PLTA Topang Pertumbuhan Energi Terbarukan
Salam Perspektif Baru,
Saat ini banyak negara di dunia antara lain China, India, Singapura, Inggris serta sejumlah negara Eropa menghadapi krisis energi yang mengakibatkan pembangkit listrik mereka terancam berhenti total. Krisis energi ini diakibatkan karena minimnya pasokan energi fosil seperti batu bara dan gas alam, dan juga karena lonjakan harga dari energi fosil tersebut. Krisis energi ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua untuk fokus mengembangkan energi terbarukan dan juga melakukan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Jadi, hari ini kita bahas topik tersebut dengan Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Menurut Chrisnawan, transisi energi merupakan salah satu komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi. Dalam transisi energi ataupun menuju net zero emissions, kita merencanakan untuk mengurangi penggunaan fosil secara bertahap sambil juga kita mengembangkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang kita miliki sangat berlimpah.
Kalau untuk mid term, dimana Menteri ESDM sudah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Persero periode 2021 - 2030, terlihat bahwa pembangkit energi baru terbarukan yang dikembangkan terbesar sampai periode 2030 adalah hidro dengan total kapasitas 10,4 giga watt (GW). Kemudian diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 4,7 GW, kemudian baru diikuti oleh pembangkit energi terbarukan lainnya. Tetapi untuk periode jangka panjang di energi transisi kita sampai dengan 2060 dominasinya nanti adalah PLTS dan hidro. Itu yang akan menopang pasokan kebutuhan listrik kita jangka panjang.
Pembangkit hidro ini sangat-sangat mampu mengurangi emisi. Untuk perhitungan cepat taruhlah kalau 1 MW hidro dengan kapasitas vektornya adalah 65 dikalikan dengan faktor emisi di Jawa. Emisi nasional rata-rata adalah 0,85 dikalikan juga 8.760 maka bisa berpeluang menghasilkan 483.000 ton CO2 yang bisa dikurangkan.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Chrisnawan Anditya.
Krisis energi yang terjadi di banyak negara saat ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua untuk segera fokus mengembangkan energi terbarukan dan juga melakukan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan. Saat melihat kondisi negara kita, apakah Indonesia akan mengalami krisis energi juga seperti China, India, Singapura, Inggris, dan sejumlah negara Eropa?
Tadi sudah disampaikan oleh Anda bahwa memang salah satu pemicu adanya krisis di beberapa negara seperti United Kingdom (UK) dan China adalah karena tingginya permintaan energi yang tidak dibarengi dengan ketersediaan pasokan. Jadi, ini juga menjadi warning bagi kita semua karena di masa pandemi semua demand relatif turun atau rendah, tetapi sekarang berangsur-angsur meningkat. Ini yang harus dibarengi dengan kesiapan dari pada pasokan energi.
Kalau kita lihat di Inggris, ini terkait dengan fluktuasi harga gas yang tinggi dan itu juga memicu pasokan listrik mengalami kenaikan, serta juga adanya kelangkaan energi. Sedangkan di China akibat penurunan dari PLTU batu baranya. Kemudian juga adanya penghentian dari pemerintah China, dan pasokan dari Australia yang menyebabkan harga batubara juga melonjak tinggi.
Di Indonesia, kami di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mencermati salah satunya untuk memitigasi agar tidak terjadi kondisi tersebut di negara kita. Setiap hari kita ada laporan dan ini sudah berjalan cukup lama. Laporan ini terkait dengan kondisi sistem kelistrikan dan laporan terkait pasokan bahan bakar minyak (BBM). Contoh, di kelistrikan ada tiga kondisi yaitu normal, siaga, dan difisit. Ini yang kita kontrol. Misal, mengapa bisa terjadi defisit? Apabila kondisinya siaga, mengapa bisa seperti itu?
Di satu sisi, dalam transisi energi juga kita merencanakan untuk mengurangi penggunaan fosil, tetapi itu dilakukan tidak serta merta. Itu secara bertahap sambil juga kita mengembangkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang kita miliki sangat berlimpah.
Melalui strategi untuk memonitor kondisi perkembangan supply dan demand, kemudian dilakukan transisi secara bertahap, kita harapkan Insya Allah kondisi krisis yang terjadi di beberapa negara tidak terjadi di Indonesia.
Bagaimana arah strategi untuk transisi energi ini di Indonesia?
Jadi, untuk transisi energi ini merupakan satu bagian dari komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi. Ini juga sesuai dengan arahan presiden mengenai komitmen Indonesia pada saat COP 21, kemudian Leaders' Summit on Climate, dan pidato kenegaraan yang ingin menuju transformasi menuju EBT.
Dalam menuju net zero emissions ataupun menuju transisi energi, beberapa hal yang akan dilakukankan dan strateginya adalah peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan. Kemudian kita juga berupaya untuk mengurangi energi fosil.
Bagaimana pengurangan energi fosil ini? Salah satunya adalah melalui carbon tax and trading, melakukan co-firing PLTU dengan EBT, kita juga memiliki program untuk melakukan retirement terhadap beberapa PLTU, kemudian kita mendorong kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan juga akan memanfaatkan teknologi Carbon Capture and Storage.
Apabila saya dapat mengelaborasi lebih lanjut di dalam transisi nya, di tahun ini kita harapkan ada beberapa regulasi seperti Perpres EBT, kemudian Perpres terkait retirement PLTU dan konversi PLTD ke Gas itu dapat selesai. Pada 2022, Undang-undang EBT kita harapkan dapat juga diterbitkan, sehingga pada 2025 porsi EBT kita bisa mencapai 23%.
Nanti di tahun-tahun berikutnya atau periode-periode berikutnya EBT juga semakin meningkat. Di satu sisi PLTU akan juga dilakukan penghentian dan satu sisi yang lainnya EBT kita tingkatkan, sehingga pada 2060 kita harapkan porsi EBT di pembangkit listrik kita bisa mencapai 100% dari energi baru terbarukan.
Apa energi terbarukan yang menjadi fokus untuk ditingkatkan di Indonesia?
Indonesia dapat kita katakan sebagai The Blessing Country karena semua potensi energi baru terbarukan kita miliki. Salah satunya adalah surya dan ini sangat besar, kemudian kita mempunyai panas bumi, kemudian kita juga akan mengembangkan tenaga air, kita juga mempunyai bayu, dan yang tidak kalah pentingnya juga kita akan ikut mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Dari banyak pilihan tersebut, apa tiga prioritas yang akan dikembangkan? Apakah surya, air, atau angin?
Kalau untuk mid term, dimana Menteri ESDM sudah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Persero dari 2021 sampai 2030, terlihat bahwa pembangkit energi baru terbarukan yang dikembangkan terbesar sampai periode 2030 adalah hidro dengan total kapasitas 10,4 giga watt (GW). Kemudian diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 4,7 GW, kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas 3,3 GW, baru diikuti oleh pembangkit energi lainnya seperti bayu, biomas, dan sebagainya.
Tetapi untuk periode jangka panjang di energi transisi kita sampai dengan 2060 dominasinya nanti adalah PLTS dan hidro. Itu yang akan menopang pasokan kebutuhan listrik kita jangka panjang. Kita perlu pahami juga bahwa PLTS memiliki sifat intermitensi. Jadi, untuk mengatasi sifat intermitensi itu kita juga akan mendorong pengembangan energy storage seperti pump storage, baterai, hydrogen, fuel Cell agar PLTS dapat beroperasi secara berkesinambungan.
Bagaimana potensi dari tenaga hidro, dan apa contoh PLTA yang akan dikembangkan dalam 10 tahun terakhir ini?
Kalau kita lihat potensi hidro di Indonesia cukup besar yaitu kapasitasnya sampai dengan 94 GW, tetapi pemanfaatannya masih kecil yaitu 6,2 GW. Kita melihat di satu sisi potensi kita sangat besar, tapi utilisasinya masih kecil.
Banyak sekali pembangkit-pembangkit hidro yang kita sedang kembangkan salah satunya yang mungkin terbesar ada PLTA Poso Peaker 515 MW di Sulawesi. Kemudian kita juga akan melakukan beberapa pembangunan, ada PLTA Batang Toru yang cukup besar juga di Sumatera Utara.
Kita juga akan kembangkan yang kita kategorikan juga hidro yaitu pump storage, ini juga sebagai energy storage. Ketika siang hari dia dipompakan airnya untuk disimpan dan ketika malam hari baru dioperasikan untuk memikul beban puncak. Ini kapasitasnya juga sangat besar salah satunya di Jawa Barat adalah pump storage hydro Cisokan yang kapasitasnya sampai 1.000 MW.
Penggunaan energi terbarukan dari air ini selain untuk ketahanan energi, juga tentu untuk pengurangan emisi karbon. Berapa emisi karbon yang bisa kita kurangi kalau kita menggunakan PLTA?
Betul sekali, untuk pembangkit hidro ini sangat-sangat mampu mengurangi emisi. Untuk perhitungan cepat taruhlah kalau 1 MW hidro dengan kapasitas vektornya adalah 65 dikalikan dengan faktor emisi di Jawa. Emisi nasional rata-rata adalah 0,85 dikalikan juga 8.760 maka bisa berpeluang menghasilkan 483.000 ton CO2 yang bisa dikurangkan.
Apa keuntungan dari kita memanfaatkan energi air ini dibandingkan dengan energi-energi lainnya?
Pertama, kita lihat dari segi potensi, Indonesia bisa kita katakan sebagai Blessing Country karena memiliki semua potensi EBT. Salah satunya adalah hidro dengan potensi bisa mencapai 94 GW karena kita memiliki banyak sungai-sungai. Di satu sisi memang pembangkit hidro ini memiliki kapasitas yang besar, dan bisa dibangun dengan kapasitas bervariasi, mulai dari kapasitas kecil sampai yang besar. Kapasitas satu megawatt ataupun di bawah satu megawatt, sampai skala besar yang saat ini yaitu 500 megawatt. Ini juga memberikan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan demand.
Contoh, ketika di suatu wilayah yang demand nya hanya sedikit dan di situ ada aliran sungai, maka bisa dikembangkan pembangkit listrik tenaga mikro hidro untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika dibutuhkan kapasitas besar, itu juga bisa dilakukan dengan melakukan pembuatan dam ataupun waduk kemudian juga mensuplai pembangkit yang besar.
Salah satu keuntungannya juga adalah pembangkit hidro ini bisa beroperasi 24 jam. Walaupun memang typically-nya bukan sebagai peaker, tapi ada beberapa pembangkit hidro yang dioperasikan untuk beban puncak seperti contoh di Jawa ada Jatiluhur, Cirata juga sekarang dioperasikan sebagai peaker atau pembangkit beban puncak. Artinya, beroperasi untuk memenuhi kebutuhan beban puncak. Jadi, variasi-variasi itu yang mendorong juga Kementerian ESDM untuk mengembangkan pembangkit hidro di Indonesia.
Pembangkit hidro merupakan salah satu yang akan dikembangkan sebagai energi terbarukan di Indonesia dalam 10 tahun ke depan. Di dalam RUPTL periode 2021 - 2030 disebutkan bahwa porsi EBT mengalami peningkatan, sehingga disebut sebagai RUPTL yang lebih hijau. Mengapa kita membuat kebijakan berupa RUPTL yang lebih hijau?
RUPTL saat ini yaitu periode 2021-2030 sangat berbeda dibandingkan RUPTL sebelumnya. Salah satunya adalah kalau sebelumnya di dalam RUPTL itu penambahan kapasitas pembangkit itu dominasinya adalah fosil, sedangkan EBT lebih rendah. Tetapi pada 2021 - 2030, porsi pembangkit EBT yang akan dibangun adalah 51,6 % dari total 40,6 GW tambahan kapasitas yang dibangun sampai dengan 2030. Jadi, pembangkit EBT yang akan dibangun adalah kapasitasnya 20,9 Gigawatt.
Kenapa RUPTL ini lebih greener dibanding sebelumnnya? Ini merupakan tuntutan global juga bahwa saat ini pengembangan listrik ataupun pemenuhan kebutuhan demand harus bersumber dari pembangkit EBT.
Pertama, ada komitmen kita untuk mencapai target 23% EBT. Kedua, kita sudah memiliki komitmen Intended Nationality Determined Contribution (INDC) dan sudah ada Undang-Undangnya, yaitu UU Nomor 16 tahun 2016 untuk kita memenuhi target penurunan emisi 29% usaha sendiri, dan 41% dengan ada bantuan internasional pada 2030.
Sekarang juga ada tuntutan carbon border tax, dimana nantinya beberapa negara akan menerapkan bahwa bila pasokan ataupun produk industrinya dipasok dari pembangkit fosil, maka akan dikenakan tax. Karena itu beberapa waktu lalu presiden menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi kita harus berdasarkan green economy, dan kita juga harus mendorong tumbuhnya green industry, sehingga produk-produk kita menjadi green. Inilah salah satu upaya industri kita mendapatkan pasokan dari EBT dengan membuat RUPTL yang akan dikembangkan oleh PLN sehingga lebih greener. Ini salah satunya yang tetap kita lakukan.
Apakah Indonesia siap untuk mengembangkan energi terbarukan, dari sisi teknologi dan pendanaan karena tentu saja ini memerlukan dana yang cukup besar?
Benar, kalau kita melihat dalam perkembangan sampai saat ini memang kalau dibandingkan potensinya maka kapasitas terpasang pembangkit EBT masih kecil, yaitu sekitar 10,6 GW. T
Untuk Surya kita memiliki kemampuan, sudah ada juga produksi industri dalam negeri walaupun belum sepenuhnya dapat memenuhi demand yang ada. Sedangkan untuk hidro, kita juga memiliki technology capability sampai skala kecil, kemudian bioenergy, bayu, panas bumi juga sudah cukup lama, tetapi memang untuk teknologi-teknologi advance-nya kita masih membutuhkan bantuan.
Jadi didalam pengembangan energi baru terbarukan dan menuju transisi net zero emission, ada dua hal penting yang kita butuhkan dukungan dari dunia internasional maupun negara maju, yaitu teknologi dan low cost investment. Jadi, kita juga menginginkan negara-negara maju ikut berpartisipasi di dalam membantu negara berkembang untuk meningkatkan porsi energi baru terbarukan dalam rangka menuju net zero emission.
Nah didalam penyusunan RUPTL, ini sudah kita identifikasikan berapa besar kapasitas pembangkit EBT yang akan dikembangkan dan kebutuhan pendanaannya. Sekarang ini kita melakukan road show untuk mencari investasi ke beberapa negara. Sebagai contoh bahwa didalam pengembangan kapasitas pembangkit EBT sebesar 20,9 GW ada porsi yang akan dibangun oleh PLN. Jadi, PLN akan mencari pendanaan dan pemerintah akan membantu.
Kedua adalah pendanaan itu berasal dari swasta. Mereka membangun dengan skema Independent Power Producer (IPP). Jadi, project financing 100% dari mereka. Nah, untuk mendukung terjadinya bisnis usaha yang sehat. Saat ini juga kami dari Kementerian ESDM sedang memfinalisasikan atau menunggu ditandatanganinya Rancangan Perpres tentang EBT yang memberikan indikasi harga jual listrik dari pembangkit EBT kepada PLN. Dengan adanya Perpres ini kita harapkan ada appetite dari investor dan developer untuk mengembangkan EBT bisa terjadi, sehingga tekanan kebutuhan investasi dari APBN seminimal mungkin.