Kembangkan Industri di Hulu dan Hilir
Salam Perspektif Baru,
Kali ini saya sudah bersama dengan seorang akademisi yang mempunyai dedikasi pada dunia pendidikan, dan mudah-mudahan ilmu dan perspektifnya bisa mencerahkan kita pada hari ini, yaitu Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU., ASEAN.Eng. Kita akan bicara satu hal yang mungkin belakangan ini sering diucapkan oleh Presiden Jokowi, yaitu processing atau hilirisasi.
Prof. Panut Mulyono mengatakan hilirisasi, misalnya pengolahan di smelter dari nikel kita, itu meningkatkan nilai tambah yang sekian kali lipat daripada kalau kita hanya mengekspor mineral mentah langsung ke luar negeri. Dengan demikian tentu keuntungan devisa Indonesia dengan pengolahan ini luar biasa.
Kemudian yang lain adalah penyerapan tenaga kerja kita. Dengan smelter yang beroperasi di Indonesia, tentu mempekerjakan orang-orang Indonesia dan juga ke depannya penguasaan teknologi pengolahan mineral itu kita akan menjadi meningkat. Tentu tantangannya tidak mudah.
Tantangannya di dalam negeri adalah pengembangan secara utuh dari hulu sampai hilir untuk produk-produk yang bisa kita manfaatkan sampai produk akhirnya di dalam negeri. Walaupun tentu tidak mungkin semuanya dipakai di dalam negeri. Itu karena biasanya harga pasar di luar itu juga lebih mahal dan lebih memberikan keuntungan yang lebih besar bagi penjualan barang-barang kita. Tetapi ini prinsipnya adalah kita jangan hanya menggantungkan itu di pasar global saja, tetapi pasar domestik juga harus kita kerjakan dan bangun dengan sebaik-baiknya.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancara dengan narasumber Prof. Panut Mulyono.
Bagaimana Prof. Panut melihat bahwa belakangan ini presiden mempunyai komitmen yang kuat sekali untuk melakukan hilirisasi? Sebenarnya, apa manfaat dan mengapa baru sekarang atau belakangan ini kita sedikit serius bicara mengenai hilirisasi?
Sebenarnya hilirisasi ini memang hal yang sangat penting dan seharusnya sudah sejak dulu dilakukan. Ini karena di dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) sudah sangat jelas tertulis sejak 2015, bagaimana kita melakukan hilirisasi terhadap sumber daya alam kita, tidak terkecuali sumber daya alam hayati yang dari produk pertanian, kelautan, dan kehutanan. Tetapi juga sumber daya alam non hayati, yaitu mineral kita.
Menurut saya, ini memang sudah terlambat. Itu karena untuk hilirisasi sumber daya alam mineral kita membutuhkan sarana yang sangat mencukupi. Saat ini kebijakan presiden itu sangat berani dan sangat bagus. Ada yang mengatakan juga bahwa itu adalah kebijakan yang patriotik, sangat berani.
Mengapa untuk menentukan dan memutuskan kebijakan yang penting dan prinsipil ini membutuhkan keberanian? Apa yang terjadi selama ini?
Selama ini, kita mengekspor mineral, bahan mentah itu langsung ke luar negeri, sehingga banyak yang mendapat keuntungan langsung dan besar sekali. Tapi sekarang bahan mineral itu diolah di dalam negeri. Tentu keuntungan bagi yang semula mendapatkan keuntungan besar itu menjadi berkurang. Keuntungannya berpindah sebagian ke Indonesia.
Itu karena dengan hilirisasi, misalnya pengolahan di smelter dari nikel kita, itu meningkatkan nilai tambah yang sekian kali lipat dari kalau kita hanya mengekspor mineral mentah langsung ke luar negeri. Dengan demikian tentu keuntungan devisa Indonesia dengan pengolahan ini luar biasa.
Kemudian yang lain adalah penyerapan tenaga kerja kita. Dengan smelter yang beroperasi di Indonesia, tentu mempekerjakan orang-orang Indonesia dan juga ke depannya penguasaan teknologi pengolahan mineral itu kita akan menjadi meningkat. Tentu tantangannya tidak mudah.
Saya kira, Bapak dan Ibu semua sudah mendengar bahwa produk olahan nikel kita memiliki persoalan dengan Uni-Eropa. Mereka memprotes, yang semula boleh mengimpor dari Indonesia sekarang harus mengimpor yang sudah setengah jadi. Dalam arti logam yang sudah bukan dalam bentuk mineral atau bahan mentah langsung. Di sini tantangannya pasti ada.
Apa tantangan dari dalam negeri dan internasional kalau kita ingin bedah dalam mengimplementasikan hilirisasi ini?
Tantangan dalam negeri, kalau tadi kita mengirim hasil hilirisasi ke sana itu banyak berurusan dengan World Trade Organization (WTO), maka kalau bisa kita di dalam negeri juga harus mengembangkan produk-produk akhirnya. Misalnya, nikel yang sudah diolah dari smelter itu nanti dijadikan produk jadi seperti baterai kendaraan listrik. Baterai kendaraan listrik itu tidak hanya semua untuk diekspor tetapi bisa juga untuk kebutuhan dalam negeri kita yang juga besar. Dengan demikian ini tentu akan mengurangi urusan kita dengan pihak-pihak luar.
Menurut saya, tantangannya di dalam negeri adalah pengembangan secara utuh dari hulu sampai hilir untuk produk-produk yang bisa kita manfaatkan sampai produk akhirnya di dalam negeri. Walaupun tentu tidak mungkin semuanya dipakai di dalam negeri. Itu karena biasanya harga pasar di luar itu juga lebih mahal dan lebih memberikan keuntungan yang lebih besar bagi penjualan barang-barang kita. Tetapi ini prinsipnya adalah kita jangan hanya menggantungkan pasar itu di pasar global saja, tetapi pasar domestik juga harus kita kerjakan dan bangun dengan sebaik-baiknya.
Tentu kalau urusan dengan WTO kita harus mempunyai banyak ahli di bidang perdagangan internasional, di bidang hukum internasional yang kalau ada dispute, mereka bisa betul-betul berjuang untuk kepentingan bangsa kita. Jadi, kita harus tunjukkan bahwa kita itu serius dan bisa mengatasi berbagai persoalan yang muncul dari cita-cita besar untuk membawa Indonesia menjadi negara maju, negara industri, dan negara berpenghasilan besar.
Ini artinya, kuncinya ada di diplomat-diplomat kita dan ahli-ahli hukum internasional.
Betul sekali, mereka juga harus hebat-hebat.
Saya jadi teringat dengan (Almarhum) Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang bisa memperluas negara kita berkali-kali tanpa satu butir pun peluru atau peperangan. Itu adalah diplomasi.
Betul, itu sangat luar biasa. Jadi, diplomat yang hebat itu sangat kita perlukan untuk mendukung program-program negara.
Jadi, itu adalah tantangan di dalam dan di luar. Kemudian nikel itu menjadi cerita sukses yang seharusnya kita replikasi di banyak sumber daya mineral yang kita miliki. Apakah ini possible, secara bisnis atau secara industri untuk dilakukan tidak hanya di material nikel?
Mengapa material nikel itu kemarin menjadi primadona? Pertama, cadangan kita itu terbesar di dunia. Kemudian dunia itu sekarang sedang mengarah ke electric vehicle. Jadi, dengan kita semakin peduli terhadap lingkungan, maka kendaraan itu akan menuju ke kendaraan listrik. Jadi kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik itu sangat besar. Jadi, nikel itu menjadi sangat menarik untuk bidang ini. Walaupun penggunaan nikel juga banyak yang lain seperti baja nirkarat atau stainless steel yaitu baja anti karat. Itu juga membutuhkan nikel.
Jadi, memang nikel didorong dengan kebutuhan yang sangat besar terutama dengan kecenderungan atau trend akan banyaknya kendaraan listrik yang memerlukan baterai, dimana nikel sebagai salah satu komponen untuk membuatnya.
Sebetulnya, logam-logam yang lain seperti bauksit sebagai bahan untuk alumunium juga sangat penting. Kemudian tembaga, itu tidak hanya untuk kabel listrik. Tetapi alat-alat elektronik, permesinan dan lain-lain juga banyak membutuhkan tembaga. Jika nikel ini sukses, seperti yang presiden sampaikan akan diperluas ke logam-logam lain.
Saya kira itu sangat masuk akal dan sangat realistis. Namun memang untuk membuat itu membutuhkan investasi yang banyak dan besar. Misalnya satu smelter dengan ukuran tertentu yang biasa dioperasikan, itu membutuhkan Rp 10 triliun lebih. Bahkan kalau kita melihat yang di Gresik itu baru selesai kurang lebih 51% sudah keluar biaya sebesar Rp 25 triliun. Ini investasi harus kita galang betul, sehingga pemerintah harus menyiapkan regulasi dan insentif yang bisa mendorong para investor untuk membangun industri hulu maupun hilirnya di Indonesia.
Ada satu problem opini kritis, yaitu kita bukan penguasa di bauksit, kita bukan penguasa di tembaga. Bagaimana nanti kalau dipaksa tidak boleh ekspor seperti nikel? Kasihan, penyerapan di dalam negeri kecil dan smelter membutuhkan waktu lama, insentifnya tidak terlalu besar dan buyer di luar negeri tinggal bebas memilih negara-negara lain sebagai pemasoknya. Bagaimana menghadapi kenyataan seperti itu?
Konsepnya adalah itu bukan dilarang ekspor, tetapi yang dilarang itu adalah ekspor bahan mentah, bahan tambang langsung, yang belum diolah di dalam negeri. Jadi, ada aturan-aturannya bahwa untuk logam tertentu boleh diekspor setelah kadarnya meningkat sekian persen.
Inti persoalannya adalah agar dilakukan pengolahan di dalam negeri, sehingga dengan pengolahan di dalam negeri itu meningkatkan nilai tambah dari bahan tersebut. Jadi, kalau di ekspor harganya menjadi lebih mahal. Kalau kita mengekspor bahan yang langsung, mineral langsung dari tambah harganya sekian, kemudian setelah dimurnikan menjadi sekian, harganya meningkat sekian kali lipat. Semacam itu sebetulnya
Jadi, kalau misalnya aluminium bauksit atau tembaga itu tetap boleh diekspor setelah diolah di sini, dimurnikan atau syukur-syukur kalau bisa sudah dibuat menjadi barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan industri yang lebih fungsional, sehingga di dalam negeri itu ada proses pengolahan.
Proses pengolahan itu menyerap tenaga kerja, menguasai teknologi, meningkatkan harga dari komoditas tadi. Konsepnya adalah ekspor tetap diizinkan, kecuali yang nikel misalnya kalau untuk keperluan di dalam negeri sendiri itu memang pas atau tidak berlebih, maka jangan diekspor. Kita akan membangun pabrik baterai yang luar biasa besar, misalnya semacam itu. Kalau ada kelebihan yang sudah keluar dari smelter, yang kemudian sudah naik sekian kali harganya, tetap bisa diekspor.
Apakah ini berarti yang tidak terserap di industri dalam negeri itu tetap bisa diekspor?
Betul.
Kemarin saya baca di surat kabar mengenai lompatan nilai tambah untuk nikel, yaitu kalau tidak diolah harganya misal US$1,1 miliar. Kemudian hasil ekspor setelah diolah menjadi US$30 miliar. Ini berarti pengolahan itu meningkatkan sekian kali lipat harganya. Itu keuntungan diperoleh bagi Indonesia. Semacam itu kira-kira konsepnya.
Mudah-mudahan dengan kebijakan ini masa depan kita jadi lebih cerah, kita mempunyai nilai tambah tidak hanya sekadar ekspor barang mentah seperti dulu. Tetapi dulu itu di zaman Soeharto, kita juga mempunyai komitmen untuk menerapkan industrialisasi yang lumayan besar-besaran baik di level yang padat teknologi, industri-indutri strategis, ataupun industri-industri yang lebih manufacturing yang menyerap tenaga kerja luar biasa banyak. Kita fokus membuat pesawat, kita fokus membuat Pindad, membuat senjata ataupun kita fokus memberikan lapangan pekerjaan untuk garmen, tekstil, sepatu, dan sebagainya.
Tapi, Mengapa kita luput untuk melakukan hilirisasi di sektor ESDM. Presiden Jokowi juga sempat marah-marah karena bertahun-tahun kita tidak mempunyai kilang minyak processing, kita harus beli dari Singapura. Padahal kita mempunyai minyak mentah dan juga energi dan mineral yang lain. Apa yang membuat selama ini kita alpa dari hilirisasi?
Memang kita di dalam perencanaan industriliasasi, yaitu perencanannya ada tetapi dalam implementasinya ada juga pengaruh dari passion pelaksananya. Jadi, dulu Prof. Habibie sangat luar biasa di bidang kedirgantaraan. Kemudian melihat bahwa industri-industri strategis itu diyakini akan membawa kemajuan yang lebih cepat bagi negara. Saya kira itu mempunyai pertimbangannya masing-masing.
Sebetulnya pengembangan industri itu memang sebaiknya tidak hanya kuat di hilir, tetapi juga harus dikuatkan industri hulunya. Misalnya, untuk permesinan itu kita harus kuat di industri logam. Dan industri logam itu bahan bakunya dari mineral-mineral logam kita. Ini yang sebaiknya jangan lagi kita membuat hal-hal yang kurang sinkron antara hulu dan hilir, tetapi harus berurutan rantai pasoknya itu dari hulu ke hilir.
Saya kira ini yang dilakukan Presiden Joko Widodo melalui hilirisasi produk logam, kemudian nanti mineral non logam, gas alam, dan lain-lain sebagai basis yang kita gunakan untuk memperkuat industri menengah dan industri hilir nya. Harapannya, beban impor bahan baku itu tidak lagi terasa.
Kita tidak mungkin mencukupi semuanya dari bahan-bahan yang ada di dalam negeri, tetapi yang kita miliki itu harus kita olah dan manfaatkan untuk keperluan industri hilirnya. Kalau kita bicara industri pesawat terbang, itu adalah aluminium. Seharusnya industri alumunium dari bauksit kita harus dikerjakan dengan baik. Kemudian industri mesin, maka besi dan bajanya itu harus maju untuk men-support industri permesinannya.