Wajah Baru Perspektif Baru
Salam Perspektif Baru,
Kali ini tiga co-host dari Perspektif Baru yang hadir berbincang, yaitu Hayat Mansur, Budi Adiputro, dan Inayah Wahid. Kita membahas mengenai Perspektif Baru, setelah tidak ada lagi host utama Wimar Witoelar.
Semua media mempunyai segmennya masing-masing. Kalau kita Perspektif Baru tetap memposisikan sebagai media yang berusaha menyebarkan dan menggali perspektif dari setiap individu atau setiap narasumber.
Jadi, satu hal yang tetap kita pegang itu adalah kita menghadirkan narasumber bukan karena topik itu sedang ramai di publik, bukan karena sedang jadi perbincangan, atau sedang jadi kontroversial. Namun, narasumber yang kita undang adalah kita mau menggali perspektif narasumber tersebut terhadap suatu topik yang kita nilai penting. Kita mencari narasumber itu berdasarkan perspektif seseorang. Dari anak kecil sampai orang dewasa, dari topik seni budaya sampai dengan topik politik, dan sebagainya.
Perspektif Baru menjadi rumah untuk semua orang ketika mereka butuh untuk bicara, mereka tahu mereka bisa bicara di sini. Itu sesuatu yang jauh lebih sustainable karena semua orang akan mempunyai kebutuhan itu, at the end of the day, kebutuhan-kebutuhan itu akan selalu ada. Perspektif Baru menjadi rumah untuk bersama-sama, siapa yang ingin datang ya datang.
Itu menggambarkan bahwa sebenarnya setiap orang mempunya cerita dan setiap orang mempunyai perspektif yang kita tidak pernah tahu. Mereka mempunyai perspektifnya sendiri dan tiap orang perspektifnya berharga.
Berikut dialog Perspektif Baru yang dilakukan tiga co host Perspektif Baru, yaitu Hayat Mansur, Budi Adi Putro, Inayah Wahid.
Kita membahas mengenai Wajah Baru dari Perspektif Baru. Jadi, kali ini co host dari perspektif baru yang hadir berbincang. Selain saya, Hayat Mansur, ada rekan saya Budi Adiputro, dan Inayah Wahid. Apakah Inayah mengetahui atau tidak mengenai awalnya Perspektif Baru (PB)?
Inayah Wahid:
Saya baru mau tanya itu. Jadi, bagaimana awal sejarahnya?
Hayat Mansur:
Awalnya, pada 1994 Wimar Witoelar (WW) menggagas acara Perspektif Talk Show di televisi. Saat itu disiarkan di SCTV. Acara talk show ini menjadi sebuah acara yang fenomenal di Tanah Air. Pada waktu itu formatnya adalah WW sebagai host dengan satu narasumber.
WW mewawancarai untuk menggali perspektif narasumber, tapi yang pasti tidak pernah ada daftar pertanyaan. Itu menjadi alat untuk menyuarakan keinginan publik, yaitu dari orang-orang yang ingin adanya demokrasi di Indonesia tanpa harus demo maka disuarakan melalui Perspektif. Itu pada 1995.
Ada dua wawancara Perspektif di SCTV yang tidak ditayangkan, yaitu wawancara WW dengan Gusdur yang saat itu masih seorang Kyai kondang. Wawancara itu dibredel artinya tidak jadi ditayangkan. Kedua, wawancara WW dengan Benyamin Mangkudilaga, saat itu Ketua PTUN yang memenangkan gugatan majalah Tempo.
Setelah Perspektif dihentikan, pada Januari 1996 WW menggagas acara bernama Perspektif Baru. Pada waktu itu formatnya rekaman radio dan disiarkan di 16 radio yang bermitra, sedangkan transkripnya dimuat di sepuluh surat kabar. Itu untuk menjangkau audien lebih luas. Jadi, Perspektif Baru lahir pada 1996 dan sampai sekarang terus berjalan.
Kendati sudah ada acara Perspektif Baru, namun karena habitat WW di televisi maka WW juga beberapa kali memilliki acara di televisi. Pada 1997 ada acara talkshow di televisi bernama Selayang Pandang sampai tahun 2000. WW juga mendapatkan Panasonic Awards sebagai Host terfavorit. Selain Selayang Pandang, setelah itu ada Wimar World, Gubernur Kita, Perspektif Wimar, Wimar Live, Talk Indonesia dalam bahasa Inggris. Itu beberapa acara TV yang dijalankan WW. Namun, yang terus berjalan sampai sekarang dan yang kita teruskan legacy-nya adalah Perspektif Baru. Selain di Instagram dan Twitter dengan nama Perspektif Baru, kita juga juga ada di media sosial YouTube dengan nama Perspektif Wimar TV.
Inayah Wahid:
Saya mau tanya Budi Adiputro. Kapan Anda mulai bergabung, dan mengapa mau bergabung?
Budi Adi Putro:
Kalau saya menjadi host Perspektif Baru karena, pertama, Jaleswari Pramodhawardani, sudah menjadi pejabat. Kemudian WW sudah bosan menjadi host. Nah, siapa nih anak-anak yang doyan bicara, dan saat itu sudah ada Didit maka disuruh menjadi host. Ini menurut saya, tapi kemudian saya aktif menjadi jurnalis di sebuah stasiun TV, dan juga banyak menjadi moderator publik.
Tentu saja karir saya dalam TV personality sebagai jurnalis televisi itu tidak lepas dari WW dan Perspektif Baru. Pertama kali menjadi host Perspektif Baru, yaitu mewawancarai WW tentang Gus Dur. Saya tegang dan kaku sekali.
Budi Adi Putro:
Tadi Mansur sudah cerita bahwa Perspektif Baru lahir karena tekanan-tekanan. Jadi, karena di TV sudah top, maka saat ditekan kemudian lahir dialog on location yang melibatkan sampai 2.000 ribu penonton pada waktu itu. Kemudian itu juga dipersulit lagi sampai akhirnya membuat acara melalui radio dan surat kabar.
Jadi waktu itu ada lebih dari 200 - 300 radio me-relay wawancara Perspektif Baru di seluruh Indonesia, dan beberapa koran yang mempublikasikan transkripnya. Kalau kita mengambil dari bahasanya Mao Tze Tung, ini seperti desa mengepung kota. Bagaimana Inaya melihat bahwa saat ini kita bertransformasi terus-menerus?
Inayah Wahid:
Kalau saya lihat sekarang semua hal itu disrupsi digital, ada yang tergulung gelombang dan kemudian gagal dan hancur. Menariknya, Perspektif Baru tidak masuk bagian itu. Jadi kalau menurut saya, Perspektif Baru itu adalah bagian yang bisa riding the wave. Meskipun mungkin karena eranya juga sudah beda, mungkin ini bukan sesuatu yang viral, bukan podcast juga, tetapi tetap bisa bertahan dengan bentuk-bentuk yang berbeda dan masih awet disiarkan sampai kapanpun. Ini lebih terjamin kalau dibandingkan dengan yang tiba-tiba tranding tapi begitu ada gelombang yang baru kemudian hilang.
Hayat Mansur:
Inayah, ketika kita menawarkan dan mengajak untuk bergabung menjadi co-host di Perspektif Baru, mengapa Inayah mau menerimanya?
Inayah Wahid:
Yang pasti karena WW. Itu karena kecintaan kita semua terhadap WW. Saya yakin itu adalah faktor yang mengikat semuanya. Menurut saya, ini sesuatu yang penting untuk ada supaya publik mempunyai alternatif tontonan yang berbeda. Jadi, ini benar-benar bisa menjadi alternatif publik untuk mencari Perspektif Baru. Setahu saya, itu menjadi trademark-nya Wimar Witoelar dan menjadi legacy dia. Jadi, saya pikir penting sekali untuk dilestarikan.
Budi Adi Putro:
Benar sekali, namanya saja Perspektif Baru berarti ada hal yang baru, ada hal yang berbeda, ada sesuatu alternatif dari yang sudah sesak di ruang publik, dan Perspektif Baru hadir dengan narasi alternatif.
Menurut Mansur sebagai pengampu program ini, bagaimana Perspektif Baru tetap menghadirkan sesuatu hal yang mungkin banyak publik rasa itu tidak penting atau tidak populer, tapi harus ada dari Perspektif Baru. Jadi, bagaimana cara untuk menghadirkan satu topik, satu narasumber atau satu perspektif yang memang dirasa penting untuk publik?
Hayat Mansur:
Satu hal yang tetap kita pegang itu adalah kita menghadirkan narasumber bukan karena topik itu sedang ramai di publik, bukan karena sedang jadi perbincangan, atau sedang jadi kontroversial. Namun, narasumber yang kita undang adalah kita mau menggali perspektif narasumber tersebut terhadap suatu topik yang kita nilai penting. Kita mencari narasumber itu berdasarkan perspektif seseorang. Dari anak kecil sampai orang dewasa, dari topik seni budaya sampai dengan topik politik, dan sebagainya. Ketika wawancara pun kita sebisa mungkin membuat mereka itu merasa nyaman, bukan merasa diinterogasi. Kita menggali perspektif dia terhadap suatu topik untuk disebarkan kepada publik.
Budi Adi Putro:
Inayah, menurut Anda, bagaimana voice of voiceless itu dalam konteks media sekarang yang Key Performance Indicator (KPI) adalah bola mata yaitu seberapa banyak bola mata yang hadir?
Inayah Wahid:
Pertama-tama kalau untuk bagian voice of voiceless itu saya termasuk yang percaya bahwa betul kita perlu menjadi voice of the voiceless. Tapi sekarang bukan eranya lagi, biarkan saja mereka yang bicara, bukan kita yang bicara. Kita hanya menyediakan panggung dan mic-nya saja. Saya rasa Perspektif Baru melakukan hal tersebut dengan sangat baik.
Jadi, ketika ada orang lain yang lebih suka sesuatu yang clickbait atau viral, tapi sebenarnya tidak ada isinya, hanya biar ramai saja, Perspektif Baru itu adalah sesuatu yang jauh lebih ajek. Dia menjadi rumah untuk semua orang ketika mereka butuh untuk bicara, mereka tahu mereka bisa bicara di sini. Itu sesuatu yang kalau untuk saya jauh lebih sustainable karena semua orang akan mempunyai kebutuhan itu, at the end of the day, kebutuhan-kebutuhan itu akan selalu ada. Meskipun sekarang semua orang mempunyai platform sendiri-sendiri, tapi belum tentu dampaknya sesuai yang diharapkan. Jadi, menurut saya, Perspektif Baru menjadi rumah untuk bersama-sama, siapa yang ingin datang ya datang.
Budi Adi Putro:
Betul sekali, jadi yang mempertemukan kita sebenarnya adalah value dan faktor Wimar juga. Tidak susah sebenarnya karena seperti Jaleswari Pramodhawardhani juga setahu saya opening stage-nya juga dari Perspektif Baru untuk karir publiknya. Jadi, di sini pasti akan seru dan menarik.
Hayat Mansur:
Selama ini format yang telah ada di Perspektif Baru adalah satu host dengan satu narasumber untuk digali perspektifnya terhadap suatu topik atau perspektif dia terhadap bidang yang ditekuni. Menurut Nay dan Didit, bagaimana format yang lebih baik untuk Perspektif Baru ke depannya?
Inayah Wahid:
Ini menarik juga format hari ini kita berbicara bertiga. Saya pikir juga mungkin banyak format yang bisa kita gali sebenarnya. Tapi yang saya suka dari satu host dan satu tamu itu karena memang kita benar-benar ingin menggali perspektifnya, memang karena perspektif ini penting untuk didengarkan meskipun hanya anak-anak, misalnya. Walaupun hanya anak-anak kalau perspektifnya menarik, maka itu bisa menjadi pembelajaran.
Budi Adi Putro:
Setuju, karena menurut saya, kita juga harus tetap melestarikan apa yang sudah dibuat Wimar. Jadi, Wimar sebenarnya membuat set dan standar sejak Perspektif Baru ini pertama kali berdiri sebenarnya untuk jangka waktu yang sangat panjang, untuk tetap bisa relevan. Pertama, wawancaranya one on one artinya menggali lebih dalam dan semakin dalam lagi perspektif orang.
Dulu beberapa wawancara Perspektif Baru pernah dibukukan menjadi dua buku, dan salah satunya berjudul yaitu Mencuri Kejernihan dari Kerancuan. Perlu diketahui bahwa yang menjadi tamu-tamunya adalah beberapa orang biasa, misalnya, Dasih yang merupakan karyawan Wimar. Dia orang biasa, bukan ketua Mahakamah Agung, bukan anggota DPR, ataupun anggota NGO. Dia adalah ibu rumah tangga biasa dan seorang karyawan yang Wimar ingin tahu bagaimana kehidupannya sehari-hari, dan apa saja yang menjadi kesulitannya.
Jadi, Wimar tetap menyuarakan perspektif orang biasa. Itu juga yang menjadi kekuatan dan Wimar sudah memberikan set standar itu. Jadi, menurut saya, perlu juga kita menghadirkan orang-orang biasa, orang-orang yang mempunyai problem mental health, mempunyai problem kegalauan atau percintaan yang dialami oleh puluhan juta orang Indonesia.
Budi Adi Putro:
Inayah, menurut Anda, mengapa Wimar dulu memberikan set standard itu? Misalnya, Wimar wawancara Joki three in one, wawancara Dasih, pengamen jalanan, dan orang biasa lainnya. Namun di episode berikutnya dia mewawancarai Mochtar Lubis, Gus Dur, dan kemudian balik lagi ke orang-orang biasa.
Apa yang Anda baca dari format dan patronnya Wimar dalam membuat perspektif dari pertama sampai kemudian ini menjadi warna Perspektif Baru sampai sekarang?
Inayah Wahid:
Kalau bagi saya, itu menggambarkan bahwa sebenarnya setiap orang mempunya cerita dan setiap orang mempunyai perspektif yang kita tidak pernah tahu. Seseorang itu tidak lebih oke karena dia pernah sekolah lulusan Harvard atau menjadi Valedictorian (pidato perpisahan) di Princeton, atau segala macam. Kemudian yang ibu rumah tangga menjadi less, tidak seperti itu.
Mereka mempunyai perspektifnya sendiri dan tiap orang perspektifnya berharga. Itu yang membuat saya sangat amazed dengan Wimar. Dia bisa membuat orang menjadi bercerita dan mengeluarkan perspektifnya. Tidak semua orang mempunyai kemampuan itu, tidak semua orang bisa membuat orang lain merasa nyaman untuk kemudian bisa bercerita segala macam, dan Wimar mempunyai kemampuan itu. Dia seperti Teddy Bear, seperti teman. Tapi yang kemudian dikeluarkan adalah sesuatu, yang kalau menurut saya, itu adalah Gems yang benar-benar memang harta karun. Bagaimana kalau menurut Mansur?
Hayat Mansur:
Wimar mempunyai kemampuan yang unik. Saya pernah mewawancarai seorang petani yang tidak pernah diwawancarai oleh media, dan ternyata itu sulit untuk kita menggali perspektifnya dan untuk membuat dia merasa nyaman, sehingga suasana tegang itu ada. Wimar sangat bias untuk membuat narasumber itu tenang dan nyaman.
Wimar adalah seorang spesialis yang menguasai semua bidang, sedangkan kita adalah seorang general yang menguasai satu bidang. Misalnya saya, sekarang sedang tertarik mengenai isu lingkungan, perubahan iklim, dan masyarakat adat, sehingga topik-topik itu yang menjadi minat saya. Tapi kalau Wimar bicara semua topik, dan dia bisa menggali perspektifnya.
Budi Adi Putro:
Betul sekali. Saya juga sebagai jurnalis politik, mengikuti isu-isu politik, demokrasi, kebebasan, dan pluralism juga. Sebenarnya itu melanjutkan apa yang Wimar dulu tanamkan. Jadi, saya sebenarnya tidak jauh-jauh dari value-nya Wimar. Dimana saya percaya bahwa demokrasi harus terus menerus disuarakan. Salah satu tonggak pentingnya itu tentu saja bagaimana kita mengawal keberagaman dan pluralism di Indonesia. Kita hadir untuk menyuarakan.
Zaman dulu Gus Dur dan Wimar yang bicara atas nama Ahmadiyah, Baha’i, dan orang Tionghoa. Sekarang adalah waktunya kita memberikan mic ke mereka supaya mereka yang bicara sendiri, mereka yang menyuarakan isi hati sendiri. Jadi jangan sampai ada distorsi. Menurut saya, perkembangan itu yang kita harus akomodasi, tetap dengan tag line demokrasi, kebebasan, dan pluralisme.
Kalau Inayah, apa yang belakangan ini sedang diperjuangkan?
Inayah Wahid:
Sebenarnya tidak jauh beda dengan Didit, sama mengenai demokrasi juga karena itu menjadi sesuatu yang sepertinya hari ini menjadi benar-benar perlu untuk diperjuangkan. Selain karena ada orang-orang yang memang secara sadar dan secara sengaja ingin mengganti demokrasi dengan yang lain, tapi juga karena ada orang-orang yang kemudian nge-hack demokrasi. Ini yang benar-benar parah.
Dia bentuknya seakan-akan demokrasi tapi sebenarnya dia nge-hack, sebenarnya dia hanya menunggangi saja untuk kepentingannya sendiri. Ini juga bahaya laten. Mungkin secara bentuk inginnya demokrasi, tapi kemudian mendapatkan keuntungan atau memang sebenarnya juga punya kepentingan tertentu juga, sehingga kemudian dia hack saja. Kelompok-kelompok itu yang kesannya membawa demokrasi, padahal tidak. Seperti yang Didit tadi katakana bahwa kita semua boleh bersuara dengan tenang. Tapi apakah benar seperti itu?
Kemarin baru saja Gusdurian Jakarta dan Jaringan Gusdurian, bekerja sama dengan Kontras membuat mural di Pesantren Ciganjur. Salah satu muralnya bergambar Gus Dur dengan quotes-nya dan sedikit twist, quotes-nya kita ganti menjadi “Gitu aja kok ditangkap”. Itu adalah bentuk bahwa ada orang-orang yang kesannya demokratis, tapi belum tahu benar atau tidaknya. Jangan-jangan hanya nge-hack saja atau nunggang saja.
Kedua, yang lagi banyak dibicarakan juga adalah isu perempuan terutama karena ini bagian dari kesetaraan. Maksudnya adalah jangankan gender yang lain, perempuan saja sekarang masih mengalami perjuangan berat sekali. Itu salah satu yang lagi diperjuangkan. Itu karena ternyata memang belum semerdeka itu dan belum sesetara itu.
Budi Adi Putro:
Kalau ada Jaleswari sekarang, kita bisa tanya perkembangan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sekarang sudah sampai tahap konsinyering, dan tahun ini targetnya Desember nanti diketok. Mudah-mudahan kita di Perspektif Baru bisa hadir untuk mengawal ini.
Inayah Wahid: Setuju.
Budi Adi Putro: Bagaimana Mansur?
Hayat Mansur:
Dalam tujuh tahun terakhir ini saya lebih banyak menekuni isu-isu soal lingkungan, khususnya perubahan iklim karena satu persoalan utama yang sangat mengkhawatirkan dan bisa memusnahkan semua kehidupan itu adalah isu perubahan iklim. Kalau perubahan iklim terus makin menjadi kenyataan, tidak ada satu negara pun yang akan selamat, tidak ada kehidupan yang dapat selamat dari perubahan iklim. Jadi saya sangat-sangat concern untuk mengikuti itu termasuk isu-isu turunannya di emisi karbon, upaya mitigasi dan adaptasi.
Isu-isu lingkungan ini kalau di media utama, media mainstream atau katakanlah di televisi, itu jarang sekali diangkat karena mungkin tidak seru, tidak ada dramanya, dan tidak ada kontroversialnya. Tapi isu ini, perspektif ini harus tetap disebarkan kepada publik karena publik yang memahami isu ini akan mendukung upaya kita untuk bisa memitigasi perubahan iklim, dan upaya kita untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Kalau menurut saya, Inayah selain mendalami isu perempuan, isu kebebasan beragama dan keyakinan, sepertinya juga isu mengenai fashion karena dari sisi rambut, dari sisi pakaian sangat-sangat fashion, tapi sepertinya juga tidak mau mengakui.
Inayah Wahid:
Iya, seni budaya apa pun seninya saya suka. Karena juga sebagai salah satu pelaku seni dan saya juga masih acting di teater, wayang, dan di TV. Jadi, saya terima panggilan apa pun.
Budi Adi Putro:
Pokoknya Perspektif Baru ini menarik. Harusnya menjadi katarsis (pelepasan emosi atau keluh kesah yang tersimpan di dalam batin – Red) dan menjadi suara yang sebelumnya tidak bisa disuarakan oleh media-media yang ada. Makanya kemudian media alternatif menjadi berkembang.
Hayat Mansur:
Sebenarnya semua media mempunyai segmennya masing-masing, tergantung dia mau memposisikannya seperti apa. Ada media yang memposisikan sebagai corong pemerintah. Kalau kita Perspektif Baru tetap memposisikan sebagai media yang berusaha menyebarkan dan menggali perspektif dari setiap individu atau setiap narasumber.