Waspadai Politisasi Identitas

Salam Perspektif Baru,

Politik identitas menjadi salah satu isu utama yang perlu diwaspadai menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Selama ini politik identitas menjadi sentimen negatif dalam penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, politik identitas kerap menimbulkan konflik di masyarakat, sehingga mengancam persatuan bangsa. Kita akan membahas topik mengenai mewaspadai politik identitas menjelang Pemilu 2024 dengan narasumber Nurlia Dian Paramita, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Menurut Nurlia Dian Paramita, salah satu yang menjadi catatan penting belajar dari 2014, 2019, dan juga di Pilkada adalah mengenai potensi politisasi identitas. Jadi, kalau dikatakan politik identitas itu sebetulnya tidak ada masalah. Tapi kemudian kalau identitas itu dipolitisasi, ini yang menjadi rawan dan sangat mengancam disintegrasi bangsa.

Sejauh ini politik identitas yang muncul masih memunculkan narasi lama seperti masih ada kata-kata Cebong dan Kampret, yang kemarin pada 2019 itu sangat mengemuka. Kemudian narasi nasionalis atau agamis, ini masih sering muncul dalam jagat medsos kita. Ada juga Arab atau Arab yang dikonotasikan Islam atau kemudian pribumi.

Kecenderungan-kecenderungan ini jadi tereproduksi dengan arah-arahan media sosial, narasi-narasi yang kemudian diciptakan sebagai pangkal kebencian seperti hoaks, berita bohong, dan juga pengemasan bahasa ini menjadi sangat penting. 

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Nurlia Dian Paramita.

Saat kita berbicara mengenai pemilihan umum (Pemilu) 2024, berdasarkan pengalaman atau catatan dari JPPR pada Pemilu-Pemilu sebelumnya, apa tantangan terberat dari penyelenggaraan Pemilu 2024?

Tantangan yang terberat sebetulnya adalah menyiapkan sistem. Jadi, sistem Pemilu kita selama ini sudah sangat dinamis, perbaikannya sudah sangat variatif, dan juga sebetulnya sudah tepat sasaran. Namun, pelaksanaannya itu memang menjadi cukup multidimensi, yaitu tidak hanya satu, tapi kemudian banyak stakeholder yang terkait.

Salah satu yang kemudian menjadi catatan penting belajar dari 2014, 2019, dan juga di Pilkada adalah mengenai potensi politisasi identitas. Jadi, kalau dikatakan politik identitas itu sebetulnya tidak ada masalah. Tapi kemudian kalau identitas itu dipolitisasi, ini yang menjadi rawan dan sangat mengancam disintegrasi bangsa.

Pemilu hari ini kemudian diusung sebagai sarana integrasi bangsa. Kenapa? Karena salah satu musuh utamanya adalah identitas itu dipolitisasi sedemikian mungkin untuk memecah belah orang-orang yang kemudian berafiliasi dengan kepentingan politik. Ini sangat tergambar jelas juga pada 2017 yaitu di Pilkada DKI Jakarta. Ini menjadi contoh yang kemudian harus kita waspadai.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pelantikan pimpinan KPU RI dan Bawaslu RI pada April 2022 menegaskan bahwa “Mari kita bersama-sama menjauhi politik identitas.” Jadi, presiden  sudah memberikan statement penting bahwa politik identitas atau yang kami sebut politisasi identitas itu menjadi semacam tantangan baru kita.

Terlepas kita sudah mempunyai contoh pada 2019 dan sebelumnya 2014, tapi kali ini lebih masif karena didukung oleh media sosial yang hari ini begitu mempesona kita. Sebetulnya kita ini sangat terpesona dengan media sosial. Jadi, sedikit-sedikit bukanya media sosial. Padahal di media sosial ini kita bisa memilih mana yang kemudian sesuai dengan konteks yang sedang muncul, atau kemudian justru malah memperkeruh suasana.

 

Apa yang salah dengan politik identitas atau politisasi identitas? Misalnya, orang NU akan cenderung memilih wakil rakyat berasal dari NU. Begitupun dengan orang Muhammadiyah, mungkin lebih cenderung akan memilih wakil rakyat yang memang satu aliran dengan dia, atau golongan buruh tentu akan lebih suka memilih wakil rakyat yang memang dia tahu bahwa dia buruh atau penggiat buruh. Apa yang salah dengan politik identitas ini sehingga dikhawatirkan merusak sistem Pemilu ataupun merusak keutuhan bangsa?

Kalau bicara politik identitas, sebetulnya tidak ada yang keliru. Tapi yang kemudian tidak betul atau kurang pas pemaknaannya adalah identitas itu dijadikan sebagai narasi-narasi negatif, atau identitas itu dikelola dengan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Jadi, dia dikreasi sebaik mungkin untuk kemudian dalam posisi kanan atau kiri.

Kalau dalam penyelenggaraan Pemilu, tentu dia akan cenderung di-kanan-kan, menjadi yang paling benar. Kalau memang emosi yang dikelola karena berbasis identitas, ini menjadi salah satu hal yang sudah tidak nalar lagi.

Selama ini kita berperspektif bahwa kalau bicara identitas, kita tentu harus saling mentoleransi, kita harus saling menjaga, apalagi kita berdasar pada Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Bagaimana kemudian identitas yang macam-macam seperti NU, Muhammadiyah, non-Muslim,  ras, suku, agama, dan juga yang terakhir adalah perbedaan gender, kemudian kita juga mempunyai varian baru seperti LGBT. Itu adalah hal yang kemudian menjadi salah satu penyangga penting untuk menyelesaikan proses demokrasi kita. Artinya, bagaimana kita mampu untuk berkontestasi, tapi kontestasi dengan jalur yang sesuai dengan yang dianjurkan.

 

Sejak akhir tahun lalu sampai dengan awal tahun ini suasana politik sudah mulai memanas sehubungan dengan adanya momentum politik yaitu Pemilu 2024. Menjelang Pemilu 2024 mulai aktif banyak politisasi identitas atau politik identitas, terutama tersebar melalui media sosial. Bagaimana pantauan dari JPPR terhadap politik identitas ini baik di media sosial maupun media lainnya dan juga di kalangan masyarakat?

Sejauh ini politik identitas yang muncul masih memunculkan narasi lama seperti masih ada kata-kata Cebong dan Kampret, yang kemarin pada 2019 itu sangat mengemuka. Kemudian narasi nasionalis atau agamis, ini masih sering muncul dalam jagat medsos kita. Ada juga Arab atau Arab yang dikonotasikan Islam atau kemudian pribumi. Jadi, kata-kata golongan pribumi atau golongan Arab itu menjadi kata-kata yang sering muncul yang justru menimbulkan bahwa saya Indonesia, tapi kemudian saya memilih yang mana. “Oh, kalau saya muslim, maka saya akan memilih yang muslim. Saya tidak akan memilih pemimpin yang non-Muslim.”

Kecenderungan-kecenderungan ini jadi tereproduksi dengan arah-arahan media sosial, narasi-narasi yang kemudian diciptakan sebagai pangkal kebencian seperti hoaks, berita bohong, dan juga pengemasan bahasa ini menjadi sangat penting. Kalau kita tidak hati-hati, tidak mencermati secara seksama berikut sumbernya, bisa jadi kemudian ada media-media yang memproduksi. Jadi, kalau sekarang kita melihat di Whatsapp terutama karena kalau di twitter penggunanya relatif sedikit, tapi di Whatsapp yang kita kemudian menerima informasi langsung, maka kita harus konfirmasi kepada siapa?

Kalau bicara Pemilu, misalnya dulu ada isu kontainer yang dicoblos. Kemudian kita harus konfirmasi kepada siapa? Apakah ke KPU? Atau apakah bertanya ke teman terdekat? Padahal kalau menyebarkan lagi, maka berita itu akan berantai, sehingga orang lebih banyak yang tahu. Ini yang kemudian mulai berpotensi muncul, meskipun belum sepenuhnya.

 

Tadi dikatakan bahwa politik identitas yang muncul adalah narasi lama. Apa pangkal persoalannya sehingga narasi lama ini kembali muncul atau politik identitas ini tetap selalu muncul di setiap penyelenggaraan Pemilu kita?

Partai politik tidak siap, elit tidak siap untuk menyelenggarakan Pemilu. Ini kemudian terkonfirmasi karena dari awal proses pelaksanaan Pemilu 2024, tahapannya itu masih mengalami pasang surut.

Pertama, dari isu penundaan Pemilu, perpanjangan, kemudian setelah itu penentuan jadwal tanggal Pemilu yang berubah-ubah, kemudian juga anggaran yang sudah disepakati itu tersendat. Ini yang menjadi sebetulnya ada apa antara pemerintah, penyelenggara Pemilu, dan juga Komisi II sebagai leading sector-nya? Mengapa itu tidak tuntas? Kalau memang men-support maka tentunya mereka harus maksimal.

Kemudian hari ini pola elit partai juga masih tidak jauh beda. Kita tahu bahwa sudah ada deklarasi, kemudian di sisi lain juga ada ancaman mengenai reshuffle kabinet yang kesannya mengintervensi bahwa kalau salah satu koalisi kemudian akan mengusung calon tertentu, maka saya tidak suka. Sudah ada irama-irama yang seperti itu. Ini berarti tidak ada perubahan, elit kita masih tidak ada perubahan. Jadi, potensi-potensi yang muncul itu akan berkemungkinan sama dengan 2019 lalu.

 

Itu kalau dari sisi elit partai politik. Lalu, bagaimana dengan kesiapan pemilihnya? Mengapa pemilih kita atau masyarakat kita masih mudah terkena hasutan politik identitas?

Kita tahu bahwa partai politik ini sebetulnya sebagai pendidik. Pendidikan politik itu kewajiban pertamanya oleh partai politik, terlepas kemudian pemerintah juga memang mempunyai tugas yang sama dalam arti bahwa dia juga mensosialisasikan pendidikan pemilih, misalnya melalui Kemendagri atau juga penyelenggara Pemilu. 

Jadi, kalau ada ritual lima tahun (Pemilu) maka rakyat gembira. Kemudian pasca lima tahun lupa, atau kemudian tidak ada jalinan kontrol publik yang terjadi, ada kelemahan dalam proses kontrol publik. 

Jadi, kalau seseorang memilih, kami merefleksikan bahwa kalau pemilih itu memilih seseorang, maka itu kemudian tidak tuntas dia akan membawa pilihan itu sampai nanti. Dari beberapa survei, misalnya kami menanyakan ke beberapa tetangga, “Kamu memilih siapa di tahun 2019 kemarin?” maka dia sudah mengatakan lupa. Kecuali dia memang seseorang yang beridentifikasi Party-ID, yaitu dia memang pendukung dari partai tertentu, maka dia akan menyebutkan. Tapi kalau tidak dia akan lupa dengan siapa yang kemarin dia pilih. 

Padahal kita sebagai pemilih seharusnya tahu kita akan memilih siapa. Kenyataannya, orang itu bisa lupa. Berarti, dia sudah tidak mengingatnya karena beranggapan bahwa nanti ketika Pemilu akan memilih lagi. Itulah kenapa kemudian narasi-narasi politisasi identitas itu menemui momentum karena memang tidak ada pilihan yang kemudian sesuai dengan batin ideologi masing-masing orang, atau misalnya pemilih yang kemarin memilih calonnya.

 

Tadi dikatakan bahwa salah satu faktornya adalah pemilih kita tidak terdidik dengan baik. Tapi saya melihat jumlah pemilih terbesar adalah generasi muda, dimana generasi muda tersebut adalah golongan yang terdidik. Ada apa dengan generasi muda kita?

Saya melihat pada Pemilu 2024 ada 60% pemilih muda, jadi ada sekitar 110 juta dari 204 juta dari data yang sudah diberikan yaitu DP4 oleh Kemendagri kepada KPU. Tentu ini menjadi jumlah yang sangat besar. Pemilih pemula atau pemilih muda hari ini sebetulnya mempunyai kesempatan untuk bisa memperbaiki.

Caranya, mereka harus aktif, dan pemerintah khususnya dan juga penyelenggara Pemilu baik KPU atau Bawaslu harus gencar melakukan sosialisasi, termasuk kelompok masyarakat sipil seperti JPPR.  Kemudian menginisiasi pertemuan-pertemuan atau lokus-lokus yang mampu membuat informasi itu jauh lebih berimbang kalau mereka kemudian berkelompok, dan

Kita masih punya waktu karena masih mempunyai satu tahun lagi, kemudian bisa membuat gerakan-gerakan. Misalnya, nanti ke depan ada pencalonan, mereka bisa menginisiasi gerakan politisi busuk, yaitu mengidentifikasi mana calon yang baik dan calon yang sudah teridentifikasi misalnya sebagai mantan koruptor. 

Putusan MK sebetulnya tidak membolehkan calon legislatif yang sudah pernah menjadi tersangka dan dihukum lima tahun, itu harus berhenti dulu sebetulnya. Tapi apakah ini akan ditepati atau tidak. Kemudian calon DPD, misalnya yang kemarin dari hasil pantauan JPPR, itu masih ada beberapa yang mereka adalah orang yang masih aktif di partai, atau mantan koruptor. Generasi muda harus memahami ini supaya nanti tidak salah pilih.

 

Salah satu faktor kerawanan untuk penyelenggaraan Pemilu adalah hadirnya politik identitas. Dan politik identitas ini sudah kerap muncul baik di Pilpres maupun Pilkada.  Bagaimana cara mencegah agar ini tidak terus terulang dalam penyelenggaraan Pemilu kita?

Pertama, penyelenggara Pemilu dan stakeholder terkait saat ini sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk bisa mengawasi peredaran informasi yang ada di media sosial. Pada 2019 satuan tugas dari Polisi Cyber yang sudah diinisiasi oleh pemerintah dan penyelenggara Pemilu itu  menemukan 3.356 hoaks sepanjang Pemilu 2019. Jadi ada peningkatan.

 

Apakah itu saat penyelenggaraannya saja dan dengan yang sebelumnya?

Sebelumnya sudah ada, tapi peningkatannya signifikan ketika sampai Pemilu 2019. Jadi, memang ada peningkatan yang signifikan. Ini tentu menjadi salah satu refleksi pada 2024, pasti nanti akan kembali signifikan lagi kalau melihat polanya masih sama.

Apa yang kita bisa lakukan? Tentu karena Undang-undangnya tidak berubah, sehingga kemarin berita-berita di media sosial itu sudah berhasil di take down kalau memang itu dinyatakan sebagai berita yang meresahkan, atau bisa jadi sebetulnya itu berita yang hoaks atau berita yang istilahnya kampanye hitam. 

Sebetulnya itu bisa diturunkan melalui kesempatan satgas ini. Tapi memang salah satu kekurangannya adalah satgas ini tidak melibatkan masyarakat sipil, jadi hanya pemerintah. Sehingga kita tidak tahu sebetulnya independency atas hasil potensi media sosialnya itu seperti apa dalam proses dia dinyatakan ada unsur-unsur hoaks, atau misalnya itu jelas ada politisasi identitasnya. Kadang-kadang kalau tidak melibatkan masyarakat menjadi seperti itu.

 

Bagaimana kita sebagai masyarakat bisa menilai bahwa informasi yang disebarkan ini adalah hoaks atau kampanye hitam?

Sejauh ini cara yang paling bisa kita cek dengan cepat memang mengecek di situs Kominfo bahwa itu hoaks atau tidak. Itu biasanya informasinya akan cepat karena kita belum mempunyai media pembanding. Misalnya, kita mempunyai media swasta atau lembaga yang bisa melansir bahwa itu hoaks atau tidak.

Sebetulnya ada Komunitas Masyarakat Anti Fitnah (Mafindo) itu mereka juga menginisiasi proses-proses seperti ini yaitu mengidentifikasi. Tapi kelihatannya untuk yang pasti memang masih dari Kominfo untuk bisa kita pastikan bahwa itu hoaks atau bukan.

Saran saya memang kepada para pemilih di Indonesia, kalau menerima informasi yang tidak ada sumbernya, atau kalau ada sumbernya tapi harus dikonfirmasi, maka konfirmasilah ke pihak yang paling benar. Jadi, jangan kemudian hanya menanyakan ke teman atau tetangga karena otomatis ini tidak menyelesaikan masalah. Kalau memang merasa itu tidak benar atau keliru, stop saja di Anda, tanya dulu kepada seseorang yang mungkin paling bisa dipercaya supaya tidak terpengaruh. 

Kedua, adalah bahwa sentimen negatif ini akan terus muncul menuju Pemilu 2024 apalagi presidential threshold kita masih 20%. Otomatis nanti akan head-to-head atau polanya mirip dengan 2019. Jadi, kita masih punya kesempatan untuk bisa lebih berhati-hati mencermati berita di media sosial, mana yang kira-kira membuat urat saraf kita merasa terprovokasi maka lebih baik dijauhi, dan kita coba konfirmasi kepada pihak-pihak yang sesuai dengan sumbernya.

 

Saya tahu bahwa JPPR ini sudah melakukan pemantauan penyelenggaraan Pemilu sejak awal reformasi sampai kini. Apa yang sedang dilakukan oleh JPPR untuk mewujudkan bahwa Pemilu kita ini berjalan demokratis dan jauh dari politik identitas?

Pertama, kita memberikan informasi yang benar. Jadi, keterbukaan informasi kita sajikan dari hasil pemantauan kita. Hari ini kita sedang memantau calon anggota DPD. Beberapa dari mereka bukan independen seperti yang dikatakan calon independen.

Sebetulnya DPD ini adalah calon independen dan tidak boleh terafiliasi dengan partai politik, juga tidak boleh pengurus. Kalau kemudian kita menemukan, tapi diinformasikan lain misalnya bahwa dia bukan seorang anggota Partai Politik padahal dia sebetulnya pengurus partai politik. Jadi informasi-informasi seperti ini kita sampaikan supaya masyarakat melihat kebenarannya bahwa hari ini demokrasi kita juga tidak terlalu baik.

Proses tahapan Pemilu kita juga harus diawasi, apalagi sebentar lagi juga ada Pencocokan Penelitian (Coklit) untuk data pemilih bahwa kita akan terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu 2024. Kita juga harus mengkonfirmasi kebenaran apakah kita sudah terpilih atau belum. Jangan sampai kemudian proses yang kita lakukan itu justru malah tidak mendukung proses Pemilu yang ada. 

Yang terakhir, yang sebetulnya sudah kita inisiasi yaitu mengenai pencatutan nama. Jadi, pencatutan nama dalam verifikasi partai politik kemarin banyak orang yang kemudian bukan anggota Partai Politik tetapi kemudian dia tercatut NIK-nya. Ini yang sebetulnya juga sudah berhasil kita bersihkan. Jadi, yang lapor ke posko kita rata-rata sudah dikembalikan haknya sehingga sudah tidak tercatut lagi dalam Partai Politik.

Previous
Previous

Next
Next