Penegakan Hukum Pinjol Harus Berbasis Digital
Salam Perspektif Baru,
Dalam satu tahun terakhir media massa kita ramai memberitakan mengenai banyaknya korban dari pinjaman online ((Pinjol) ilegal. Hari ini kita bahas mengenai pinjaman online ilegal tersebut dengan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yaitu Tulus Abadi.
Tulus Abadi mengatakan kehadiran pinjaman online (Pinjol), atau sebenarnya bahasa hukumnya adalah financial technology (Fintech), itu tidak terlepas dari masalah ekonomi digital yang melanda Indonesia yang lima tahun terakhir menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam aktivitas kita. Saat ini digital economy khususnya fintech begitu deras menggerojok kita, tapi secara sosiologis masyarakat kita sebenarnya belum siap karena tingkat literasi digital ekonomi yang masih rendah atau belum baik.
Masalah Pinjol ilegal atau Pinjol secara keseluruhan itu tidak serta merta masalah pidana, tapi juga penegakkan hukumnya bisa dengan teknologi. Itu karena utang piutang berbasis teknologi atau berbasis digital, sehingga law enforcement-nya seharusnya adalah berbasis digital. Itu karena hal yang digital, treatment-nya pun harus dengan instrumen digital.
Salah satu yang kita bisa lakukan adalah bagaimana agar pinjol-pinjol ilegal itu tidak bermunculan kembali adalah pemerintah harus bersinergi kuat dengan platform-platform digital dan media sosial untuk menutup kran-kran agar mereka tidak bisa berpromosi, agar mereka tidak bisa di-download oleh masyarakat dan sebagainya.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Tulus Abadi.
Apakah banyak laporan yang masuk ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai korban pinjaman online (Pinjol) ilegal?
Kalau kita bicara pinjaman online (Pinjol), atau sebenarnya bahasa hukumnya adalah financial technology (Fintech), itu tidak terlepas dari masalah ekonomi digital yang melanda Indonesia yang lima tahun terakhir menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam aktivitas kita.
Mengenai Pinjol ini, YLKI sudah menyuarakan untuk diwaspadai sejak 2018 karena fenomenanya sudah mengerucut sejak 2018. Saya sudah membuat berbagai diskusi, rilis, jumpa pers, artikel, dan lain-lain untuk memberikan public warning kepada semua pihak tentang hal-ihwal masalah Pinjol secara umum.
Kita tidak bisa hanya satu hal menyorot Pinjol ilegal saja karena pinjol legal pun juga bermasalah. Jadi, kita tidak serta-merta hanya Pinjol ilegal yang memang itu ilegal, tapi pinjol legal juga menyisakan masalah yang serius. Itulah yang kemudian pemerintah tampak kedodoran dalam upaya menertibkan kinerja Pinjol, baik yang ilegal terutama ataupun yang legal.
Sebenarnya pemerintah terlambat dalam mengantisipasi ini, dan sedikit ramai setelah presiden bicara mengenai Pinjol ilegal ini. Tadinya penegak hukum, kepolisian ataupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan semua pihak sudah banyak dilapori tentang pengaduan konsumen.
YLKI juga sudah melaporkan pengaduan-pengaduan itu, tapi kurang mendapatkan respon yang signifikan untuk mengantisipasi dari hulu maupun hilir. Dari pengaduan yang masuk sejak tiga tahun terakhir itu pengaduan masalah Pinjol sangat dominan di YLKI.
Berapa banyak dalam tiga tahun terakhir ini, dan apa bentuk pengaduan yang paling banyak diadukan kepada YLKI terkait Pinjol ini?
Tentu pengaduan di YLKI terkait dengan Pinjol selama tiga tahun terakhir menduduki rating pertama dari seluruh komoditas yang ada di YLKI. Memang ini terwakili dalam pengajuan jasa finansial, dan salah satu pengaduan jasa finansial adalah masalah fintech atau masalah pinjaman online ini.
Jadi, komponen Pinjol selama tiga tahun terakhir sangat mendominasi di dalam pengertian masalah jasa finansial. Rata-rata yang dikeluhkan adalah pertama masalah teror yang dilakukan oleh juru tagih atau debt collector. Itu terkait dengan masalah data pribadi atau teror karena konsumen tidak mampu mengembalikan utangnya secara tepat waktu dan ataupun teror-teror lainnya.
Kemudian yang kedua, juga masalah hitungan utang piutang atau juga suku bunga karena kalau kita bicara Pinjol itu memang bunganya tidak terbatas. Sedangkan kalau yang legal itu bunganya diatur oleh OJK dengan tetap.
Pinjol ilegal tidak ada aturan bunga yang ada, tetapi sesuka pihak lendernya. Jadi, kalau kita utang satu juta maka itu bisa menjadi 10 juta dan seterusnya. Sedangkan kalau Pinjol legal, maksimal hanya 100% dari utang pokoknya. Ini yang terjadi seperti itu.
Tapi ini tidak serta merta kelakuan semacam ini adalah kelakuan dari Pinjol ilegal. Pinjol legal pun juga sama. Itu karena 70% laporan ke YLKI menyangkut pengaduan masalah Pinjol ilegal terkait dengan pinjaman online, dan yang 30% adalah pengaduan dari Pinjol yang legal.
Jadi, Pinjol legal bukan berarti tidak ada masalah, masih banyak masalah dan karakter yang diadukan juga hampir sama, khususnya mengenai cara penagihan. Cara penagihan pihak Pinjol legal itu sama dan sebangun dengan pengaduan Pinjol ilegal.
Baru saja saya menerima pengaduan dari konsumen di Bali yang juga mengeluhkan adanya teror dari juru tagih (debt collector) dari beberapa pinjol legal. Ini yang saya kira harus digarisbawahi bahwa masalah cara penagihan Pinjol ilegal juga masih menyisakan masalah yang cukup serius dialami oleh konsumen.
Bagaimana tindak lanjut dari YLKI menanggapi laporan dari masyarakat tersebut? Apakah melanjutkannya ke bagian proses hukum, atau melaporkannya ke kepolisian, dan sebagainya?
YLKI lebih banyak menangani masalah pengaduan ini dari sisi perdata karena ini sebenarnya adalah masalah perdata mengenai utang piutang. Kalau kemudian berkembang ke aspek pidana, itu karena ada anomali-anomali yang dilakukan oleh pihak lander terkait dengan teror yang kemudian menjadi masalah pidana. Tapi pada dasarnya ini adalah utang piutang, yang itu adalah ranah keperdataan.
Sesuai dengan itu, standar yang ada di YLKI adalah setiap ada pengaduan yang masuk akan dipelajari lebih dulu. Setelah dipelajari akan ditindak lanjuti dengan pengaduan ke pihak pelaku usahanya, atau ke pihak lander untuk minta klarifikasi dan pertanggung jawaban atas apa yang dialami konsumen. Kemudian pengaduan itu juga kita tembuskan atau kita sampaikan ke OJK karena dalam hal ini regulatornya adalah OJK.
Kalau berdimensi pidana, kita akan laporkan juga atau tembusan ke kepolisian untuk mendapatkan perhatian. Itulah yang saya katakan bahwa kepolisian memang bertindak cepat ketika sudah di-mention oleh presiden. Sebelum di-mention oleh presiden, kepolisian belum melakukan tindakan-tindakan yang signifikan untuk mengantisipasi masalah pinjol ilegal ini.
Namun, memang masalah Pinjol ilegal atau Pinjol secara keseluruhan itu tidak serta merta masalah pidana, tapi juga penegakkan hukumnya bisa dengan teknologi. Itu karena utang piutang berbasis teknologi atau berbasis digital, sehingga law inforcement-nya seharusnya adalah berbasis digital. Itu karena hal yang digital, treatment-nya pun harus dengan instrumen digital.
Belum lama ini, Menteri Koordinator (Menko) Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa para korban Pinjol ilegal tidak perlu membayar cicilan Pinjolnya. Apakah ini juga bisa diterapkan?
Apa yang disampaikan oleh Mahfud MD secara psikologis memang bisa dipahami, tetapi ini tidak menyelesaikan masalah karena ketika konsumen kemudian tidak mengembalikan uangnya apakah kemudian itu akan menghentikan teror? Yang dikeluhkan konsumen adalah mengenai terornya, dimana konsumen dipermalukan di komunitasnya, koleganya, teman-temannya, saudaranya, dan segala macam.
Ini yang sangat memukul konsumen karena yang tadinya konsumen itu katakanlah orang yang bercitra baik, namun karena ada kasus ini kemudian diperolok-olok di depan komunitas di luar konteks utang-piutang. Misalnya, saya dikatakan sebagai pengedar Narkoba atau saya dikatakan sebagai pengemplang utang dan sebagainya. Ini yang sangat memukul psikologi konsumen.
Masalahnya kalau tidak membayar cicilannya itu, siapa yang akan melindungi dari sisi teror yang dilakukan itu? Sebelum Mahfud MD bicara itu pun, kami dalam merespon pengaduan konsumen terkait dengan Pinjol ilegal selalu memberikan opsi.
Pertama, ini mengenai utang piutang, konsumen harus mengembalikan sesuai dengan perjanjian di awal seperti berapa bunganya, berapa kali cicilan, dan segala macam. Kalau dikembalikan saya pikir persoalan akan selesai. Persoalan ini muncul sebenarnya ketika konsumen tidak mematuhi atau tidak memenuhi timing yang telah diperjanjikan. Kalau dia tidak ada pelanggaran atau pengembaliannya tepat waktu, sebenarnya tidak ada masalah.
Kedua, kalau memang tidak mempunyai uang untuk mengembalikan, apakah konsumen itu berani untuk “ngemplang’ artinya tidak membayar cicilan atau mengembalikan uang dan kemudian risikonya diteror. Itulah pilihannya.
Rata-rata jawaban konsumen adalah, “Kami sebenarnya akan mengembalikan Pak, tapi saat ini belum ada. Jadi, nanti kalau sudah ada akan saya kembalikan.” Ini jawaban yang menyamaratakan seolah-olah utang dengan tetangga atau dengan teman.
Ini adalah utang dengan sistem, tidak bisa ditunda-tunda. Saya kira kadang masyarakat tidak memahami itu. Ini adalah utang sistem atau hutang mesin yang kemudian akan berimplikasi terhadap besaran denda, besaran bunga, dan segala macam.
Kemudian kalau memang tidak punya, silakan ngemplang tapi risikonya diteror. Atau Anda bisa melaporkan itu ke polisi. Waktu itu selalu saya rekomendasikan untuk melaporkan ke polisi karena kalau mengadukan ke YLKI atau OJK mereka juga tidak akan menindaklanjuti karena ketika itu pinjol ilegal, maka tidak jelas ada dimana alamatnya perusahaannya, apakah di Indonesia atau di luar negeri.
Ingat, kasus pinjol ilegal ini 30% sampai 40% adalah perusahaannya ada di luar negeri. Jadi, memang sangat sulit. Karena itu apa yang dikatakan Mahfud MD sebenarnya juga bukan jawaban yang solutif untuk masalah ini.
Apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan persoalan Pinjol ilegal ini secara solutif?
Ini menyangkut aspek hulu karena sebenarnya Pinjol, terlepas ilegal atau legal, ada persoalan yang sangat krusial dimana literasi digital konsumen masyarakat kita itu rendah. Ketika kita bertransaksi secara digital baik itu fintech ataupun e-commerce, konsumen kita rata-rata tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, tidak membaca kontrak perjanjian online, tidak membaca term and condition apa yang diberikan oleh lendernya atau oleh toko onlinenya.
Ketika kemudian terjadi suatu masalah atau di kemudian hari timbul sengketa, sengketa ini persoalannya secara hukum bisa saja konsumen yang salah karena tidak membaca ketentuan itu yang sebenarnya sudah diatur di dalam term and condition yang ada atau memang perjanjiannya yang tidak fair.
Sebenarnya yang menjadi prasyarat mutlak dan tidak boleh dilupakan dalam konteks perjanjian digital adalah konsumen atau masyarakat harus membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, apa yang diatur di dalamnya, apakah kita sepakat atau tidak, apakah kita mengerti atau tidak.
Terkait dengan pinjaman online ini yang harus dibaca lebih dulu adalah pertama, aspek legalitasnya. Apakah lender atau pinjaman online tersebut terdaftar di OJK atau tidak. Kalau tidak terdaftar maka itu adalah hal yang harus ditinggalkan. Ketika konsumen berinteraksi dengan pinjaman online ilegal, itu adalah awal petaka, pasti ujungnya bermasalah.
Tapi kemudian jawaban konsumen adalah karena kami butuh uang. Ini yang kemudian menjadi persoalan yang artinya memang ada persoalan ekonomi, persoalan kemiskinan yang itu perlu penyelesaian tersendiri.
Itu yang sebenarnya dari sisi hulu untuk menyelesaikan persoalan ini yaitu bagaimana meningkatkan literasi digital masyarakat terkait dengan fenomena digital economy. Saat ini digital economy khususnya fintech begitu deras menggerojok kita, tapi secara sosiologis masyarakat kita sebenarnya belum siap karena dengan tingkat literasi yang masih rendah atau belum baik.
Salah satu upaya solutif tersebut adalah melakukan peningkatkan literasi digital kepada masyarakat mengenai Pinjol. Siapa yang harus melakukan literasi digital ini?
Di dalam prasyarat ekonomi digital atau fenomena digital economy, yang menjadi pondasi kita adalah adanya literasi digital masyarakat. Tadi, syaratnya adalah membaca syarat dan ketentuan yang berlaku dan seterusnya. Kalau kita bicara siapa yang berhak atau wajib melakukan ini, tentu saja semua pihak yang bertanggung jawab.
Pertama, tentu pemerintah harus meningkatkan upaya-upaya literasi digital itu, apakah itu OJK, Kepolisian, Kementerian Keuangan, Kementerian Kominfo. Jangan lupa ini menyangkut potensi dari Kementerian Kominfo agar mereka paham terkait dengan masalah transaksi digital ini.
Kedua, pelaku usaha itu sendiri atau lender kalau kita bicara mengenai pinjaman online. Kalau kita bicara mengenai e-Commerce, itu adalah toko online, platform digital, dan segala macam untuk mengantisipasi agar konsumennya mengerti tentang hal-ihwal yang ditransaksikan.
Masyarakat juga harus bertanggung jawab untuk mengetahui sebelum bertransaksi, tolong dibaca. Masalah digital ini persoalannya lebih rumit dibanding kita bertransaksi secara konvensional. Ketika kita membeli Sembako di toko sebelah, itu juga satu transaksi tapi lebih sederhana, atau kita belanja di retail modern sekalipun itu juga satu transaksi konvensional.
Ini adalah transaksi digital yang notabene memerlukan prasyarat-prasyarat yang lebih rumit yang harusnya itu dibaca oleh konsumen sebelum melakukan transaksi dan juga selama transaksi ataupun pasca transaksi. Ini semua memerlukan satu upaya keras dari regulator, dari operator, dan juga dari konsumen.
Mengapa selama ini semua pihak tersebut abai melakukan literasi digital sehingga akhirnya menimbulkan banyak korban?
Sebenarnya dibilang update 100% juga tidak, tetapi memang upaya-upaya itu tidak cukup efektif untuk mengantisipasi di satu sisi derasnya gelombang digital ekonomi. Di sisi lain adalah upaya pemberdayaan masyarakat terkait dengan digital economy atau fintech ini juga tidak seimbang dengan derasnya itu.
Ini yang saya kira sangat mendesak dari sisi regulasi dalam konteks ini adalah kita harus segera mempunyai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Sementara sampai detik ini RUU PDP atau RUU Perlindungan Data Pribadi masih mangkrak di Komisi satu, dan juga oleh Kementerian Kominfo.
Ini sebagai prasyarat sebenarnya karena masalah digital economy khusunya fintech atau juga e-Commerce itu yang menjadi payung hukum, salah satunya adalah masalah perlindungan data pribadi. Itu karena di dalam bisnis digital ini yang menjadi komoditas yang seksi adalah data pribadi.
Masyarakat sampai detik ini masih menganggap remeh terhadap masalah data pribadi ini. Yang kemudian sering berbuntut panjang karena tidak menyadari bahwa data pribadinya telah di transmisikan ke pihak lain dan kemudian merasa dirugikan. Padahal itu bisa dipelajari saat bertransaksi apakah memang data pribadinya boleh diberikan atau tidak, begitu kira-kira.
Saat ini literasi digital di masyarakat masih rendah dan kita juga belum mempunyai Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Apakah bisa diambil solusi berupa moratorium terhadap kehadiran pinjol-pinjol baru?
Apa yang mau dimoratoriumkan kalau Pinjol ilegal itu adalah ilegal. Yang bisa di moratoriumkan adalah yang legal, sementara yang bermunculan adalah ilegal. Kalau ilegal pemerintah tidak bisa melakukan perintah, misalnya “Hei stop dulu” atau “Hei moratorium dulu”.
Kalau kita bicara legal dan ilegal, yang legal itu hanya sekitar 125 saja dari yang terdaftar di OJK, sedangkan yang ilegal jumlahnya ribuan, ada 3.500 lebih. Hari ini ditutup, tapi nanti berapa hari kemudian bermunculan dan jumlahnya lebih banyak. Jadi, itu tidak bisa di moratorium, karena ilegal.
Pemerintah harus mempunyai skema yang besar untuk menutup itu. Misalnya, yang kemarin kami sarankan adalah baik OJK khususnya kepolisian juga bekerja sama misalnya dengan pihak Google agar pinjol-pinjol ilegal itu tidak muncul di App Store karena Pinjol ilegal itu bisa di-download di App Store ataupun di media sosial.
Pemerintah belum melakukan kerja sama-kerja sama yang komprehensif untuk melakukan hal itu, baik itu dengan misalnya Google, dengan App Store-nya, atau dengan media sosial seperti Facebook. Ingat, iklan-iklan itu bermunculan di Facebook. Bisa atau tidak pemerintah bekerja sama dengan Facebook untuk secara automatically men-delete pinjol-pinjol ilegal ketika dia tidak terdaftar di OJK.
Jadi, penyelesaian hukumnya bukan hanya sekadar melakukan “gropyok” di lokasi A ada pinjol ilegal. Itu terlalu simplisit. Ini masalah ekonomi digital, masalah teknologi, sementara yang dilakukan Polisi hanya menyangkut masalah-masalah tindak pidana konvensional.
Apa efek jera yang harus diberikan kepada pinjol ilegal maupun legal yang melanggar ini agar tidak banyak jatuh korban lagi?
Tidak bisa kita bicara efek jera kalau untuk ilegal. Yang kita bisa lakukan adalah bagaimana agar pinjol-pinjol ilegal itu tidak bermunculan kembali. Seperti tadi Saya sarankan, pemerintah harus bersinergi kuat dengan platform-platform digital, dengan media sosial, dengan Google dan sebagainya. Itu yang membuat mereka jera. Jera dalam arti bagaimana menutup kran-kran agar mereka tidak bisa berpromosi, agar mereka tidak bisa di-download oleh masyarakat dan sebagainya. Kalau tadi saya katakan mereka tidak punya efek jera. Hari ini ditutup, diblokir, besok muncul lagi. Itu karena penyelesaiannya masih bersifat konvensional.