Kehidupan Lansia Belum Memenuhi Standar Minimal
Salam Perspektif Baru,
Saat ini Indonesia telah menjadi negara aging society atau negara berpenduduk menua. Ini karena jumlah orang lanjut usia (Lansia) telah mencapai lebih dari 7% dari total jumlah penduduk. Jadi, hari ini kita bahas topik tersebut dengan seorang pegiat kelanjutan usia yaitu Dr. Ir. Adhi Santika, MS., SH, yang pernah menjadi Anggota Komisi Nasional Lanjut Usia periode 2008 hingga 2014.
Menurut Adhi Santika, Lansia yang ada hari ini adalah resultant atau akibat dari kehidupan masa lalunya. Jadi, kalau ada stigma-stigma yang kurang pas tentang Lansia Indonesia itu karena hanya melihat Lansia sebagai akibat dari masa lalu. “Kalau Lansia yang sekarang jumlahnya mencapai angka sekitar 9% dari populasi yaitu sekitar 26 juta itu mayoritas mereka kehidupannya, mohon maaf saya sebutkan, belum memenuhi standar minimal.”
Ada tiga parameter yang kita sepakati bersama dan kita ketahui yaitu mandiri, sejahtera, dan bermartabat. Mandiri itu mereka yaitu Lansia harus mencukupi kehidupannya sesuai standar. Katakanlah indeks hidupnya, pendapatannya, kesehatannya itu ada standarnya, kita bisa kondifikasikan.
Faktor penyebabnya satu kata yaitu pengarus-utamaan isu Lansia. Sekarang kita mencoba untuk meyakinkan pengarusutamaan itu bukan hanya kepada masyarakat, tapi juga ke teman-teman kita misalnya di Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka perlu tahu itu agar mereka membuat program yang ramah Lansia.
“Saya melihat bahwa sekarang ini masih kurang. Artinya, pengarusutamaan di masyarakat umum maupun di ASN yang mengerti betul bagaimana sebetulnya Lansia itu perlu diperhatikan. Saya kira ini melalui Perspektif Baru menjadi satu upaya yang konkrit, real, cepat, dan masif untuk pengarusutamaan isu Lansia ini bisa diketahui oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.”
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Dr. Adhi Santika.
Ketika kita berbicara mengenai lanjut usia (Lansia), apa sebenarnya ukuran seseorang disebut Lansia?
Ini satu pertanyaan yang sangat mendasar dan saya suka dengan pertanyaan ini karena seringkali ketika kita bicara mengenai Lansia itu kita terjebak dari penampilan fisik, tapi kadang juga terjebak dengan usia. Sebagai negara hukum, tentu kita harus berpijak dari aturan. Aturan yang ada sebagaimana diatur di dalam UU 13 Tahun 1998 bahwa Lansia di Indonesia dikategorikan manakala seseorang laki atau perempuan sudah menginjak 60 tahun atau lebih.
Meningkatnya kesejahteraan dan menurunnya tingkat fertilitas masyarakat telah membuat jumlah warga negara senior atau yang sering kita tahu adalah lanjut usia (Lansia) secara pelan tapi pasti terus merambat naik. Kini Indonesia termasuk menjadi negara yang memasuki era penduduk menua atau istilahnya aging population karena jumlah orang lanjut usia itu telah berada di atas 7% dari jumlah total penduduk. Apakah Indonesia siap menyongsong era Lansia ini?
Siap dan tidak siap itu berpulang kepada diri kita masing-masing, baik itu generasi yang belum Lansia maupun generasi yang sekarang sudah masuk Lansia. Mengapa saya katakan tergantung masing-masing? Itu karena ketika kita bicara Lansia seringkali kita hanya berorientasi kepada Lansia yang ada hari ini.
Lansia yang ada hari ini adalah resultant atau akibat dari kehidupan masa lalunya. Jadi, kalau ada stigma-stigma yang kurang pas tentang Lansia Indonesia itu karena hanya melihat Lansia sebagai akibat dari masa lalu. Kalau Lansia yang sekarang jumlahnya mencapai angka sekitar 9% dari populasi yaitu sekitar 26 juta itu mayoritas mereka kehidupannya, mohon maaf saya sebutkan, belum memenuhi standar minimal.
Bagaimana standar minimal yang dimaksud tersebut?
Kalau kembali ke standar minimal itu, saya mempunyai tiga parameter yang kita sepakati bersama dan kita ketahui yaitu mandiri, sejahtera, dan bermartabat. Mandiri itu mereka yaitu Lansia harus mencukupi kehidupannya sesuai standar. Katakanlah indeks hidupnya, pendapatannya, kesehatannya itu ada standarnya, kita bisa kondifikasikan.
Lalu sejahtera usia harapan hidupnya. Mungkin sekarang di beberapa tempat usia harapan hidupnya di bawah 70 tahun, sedangkan di daerah khusus itu di atas 72 tahun, misalnya. Usia harapan hidup itu bukan hanya usia harapan hidup saja, tapi usia harapan hidup sehat.
Banyak yang misalnya lansia itu berusia panjang, tetapi mohon maaf tidak beruntung karena sakit-sakitan. Bukan itu yang kita perlukan. Kemudian misalnya pelayanannya, apakah Lansia di usia sekarang itu sering diposisikan sebagai objek dari pembangunan? Yang seharusnya menjadi subjek pembangunan.
Ketiga adalah bermartabat. Apakah lansia tidak mengalami kekerasan di rumahnya? Apakah Lansia itu bisa aktif dengan wajar di lingkungannya? Itu banyak indikator. Artinya, kehidupan standar itu adalah standar-standar minimal yang harus kita ketahui, yang seringkali sekarang ini masyarakat belum tahu.
Pertambahan jumlah warga Lansia yang besar di Indonesia ini, di satu sisi harus kita akui bahwa menunjukkan keberhasilan pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan juga kualitas layanan kesehatan, sehingga bertambah usia harapan hidup mereka. Di sisi lain harus kita ingat juga bahwa orang Lansia mohon maaf identik dengan menurunnya berbagai fungsi tubuh.
Bagaimana layanan kesehatan untuk lansia di negara kita? Apakah sudah ramah lansia atau belum?
Bung Hayat, saya mungkin perlu luruskan dulu bahwa kalau kita menelaah tentang Lansia memang yang paling penting sementara ini adalah kesehatan, tapi itu tidak cukup. Jadi, saya katakan benar tetapi tidak cukup karena sebagai syarat kehidupan itu bukan hanya kesehatan. Yang pasti sekarang ini dengan adanya perubahan persepsi masyarakat kepada lansia, layanan kesehatan terhadap Lansia itu sudah menunjukkan banyak kemajuan baik itu kesehatan fisik maupun kesehatan mental.
Kesehatan fisik sekarang ini sudah ada beberapa tempat pendidikan khusus pelayanan geriatri yaitu layanan khusus untuk Lansia. Jadi, layanan dan perlakuannya mulai dari Lansia datang ke tempat pengobatan sudah mulai ramah Lansia. Belum lagi bagaimana fasilitas yang diberikan kepada Lansia di tempat pemberian layanan kesehatan.
Bisa kita lihat dan cermati kemarin waktu masa pandemi begitu besarnya perhatian kepada Lansia, seperti memberikan porsi terbesar untuk vaksinasi khusus kepada Lansia. Itu contoh konkrit. Belum lagi sekarang masyarakat semakin sadar bahwa setiap puskesmas ada bukan hanya untuk Balita, sekarang ini sudah mulai merambah ke Lansia dan sekarang ini banyak yang menjemput bola.
Jadi, bukan Lansia dengan segala keterbatasannya datang ke pusat-pusat kesehatan Lansia, tetapi sekarang para petugas kesehatan datang ke tempat Lansia, baik itu petugas resmi dari pemerintah maupun para pegiat-pegiat Lansia datang ke Lansia.
Bagaimana dengan layanan publik lainnya? Apakah juga ramah lansia seperti di bidang layanan kesehatan seperti yang Anda tadi jelaskan?
Pertama, layanan keagamaan dan mental spiritual. Sekarang agama apapun memberikan fasilitas khusus kepada Lansia, menggambarkan hormatnya kepada Lansia di tempat ibadah. Bahkan sekarang ini di beberapa pesantren, misalnya khusus Pesantren Lansia itu mental spiritual dibangkitkan, yaitu kesadaran mereka bahwa mereka lansia yang harus mempersiapkan kepada hari akhirnya.
Selain kesehatan, masalah kesempatan kerja. Orang sering mengkritik mengapa Lansia harus bekerja. Bekerja itu ada dua perspektif, yaitu bekerja untuk income-nya untuk menghidupi dirinya. Bahkan ada yang sebagai sumber pendapatan bagi keluarganya, anak dan cucunya, ada juga seperti itu. Tetapi ada juga untuk mengekspresikan diri atau mengaktualisasi diri, mereka bekerja, beraktivitas yang bisa membuat otot motoriknya kemudian memorinya akan berkembang lagi. Layanan seperti itu harus diberikan
Lalu pendidikan dan pelatihan, itu banyak sekali. Misalnya, waktu pandemi dengan home industry itu banyak juga nenek dan kakek sekarang mencoba untuk menghidupi dirinya dengan pelatihan, baik itu pertanian, perkebunan, dan banyak lagi. Belum lagi kemudahan-kemudahan fisik yaitu sarana dan prasarana. Sekarang di perkotaan sudah ada fasilitas untuk Lansia, di transportasi publik sudah ada walaupun mohon maaf banyak publik yang tidak mengerti bagaimana pemberian fasilitas kepada Lansia.Tetapi bukan hanya fisik, sekarang ini ada diskon atau gratis di fasilitas-fasilitas untuk Lansia. Itu juga ada layanan untuk lansia dan sudah mulai berkembang.
Belum lagi untuk bantuan hukum. banyak sekali lansia yang tidak terjamah dengan bantuan hukum karena misalnya masalah warisan atau kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan kekerasan-kekerasan di jalanan. Itu sudah ada datanya seperti itu. Jadi, layanan bantuan hukum pun juga harus diberikan kepada lansia.
Yang marak itu ketika pandemi kemarin adalah bantuan sosial. Itu sudah banyak ada bantuan sosial tetapi tidak cukup. Saya katakan sudah benar, tetapi mari kita lengkapi pemenuhan hak Lansia yang utuh.
Mengapa sampai kini layanan-layanan publik untuk Lansia belum utuh atau belum lengkap? Apa faktor penyebabnya?
Faktor penyebabnya satu kata yaitu pengarus-utamaan isu Lansia. Mainstreaming Lansia itu berbeda dengan waktu tahun 2000-an. Mainstreaming-nya adalah mengenai hak asasi manusia dan berhasil. Sekarang kita mencoba untuk meyakinkan pengarusutamaan itu bukan hanya kepada masyarakat, tapi juga ke teman-teman kita misalnya di Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka perlu tahu itu agar mereka membuat program yang ramah Lansia.
Saya melihat bahwa sekarang ini masih kurang. Artinya, pengarusutamaan di masyarakat umum maupun di ASN yang mengerti betul bagaimana sebetulnya Lansia itu perlu diperhatikan. Saya kira ini melalui Perspektif Baru menjadi satu upaya yang konkrit, real, cepat, dan masif untuk pengarusutamaan isu Lansia ini bisa diketahui oleh seluruh warga masyarakat Indonesia.
Dalam usaha untuk pengarusutamaan lansia ini salah satu faktor terpenting adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bagaimana perspektif mereka? Apakah mereka sudah mempunyai perspektif untuk pengarusutamaan Lansia ini agar semua layanan publik menjadi ramah lansia di Indonesia?
Saya jujur secara objektif Insya Allah untuk niat yang baik, sebelum 2021 yaitu sebelum ada Perpres Nomor 88 Tahun 2001 Tentang Strategi Nasional Lanjut Usia yang ada itu masih pendekatan sektoral. Seperti tadi, jangan-jangan Bung Hayat pun lebih berorientasi pada kesehatan. Itu karena kesehatan selama ini memang benar tetapi tidak lengkap. Jadi, terkooptasi oleh perspektif kesehatan Lansia, tapi yang lainnya belum.
Dengan adanya Perpres yang ditandatangani oleh presiden sekarang, dimana saya juga masuk ketika mendesainnya, itu secara sadar setiap kementerian harus memiliki program tentang Lansia. Itu di pemerintah pusat. Sedangkan di pemerintah daerah juga sudah mulai dan saya juga terlibat di beberapa provinsi untuk menyusun peraturan daerah yang berperspektif Lansia karena tanpa Perda anggarannya akan kecil.
Jadi, dengan adanya Perpres dan Perda-Perda di provinsi, kabupaten/kota menjadi legitimasi bahwa angggaran itu harus tersedia. Kalau anggaran tersedia, pasti program juga ada.
Tadi dikatakan bahwa untuk bisa mewujudkan layanan publik yang ramah lansia itu diperlukan perspektif dan tentu saja anggaran. Bagaimana dengan anggaran dan program untuk warga negara senior atau kita sebut warga lansia? Apakah sudah cukup untuk menjamin hak-hak warga negara senior tersebut sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 1998?
Berbicara anggaran, ada anggaran di pemerintah pusat dan ada anggaran di pemerintah daerah yaitu provinsi, kabupaten dan kota. Jujur saya belum menghimpun angka-angka itu, tetapi yang saya duga dan saya coba cermati dari berbagai pertemuan yang saya ikuti ada kecenderungan angka itu relatif kecil karena upaya konkrit berupa program kegiatan yang memang menyentuh pada Lansia sangat sedikit. Bahkan mungkin ada yang tidak ada karena setiap anggaran itu harus mempunyai landasan hukumnya.
Kalau di pemerintah pusat harus ada landasan hukumnya, sedangkan di pemerintah daerah harus ada Perdanya. Sepanjang landasan hukumnya itu tidak ada, bagaimana mungkin mereka bisa mengalokasikan itu.
Jadi, sekarang ini yang paling pokok adalah meyakinkan semua aparatur pemerintah bahwa mereka itu memang mempunyai mandat untuk melakukan penyusunan program itu. Selama ini itu memang masih menempel, disatukan dengan concern masalah lainnya. Katakanlah dengan masalah disabilitas, dengan kelompok rentan lainnya. Jadi, tidak spesifik bahwa itu untuk Lansia. Ironi memang kalau Lansia itu penganggarannya digabungkan dengan disabilitas, padahal Lansia itu tidak mesti digabungkan dengan disabilitas.
Memang ironi, tapi kalau lihat kenyataannya saat ini sebagian besar penduduk Lansia di Indonesia itu tidak memiliki jaminan hari tua atau pensiun. Banyak warga lansia di kita yang masih harus banting tulang menghidupi diri mereka sendiri, bahkan menghidupi generasi yang lebih muda yaitu anak atau cucunya.
Bagaimana dengan layanan bantuan dan pemberian bantuan sosial bagi warga senior di Indonesia saat ini?
Saya kira secara jujur itu on the right track, tetapi kita dihadapkan pada berbagai masalah. Paling tidak adalah kita bisa melihat bantuan sosial itu sudah sampai di tangan yang memang berhak untuk menerimanya. Tetapi tidak semua Lansia menerimanya karena data tentang Lansia itu kita belum memiliki secara akurat.
Artinya, ada yang Lansia berhak tetapi tidak mendapatkan atau sebaliknya orang yang mendapatkan sebetulnya tidak berhak. Karena itu kami sebagai pegiat selalu mengusulkan pendataan Lansia itu harus benar, akurat, terkini dan bisa diakses oleh siapapun karena kalau data itu tidak ada, mana mungkin kita bisa memberikan bantuan.
Terlepas dari data itu, bantuan yang diberikan itu ternyata sekarang ini bukan hanya masalah bantuan sembako untuk Lansia, tetapi juga bantuan kesehatan dan yang saya tadi sampaikan bahwa ada juga keringanan-keringanan seperti potongan harga ketika naik kendaraan umum. Ada potongan potongan harga untuk Lansia. Sekarang ini perhatian itu sudah ada.
Dengan kondisi tersebut, apakah di Indonesia banyak warga Lansia yang hidupnya terlantar atau bahkan “ditelantarkan” oleh keluarganya?
Saya sangat harus hati-hati dengan ini karena ini juga menyangkut masalah psikologis sosial dan sosial budaya. Terlantarkan itu saya katakan ada tiga, yaitu ada yang menelantarkan diri, ada yang ditelantarkan, ada yang terlantar, dan menelantarkan diri. Pertama, secara teori yang ditelantarkan itu karena dia tidak memiliki akses kemanapun.
Kedua, yang menelantarkan diri itu menganggap dirinya itu tidak berguna. Tetapi sekarang ini ada juga Lansia yang mencoba untuk lebih adaptif. Artinya, terus berusaha menyesuaikan diri supaya dia bisa berkembang. Untuk yang terlantar ini lagi-lagi boleh jadi karena memang pendataan kita belum punya dengan baik.
Memang data menunjukkan sekian juta yang masih terlantar, lalu mengapa itu terlantar. Yang pasti mereka itu memang kehidupannya di bawah standar. Kalau mereka sekarang ini harus mencari penghidupan atau pendapatan sendiri. Memang itu satu konsekuensi karena mungkin dia juga di keluarganya ditelantarkan atau mungkin dia juga tidak siap dengan masa tua dari pendapatannya atau mungkin juga belum terjamah oleh pemerintah.
Tadi disebutkan bahwa salah satu kunci utama untuk warga lansia ini bisa sejahtera adalah mengenai data atau pendataan dan juga akses mereka kepada layanan tersebut. Saat ini kita sudah memasuki era digital, era internet, dan kita tahu bahwa yang melek internet itu adalah warga berusia muda.
Bagaimana dengan warga lansia atau warga negara senior kita ini untuk bisa mengakses itu di era informasi ini?
Saya harus bicara mengenai literasi terlebih dahulu. Ada literasi “konvensional” yaitu seperti yang tempo hari kita lakukan, dan ada literasi yang digital. Saya mempunyai data sebetulnya mengenai literasi digital Lansia di Indonesia tinggi, yaitu sekitar 81% mereka itu bisa baca tulis, hebat. Tetapi untuk yang internet hanya 11,4%. Artinya, itu ada satu potensi bagaimana kita menyadarkan kepada mereka tentang haknya, menyadarkan kepada mereka bagaimana hidup yang baik. Itu satu potensi yang bisa kita lakukan.
Sekarang ini mengenai literasi digital kita harus hati-hati. Literasi digital itu memang bisa efektif manakala Lansia itu mempunyai gadget atau tidak, dia ikut ke anaknya atau ke cucunya. Jangan-jangan itu dia bersama-sama menggunakan gadget-nya. Kedua, kalau ada gadget apakah mereka mempunya jaringan yang dekat. Kalau daerahnya remote area, sehingga mereka mungkin sedikit susah mendapat akses internet.
Ketiga, aksesibilitas dalam bentuk kuota. Lansia itu melek digital, kemudian mempunyai gadget, tetapi mungkin tidak bisa untuk membeli kuotanya. Karena itu mungkin di sini pemerintah juga harus memberikan bantuan secara tidak langsung kepada Lansia, misalnya jaringan-jaringan lebih mudah diakses, kemudian kuotanya juga bisa diakses dan seterusnya. Jadi, lansia sebetulnya sekarang ini sudah melek dengan internet dan sudah bisa memanfaatkannya. Apalagi pada waktu pandemi, kita sebutkan dengan adanya aplikasi peduli lindungi, lansia itu sudah mulai mengerti betul bagaimana penggunaannya. Bahkan, belanja online pun mereka sudah terbiasa.