Tiga Langkah Penting untuk Reforma Agraria
Salam Perspektif Baru,
Tanah dan lahan dalam kehidupan sehari-hari mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia, ini karena tanah dan lahan merupakan sumber penghidupan dan sumber kesejahteraan. Namun seringkali kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan lahan mengalami ketimpangan. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah reforma agraria atau pembaruan agraria. Hari ini narasumber kita adalah seorang yang telah lama yaitu lebih dari 10 tahun berkecimpung memperjuangkan adanya reforma agraria sejati di Indonesia. Dia adalah Dewi Kartika yang saat ini menjabat sebagai Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Menurut Dewi Kartika, terobosan politik yang harus dilakukan agar reforma agraria sejati bisa berjalan di Indonesia adalah pertama, presiden harus memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria. Itu karena reforma agraria sudah ada mandatnya dari Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, ada TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelola Sumber Daya Alam. Jadi, dia adalah agenda politik bangsa yang harus langsung dipimpin oleh presiden.
Kedua, melakukan revisi terhadap Perpres No.86 Tahun 2018 yang salah satunya untuk memperkuat kelembagaan pelaksana reforma agraria. Itu ada di dalam Perpres itu, termasuk untuk tanah-tanah yang masih deadlock sampai sekarang. Terakhir, pemerintah perlu juga untuk menghentikan cara-cara yang represif.
Enam tahun terakhir KPA masih mencatat cara-cara represif, perlibatan kepolisian dan tentara untuk penanganan konflik agraria, sehingga tidak sedikit data-data KPA setiap tahun kita rilis mengenai korban kriminalisasi, penggusuran, perampasan tanah, intimidasi, ancaman terhadap organisasi rakyat yang sudah dilindungi konstitusi itu masih terjadi di banyak lapangan. Tiga langkah itu yang paling penting.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Dewi Kartika.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merupakan organisasi non pemerintah yang bergerak dan berjuang bersama rakyat untuk menegaskan kembali jalan reforma, atau pembaruan agraria sejati. Saat ini yang kami tahu salah satu program KPA adalah Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA). Bagaimana wujud dari Desa Maju Reforma Agraria ini?
Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA) adalah strategi yang dikembangkan oleh KPA untuk mentransformasikan wilayah-wilayah yang selama ini sudah puluhan tahun mengalami situasi konflik agraria untuk kemudian tidak hanya bergerak dalam konteks memperjuangkan hak atas tanah, tetapi juga mulai menata ulang struktur penguasaan tanahnya, mengusahakan secara berkelanjutan, dan juga mentransformasikan atau mengubah corak produksi dan corak distribusinya sampai pada level konsumsi.
Jadi, DAMARA adalah model-model reforma agraria yang dikembangkan dari bawah yang sesungguhnya itu merupakan wilayah-wilayah perjuangan dari petani masyarakat adat yang tidak hanya memperjuangkan hak atas tanah atau tenurialnya, tetapi juga mulai berbicara bagaimana memperkuat model ekonomi dan penataan produksinya.
Jadi tanah yang dikuasai, tanah yang diperjuangkan, dan dikelola serta dijaga itu juga bisa lebih produktif, bisa lebih mensejahterakan teman-teman petani yang selama ini mungkin saja status tanahnya masih belum clear, masih belum selesai konfliknya, atau masih tumpang tindih dengan konsesi-konsesi, tetapi dia sudah menguasai secara penuh dan kita dorong untuk berbicara mengenai penataan produksinya. Jadi, DAMARA kita dorong dari bawah.
Apa bentuk kongkritnya, misalnya, mereka bisa mendapatkan sertifikat hak milik tanah, atau ada bentuk lainnya sehingga mereka bisa mendapatkan pengakuan tanah yang menjadi tempat konflik tersebut?
Ini bukan hanya berbicara mengenai hak atas tanah. Ada lima pilar sebenarnya yang diperjuangkan dalam lokasi-lokasi di DAMARA. Pertama, pilar kuasa yaitu masyarakat tidak hanya menguasai tanah, tetapi juga berbicara mengenai berapa luas, siapa yang menguasai tanah, penguasaannya harus berkeadilan, dan seterusnya.
Kedua, berbicara mengenai tata guna tanah, ini berbicara mengenai peruntukkan atau fungsi-fungsi tanah di dalam satu teritorial secara utuh. Jadi, petani masyarakat adat tidak hanya menguasai tanah tapi juga mengatur penggunaannya. Ada tanah untuk pemukiman, diatur tanah untuk perkebunan atau ladang, atau sawahnya untuk fasilitas umum atau fasilitas sosial.
Kita memiliki visi ke depan bagaimana di satu wilayah, satu komunitas, atau satu desa itu juga mempunyai cita-cita membangun sekolah, sehingga ada juga peruntukan tanah untuk sekolah, dan sebagainya. Kemudian ada juga mengenai tata produksi. Ini berbicara mengenai produksi di atas tanah itu.
Misalnya, untuk yang tanah perkebunannya atau tanah untuk peternakannya maka dikembangkan model usahanya semacam apa, jenis komoditas yang dikembangkan apa. Ada yang bersifat individual dan ada yang bersifat kolektif. Kemudian kalau bicara produksi otomatis berbicara juga mengenai pasar atau distribusinya.
Jadi, seringkali yang paling lemah adalah ketika sudah panen, sudah menguasai tanah, produksinya sudah melimpah, kita luput berbicara mengenai pemasaran atau distribusinya. Kita juga berbicara mengenai aspek distribusinya, kemana itu didistribusikan, kemudian bagaimana kita memotong rantai pasar yang sangat panjang dan seringkali juga didominasi oleh para tengkulak.
Di situ juga berbicara mengenai perubahan tata distribusinya sampai pada level konsumsi. Konsumsi ini kita memastikan agar di DAMARA itu masyarakat bisa berdaulat secara pangan. Jadi, tidak lagi bergantung kepada makanan di luar apalagi impor pangan. Setidaknya di level desa itu bisa lebih mandiri dan berdaulat.
Mengapa program itu dilakukan mulai dari desa, dan bagaimana pendaftaran bagi desa yang ingin mengikuti program DAMARA ini?
Kenapa dimulai dari desa? Sebenarnya ini penting karena memang itu yang merupakan suku terkecil kalau kita bicara administrasi di tata pemerintahan kita. Desa-desa yang dimaksud ini adalah desa yang memang sejarahnya memiliki masalah tenurial atau konflik agraria atau hak atas tanah. Jadi, dari sisi pengakuan belum diakui haknya. Ada yang berkonflik dengan perkebunan, kehutanan, proyek infrastruktur, atau pertambangan, dan sebagainya.
Biasanya DAMARA ini bisa kampung atau juga desa, bisa juga lintas kampung. Itu karena konflik agraria itu kadang kalau satu konsesi bahkan bisa terdiri dari beberapa desa. Sederhananya adalah DAMARA ini mencoba untuk memperkuat lokasi-lokasi yang tadinya mengalami konflik agraria, bersifat struktural, dan seringkali dari sisi penyelesaian haknya itu memakan waktu sangat lama bahkan puluhan tahun. Melalui pendekatan DAMARA sebenarnya wilayah-wilayah konflik ini yang tadinya hari ke hari hanya mengurusi kasus, tetapi mulai kita geser, transformasikan, dan dorong untuk memperkuat tata guna tanahnya, tata produksinya, dan sebagainya.
Salah satu syarat bagaimana DAMARA itu bisa dikembangkan yang paling penting adalah masyarakat tersebut terorganisir dalam satu organisasi. Jadi, tidak bisa mengembangkan DAMARA atau memperjuangkan reforma agraria itu sendiri-sendiri, tidak bisa individual tetapi harus secara kolektif dan gotong royong.
Kalau kita mengenal pengorganisasian, maka masyarakat atau komunitas ini kita dorong untuk membentuk organisasi-organisasi rakyat yaitu organisasi petani, organisasi masyarakat adat, organisasi nelayan di tingkatan tapak atau desa. Kemudian dari situlah mulai berbicara mengenai restrukturisasi penguasaan tanah, tata gunanya, produksinya, distribusinya, sampai konsumsinya. Itu tahapan paling awal.
Berapa desa yang sekarang sudah mengikuti program DAMARA ini dan bagaimana hasilnya?
Jadi, sebenarnya ini strategi KPA secara keorganisasian. Memang ini menjadi mandat organisasi karena wilayah-wilayah konflik agraria ini pada awalnya berbentuk serikat-serikat itu karena hanya mengurusi konflik atau sengketa. Bagaimana kita transformasikan supaya watak perjuangannya itu tidak hanya mengenai kapan konflik selesai, kapan mendapatkan sertifikat, sementara kita tahu problem agraria struktural itu sangat sulit sekali selesai.
Jadi, DAMARA ini beyond sertifikasi tanah. DAMARA bisa dikembangkan di wilayah-wilayah yang sudah selesai konfliknya, ataupun bahkan yang belum selesai konfliknya, justru itu penting. Di KPA ada 1,7 juta hektar wilayah-wilayah yang mengalami atau berada dalam status konflik agraria yang kemudian kita organisir, kita perkuat, kita dorong untuk berorganisasi, berserikat. Kemudian capaiannya sampai sekarang dari 1,7 juta hektar itu sudah ada 37% yang terkonsolidasi di dalam sistem yang kita sebut sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Di LPRA sudah ada 532 desa atau kampung di 104 kabupaten di 20 provinsi yang memang melakukan lima tahapan tadi.
Tata kuasanya kita urus, tata guna tanahnya kita mufakatkan di tingkatan desa, modelnya semacam apa. Siapa punya berapa, berapa luas, diusahakan untuk jenis tanaman apa, model koperasinya yang dibangun atau kredit union. Jadi, macam-macam model ekonominya sampai pada tahapan produksi dan distribusi sampai konsumsi.
Itu sampai sekarang dari 1,7 juta hektar ada 532 desa atau 37% dari total wilayah-wilayah yang mengalami konflik agraria secara khusus memang adalah anggota KPA. Tapi tidak tertutup kemungkinan sebenarnya untuk sistem atau pendekatan ini bisa digunakan secara inklusif boleh siapa saja, tidak hanya tergantung hanya anggota KPA. Boleh juga misalnya masyarakat di satu komunitas, satu desa menggunakan strategi atau pendekatan DAMARA untuk mendorong model-model atau contoh-contoh baik bagaimana reforma agraria di Indonesia harus dilakukan.
Bagaimana hasil penerapan DAMARA dari 532 desa di 20 provinsi tersebut?
Dari sisi capaiannya tentu beragam karena konteks lokal dari masing-masing desa ini beragam. Ada yang berkonflik dengan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) atau perkebunan. Perkebunannya pun macam-macam, ada yang PT Perkebunan Nusantara (PTPN) atau perkebunan swasta.
Kemudian ada yang berhadap-hadapan dengan kawasan hutan. Misalnya di Jambi, itu dengan Hutan Tanaman Industri (HTI), atau di Jawa itu dengan Perhutani, atau desa-desa transmigrasi, kemudian desa-desa yang misalnya masuk dalam klaim kawasan konservasi taman nasional. Ada berbagai macam tipologi masalah agraria termasuk ada desa-desa yang di dalam perkebunan, ada yang di pesisir pulau-pulau kecil, pesisir dekat pantai, dan seterusnya. Jadi, konteks lokalnya beragam.
Dari sisi capaian tentu beragam juga karena misalnya ada yang desa-desa itu sudah selesai konfliknya. Saya ambil contoh Desa Sumber Klampok sudah ada Sertifikat Redistribusi Tanah (Redis), dan merupakan salah satu DAMARA yang KPA kembangkan di Kabupaten Buleleng. Konfliknya selesai dan sekarang sudah memasuki tahapan pengembangan ekonomi dan penataan produksinya.
Ada juga di desa Mangkit, Sulawesi Utara yang juga sudah Redis 444 hektar kepada Serikat Petani Minahasa, dan mereka sudah masuk ke fase pengembangan ekonominya. Tapi ada juga DAMARA yang kita kembangkan di wilayah-wilayah yang masih statusnya konflik agraria.
Jadi, masing-masing pilar itu beragam juga perkembangannya. Misalnya ada desa-desa yang sudah melakukan pemetaan partisipatif, kemudian juga sudah menentukan land use planning-nya semacam apa, bahkan alokasi tanahnya sudah diatur, siapa punya berapa, itu sudah ada penataan ulang, sehingga tidak menjadi timpang antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.
Ada juga yang dari sisi ekonominya itu lebih maju. Misalnya, sudah menerapkan sistem pertanian integratif, sudah mempunyai Credit Union, dan sudah mempunyai koperasi. Jadi, macam-macam perkembangannya tapi harapannya memang pelan-pelan desa-desa ini akan mengembangkan lima pilar tadi sesuai dengan konteks lokalnya masing-masing, tidak bisa diseragamkan.
Misalnya dari sisi tata kuasa, ada yang memang masih memilih kepemilikan hak atas tanahnya itu individual. Tapi ada juga desa dan organisasi taninya memilih untuk mendorong penyelesaiannya melalui pemilikan bersama. Itu bergantung pada mufakat atau konsensus yang dibangun di tingkat desa. Jadi, tidak bisa disamaratakan setiap DAMARA yang tadi kita dorong, termasuk penyelesaian konfliknya juga modelnya macam-macam.
Bagaimana Anda melihat program reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintah saat ini?
Sampai sekarang memang perkembangan penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria masih tersendat-sendat, bahkan di beberapa tipologi konflik itu masih mengalami kemacetan. Misalnya, di tipologi konflik agraria masyarakat atau desa dengan HGU BUMN, PTPN itu macet, kemudian juga redistribusi tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan yang memang keberadaan di lapangannya sudah menjadi perkampungan, ini mengalami kemacetan.
Tentu di beberapa spot atau di beberapa lokasi ada juga yang mengalami perkembangan. Misalnya, yang lebih ada perkembangan itu meskipun masih kecil itu tipologi masyarakat yang berhadap-hadapan dengan perkebunan swasta. Jadi, macam-macam tipologi itu banyak yang mayoritas terhambat. Itu karena memang pendekatan pemerintah masih menggunakan mekanisme top-down. Itu yang di dalam kebijakan reforma agraria disebut skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Itu masih sangat top-down dan belum ketemu dengan aspirasi dari bawah wilayah-wilayah konflik, wilayah-wilayah ketimpangan yang dihadapi masyarakat di pedesaan itu belum ketemu dengan sistem TORA yang top-down tadi.
KPA memang mendorong sejak awal, dari 2015, kita minta itu harus buttom-up. Artinya objek tanah, subjek reforma agrarianya atau masyarakatnya yang berhak, kemudian mekanisme yang didorong itu memang dari bawah, usulan dari bawah. Karena itulah skema top-down pemerintah dengan buttom-up process yang didorong oleh masyarakat belum terlalu banyak yang ketemu.
Jadi, meskipun targetnya 9 juta hektar secara politik dan secara kebijakan sudah ada landasan hukumnya yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Tujuannya sebenarnya juga sudah ideal. Reforma agraria menurut Perpres Nomor 86/2018 itu memperbaiki ketimpangan.
Itu karena kita mengalami ketimpangan struktur agraria, banyak mayoritas penduduk kita kecil-kecil penguasaan tanahnya bahkan landless atau tidak punya tanah, lalu konflik. Ada puluhan ribu konflik agraria di Indonesia yang itu juga belum disasar oleh implementasi reforma agraria yang dijanjikan termasuk wilayah-wilayah yang mengalami kemiskinan akibat tidak mempunyai akses atau ketiadaan hak atas tanah.
Upaya dari KPA bersama anggota-anggota organisasi tani, masyarakat adat, atau nelayan, mendorong yang disebut buttom-up process melalui lokasi prioritas reforma agraria. Yang sekarang kita sedang tunggu dari pemerintahan sebenarnya adalah apa diskresi hukum yang harus dan penting didorong oleh pemerintah agar wilayah-wilayah yang dalam pandangan negara itu tidak clear and clean atau masih dalam status sengketa atau konflik itu bisa mendapatkan manfaat, bisa mendapatkan impact dari kebijakan reforma agraria.
Sampai sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, bahkan Kementerian Kehutanan masih pilih-pilih untuk lokasi-lokasi yang dianggap mudah untuk diselesaikan. Tapi kalau yang konflik struktural, masyarakat dengan HGU terlantar, dengan HGU swasta, dengan HGU BUMN atau PTPN ataupun Perhutani, ataupun HTI itu masih sedikit sekali capaiannya. Jadi, kita masih terus mendorong buttom-up process untuk agenda Reforma Agraria ke depan.
Apakah alasan dari pemerintah belum mau melakukan Reforma Agraria secara buttom-up padahal Anda telah mendorongnya, dan apa sebenarnya hambatan terbesar untuk menyelesaikan konflik agraria ini?
Itu karena konflik-konflik agraria ini berhubungan erat juga dengan elit politik, dengan elit bisnis, dengan elit kekuasaan, berkaitan dengan penerbitan izin-izin, sertifikat HGU, sertifikat HGB, izin tambang, yang itu tentu ada pemilik-pemiliknya, ada pemilik modal yang berada di belakang ini, dan kemudian juga melibatkan pejabat publik yang mengeluarkan keputusan-keputusan yang sampai sekarang tidak mau kunjung dikoreksi.
Misalnya, tidak sedikit LPRA dari bawah yang didorong oleh KPA bersama masyarakat desa banyak yang sebenarnya statusnya sudah expired. Jadi, HGU-nya sudah kadarluarsa, tetapi susah untuk diselesaikan. Padahal kebijakannya ada juga. Dulu kita mempunyai Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tanah Terlantar, bagaimana pemerintah wajib menertibkan tanah-tanah yang sudah diberikan kepada pengusaha lewat HGU. Kalau ditelantarkan beberapa tahun bahkan belasan tahun, maka itu seharusnya sudah ditertibkan dan kita punya landasan hukumnya, tapi seringkali itu tidak dijalankan.
Misalnya, meskipun HGU-nya sudah aktif tapi dia sudah jadi desa definitif, maka tidak heran di Indonesia banyak desa-desa, kampung-kampung tumpang tindih dengan HGU-HGU perkebunan, atau masih diklaim sebagai kawasan hutan. Padahal ketika kita periksa secara defacto di lapangan, itu tidak ada yang namanya hutan, tidak ada tegakan pohon.
Kalau kita mengikuti definisi kawasan hutan, seperti dalam Undang-Undang Kehutanan, saat dicek ke lapangan itu sudah menjadi perkampungan. Ada pemerintah desanya, ada masjid, gereja, sekolah, ada fasilitas umum, fasilitas sosial, yang seharusnya desa-desa semacam itu dikeluarkan dari klaim-klaim konsesi tersebut.
Namun karena tadi bertalian dengan kepentingan kekuasaan, elit bisnis, elit politik, nah itu yang membuat konflik agraria ataupun reforma agraria itu menjadi macet total. Jadi, itulah kenapa kita mendorongnya selain buttom-up harus ada terobosan politik dan diskresi hukum. Kalau mengikuti hukum positif, masyarakat akan nabrak terus, dianggapnya ilegal, padahal yang ilegal itu adalah terbitnya konsesi-konsesi di atas tanah masyarakat.
Apa terobosan politik yang harus dilakukan agar reforma agraria sejati bisa berjalan di Indonesia?
Tentu pemerintah dalam hal ini presiden harus memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria. Itu karena reforma agraria sudah ada mandatnya dari Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, ada TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelola Sumber Daya Alam. Jadi, dia adalah agenda politik bangsa yang harus langsung dipimpin oleh presiden. Tidak mungkin hanya dikerjakan oleh se-level menteri karena problem agraria struktural itu sangat lintas sektor dan saat ini masih ego sektoral. Jadi, harus dipimpin oleh presiden, secara kelembagaan harus otoritatif. Kemudian dia harus dikerjakan secara sistematis karena yang mengalami problem struktural itu ada di banyak provinsi, bahkan di seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian yang kedua, selain perlu kepemimpinan langsung Presiden untuk menjalankan reforma agraria, KPA mendorong dan sebenarnya mengingatkan kembali, karena ini sudah disetujui untuk dilakukan revisi, yaitu revisi terhadap Perpres No.86 Tahun 2018 yang salah satunya untuk memperkuat kelembagaan pelaksana reforma agraria.
Itu ada di dalam Perpres itu, termasuk untuk tanah-tanah yang masih deadlock sampai sekarang. Tidak ada perkembangannya. Enam tahun terakhir ini masih nol hektar, yaitu di desa-desa dimana masyarakat mayoritas berhadap-hadapan dengan PTPN karena ini berkaitan dengan BUMN dan Perhutani. Itu yang sama sekali belum ada perkembangannya.
Terakhir, tentu pemerintah perlu juga untuk menghentikan cara-cara yang represif. Enam tahun terakhir kita masih mencatat cara-cara represif, perlibatan kepolisian, tentara untuk penanganan konflik agraria itu masih didorong, sehingga tidak sedikit data-data KPA setiap tahun kita rilis mengenai korban kriminalisasi, penggusuran, perampasan tanah, intimidasi, ancaman terhadap organisasi rakyat yang sudah dilindungi konstitusi itu masih terjadi di banyak lapangan. Tiga langkah itu yang paling penting.