Tiga Modal untuk Membuat Film Dokumenter

Salam Perspektif Baru,

Jika Anda ingin menikmati tontonan atau tayangan sambil mendapatkan pengetahuan mengenai suatu realitas kehidupan di masyarakat, maka Anda jangan melewatkan untuk menyaksikan film dokumenter. Film dokumenter ini bagian penting dari ekosistem perfilman. Lalu, bagaimana perkembangan dan peluang film dokumenter di tanah air? Hari ini saya mewawancarai sineas dokumenter yaitu Tonny Trimarsanto, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Dokumenteris Nusantara.

Tony Trimarsanto mengatakan ruang pertumbuhan antara film fiksi dan film dokumenter berbeda. Film fiksi itu tumbuh dalam logika-logika yang memang diciptakan oleh media, oleh nilai ekonomi. Namun film dokumenter tumbuh pada ruang-ruang yang lebih spesifik. Misalnya pada ruang bagaimana pengetahuan itu bisa ditumbuhkan, pada ruang-ruang diskusi, pada ruang festival. Sebenarnya pada sisi itulah film dokumenter mengalami pertumbuhan.

Tetapi pada sisi lain, teman-teman komunitas membuat film dokumenter yang tersebar dari Aceh sampai Papua itu terus menerus membuat film. Mereka tetap membuat film dokumenter dengan isu-isu spesifik sesuai dengan ruang sosial mereka, kedekatan mereka. Hanya saja ruang putarnya lebih di forum festival dan forum diskusi yang terbatas. Dibutuhkan effort energi yang lebih lagi untuk bisa mengenalkan film dokumenter ini sendiri ke publik secara luas. Apa lagi dokumenter itu tidak ada artis cantik dan tampan, itu jadi persoalan lagi.

Menurut Tonny, membuat film dokumenter kalau dipahami itu sebenarnya tidak mahal karena kita bisa menggunakan handphone untuk membuat film, karena kita mempunyai modal sosial untuk bisa mengelola substansi, jaringan, lalu kita juga mempunyai modal intelektual untuk bagaimana secara kreatif pesan itu bisa sampai ke masyarakat.

Tiga modal inilah yang seringkali dia dorong ke teman-teman untuk mereka lebih produktif. Misalnya, kalau kita mempunya ide bagus, tapi selalu memikirkan uangnya darimana maka tidak akan jadi-jadi. Tapi kalau kita mempunyai ide bagus, kemudian diawali dulu dengan dilakukan maka itu akan lebih realistis.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Tonny Trimarsanto.

Sepengetahuan saya jenis film itu ada tiga yaitu film fiksi, film dokumenter, dan film kartun. Apakah itu benar?

Sebenarnya kalau kita bicara pembagian jenis film ada film cerita dan non cerita. Film cerita itu adalah film yang seringkali dikenal orang dengan nama film fiksi, tetapi muncul kategori yang lain yaitu film non cerita yang lebih sering dikenal dengan film dokumenter. Sebenarnya keduanya sama, itu hanya pengkategorian saja karena dalam film dokumenter pun juga ada ceritanya. Semuanya bercerita.

Yang membedakan adalah kalau dalam film dokumenter dibandingkan dengan film fiksi seringkali diasumsikan sebagai film yang memang mengangkat peristiwa sesuai dengan aslinya, fakta, data, dan dengan tingkat otentitasnya. Tetapi sekalipun dia menceritakan kembali, belum tentu dia sesuai dengan aslinya karena diceritakan kembali. Kalau film fiksi Itu sudah pasti banyak orang kenal. Dia menceritakan hal-hal yang berkait dengan imajinasi, bisa juga dengan peristiwa asli yang diolah dan semacamnya.

Dari dua pengkategorian film ini yaitu film cerita dan film dokumenter, masyarakat khususnya di Indonesia paling menggemari dan menyukai film cerita dibandingkan film dokumenter. Mengapa ini bisa terjadi padahal film dokumenter ini lebih pada kenyataan?

Itu satu hal yang mungkin terasa klasik. Sebenarnya kalau kita bicara film fiksi itu awal kelahirannya dari proses mendokumentasikan. Mengapa kita hari ini akrab dengan media sampai pada taraf handphone? Itu awalnya dari proses penemuan foto.

Foto itu lebih otentik bagaimana kita bisa mendokumentasikan ragam peristiwa yang terkait dengan aktivitas kita sehari-hari pada waktu itu. Itu karena dia sifatnya dokumentasi, maka kadang-kadang tidak bisa bercerita ke hal-hal yang liar atau imajinatif.

Pada perkembangan selanjutnya ketika muncul teknologi rekaman yang mencangkok seni-seni tradisi di Indonesia, yaitu ada ketoprak, ludruk, lenong, dan akhirnya muncullah adaptasi cerita seni tradisi yang diadaptasi teknologi menjadi sebuah film cerita atau film fiksi.

Kalau kita bicara mengapa film fiksi lebih popular, memang parameter yang kita gunakan hari ini adalah bagaimana masyarakat itu mengapresiasi pada ruang tonton mereka. Media massa mempunyai kontribusi besar dalam peristiwa ini.

Dalam statement ini tentunya ketika kita bicara film fiksi A ditonton oleh jutaan orang, tetapi film dokumenter penontonnya mana. Tentu ketika kita mencoba untuk mengkomparasikan kedua hal ini pada paradigma bahwa yang fiksi ditonton di bioskop, sedangkan dokumenter kadang-kadang sulit untuk masuk ke ruang bioskop karena dia tidak popular.

Beban berat pada otentitas peristiwa bahwa yang saya tonton nanti adalah hal-hal yang sehari-hari, itu yang mungkin yang membuat orang mundur terlebih dulu sebelum menonton film. Mereka tidak ingin pusing. “Saya ingin menonton bioskop, ingin cari hiburan, kok malah jadi pusing. Untuk apa juga.”

Akhirnya yang terjadi adalah ruang pertumbuhan itu berbeda antara film fiksi dan film dokumenter. Film fiksi itu tumbuh dalam logika-logika yang memang diciptakan oleh media, oleh nilai ekonomi, tapi film dokumenter tumbuh pada ruang-ruang yang lebih spesifik. Misalnya pada ruang bagaimana pengetahuan itu bisa ditumbuhkan, pada ruang-ruang diskusi, pada ruang festival. Sebenarnya pada sisi itulah film dokumenter mengalami pertumbuhan.

 

Bagaimana film dokumenter ini di ruang-ruang televisi nasional kita?

Jujur kalau kita bicara film dokumenter, sebenarnya banyak stasiun televisi itu sudah membuat beragam karya film dokumenter. Tetapi irisan-irisannya lebih ke bentuk-bentuk dokumenter jurnalistik. Itu yang selama ini nampak.

Lalu, mengapa tidak banyak film dokumenter yang dibuat oleh pembuat dokumenter di Indonesia masuk ke televisi? Itu tentu akan berkait dengan banyak hal. Tentu televisi mempunyai pakem sendiri, mereka mempunyai semacam aturan main. Itu hal-hal yang kadang-kadang menjadikan pertumbuhan dokumenter di televisi tidak lepas dari wajah jurnalistik saja.

Tetapi pada sisi lain, teman-teman komunitas membuat film dokumenter yang tersebar dari Aceh sampai Papua itu terus menerus membuat film. Kemana karya mereka? Yang pasti mungkin tidak akan di stasiun TV karena mereka sudah mempunyai tim yang memproduksi isu-isu apa saja yang layak mereka kerjakan menjadi karya dokumenter untuk stasiun mereka.

Untuk teman-teman di daerah mereka tetap membuat film dokumenter dengan isu-isu spesifik sesuai dengan ruang sosial mereka, kedekatan mereka. Hanya saja ruang putarnya lebih di forum festival dan forum diskusi yang terbatas. Dibutuhkan effort energi yang lebih lagi untuk bisa mengenalkan film dokumenter ini sendiri ke publik secara luas. Apa lagi dokumenter itu tidak ada artis cantik dan tampan, itu jadi persoalan lagi.

Dokumenter isinya persoalan, pencemaran, tentang deforestasi dan lain-lain. Itu hal-hal yang kadang-kadang sulit untuk mendekatkan, walaupun paradigma film dokumenter itu sendiri berkembang luar biasa sampai hari ini. Bagaimana dikenal ada hybrid documentary, creative treatment of documentary, bagaimana bisa membawa bentuk dokumenter agar lebih populer dengan gaya-gaya pendekatan hari ini. Itu yang menjadi PR.

 

Bagaimana perkembangan film dokumenter ini di media sosial karena ini tanpa berbayar dan ini lebih populer di kalangan generasi milenial?

Itu menjadi satu hal yang menantang untuk pembuat film, artinya media sosial seringkali terbatas secara durasi. Bagaimana media sosial itu hanya dalam durasi 60 detik sebuah film dokumenter itu disajikan, dalam durasi tiga menit dan lain-lain. Itu satu tantangan tersendiri bagaimana secara kreatif teman-teman bisa mengelola cerita dengan terstruktur, bercerita yang lebih simpel, mudah dipahami, dan lain-lain. Sekadar contoh, bahwa memang kekuasan kita hari ini adalah pada handphone. Ketika kita mengakses apapun itu ada di handphone, juga pada film dokumenter.

Tantangannya adalah tidak saja durasi, bagaimana kita bisa menyapa penonton, calon penontonnya anak muda dalam durasi yang pendek, dengan isu-isu yang berat tapi dikemas dalam bentuk yang lebih kontemporer dengan mereka. Misalnya, membuat dokumenter dengan aplikasi tertentu yang akrab dengan anak-anak muda.

Baru saja saya diajak mengobrol dengan salah satu produser kawasan Asia, mereka minta dibuatkan film tentang kriminal Indonesia, seperti bajak lautnya. Mereka maunya temanya seperti Robinhood. Berarti salah satunya bajak laut atau Si Pitung. Tapi kalau Si Pitung terlalu berat karena ada nilai sejarahnya, anak-anak itu  tidak  suka sejarah. Carilah tema-tema kriminal tapi yang populer, kriminal tapi yang rasa ingin tahunya tinggi. Itu yang sedang kami lakukan.

Kita seringkali konsolidasi dengan teman-teman bagaimana bisa mengerjakan karya dokumenter pendek tapi cukup informatif untuk penonton, maka muncul seperti kita lihat di medsos film dokumenter pendek 60 detik, pasti tidak saja dengan audio tapi juga menggunakan infografis.

Jadi, secara auditif dan secara visual penonton itu mendapatkan informasi yang kalau dihitung secara durasi itu bisa lebih panjang dari yang ditayangkan. Penggunaan infografis, penggunaan interview dalam durasi 60 detik, itu memang sedang popular dan saya yakin dibutuhkan strategi untuk bisa mengemas cerita yang lebih efisien dan efektif itu tadi.

 

Selain tantangan durasi tadi, bagaimana dengan tantangan pembiayaan dalam pembuatan film dokumenter? Info yang saya dapatkan bahwa biaya film dokumenter lebih mahal daripada film fiksi atau cerita.

Sebenarnya tidak, saya selalu sharing dengan teman-teman dan saya selalu mengasumsikan bahwa membuat film dokumenter itu justru lebih simpel dan sederhana dibandingkan film fiksi. Film fiksi itu akan melibatkan banyak orang yaitu kru dan pemainnya banyak. Kalau dokumenter itu tiga sampai tujuh orang itu sudah bisa produksi. Bahkan saya mendorong teman-teman untuk mengerjakan apa yang mereka ingin buat karena dalam film dokumenter itu ada paradigma yang seringkali saya gunakan dalam proses produksi.

Setiap orang itu mempunyai modal, itu bisa dihitung tidak hanya modal uang. Modal itu bisa modal sosial, yaitu misalnya saya mempunyai jaringan, saya bisa mencari isu-isu yang menarik untuk dibuat film melalui jaringan saya. Lalu, saya mempunyai modal intelektual, saya mempunyai kapasitas untuk membuat itu secara kreatif dan substansi menjadi karya yang bertutur. Selanjutnya adalah modal kapital, ini dipahami sebagai alat ataupun uang. Tetapi saya yakin, teman-teman sekarang kalau membuat film dokumenter itu tidak perlu dengan kamera yang canggih. Bahkan, teknologi handphone pun itu bisa digunakan untuk membuat film dokumenter.

Saya sudah melakukan itu tahun lalu. Saya tidak sengaja membuat film, artinya saya tidak ada persiapan. Saya hanya merekam di seputaran hutan Parapat, dekat Danau Toba. Di sana ada sebuah peristiwa yang menurut saya menarik, kemudian saya rekam. Akhirnya, dari rekaman handphone tersebut sampai ke mana-mana, bahkan beberapa ke International Film Festival dan sekarang masih di sirkuit. Itu untuk isu lingkungan.

Artinya, membuat film dokumenter kalau dipahami itu sebenarnya tidak mahal karena kita bisa menggunakan handphone untuk membuat film, karena kita mempunyai modal sosial untuk bisa mengelola substansi, jaringan, lalu kita juga mempunyai modal intelektual untuk bagaimana secara kreatif pesan itu bisa sampai ke masyarakat.

Tiga modal inilah yang seringkali saya dorong ke teman-teman untuk mereka lebih produktif. Misalnya, kalau kita mempunya ide bagus, tapi selalu memikirkan uangnya darimana maka tidak akan jadi-jadi. Tapi kalau kita mempunyai ide bagus, kemudian diawali dulu dengan dilakukan maka itu akan lebih realistis.

Sekadar contoh, saya pernah main-main membuat film dengan judul “Laki-laki dengan 12 Istri” di Sumba. Itu saya tidak mempunyai modal apa-apa. Saya hanya mempunyai kamera, jaringan, lalu mempunyai modal untuk sekadar membeli tiket ke sana.

Ketika saya pulang syuting selama satu minggu dari sana, materi itu saya edit, kemudian saya upload dan saya langsung memberikan caption “Siapa yang ingin menjadi produser saya?” Mungkin karena isunya menarik yaitu ada laki-laki yang mempunyai 12 istri, 56 anak, 230 cucu, ada banyak yang ingin terlibat dalam karya itu. Dengan modal yang nekat, karya itu akhirnya dibeli salah satu stasiun TV Internasional di Jepang. Modal pengalaman saya inilah yang kadang-kadang saya dorong ke teman-teman untuk lebih produktif dengan cara pandang yang lebih sederhana dalam kreativitas film ini.

 

Dari mana pendapatan yang bisa diraih dalam film dokumenter ini?

Memang film dokumenter itu tidak cukup seksi bagi investor, tetapi ketika kita mempunyai perspektif yang jelas, lalu kita bisa membaca bahwa dengan perspektif ini bahwa pasarnya bukan nasional tapi pasar global, maka itu akan jauh lebih mudah untuk menarik. Lalu yang terjadi adalah bagaimana perspektif itu bisa diwujudkan menjadi karya, tentu membutuhkan uang untuk mewujudkan itu. Benar seperti itu.

Saya ingin cerita pengalaman saya bagaimana cara mengelola produktivitas itu. Jujur, selama ini saya tidak terlalu bergantung pada dana-dana tertentu dalam produksi film atau dari pihak-pihak tertentu. Saya selalu memproduksi dengan keswadayaan itu. Misalnya, dari film pertama saya yang saya danai dengan dana uang saya sendiri, itu akan saya lempar ke distributor internasional. Mereka membeli film saya dengan sistem royalti, setiap satu semester mereka akan membayar.

Dari pendapatan itulah kemudian saya gunakan untuk membuat karya selanjutnya. Seperti itu, saya putar terus. Tapi tentu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bisa menawarkan film kita ke distributor internasional? Apakah mudah? Biasanya distributor itu akan mencari film-film yang sudah masuk dan dilegitimasi oleh International Film Festival atau setidaknya sudah masuk ke International Film Festival di berapa negara.

Saya selalu melihat bahwa setiap ide yang saya akan buat, saya wujudkan, itu harus bisa diterima oleh penonton internasional. Ini menjadi penting secara perspektif. Perspektif ini kadang-kadang yang seringkali sulit untuk dipahami oleh teman-teman pembuat film karena kadang-kadang isunya menarik, tapi perspektifnya dimana? Mungkin ini hanya nasional atau lokal. Tapi kalau kita bisa membaca perspektif internasional, film kita akan dengan mudah masuk ke International Film Festival dan kemudian itu sebagai satu justifikasi untuk bisa dibeli oleh distributor. Itu yang saya lakukan.

Jadi, saya menghidupi produktivitas saya itu dengan hasil royalti karya yang sudah saya jual, saya dapatkan dari distributor internasional tadi. Tapi untuk saat ini memang ada pemerintah, ada pihak perusahaan yang sudah peduli untuk produksi film dokumenter. Tetapi sekali lagi, seada- adanya funding, itu pasti ada keterikatan seperti aturan untuk tidak memakai isu-isu tertentu. Tapi kalau kita ada keswadayaan, mau bicara apapun itu tidak masalah. Jadi, kita lebih nyaman dalam membuat film, ada kebahagiaan tersendiri, walaupun kalau dapat uang dari pihak ketiga juga senang.

 

Ketika Anda mendapatkan uang dari berbagai festival itu, Anda menyalurkannya juga dengan mendirikan rumah dokumenter. Yang kami pelajari, ini merupakan tempat berbagi ilmu kepada masyarakat khususnya generasi muda mengenai upaya-upaya untuk memproduksi film dokumenter. Apakah ini gratis ataukah ada uang untuk membayar ketika kita mau mengikuti pelatihan di rumah dokumenter ini?

Rumah dokumenter itu kita dirikan pada 2002. Kita memang mimpinya adalah mengenalkan film dokumenter karena film dokumenter secara popularitas jauh dibandingkan film fiksi. Jadi, kita mempunyai gerakan, yang mana gerakannya itu pun juga menjemput bola. Kita putar film di kampung a, b, c, d, e. Kita tidak memusat di sini saja. Jadi, kita mendatangi, kalian membutuhkan film apa kita carikan, sutradaranya kita datangkan, dan lain-lain.

Dari tahun 2000 sampai hari ini kita memang non funding, kita membuka diri kepada siapapun untuk belajar film dokumenter. Hingga hari ini mungkin sudah banyak teman-teman yang belajar di sini, terutama mahasiswa dan siswa SMK. Biasanya dua sampai tiga bulan mereka belajar film dokumenter. Apa yang mereka lakukan di sini adalah bagaimana mempelajari proses tahapan produksi film dokumenter. Itu kita berikan gratis. Jadi, kalau Anda nanti searching media-media online sudah meliput ke sini. Semuanya kami berikan gratis, tidak kami tuntut biaya apapun.

 

Terkadang kalau gratis itu asosiasinya orang jadi tidak serius, belajarnya jadi sesuka dia. Apakah ada paradigma seperti itu di sana?

Itu yang sebenarnya sedang ingin saya balik, artinya dengan gratis itu justru saya ingin melihat seperti apa animonya. Ternyata animonya tinggi, bahkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti kampus mereka menitipkan mahasiswa di sini. Ada kampus dari Makassar, Kendari, Bontang, bahkan kedatangan mereka itu sangat ekstrem.

Misalnya, dari Bontang kemarin ada empat mahasiswa yang naik motor dari Bontang ke Balikpapan empat jam, Balikpapan ke Surabaya 32 jam, Surabaya ke Klaten delapan jam. Mereka naik motor dari sana. Saya juga kaget. Kemudian disusul ada dari Bandung juga naik motor, dua cewek dan tiga cowok, mereka tiga motor.

Saya juga kaget mengapa antusiasme mereka begitu tinggi sampai ke sini dengan kenekatan-kenekatan seperti itu. Itu karena di sini memang gratis dan saya tidak berpikir bahwa yang gratis itu lalu remeh-temeh karena yang selama ini kami berikan adalah yaitu standar produksi. Kadang-kadang orang bilang ke saya, “Eh kamu itu membuat Rumah Dokumenter bukannya kamu akan melahirkan pesaing-pesaing baru nantinya?” Saya justru senang kalau ada pesaing baru.

Yang datang ke sini biasanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang disetujui secara formal oleh kampus mereka untuk belajar di sini dan menghasilkan karya film dokumenter. Beberapa karya film dokumenter yang kami dampingi itu sudah masuk ke beberapa film festival, dan itu menjadi capaian yang luar biasa bagi kami karena selama ini kami tidak berpikir sampai ke arah itu.

Misalnya, siswa SMK yang belajar dari sini, keluar, lalu datang lagi untuk membuat proposal dan minta tolong untuk didampingi. Akhirnya dia dapat dana untuk produksi suatu karya. Saya mencoba untuk tidak memikirkan statement-statetment tersebut.

Kami memang memberikan ilmu gratis, kami merasa seperti keluarga di sini karena tinggal bersama dengan fasilitas yang seadanya, bebas listrik, air, mandi, kamar dan lain-lain. Itu sudah kami bangun sejak tahun 2000, dan ini yang kami lakukan. Walaupun kami sempat disarankan oleh teman-teman untuk berbayar, tapi menurut saya tidak perlu. Itu karena ilmu bagi saya memang untuk dibagikan. Hari ini pun saya ada dua mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) yang ingin belajar mengenai riset. Kemudian saya beri akses untuk melakukan riset mengenai tema tertentu di Solo.

Previous
Previous

Next
Next