menghancurkan image yang baik bagi demonstran.
Sebagai Islamolog, ini menarik ketika bicara lagi mengenai proses demokrasi. Tentu saja ada hal baru yang menarik. Dalam salah satu tweet Rizal Ramli mengatakan bahwa sebenarnya di samping kita harus prihatin dengan tragedi yang menimpa Ade Armando, ini adalah sebuah manifestasi dari gejala Islamophobia yang sebenarnya dikeluarkan atau digelorakan oleh sebagian kelompok tertentu yang salah satunya adalah Ade.
Bagaimana Prof. AS Hikam melihatnya? Apakah Islamophobia itu ternyata secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) itu terjadi, sehingga mau tidak mau ada akses kekerasan yang terjadi?
Dengan segala hormat kalau saya melihat di Indonesia ini mungkin ada juga gejala Islamophobia, tapi saya kira tidak terlalu obvious, sehingga kemudian kita ikut misalnya menyambut hari anti Islamophobianya PBB, seolah-olah itu juga happening di Indonesia atau terjadi di Indonesia.
Saya kira apa yang dilakukan Ade Armando memang sudah di frame seolah-olah dia adalah representatif dari pembuat diskursus Islamphobia. Tapi saya juga bisa melihat dari interpretasi yang lain, yaitu semakin kuatnya politik identitas yang menggunakan Islam atau agama ini sebagai ideologi yang kemudian seolah-olah siapapun yang bersinggungan dengan kritik terhadap Islam itu bisa dianggap sebagai “Islamophobia”.
Kalau ini saya gabungkan dengan the nature of social media yang memberikan ide-ide terus-menerus yang kemudian disebarluaskan melalui berbagai macam channel, maka kemudian gagasan bahwa ini adalah bagian dari Islamphobia memang bisa masuk juga di dalam kategori yang saya bilang sebagai post-truth atau cancel politik. Kritik-kritik terhadap Islam di dalam internal juga sangat banyak, dan tidak kemudian menciptakan backlash seperti yang dialami oleh Ade Armando.
Jadi, tampaknya kalau saya melihat justru yang menjadi sebab itu karena posisi Ade Armando sudah dikategorikan sebagai bagian dari pemerintah atau dalam hal ini kekuasaan, misalnya buzzer RP nya. Sementara label Islamphobia ini menurut saya tidak atau belum bisa menjadikan ukuran bahwa di Indonesia ada masalah seperti itu.
Ada keterkaitan antara posisi Ade Armando sebagai orang yang dianggap sebagai busser dan statement-statement-nya yang kemudian bisa dimasukkan dalam kategorisasi Islamphobia. Banyak juga mereka-mereka yang benar-benar Islamphobia seperti pendeta Saifuddin Ibrahim. Kalau Anda mengikuti podcast nya itu betul-betul Islamophobia dan stupidity juga. Apalagi karena sekarang dia ada di luar negeri, tapi responnya itu masih limit, tidak ada masif kemarahan massa seperti yang dialami Ade Armando karena Saifuddin Ibrahim itu tidak bagian dari rezim yang ada sekarang ini.
Saya juga sempat mengobrol dengan rekan-rekan seperti Eko Kuntadhi. Ketika ada tuduhan Islamphobia, dia katakan bahwa sebenarnya ini adalah upaya kita sebagai otokritik ke dalam dunia Islam, terutama Islam politik yang kerap menggunakan politik agama dan jubah keislaman dalam menghalalkan hal-hal yang sedikit rendah dalam politik. Itu bagian dari otokritik kita sebenarnya.
Bagaimana Prof. AS Hikam melihatnya? Apakah memang penggunaan politik identitas keislaman dalam politik kita ini memang sudah semakin mengeras, sehingga kritiknya yang dilakukan oleh Ade dan teman-teman juga semakin lama semakin bold dan terbuka? Sebenarnya banyak juga yang merasa terwakili oleh Ade Armando. Kekesalan terhadap gejala politik identitas yang dipakai oleh sebagian politisi juga yang yang menggunakan agama secara terang menerang dan semakin brutal.
Kalau saya melihat kecenderungan identity politik itu di dalam masyarakat sipil kita memang cenderung meningkat karena respon dari negara ini juga kadang-kadang bisa dianggap sebagai respon yang tidak tuntas. Sehingga kemudian apa yang dilakukan oleh Ade Armando dan kawan-kawan dianggap sebagai bagian dari state ini, maka kemudian mereka layani dengan berbeda.
Misalnya, kritik internal terhadap kecenderungan politik identitas yang dilakukan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, LSM seperti Kontras, dan sebagainya itu mereka juga melakukan kritik internal terhadap Islam. Bahkan kalau kita mau jujur, Nahdlatul Ulama, paling keras mengkritik misalnya HTI atau bahkan termasuk juga FPI, 212 dan lain-lain. Tetapi respon nya tidak seperti itu karena masih dianggap sebagai bagian di dalam atau di luar dari rezim.
Ini adalah representatif dari rezim yang meng-address masalah identity politik ini tidak terlalu bagus, tidak tuntas. Menghadapi kecenderungan politik indentitas tidak bisa hanya dengan vis a vis ideologi versus ideologi. Kalau kita menggunakan teori dari Fathali Moghaddam tentang Staircase to Terrorism bahwa orang atau kelompok akan menjadi teroris full blown itu tidak tiba-tiba, tetapi ada kondisi-kondisi. Terutama kalau menurut Moghaddam, tingkat yang paling bawah atau ground floor nya itu adalah in justice dan ketidakadilan sosial, bukan ideologi.
Sekarang yang saya sebut meng-address masalah politik identitas yang kurang tuntas itu ada pada tataran bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan in justice dan juga an event distribution of economy yang dilakukan oleh pemerintah. Itu yang kemudian bisa membuat orang akan melakukan perlawanan.
Kita tahu bahwa kelompok Islam politik itu sejak the day one Jokowi diangkat menjadi presiden untuk periode yang kedua, usaha mereka adalah to disturb the peace. Itu karena paling tidak bagi mereka supaya pemerintahan yang kedua ini tidak bisa konsentrasi. Untuk melakukan full-blown oposisi pun juga tidak mungkin.
Itu terus-menerus dilakukan sampai hari ini. Oleh karena itu meng-address masalah politik indentity tidak bisa vis a vis hanya ideologi versus ideologi. Anda akan melakukan berbagai macam edukasi atau pelarangan terhadap situs-situs itu baik-baik saja, tetapi tidak akan bisa menghapus the ground floor of staircase to terrorism atau radikalisme. Itu yang terjadi.
Saya kira menurut analisis ini bagaimana kita meng-address masalah politik identitas yang menjadi pangkal dari segala keterbelahan di Republik ini. Jadi, keterbelahan terutama antara civil society dan elektoral politik yang saya kira memang sudah akan mengalami pembusukan.
Realitas dari electoral politik sama sekali tidak meng-address persoalan yang ada di masyarakat. Mereka betul-betul hanya menggunakan kesempatan mereka untuk memperkuat atau memperlama posisi mereka sendiri-sendiri, sementara sama sekali tidak peka terhadap apa yang terjadi di masyarakat.
Apakah pernah DPR atau partai politik bicara mengenai politik identitas? Mungkin kalau diajak bicara satu per satu, mereka akan bicara. Tapi in general tidak ada addressing masalah itu di DPRD atau parlemen. Itulah yang menurut saya ada keterbelahan juga antara masyarakat sipil dan masyarakat politik.
Sementara negara tampaknya juga lebih pro kepada apa yang dianggap sebagai instrumen paling mudah di dalam hal ini untuk running the government nya yaitu mendekati partai-partai politik. Ini karena apapun yang diinginkan oleh negara dalam hal ini pemerintah, itu bisa dijustifikasi oleh parlemen.
Misalnya, berapa banyak yang protes terhadap undang-undang KPK, terhadap undang-undang Omnibus Law dan sebagainya. Tapi tidak didengarkan sama sekali dan bahkan sekarang ini kita menunggu bagaimana Mahkamah Konstitusi yang telah mengatakan bahwa Omnibus Law itu tidak konstitusional bersyarat. Saya sendiri sampai sekarang ingin tahu apa implikasi dari itu. Jangan-jangan ini hanya semacam delaying attack.
Itu karena undang - undangnya masih tetap berjalan dengan format yang lama.
Betul, dan nanti cara seperti ini akan mengalami dejavu, akan dipakai berulang kali cara-cara untuk menggolkan Undang-Undang atau aturan. Padahal menurut saya kita sudah belajar banyak selama bertahun-tahun dalam sejarah kita. Anda masih bisa saja membuat Undang-Undang macam-macam, tapi kalau di masyarakat tidak diperdulikan maka tidak akan ada indikasi apa-apa.
Jadi, sebetulnya kalau saya melihat di dalam elektoral politik dan masyarakat politik, partai politik dan parlemen, mohon maaf saya harus mengatakan, sudah mulai ada proses pembusukan.