Perlindungan Pasca Pencabutan PPKM

Salam Perspektif Baru,

Saat memasuki tahun 2023 kita mendapatkan kabar baik, yaitu pemerintah secara resmi mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh wilayah Indonesia, meskipun pemerintah menyatakan pandemi covid-19 di negara kita belum berakhir. Lalu apa yang harus kita perhatikan saat PPKM dicabut dan bagaimana protokol kesehatannya? Jadi, topik tersebut akan kita bahas dengan narasumber yang kredibel untuk menjelaskannya, yaitu dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH yang menjabat sebagai Juru Bicara Kementerian Kesehatan dan juga Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso.

Mohammad Syahril mengingatkan bahwa pandemi COVID masih ada di dunia termasuk di Indonesia. Jadi, status pandemi itu belum dicabut. Yang kita cabut adalah strategi kita, yaitu strategi PPKM, kalau di negara lain memberlakukan yang disebut dengan lockdown. PPKM kita dicabut, tetapi status kedaruratan kita masih karena memang belum habis pandeminya, dan masih akan bisa menjadi ancaman bagi kita manakala terjadi sub varian baru yang mungkin sangat infeksius. Itu bisa terjadi, tapi kita berharap tidak.

Menurut Syahril, pembatasan itu sudah tidak ada lagi dalam arti kata kita hidup normal. Contoh, kita boleh ke mall, ke kerumunan, kemudian kita dalam acara-acara besar, perbankan, dan pertokoan buka seperti sebelum pandemi, normal saja. Hanya saja diingatkan protokol kesehatan, dan itu tetap harus dilakukan dengan maksud bahwa ini masih ada risiko terjadi penularan.

Pandemi ini kewenangannya ada di WHO. Pandemi ini secara global di seluruh dunia, maka WHO ada kriteria-kriteria yang menetapkan pademi. Dulu ditetapkan pandemi setelah sekian negara terkena, begitu pun nanti pencabutannya ada ketentuan dari WHO, berapa negara yang masih sisa, atau katakanlah tidak terjadi lagi pandemi di daerah masing-masing karena sudah terkendali dengan parameter-parameter tadi.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH.

Sejak pandemi COVID-19 berlangsung hampir semua orang mengalami kendala atau hambatan dalam kehidupannya secara normal. Sejak akhir tahun lalu, tepatnya 30 Desember 2022, pemerintah telah mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Ada yang masih menjadi pertanyaan di kami dan juga publik, mengapa pemerintah mencabut PPKM meskipun pandemi COVID-19 belum berakhir?

Terima kasih, luar biasa kita bertemu di awal tahun ini. Sebetulnya kita diberi kado tahun baru kemarin, yaitu kita mensyukuri bahwa pemerintah melalui presiden mengumumkan Insya Allah negara kita aman dengan COVID-19. Tentu saja keputusan itu diambil tidak sembarang keputusan, semuanya harus melalui prosedur atau rekomendasi-rekomendasi dari semua pihak yang terkait.

Jadi, intinya ada dua hal yang kemarin mendasari PPKM dicabut, yaitu pertama adalah parameter atau indikator yang menjadi penilaian suatu pandemi COVID-19 sudah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Kesatu, angka konfirmasi yang positif. Kedua, angka pasien yang dirawat di rumah sakit atau hospitalisasi. Kemudian yang ketiga adalah angka kematian. Kalau ingin ditambah satu lagi adalah positivity rate.

Keempat paremeter ini dalam kurun waktu sembilan sampai sepuluh bulan belakangan ini sudah sangat terkendali. Artinya, kita baik-baik saja, aman, tidak ada lonjakan-lonjakan kasus, tidak ada angka kematian yang tinggi yang dulu pernah heboh, kemudian yang dirawat juga tidak banyak.

Satu lagi parameternya adalah antibodi yaitu kekebalan yang ada di tubuh masyarakat di Indonesia. Itu dinilai melalui zero survey, antibodi itu diperiksa. Jadi, ada dua yang menyebabkan antibodi, yaitu satu karena infeksi yang alami. Kedua, karena vaksinasi. Itu tinggi di negara kita sampai 98,5%, itu luar biasa. Berdasarkan itu presiden memberikan satu kado untuk kita, mudah-mudahan kita semua bisa menjaga ini.

 

Bagaimana penularan kasus COVID-19 ini setelah PPKM dicabut. Apakah mendatar, menurun, atau naik jumlah penularannya?

Sebelumnya saya ingin mengingatkan bahwa pandemi COVID masih ada di dunia termasuk di Indonesia. Jadi, status pandemi itu belum dicabut. Yang kita cabut adalah strategi kita, yaitu strategi PPKM, kalau di negara lain memberlakukan yang disebut dengan lockdown. PPKM kita dicabut, tetapi status kedaruratan kita masih karena memang belum habis pandeminya, dan masih akan bisa menjadi ancaman bagi kita manakala terjadi sub varian baru yang mungkin sangat infeksius. Itu bisa terjadi, tapi kita berharap tidak.

Memang kekhawatiran masyarakat adalah sebagian dari mereka menghawatirkan bahwa di China, Jepang, itu tinggi kasusnya. Apakah kita tidak buru-buru mencabut itu? Tapi Alhamdulillah sampai hari ini grafiknya menurun. Tapi kita tetap menunggu sampai dengan Januari akhir. Itu karena biasanya setelah Natal dan Tahun Baru atau setelah lebaran sekitar dua, tiga, atau empat minggu baru bisa ditetapkan. Jadi, kalau nanti Januari 2023 ditetapkan aman seperti ini, Insyaallah bisa kita sebut dengan pandemi terkendali di Indonesia.

 

Bagaimana upaya pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona ini atau menghadapi gelombang-gelombang berikutnya ketika PPKM dicabut?

Jadi, semua negara di dunia diingatkan oleh WHO bahwa pandemi masih ada. Jadi, risiko-risiko yang bisa terjadi atau akan terjadi itu harus dikomunikasikan ke masyarakat. Ini adalah upaya yang kita lakukan terus-menerus, termasuk hari ini adalah bentuk edukasi, sosialisasi, dan informasi kepada masyarakat bahwa kita harus tetap berhati-hati. Jadi, artinya warning ini kepada seluruh lapisan masyarakat. 

Pertama adalah dengan protokol kesehatan. Itu karena penularannya bisa dicegah dengan protokol kesehatan. Contohnya, masker, cuci tangan, jaga jarak. Itu intinya kita pertahankan walaupun sangat terkendali. Kedua, dengan vaksinasi. Itu penting karena kita mempertahankan daya tahan tubuh atau antibodi kita agar virus-virus yang akan masuk sekalipun dengan sub varian yang baru, kita tidak terlalu berat sakitnya.

Tentu saja kesiapan pemerintah dalam hal ini di pintu masuk negara itu berhati-hati, terutama negara-negara yang saat ini lonjakan kasusnya sangat tinggi seperti China, Jepang, dan beberapa negara yang lain. Kita perketat itu, tetapi tidak kita perlakukan khusus. Contoh, kita tidak seperti negara lain yang ketika masuk ke Indonesia, hasil PCR-nya harus negatif. Kita tidak seperti itu, tapi tetap harus berhati-hati dan tetap mengingatkan mereka.

Kemudian kesiapan yang lain adalah kita mempunyai Rumah Sakit khusus pasien, kalau tiba-tiba pasiennya banyak lagi, termasuk Wisma Atlet. Satu lagi yang penting, varian ini selalu bermutasi, maka kita ada pemeriksaan yang namanya sequencing. Jadi, kalau ada yang positif, terutama yang dirawat di rumah sakit, kita lakukan sequencing. Siapa tahu ada varian-varian baru yang masuk, atau orang-orang tersebut sakitnya dengan sub varian baru.

 

Di masyarakat ini ada pandangan bahwa ketika PPKM dicabut berarti tidak ada pembatasan-pembatasan. Jadi, bebas masyarakat ingin berkumpul berapa orang atau ingin berpergian ke mana saja. Apakah benar ketika PPKM dicabut tidak ada batasan-batasan lagi dalam kehidupan normal kita?

Jadi, pembatasan itu sudah tidak ada lagi dalam arti kata kita hidup normal. Contoh, kita boleh ke mall, ke kerumunan, kemudian kita dalam acara-acara besar, perbankan, dan pertokoan buka seperti sebelum pandemi, normal saja. Hanya saja diingatkan protokol kesehatan, dan itu tetap harus dilakukan dengan maksud bahwa ini masih ada risiko terjadi penularan. Jadi, kita berterima kasih sekali karena saat Nataru kemarin masyarakat bisa ke tempat rekreasi, tempat liburan, semuanya bisa menikmati, tetapi mereka mempunyai suatu kesadaran, disiplin diri sendiri. Itu sesuatu yang luar biasa bagi masyarakat kita.

 

Jadi kuncinya adalah harus tetap mematuhi protokol kesehatan. Kemudian apa yang harus dilakukan publik ketika melakukan perjalanan, travel, atau berpergian? Apa protokol kesehatan yang harus mereka perhatikan?

Pertama, protokol kesehatan ini sebetulnya menjadi kebutuhan. Jangan dianggap ini suatu mandatori atau kewajiban yang harus ditaati oleh seluruh orang, tapi ini kesadaran sendiri. Untuk itu pakai masker sudah ada aturannya, yaitu kalau kita sedang dalam suatu kerumunan, dalam satu ruangan yang memang tidak jelas orangnya siapa saja, kemudian juga kalau kita sedang sakit, kalau kita dekat dengan orang yang sedang sakit flu, kita harus pakai. Kesadaran ini harus timbul oleh kita semua.

Jadi, jangan sampai saat kita di kerumunan, banyak orang berdesak-desakan, kita tidak pakai masker karena risiko itu ada. Tetapi kalau kita olah raga di alam terbuka, itu aman-aman saja, tidak perlu paranoid. Dan juga apabila di layanan publik seperti perkereta apian, stasiun, kemudian di terminal sebaiknya dipakai. Bukan hanya karena COVID, tapi karena ada penyakit-penyakit menular yang lain. Tentu saja protokol yang lain seperti cuci tangan itu penting karena cuci tangan sekali lagi bukan hanya karena COVID, tapi semua penyakit yang bisa menular melalui kontak tangan. Kemudian jaga jarak dan seterusnya. Sebetulnya itu saja yang perlu kita pikirkan.

 

Kalau secara mudahnya dulu ketika masa PPKM, Kementerian Kesehatan mengkampanyekan untuk mencegah penyebaran COVID itu dengan protokol kesehatan 5 M. Kalau untuk sekarang ini ada berapa M?

Kita tidak perlu terlalu saklek dengan berapa M. Ada yang menyebut 3 M, 5 M, 7 M, itu boleh-boleh saja, tetapi minimal tiga yang harus kita pegang yaitu pakai Masker, Menjaga jarak, dan Mencuci tangan. Kalau yang lain yaitu Menghindari kerumunan, Menghindari mobilitas itu sudah dicabut karena PPKM juga sudah dicabut. Jadi, sekarang ini mobilitas silakan saja ingin kemana saja. Kemudian kerumunan, manakala memang kita perlu datang di dalam suatu keramaian karena ada suatu undangan perkawinan misalnya, maka kita hadir saja tetapi tetap pakai masker.

 

Guna mencegah penyebaran virus corona di pasca pencabutan PPKM ini, ada dua hal penting yang saya garis bawahi, yaitu pertama patuhi protokol kesehatan dan yang kedua tetap melakukan vaksinasi. Apakah program vaksinasi terus dilanjutkan?

Iya, harus dilanjutkan karena kita masih mengawal pandemi ini. Kita betul-betul ingin mengawal pandemi ini dengan parameter-parameter yang terkendali tadi. Salah satunya tadi adalah hospitalisasi rendah atau orang-orang yang dirawat rendah. Itu karena adanya kekebalan dalam tubuh orang tersebut. Apakah itu melalui infeksi yang dialami, yang didapat, atau melalui vaksinasi, sehingga dia tidak perlu masuk ke rumah sakit, cukup di isolasi mandiri. Ini satu yang harus diketahui dan harus disadari.

Jadi, kalau dia masuk rumah sakit, dari data yang ada di Kementerian Kesehatan dan bahkan kalau meninggal, itu kadang memang karena tidak adanya vaksinasi. Sehingga masyarakat harus menyadari betul dua hal tersebut yaitu protokol kesehatan dan vaksinasi. Jadi, vaksinasi ini betul-betul memberikan perlindungan ke kita agar kita tidak terkena sakit yang lebih berat. Jadi, kalau infeksi itu bisa terkena ke siapa saja, seperti flu tapi itu ringan-ringan saja dan tidak sampai berlanjut. Begitu pun vaksinasi, kita bisa saja terkena COVID, tapi tidak berat dan tidak harus masuk rumah sakit.

Saat ini kita sedang prioritas kepada vaksinasi booster pertama atau vaksinasi ketiga. Ini memang masih rendah, tapi pemerintah menjamin ini sudah disiapkan vaksin.  Presiden juga mengajak bagaimana gerakan sentra vaksinasi setelah vaksinasi bisa kita giatkan lagi. Sekali lagi pemerintah dan negara hadir untuk melindungi masyarakatnya dalam hal ini sebagaimana masyarakat betul-betul dapat terhindar dari COVID-19.

 

Ada pertanyaan public juga yang disampaikan kepada kami mengenai vaksinasi yaitu capaian vaksinasinya sudah di atas 70%. Artinya, kalau menurut para pakar kesehatan itu sudah herd immunity. Apakah tidak cukup dengan pencapaian imunisasi sekarang ini? Sebenarnya sampai ke berapa kali harus disuntik booster?

Memang sudah betul tercapai di atas 70%, tapi ini seiring dengan waktu nantinya vaksinasi ini atau antibodi yang terbentuk itu akan turun dengan seiringnya waktu. Jadi, enam bulan dia turun, maka idealnya adalah pemberian vaksinasi itu setelah enam bulan untuk mendapatkan vaksinasi kedua. Sekali lagi, kenapa kita masih vaksinasi? Karena memang masih pandemi, kecuali nanti saat pandemi dicabut. Mungkin nanti untuk vaksinasi bisa seperti vaksinasi yang lain sesuai dengan kebutuhan. Contohnya adalah vaksinasi meningitis yang dulu kita bayar untuk haji dan umrah. Itu tidak dianjurkan untuk masyarakat umum, tetapi bagi masyarakat yang akan umroh dan haji saja.

 

Apakah akan bisa berjalan efektif ketika program vaksinasi terus dijalankan tetapi tidak ada ketentuan seperti dulu saat akan naik pesawat itu ditanya sudah vaksin atau belum dan sebagainya?

Masih Pak, untuk fasilitas-fasilitas publik seperti pesawat, kereta api, kita harus tetap pakai booster, ada kewajiban. Itu penting karena kita ingin melindungi semua. Bukan berarti saat bebas PPKM berarti bebas protokol kesehatan, dan bebas tidak vaksin, bukan begitu. Yang dicabut PPKM adalah pembatasan saja, pembatasan mobilisasi, sehingga tidak perlu lagi ada work from home (WFH), tidak ada lagi batasan jam buka restoran. Jadi, ini satu bentuk bahwasanya kita kembali ke keadaan normal.

 

Masyarakat sudah bertanya-tanya, kapan pandemi dinyatakan berhenti, dan apa indikatornya?

Itu banyak pertanyaan yang disampaikan ke kami, tapi kami sampaikan sekali lagi bahwa pandemi ini kewenangannya ada di WHO. Pandemi ini secara global di seluruh dunia, maka WHO ada kriteria-kriteria yang menetapkan pademi. Dulu ditetapkan pandemi setelah sekian negara terkena, begitu pun nanti pencabutannya ada ketentuan dari WHO, berapa negara yang masih sisa, atau katakanlah tidak terjadi lagi pandemi di daerah masing-masing karena sudah terkendali dengan parameter-parameter tadi.

Jadi, kita tunggu saja dan untuk Indonesia nanti apabila ini terkendali, akan terus direkomendasikan untuk pencabutan kedaruratan. Setelah itu tentu saja kita dan negara-negara lain akan mengusulkan pada WHO secara bersama-sama, dan bagaimanapun WHO yang nantinya akan menentukan bagaimana status pandemi ini di kemudian hari.

Previous
Previous

Next
Next