Tidak Ada Manusia Kelas Dua
Salam Perspektif Baru,
Hari ini kita akan bicara mengenai sebuah isu yang mungkin sedikit sensitif, tapi menurut kami di Perspektif Baru ini adalah hal prinsipil yang memang harus dibicarakan mengenai identitas gender dan hak asasi manusia. Bukan saya yang akan berbagi perspektif dengan Anda mengenai topik ini, tapi sudah ada ahlinya, rujukan kita bersama mengenai hoax, persoalan hukum, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Dia adalah Bivitri Susanti, pakar hukum dan juga pegiat HAM.
Bivitri mengatakan setiap orang yang berbeda-beda itu harus dilindungi oleh negara, tidak boleh dia mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan, tidak boleh dianggap bukan manusia, hanya karena dia berbeda dengan yang “normal”, kemudian dia di-bully, dikucilkan. Itu tidak boleh, dan negara harus campur tangan.
Bagi Bivitri, yang harus diubah ini perspektif kita mengenai apa itu yang namanya martabat manusia. Jadi, tidak ada manusia kelas dua, baik itu karena dia perempuan, atau karena dia disable, ataupun karena dia orientasi seksualnya berbeda. Semua manusia itu sama. Cara pandang itu yang sepertinya harus kita bongkar dulu di sistem pendidikan kita, sehingga tidak ada yang namanya homophobic.
Menurut Bivitri, tetaplah jadi diri sendiri, menampilkan diri kita apa adanya, tentu saja tergantung kesiapan masing-masing. Tapi menurut saya, kalau kita menampilkan diri kita apa adanya, kita sebenarnya sudah membantu untuk memperlihatkan bahwa perbedaan itu nyata ada.
Berikutwawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancaradengan narasumber Bivitri Susanti.
Saat ini masyarakat Indonesia terutama banyak sekali anak muda yang berani mengekpresikan gendernya, yang kemudian kita lihat dalam diskursus publik seperti yang terjadi di Universitas Hasanuddin, Makassar beberapa waktu lalu. Kemudian hal tersebut mencuat menjadi isu yang prinsipil, ketika dia ditanya apa gendernya dan menjawab bahwa gender saya netral. Kemudian ada yang menghardik dan ada yang menghakimi, tapi banyak juga yang menilai dan membela bahwa ini adalah pilihan setiap orang.
Bagaimana perspektif Bivitri kalau melihat isu gender dan hak asasi manusia (HAM) dalam konteks negara hukum, negara Pancasila, dan kita berkonstitusi?
Barangkali kita mesti mulai dari apa sebenarnya orientasi seksual, dan apa juga yang namanya identitas gender. Jadi, yang kemarin heboh dibicarakan itu adalah identitas gender karena kita itu biasanya menyebutnya biner yaitu berhadap-hadapan antara laki-laki dan perempuan.
Kalau bicara gander itu sebenarnya konstruksi sosial apa yang masyarakat rekatkan pada gender-gender tertentu mengenai perannya. Identitas gender itu spektrumnya luas sekali, tidak hanya laki-laki dan perempuan, salah satunya adalah gender netral. Itu bisa jadi karena memang ekspresinya ingin begitu, atau sekarang ini juga banyak saat kita ikut diskusi itu boleh memilih laki-laki, perempuan, atau tidak menyebutkan gender, itu juga hak sebenarnya.
Mungkin kita bisa bagi dua konteks, yaitu pertama dalam konteks hukum dan yang kedua yang lebih mendasar dari hukum. Kita bahas lebih dulu yang mendasar dengan memulainya dari apa itu identitas gender. Yang mendasarnya adalah memang sesungguhnya kita itu lahir sebagai manusia.
Kalau kita main Hangman itu gambarnya biasanya hanya buletan, lidi, atau garis-garis, dan tidak ada ekspresi gendernya karena seperti pakai rok atau rambut panjang atau pendek. Jadi itu tidak tergantung pada jenis kelamin, tapi itu adalah ekspresi gender yang dilekatkan ke orang. Padahal di Skotlandia laki-lakinya juga memakai rok, di Indonesia laki-lakinya memang tidak memakai rok, tapi memakai sarung yang juga sedikit mirip dengan rok.
Jadi, sebenarnya itu semuanya konstruksi sosial yang juga berubah, sepanjang masa itu selalu berubah-ubah. Bahkan dalam konteks masyarakat tradisional Indonesia di Bugis yang sudah terkenal dan sering dikutip itu gandernya ada lima, tidak hanya dua. Ini tradisional, baru kemudian belakangan ditekan mengikuti apa yang dianggap “normal”. Jadinya ditiadakan yang lainnya, dan yang dikenal hanya laki-laki dan perempuan.
Jadi, yang mendasar adalah kita lahir sebagai manusia. Apapun warna kulit kita, rambut kita yang mungkin berbeda-beda tergantung rasnya, ada yang pirang dan sebagainya. Intinya adalah kita lahir sebagai manusia biasa, tidak ada embel-embel apapun dan dengan kita lahir sebagai manusia biasa kita mempunya martabat yang harus dihormati sebagai manusia, terlepas dari warna kulit, rambut, orientasi seksual, ekspresi gender, bahkan jenis kelamin, dan sebagainya. Itu dulu, manusianya dulu yang paling mendasar.
Sebagai manusia maka dia sudah melekat di badannya, di tubuhnya, di pikirannya hak yang namanya hak asasi manusia. Tapi isi kepala kita sudah terlanjur tercemar dengan penampakan-penampakan ketika kita lahir terutama secara fisik. Misalnya jenis kelamin, itu jelas berbeda-beda. Kemudian disabilitas, ada orang yang lahir sudah tidak bisa melihat, sudah tidak mempunya tangan, tidak mempunyai kaki, itu perbedaan fisik yang memang kelihatan. Tapi dalam dirinya sendiri setiap orang itu walaupun dia tangannya hanya satu atau tidak mempunyai tangan, bisa melihat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dia tetap manusia. Jadi, berangkatnya dari situ dulu, baru kemudian secara hukum, yaitu HAM.
Tadi Bavitri sudah mengatakan dan memberikan perspektif sebenarnya mengenai gender netral atau pilihan-pilihan gender yang lebih khusus atau tidak kebanyakan. Itu sebenarnya secara kultur dan budaya kita memang sudah menjadi bagian dari kultur kita yang hidup di tengah masyarakat kita bertahun-tahun. Mungkin lebih lama dari Republik ini berdiri juga.
Secara hukum, Bivitri sudah mengatakan secara sosiologis, antropologis, dan hak asasi manusia bahwa pilihan itu memang bisa dilekatkan atau diberikan kepada setiap individu atas pilihan gendernya atau seksualitasnya. Bagaimana dengan konstruksi sosial dan hukum yang juga menjadi problem, misalnya, kemarin terjadi di Universitas Hasanuddin, Makassar yang menjadi salah satu manifestasi atau wajah kita dalam melihat persoalan gender ini?
Dari yang basic tadi kemudian menjadi tugas negara untuk memastikan supaya kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, HAM, dan sebagainya itu dilindungi, dipenuhi, dan juga dihormati. Jadi, ketika seseorang menyatakan dia ternyata memilih ekspresi gendernya itu bukan laki-laki atau bukan perempuan tapi netral, negara tidak boleh mendiskriminasi orang tersebut.
Secara konsitusional ada di pasal 28 E, hak atas kebebasan berekspresi. Tapi juga ada pasal 28 I, kalau saya tidak salah, mengenai setiap orang tidak boleh di-diskriminasi berdasarkan apapun. Yang termasuk di dalamnya itu orientasi seksual ataupun identitas gender. Jadi, secara hukum konstruksinya seperti itu, bahkan kalau ingin yang lebih jauh lagi kita mempunyai Undang-Undang HAM, ada juga Yogyakarta Principles yang ini internasional tapi kebetulan dibuatnya di Yogyakarta tahun 2007 mengenai pemberlakuan hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksual dan identitas gender.
Jadi, secara konstruksi hukum sudah jelas bahwa boleh saja orang berekspresi yang berbeda-beda dan sudah terbukti bahwa itu bukan penyakit, bahkan juga secara psychologist itu asosiasi psychiatrist sudah menyatakan perbedaan orientasi seksual ataupun identitas gender itu sama sekali bukan penyakit, bukan disabilitas mental. Itu memang alamiah saja dan kebetulan berbeda.
Jadi, setiap orang yang berbeda-beda itu harus dilindungi oleh negara, tidak boleh dia mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan, tidak boleh dianggap bukan manusia, hanya karena dia berbeda dengan yang “normal”, kemudian dia di-bully, dikucilkan. Itu tidak boleh, dan negara harus campur tangan.
Fakta hukum yang selama ini secara regulasi, secara aturan, secara konstitusional itu sudah dilindungi. Orang nyaman saja, tenang saja karena Anda dilindungi oleh negara, dan negara memang wajib melindungi Anda.
Bagaimana fakta hukumnya sejauh ini secara administratif, ketika kita berurusan dengan hukum sampai administrasi-administrasi yang menyangkut mengenai pendidikan, kesehatan, hak-hak mendapatkan jaminan sosial dari negara? Apakah regulasi-regulasi turunan ini sudah menerjemahkan atau mengejawantahkan keinginan konstitusional yang sebenarnya sudah ada dalam konstitusi kita?
Sejauh ini regulasi aman-aman saja, tapi masalahnya adalah di lapangannya. Misalnya, KTP kita tidak bisa ada keterangan jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan, tapi itu urusan administratif sehingga itu bisa berdampak pada cara orang melihat kita karena kita dianggap tidak normal.
Ketika orientasi seksual dan identitas gendernya berbeda, itu dianggapnya tidak normal. Dalam pelaksanaannya, bahkan saat kita ke dokter untuk perempuan yang tidak menikah dengan yang menikah saja bisa ada perbedaan. Apalagi kalau misalnya orang yang orientasi seksualnya berbeda, ketika dia memeriksakan kesehatan dan ada bagian-bagian riwayat kesehatannya yang mengharuskan dia bercerita tentang orientasi seksualnya ini sangat mungkin dia dapat diskriminasi.
Belum lagi kalau misalnya ada adopsi anak, itu juga mereka atau otoritas negara akan memastikan tentang lingkungan keluarga seperti apa yang harus dihadapi oleh seorang anak yang diadopsi.
Misalnya, kalau sesama jenis antara laki-laki dan laki-laki, atau perempuan dan perempuan maka mereka juga berhak memiliki keluarga atau anak adopsi. Apakah regulasi, aturan, dan norma-norma pranata sosial dan hukum kita bisa catch up dengan kebutuhan dan esensi HAM?
Belum bisa, sampai sekarang hal itu tidak dimungkinkan. Kita lepaskan dulu pembicaraan mengenai perkawinan sesama jenis, karena saya kira itu sudah advance dan memang sangat tergantung dengan konteks masyarakat kita.
Kalau mengenai kehidupan seorang anak, misalnya anak yang mempunyai indentitas gander yang sudah kelihatan berbeda, itu cenderung ingin disembuhkan, kadang-kadang juga diruat, dikunciin, kadang-kadang juga dipukuli oleh orang tuanya, bahkan ada juga yang dipasung. Itu yang saya maksud di level pelaksanaan.
Supaya kita diskusinya lebih enak, saya tidak ingin membawa yang ke berat dulu. Kalau mengenai perkawinan sesama jenis nanti dulu, kita kantongi dulu. Yang ingin saya tekankan terlebih dulu adalah intinya orang-orang itu sebenarnya manusia biasa. Bukan berarti karena dia “tidak normal”, maka dia boleh dipasung, boleh diruat, dipukuli, dan sebagainya supaya dia berubah ekspresi gendernya menjadi lebih laki-laki, atau sebaliknya menjadi lebih perempuan. Itu yang tidak boleh. Yang penting kita lihat dulu bahwa manusia itu pada dasarnya manusia biasa saja, juga tidak boleh didiskriminasi karena dia berbeda.
Ternyata regulasi kita, HAM kita mengakomodasi pilihan-pilihan yang paling rumit, dan paling yang tidak biasa yang ada dalam kehidupan ini. Tapi persoalannya tidak semudah itu. Bagaimana Bivitri melihatnya, dan bagaimana kita mulai belajar untuk bisa mengantisipasi hal yang kita tidak duga?
Saya setuju sekali bahwa kita jangan menggerutu lagi. Ok, itu sudah terjadi, tapi bagaimana ke depannya? Bagi saya memang yang harus diubah ini perspektif kita mengenai apa itu yang namanya martabat manusia. Jadi, tidak ada manusia kelas dua, baik itu karena dia perempuan, atau karena dia disable, ataupun karena dia orientasi seksualnya berbeda. Semua manusia itu sama. Cara pandang itu yang sepertinya harus kita bongkar dulu di sistem pendidikan kita, sehingga tidak ada yang namanya homophobic.
Seringkali anak-anak yang mungkin kalau laki-laki, tapi sedikit kemayu itu sering sekali di bully. Di sekolah-sekolah itu anak-anak kecil luar biasa sekali, dari kecil mereka seakan-akan sudah “diajarkan” karena diperbolehkan oleh guru-gurunya, diperbolehkan dalam arti didiamkan saja, ketika mereka mem-bully anak laki-laki yang kemayu atau meledek anak-anak perempuan yang tomboi sekali. Itu dibiarkan saja sehingga timbul yang namanya homophobic.
Jadi, benci terhadap orang yang beda dengan manusia yang dianggap “normal”. Itu dulu yang dibongkar. Jadi, paling tidak ketika kita di jalan atau saat orientasi mahasiswa bertemu orang yang mengaku gendernya netral, kita tidak kaget dan kemudian memarahi dia.
Kalau kita merasa ada yang harus dipahami lebih jauh, silakan diajak berbicara, bukan di muka umum dimarahi dan dianggap tidak normal, bahkan diusir. Kemarin yang terjadi seperti itu. Saya kira itu sistem pendidikan kita yang harus dibongkar, sehingga cara pandang kita untuk memahami apa yang normal dan apa yang tidak normal itu harusnya dasarnya itu manusia saja.
Jangan-jangan guru-guru itu bukannya membiarkan saja, tapi justru malah mendukung anak-anak menghardik atau menyuruh mengajari temannya supaya menjadi laki-laki yang benar atau menjadi perempuan yang semestinya. Mungkin secara naluriah seperti itu.
Reformasi di dunia pendidikan itu bukan hanya merdeka belajar ala Menteri Nadiem yang masuk ke industri, bisa catch up dengan teknologi, tetapi juga secara akal dan hak asasi manusia sangat prinsipil.
Bivitri sebagai seorang pengajar, juga sebagai seorang ibu, sebagai seorang aktivis juga, apa pesan untuk Menteri Nadiem? Apa yang harus dilakukan karena dunia pendidikan ini adalah manifestasi dari kehidupan yang lebih baik ke depan?
Menurut saya, dimulainya itu justru juga dari exposure ke perbedaan-perbedaan itu. Saya sendiri merasakan, saya sekarang mempunyai satu mahasiswa transpuan, dan ketika dia masuk kuliah itu mungkin kalau lebih bisa menjaga perasaannya. Tapi misalnya, tenaga pendidik ketika melihat ada waria maka seakan-akan memandang dengan sebelah mata, dan tahunya bahwa dia itu waria, walaupun sebenarnya itu politically incorrect.
Tapi itulah yang kita tahu karena exposure itu teman-teman di kampus menjadi mulai belajar bahwa memang ada yang namanya transpuan, dan mereka itu manusia biasa, hanya saja ekspresi gendernya berbeda. Sebagai manusia biasa mereka harus tetap sekolah, bisa sekolah hukum, dan sebagainya. Mungkin nantinya pendidikan kita mesti juga lebih inklusif. Jadi, anak-anak yang berbeda itu seharusnya dari SD, SMP, SMA inklusivitasnya dibangun.
Kalau ada orang yang berbeda penampilannya, seperti laki-laki yang sedikit kemayu atau perempuan tomboy, itu jangan di disuruh menyembunyikan identitasnya supaya jadi seakan-akan normal. Tapi dibuka saja, diajak berdialog, orang tuanya juga diajak berdialog, dan bicarakan misalnya di kelas, “Tidak apa-apa si A atau si B ini memang begitu, karena kita memang berbeda-beda.” Pendidikan kita bisa dibuka, jadi bukan hanya kurikulumnya, tapi juga bagaimana kita belajar.
Apa kesalahan dan kepalsuan yang selama ini kita terima dan kita ilhami sebagai bagian dari kewajaran? Apa dampaknya untuk saudara-saudara kita yang memang berbeda secara kebanyakan, orientasi seksualitasnya, gendernya, pilihan agamanya, pilihan politiknya, dan sebagainya?
Menurut saya mungkin kesalahannya di cara kita melihat yang mayoritas. Jadi, kita mempunyai kecenderungan untuk melihat yang mayoritas adalah normalitas. Benar sekali yang Anda katakan, bahwa tidak hanya orientasi seksual, tapi juga agama. Misalnya, agama yang mayoritas di Indonesia adalah Islam, maka kita menganggap yang normal itu adalah yang Islam. Jadi, kalau orang misalnya makan babi itu tidak benar, sehingga harus disembunyikan apalagi bulan puasa. Orang yang tidak memakai jilbab kemudian dimarahi, ini biasanya terjadi pemaksaan pada anak kecil perempuan untuk memakai jilbab.
Kesalahan kita seperti itu, menganggap bahwa mayoritas harus menguasai kehidupan sosial, sehingga kita tidak bisa dan tidak biasa melihat perbedaan-perbedaan yang sebenarnya memang nyata. Akibatnya adalah orang-orang yang minoritas juga akan semakin menutup diri, dan yang mayoritas merasa boleh melakukan apa saja yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang mereka anggap benar. Ini yang harus kita bongkar dulu.
Ok, tolong Bivitri memberikan energi untuk saudara kita, teman-teman, rekan-rekan kita yang mungkin dianggap minoritas, yang mungkin dianggap berbeda dari mayoritas kebanyakan, untuk mereka bisa melewati perbedaan-perbedaan dan mungkin hambatan yang ada di depan mata mereka terkait dengan aktualisasi dan ekspresi diri mereka sendiri.
Menurut saya, tetaplah jadi diri sendiri, menampilkan diri kita apa adanya, tentu saja tergantung kesiapan masing-masing. Tapi menurut saya, kalau kita menampilkan diri kita apa adanya, kita sebenarnya sudah membantu untuk memperlihatkan bahwa perbedaan itu nyata ada. Justru jangan ditutupi supaya kita kelihatan normal. Memang kita play safe dengan cara itu, tapi akibatnya dalam jangka panjang, mayoritas ini tidak akan bisa percaya, mereka seperti hidup dalam bubble, merasa bahwa yang normal itu adalah mereka.
Kita harus tetapberekspresi sesuai dengan yang sudah kita pilih.Justru dengan itu sebenarnya kita pelan-pelan mengantarkan yang mayoritas untuk sampai pada pemahaman bahwa beda-beda itu biasa saja dan bahwa yang beda pun sebenarnya pada dasarnyaadalah manusia.