Pesan Khusus Film Invisible Hopes

Salam Perspektif Baru,

Pada April tahun ini telah diluncurkan sebuah film dokumenter berjudul Invisible Hopes. Film dokumenter tersebut menceritakan kisah nyata mengenai seorang perempuan hamil dan anak-anak yang harus lahir dan besar di balik jeruji penjara. Hari ini kita membicarakan permasalahan tersebut dengan narasumber seorang produser dan juga sutradara dari film Invisible Hopes yaitu Lamtiar Simorangkir.

Menurut Lamtiar, tujuan utama dibuatnya Invisible Hopes adalah supaya film ini bisa dipakai sebagai alat diskusi. Kita menciptakan ruang yang aman untuk berdiskusi, kita bukan untuk menyalahkan pihak manapun. Kita pakai sebagai alat diskusi, sebagai informasi untuk mencari solusi yang lebih baik bagi kondisi ibu hamil terutama anak-anak yang lahir dalam penjara. Pada akhirnya kita harus mempunyai point of view yang sama bahwa orang harus tahu tentang ini. Jadi mereka juga ingin suaranya didengarkan, ingin ada perhatian, terutama untuk anak mereka.

Kondisi perempuan hamil dan anak–anak yang lahir dalam penjara harus mendapat perhatian dari negara, dan masyarakat juga tentunya. Ini kami buat sebagai call for action untuk kita semua. Jadi, harus ada langkah dan tidak lanjut yang konkret dari negara dan masyarakat.

Call for action konkret untuk masyarakat yang paling mudah dilakukan adalah kami selalu sampaikan, tidak perlu uang, tidak perlu biaya, tapi ketika kita tahu ada anak yang dulunya lahir dalam penjara jangan di stigma karena stigma yang berkembang sekarang sangat jelek. Justru kita harus merangkulnya. Kemudian jika mempunyai waktu, kami mohon Anda pergi ke Lapas atau Rutan terdekat untuk mengecek apakah di sana ada ibu hamil dan anak. Jika ada, tolong dibantu. Mereka pasti sangat butuh bantuan.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Lamtiar Simorangkir.

Dari mana Anda mendapatkan ide membuat film berjudul Invisible Hopes?

Sebelumnya saya akan sedikit menjelaskan mengenai latar belakang kita lebih dulu. Jadi, saya memiliki komunitas bernama Lamhoras Film, yang terbentuk pada 2016. Pada saat itu saya dengan beberapa orang teman mempunyai kerinduan. Kita adalah kru film, kita sedang merasa capek kerja, hasil filmnya bagus, tapi message-nya kurang. Jadi, kita terpikir untuk membuat film yang mempunyai message yang kuat.

Kebetulan saya memang orang yang suka dengan isu kesetaraan gender dan juga hak anak, saya merasa itu penting untuk diangkat. Akhirnya pada 2017 kita merilis satu film pendek fiksi, basically berbicara mengenai hak seorang perempuan. Waktu itu lumayan banyak diputar dan ditonton oleh para aktivis. Kemudian saya mendapat informasi dari penonton bahwa dalam penjara itu banyak anak lahir dan besar dalam penjara. Saya kaget sekali karena sebelumnya saya tidak tahu hal itu.

Jadi, bukan karena Anda datang ke penjara kemudian melihat kenyataan itu?

Bukan, mungkin karena kami selalu menyampaikan ingin mengangkat isu-isu penting, cerita penting, sehingga penonton kami menyampaikan itu. Sebelum tahu hal itu, saya pikir kalau ibu hamil itu ada penangguhan atau dispensasi.

Akhirnya, saya mengunjungi salah satu penjara, dan benar memang ada anak-anak di situ. Mereka tinggal dalam satu sel dengan narapidana dewasa dan dikunci. Kemudian saya bertemu satu anak, waktu itu dia belum sampai dua tahun umurnya. Anak ini kebetulan di penjara hanya sendiri, teman-temannya sudah pada pulang. Kemudian kita mengobrol.

Lalu, mengapa saya sampai membuat film Invisible Hopes? Itu karena saya ingin menceritakan bahwa anak ini tinggal dalam satu sel dengan 42 orang narapidana. Saya tidak bisa membayangkan itu, bagaimana bisa ada 42 orang narapidana dewasa dengan satu anak kecil.

Ketika saya sedang mengobrol dengan anak itu, tiba-tiba bel penjara bunyi dan dia kiss bye ke saya kemudian pergi. Saya bertanya-tanya kenapa, ternyata kata petugasnya, dia sudah tahu bahwa itu artinya dia harus masuk sel. Rasanya saya ingin menangis mendengar itu. Karena ini berarti dia memposisikan diri sebagai narapidana, padahal masih anak kecil. Saya bilang, “Wah ini tidak benar”.

Akhirnya saya mengumpulkan beberapa teman karena komunitas kami best on volunteer. Jadi saya kumpulkan, kemudian ada teman yang bersedia untuk mengangkat itu. Tadinya, idenya hanya sederhana, kita ingin orang tahu, semua orang yang seperti kita yang tadinya tidak tahu harus tahu bahwa ada anak dan banyak yang lahir dan besar di penjara.

Mengapa Anda akhirnya memberi judul film ini dengan Invisible Hopes yang artinya harapan-harapan yang tak terlihat?

Jadi, ketika kita akhirnya mulai membuat film ini tadinya hanya ingin menunjukkan bahwa ada anak yang lahir dan besar dalam penjara. Ternyata ketika kita mulai syuting dan mulai riset lebih serius, kita menemukan bahwa masalahnya tidak se-sederhana itu. Ketika seorang perempuan hamil ditangkap, kemudian masuk penjara. Kebanyakan mereka itu keluarganya tidak bisa menopang kebutuhannya dalam penjara.

Kondisi mereka dalam penjara sangat tidak layak, ibu hamil ketika melahirkan, mereka harus membiayai hidupnya sendiri dalam penjara dan membiayai anaknya. Mengapa kebanyakan keluarganya itu tidak mau menerima anak tersebut atau tidak sanggup? Itu karena memang rata-rata mereka dari keluarga menengah ke bawah. Bahkan ada juga yang suami-istri masuk penjara semuanya, ini sangat kompleks. Dari situlah kita melihat ini adalah suatu kondisi yang sangat luar biasa memprihatinkan yang seolah-olah tidak ada harapan untuk anak-anak ini.

Tadinya kita berpikir untuk memberikan judul film ini adalah Invisible Victim yaitu korban terselubung. Itu Karena anak-anak ini sebenarnya adalah korban terselubung yang banyak orang tidak lihat, mereka itu ada di dalam penjara orang dewasa. Kebanyakan orang suka berpikir bahwa penjara orang dewasa hanya untuk dewasa dan penjara anak hanya untuk anak. Tapi masalahnya ini ada anak dalam penjara orang dewasa.

Kemudian kita berpikir kalau kita fokus dengan victim seperti tidak ada harapan. Dengan adanya film ini kita berharap bisa membawa harapan untuk anak-anak, sehingga kita sebut Invisible Hopes. Mungkin saat ini masih invisible, tapi melalui film ini kita ingin hopes bisa menjadi visible.

Film ini merupakan film dokumenter, teknik pengambilan gambarnya tentu sangat berbeda. Bagaimana cara pengambilan gambar ini sehingga bisa menceritakan secara nyata kehidupan perempuan hamil dan anak-anak yang terpaksa harus hidup di balik jeruji penjara?

Awalnya ketika kita tahu tentang ini, saya sebagai seorang sutradara langsung berpikir mau dibuat secara naratif (fiksi) atau dibuat dokumenter. Akhirnya saya memutuskan untuk dibuat dokumenter karena orang harus melihat secara nyata. Kalau kita buat skenario untuk menjadi fiksi, meskipun based on true story, itu akan kurang menggerakkan penonton. Jadi, kita memutuskan untuk membuat documenter, dan saya memutuskan cinema verite.

Cinema verite adalah observasi, dimana kita mengikuti keseharian mereka yaitu para ibu hamil dan anak-anak. Jadi, benar-benar keseharian mereka. Kalau dalam bayangan penonton, kebanyakan dokumenter itu hanya interview-interview, ini tidak. Kita memilih yang namanya observasi. Jadi, kegiatan mereka, pergumulan mereka seperti apa, kehidupan mereka sehari-hari seperti apa, itu yang kita tunjukkan supaya bisa lebih menggerakkan penonton.

Apakah yang Anda gambarkan di film tersebut memang sudah mencerminkan kehidupan nyata para perempuan hamil dan juga anak-anak tersebut atau itu baru sebagian kecil dari persoalan dan permasalahan yang mereka hadapi?

Basically sudah tercakup banyak di sana, tapi kita tahu film itu hanya 1 jam 45 menit. Jadi, tidak bisa memperlihatkan semuanya. Kita syuting itu selama enam bulan dan materinya saja bisa sampai enam Tera Byte (TB), tidak mungkin masuk semua. Tetapi yang kita masukkan adalah bagaimana isu yang sangat berat ini, yang banyak orang belum tahu ini bisa diakses masyarakat luas dan itu menarik dalam bentuk film.

Jadi, hal-hal yang paling urgent itu yang kita masukkan melalui sebuah cerita. Film itu adalah story driven, ada ceritanya, tokoh utamanya, bukan interview. Melalui kehidupan si tokoh utama ini bisa memperlihatkan kehidupan di penjara. Tentu tidak semua kehidupan ibu-ibu yang ada dalam penjara, yang kami shooting itu masuk dalam film.

Kalau dibilang secara materi di film itu baru 10% dari yang kita shooting, tetapi poin-poin penting sudah ada disana. Jadi kita memang perlu diskusi-diskusi supaya bisa lebih menginformasikan kepada masyarakat seperti apa lebih detailnya kehidupan di penjara. Kemudian juga ada masalah sensor, jadi kita tahu kehidupan di penjara itu berat, kasar, sehingga kita harus mengurangi hal-hal seperti itu supaya bisa lulus sensor.

Tolong ceritakan mungkin 40% atau 50% sisanya lagi kepada kami, untuk pembaca maupun pemirsa acara ini supaya lebih jelas mengetahui bagaimana sulitnya persoalan mereka di dalam penjara tersebut.

Tidak akan cukup waktunya kalau kita membahas yang 40% karena yang 10% saja filmnya hanya 1 jam 45 menit. Tapi sebagai gambaran, mungkin saya sampaikan dulu buat yang belum menonton filmnya bahwa memang dalam penjara itu tidak ada perlakuan khusus bagi narapidana hamil dan anak. Kita tahu bahwa penjara di Indonesia itu overcrowded atau berdesak-desakan dan tidak ada anggaran khusus untuk kebutuhan Ibu hamil dan anak.

Ibu hamil itu mempunyai kebutuhan yang berbeda dan sangat berbeda, tetapi contoh kecilnya, untuk makan saja mereka disamakan dengan narapidana lain. Dimana yang kita tahu bahwa kondisi makan dalam penjara kami menyebutnya “rasa syukur” karena tidak ada rasanya, apalagi gizinya. Jadi hanya bisa bersyukur saja.

Yang paling kita kaget adalah anggaran untuk anak pun tidak ada sama sekali, di sini ibunya yang harus menyediakan. Kondisi ini yang kita lihat secara sosial, secara pisikologi, dan secara kebutuhan fisik itu tidak ada perlakuan khusus bagi Ibu hamil dan anak-anak. Inilah yang membuat kita sangat miris karena anak-anak pun diperlakukan sama seperti narapidana.

Ada beberapa contoh yang tidak masuk dalam film juga, seperti kita tahu kehidupan di penjara itu lumayan keras, pasti ada yang bertengkar dan segala macam. Hal seperti itu tidak mungkin kita masukkan dalam film karena tidak akan lolos sensor. Kemudian sudah menjadi rahasia umum juga bahwa teman-teman di sana kehidupannya banyak yang lesbian, tapi kami tidak boleh memasukkannya dalam film karena tidak akan lulus sensor.

Ada juga sekitar hampir 50 orang Ibu hamil selama kami shooting yang background-nya tidak bisa dimasukkan semua. Misalnya alasan kenapa mereka masuk, permasalahannya apa, ada yang ternyata hamil dengan sesama tahanan waktu di Polda, dan sebagainya. Jadi, kita harus fokus di satu cerita dan satu tokoh yang bisa membawa film ini sampai akhir, dan secara garis besar menunjukkan kehidupan Ibu hamil dan anak dalam penjara.

Dalam shooting ini, Anda melibatkan sosok perempuan hamil dan anak. Bagaimana Anda bisa membujuk mereka untuk mau diekspos karena saya yakin tentu ini tidak mudah?

Iya, itu sangat tidak mudah. Yang pertama, mendapatkan izin itu tidak mudah. Kita harus mendapat izin dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), kita harus pendekatan lagi ke petugas, kemudian setelah itu harus pendekatan lagi ke narsum. Ini sangat luar biasa dan memang unik sekali shooting dalam penjara ini. Sering juga orang bertanya, “Kok kamu bisa sampai masuk sel?”

Yang berat adalah pertama-tama ketika kita bertemu dengan ibu-ibu hamil, itu tidak ada yang mau bicara dengan kita karena mereka takut. Mereka mengira bahwa kita adalah mata-mata petugas, terutama yang masih di rumah tahanan (Rutan). Di dalam rutan posisi mereka masih proses peradilan. Jadi, mereka takut kita mata-matanya polisi, atau penyidik, atau mata-mata petugas. Kemudian kita meyakinkan mereka mengenai siapa kita dan apa tujuan film ini.

Hari pertama, saya ingat, hanya satu orang ibu hamil yang mau mengobrol dengan kami di ruang tempat kunjungan. Kita sampaikan maksud dan tujuannya, mungkin dia pun juga menyampaikan ke temannya. Yang paling membuat mereka yakin adalah saya mengatakan bahwa ini untuk kebaikan mereka dan ibu-ibu hamil berikutnya yang akan masuk penjara dan anak-anak. Apapun yang mereka sampaikan kepada kami itu adalah confidential.

Mereka takutnya ketika habis shooting kemudian materi ini dilihat petugas. Jadi saya bilang tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Kami di sini punya independensi. Akhirnya mereka percaya dan besoknya dua orang datang, besoknya lagi ada tiga orang datang, kita bertemu hingga akhirnya bisa seakrab seperti yang di film itu dan jadi seperti teman.

Apakah Anda sering menangis saat shooting tersebut mendengar kisah mereka karena menurut saya ini sangat sedih sekali?

Iya, dalam hati. Secara psikologis itu sangat menantang, kondisinya adalah kami yang masuk itu terbatas, tidak boleh ramai dan harus hanya perempuan. Kebetulan saya sebagai pimpinan project ini, jadi saya harus kuat. Jadi selama shooting itu, ketika ingin menangis harus dalam hati.

Teman-teman saya banyak yang down, jadi per berapa hari off dulu karena mungkin tidak sanggup melihat, apalagi melihat anak-anak. Ada juga crew kami yang mempunyai anak, baru satu hari shooting sudah minta off. Jadi, ya seperti itu yang membuat ini lumayan berat.

Kalau saya sendiri selama shooting berusaha untuk tetap kuat. Tapi saya terasanya setelah shooting, setelah selesai enam bulan, mungkin juga itu karena lelah secara fisik dan secara psikologis. Jadi butuh hampir dua bulan untuk pemulihan.

Setelah film ini selesai, bagaimana tanggapan dari para perempuan hamil yang ada di penjara ketika menonton film ini, dan bagaimana pendapat para penonton yang disampaikan kepada Anda mengenai film ini?

Kalau ibu-ibu kebanyakan masih ada di dalam Rutan, jadi belum lihat. Tapi ada yang sudah keluar, waktu itu ada beberapa orang yang kadang kita ajak sebagai narsum, lalu dia melihat filmnya dan menangis. Dia melihat film itu dan teringat lagi kehidupan di penjara. Mereka sangat bersyukur itu bisa diangkat.

Yang menjadi sangat positif adalah pada akhirnya kita mempunyai point of view yang sama bahwa orang harus tahu tentang ini. Jadi mereka juga ingin suaranya didengarkan, ingin ada perhatian, terutama untuk anak mereka. Jadi, ini sangat positif.

Kalau dari penonton, tentu mayoritas dari mereka kaget karena banyak yang belum mengetahui ternyata ada anak yang lahir dan dibesarkan dalam penjara, dan kondisinya seperti itu, seperti yang dalam film. Mungkin saya tidak perlu detail, karena nanti jadi spoiler bagi yang belum nonton.

Intinya adalah bahwa ini sesuatu yang sangat baru dan memang sangat penting. Bahkan kami pun kaget karena ternyata kondisinya seperti ini. Ini harus mendapat perhatian dari negara, dan masyarakat juga tentunya. Ini kami buat sebagai call for action untuk kita semua. Jadi, harus ada langkah dan tidak lanjut yang konkret dari negara dan masyarakat.

Apa langkah konkret dari negara dan masyarakat yang Anda harapkan melalui cerita yang Anda angkat dalam film ini?

Jadi, memang tujuan utama dibuatnya film ini adalah supaya film ini bisa dipakai sebagai alat diskusi. Kita menciptakan ruang yang aman untuk berdiskusi, kita bukan untuk menyalahkan pihak manapun. Kita pakai sebagai alat diskusi, sebagai informasi untuk mencari solusi yang lebih baik bagi kondisi ibu hamil terutama anak-anak yang lahir dalam penjara.

Kalau call for action konkret untuk masyarakat, yang paling mudah dilakukan adalah kami selalu sampaikan, tidak perlu uang, tidak perlu biaya, tapi ketika kita tahu ada anak yang dulunya lahir dalam penjara jangan di stigma karena stigma yang berkembang sekarang sangat jelek. Justru kita harus merangkulnya. Kemudian jika mempunyai waktu, kami mohon Anda pergi ke Lapas atau Rutan terdekat untuk mengecek apakah di sana ada ibu hamil dan anak. Jika ada, tolong dibantu. Mereka pasti sangat butuh bantuan.

Yang ketiga, tentunya advokasi dari negara. Ini yang kami sedang lakukan, kami sedang berusaha bertemu dengan beberapa Kementerian. Kami sudah bertemu dengan Ibu Bintang dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (KPPA). Kami masih ingin bertemu dengan Yasonna dari Kemenkumham, lalu dari Kemensos, dan Kementerian Kesehatan. Mereka harus melihat filmnya supaya melihat kondisi real.

Kami kaget juga, kemarin ketika bertemu Ibu Bintang, beliau bilang tidak tahu ada anak lahir dalam penjara orang dewasa. Ini berarti perlu kita informasikan dan perlu kita cari solusi bersama. Jadi, ini yang sedang berjalan saat ini.

Previous
Previous

Next
Next