Sinergikan Konservasi dengan Peningkatan Ekonomi

Salam Perspektif Baru,

Indonesia termasuk dalam daftar negara yang memiliki hutan terluas di dunia. Dalam hal ini pengelolaan hutan yang lestari menjadi salah satu kunci untuk hutan dapat memberikan dampak positif seperti untuk memerangi perubahan iklim dan untuk meningkatkan ekonomi atau kesejahteraan masyarakyat di sekitarnya. Sekarang kita bahas mengenai upaya konservasi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya dengan narasumber seorang akademisi yaitu Prof. Dr. Fatchur Rohman, M.Si yang bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Malang.  

Menurut saya, beberapa tahun lalu dalam pembangunan berkelanjutan itu aspek konservasi sedikit dikalahkan. Namun, dalam beberapa waktu ke sini atau berjalan ke arah sekarang orang sudah mulai sadar bahwa keberlanjutan ekonomi itu juga mengandalkan keberlanjutan sumber daya alam. Kesadaran inilah yang menggugah berbagai pihak dan stakeholder bahwa perlu adanya keseimbangan antara konservasi, dalam hal ini dengan keperluan kepentingan ekonomi.

Ada praktek baik yang terkait bagaimana upaya-upaya kesadaran tadi mencoba mensinergikan domain konservasi dengan peningkatan ekonomi rakyat. Satu contoh yang terjadi di masyarakat yaitu di Kampung Blekok, di wilayah administrasi Kabupaten Situbondo. Di daerah tersebut ada luasan hutan mangrove kurang lebih sekitar 27 hektar. Kemudian hutan itu dibuat menjadi ekowisata. Ekowisata artinya wisatanya dikembangkan dengan prinsip-prinsip ekologi dan bahwa konservasi itu menjadi hal yang sangat penting juga.

Ada praktek bagus lainnya juga yaitu di Desa Selobanteng. Itu merupakan hutan rakyat.  Keberadaan kedua hutan tersebut bermanfaat juga untuk mitigasi perubahan iklim. Untuk yang di Selobanteng dari pohon jati dan gmelina itu keseluruhannya diukur sekitar 3.800-an ton karbon. Kemudian di Kampung Blekok yang hutan mangrove itu dengan pengukuran pada batas tertentu sekitar 1.100 sekian stok karbonnya.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Prof. Dr. Fatchur Rohman, M.Si.

Ketika kita berbicara mengenai lingkungan hidup, dulu dalam setiap proses pembangunan faktor lingkungan hidup seperti kelestarian hutan selalu kalah atau “harus mengalah” demi peningkatan ekonomi. Namun kini, terutama dalam 10 tahun terakhir, telah dikembangkan upaya konservasi hutan disinergikan dengan peningkatan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Bagaimana bisa disinergikan antara upaya konservasi dengan peningkatan ekonomi karena biasanya kalau harus memilih maka salah satu ada yang harus dikorbankan.

Sebelum menjawab pertanyaan yang disampaikan, kita ada di perjalanan proses berlangsungnya pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Di dalam kerangka itu biasanya memang ada dimensi ekologi atau lingkungan, dimensi ekonomi, dan juga dimensi sosial, sehingga tiga dimensi itu akan beririsan, dan akan perlu adanya perimbangan ketika ketiga dimensi itu beririsan. Maksud beririsan di sini adalah kepentingan. 

Satu sisi dimensi ekologi lingkungan bahwa dia mengedepankan adanya konservasi dalam rangka untuk keberlanjutannya. Dari sisi yang lain dengan segala macam bentuk antropomorfisme ekonomi memang menjadi suatu yang dikedepankan. Juga secara sosial akan  memberikan dampak ketika ekonomi bagus, maka dimensi sosial yaitu gejolaknya hampir tidak ada.

Menurut saya, memang betul sekali bahwa beberapa tahun yang lalu dalam pembangunan berkelanjutan itu aspek konservasi sedikit dikalahkan. Namun, dalam beberapa waktu ke sini atau berjalan ke arah sekarang orang sudah mulai sadar bahwa keberlanjutan ekonomi itu juga mengandalkan keberlanjutan sumber daya alam. Kesadaran inilah yang menggugah berbagai pihak dan stakeholder bahwa perlu adanya keseimbangan antara konservasi, dalam hal ini dengan keperluan kepentingan ekonomi.

Apa contohnya antara sinergi dalam kelestarian hutan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya? Apa bentuknya?

Ada praktek baik yang terkait bagaimana upaya-upaya kesadaran tadi mencoba mensinergikan domain konservasi dengan peningkatan ekonomi rakyat. Satu contoh yang terjadi di masyarakat yaitu di Kampung Blekok, di wilayah administrasi Kabupaten Situbondo. Di daerah tersebut ada luasan hutan mangrove kurang lebih sekitar 27 hektar.

Hutan mangrove itu menjadi rumah beberapa jenis burung terutama burung kuntul, burung blekok, burung koak, dan sebagainya. Ada sekitar 11 jenis burung air. Maksudnya, burung air adalah burung yang keperluan untuk makannya diperoleh dari perairan, dan hutan menjadi tempat tinggal atau rumahnya.

Ketika sore hari mereka akan pulang menuju ke hutan mangrove tersebut. Kemudian ketika dia akan beraktivitas di pagi hari, dia akan keluar dengan ribuan burung blekok, burung kuntul, burung cangak, dan sebagainya. Itu akan menjadi suatu keindahan dan menarik perhatian.

Bagaimana peran yang diambil oleh Anda dalam upaya mensinergikan ini?

Begini, karena di lokasi tersebut terdapat hutan mangrove dan statusnya adalah hutan esensial, maka keberadaannya itu memang perlu diperhatikan dan menarik bagi saya. Untuk bisa memperhatikannya secara operasional, kita harus ada kerjasama dalam hal ini dengan masyarakat sekitar. Kebetulan masyarakat sekitar itu mata pencahariannya adalah pengrajin souvenir atau hand craft.

Dengan ditetapkannya mangrove di Kampung Blekok menjadi kawasan konservasi atau hutan esensial, maka memperoleh perhatian juga dari pemerintah daerah dalam hal ini adalah pemerintah daerah Kabupaten Situbondo. Kemudian ada inisiasi-inisiasi dari masyarakat setempat bagaimana mereka tetap bisa menjaga hutan mangrove tersebut.

Ada komunikasi dengan pemerintah daerah, kemudian juga ternyata ada peran yang sangat menentukan adanya keberadaan dunia usaha dan dunia industri. Dalam hal ini perusahaan tersebut adalah perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yaitu Paiton Energy dan PT. POMI.

Perusahaan ini juga mempunyai kesamaan dalam mengembangkan dan meningkatkan ekonomi kerakyatan yang ada di sekitar hutan itu. Namun, mangrove itu bisa tetap dijaga. Akhirnya terjadi program-program corporate social responsibility (CSR) dari PT Paiton energy dan PT POMI tersebut untuk pendampingan masyarakat.

Pertama yang dibangun adalah capacity building, kesadaran bagaimana pentingnya keberadaan mangrove sebagai sumber daya alam yang juga akan memberikan nilai ekonomi kepada mereka. Kemudian ada juga pendampingan dari PT. Paiton Energy dan PT. POMI untuk mencoba membuka hutan itu menjadi ekowisata. Ekowisata artinya wisatanya dikembangkan dengan prinsip-prinsip ekologi dan bahwa konservasi itu menjadi hal yang sangat penting juga.

Stakeholder yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, yaitu ada pemerintah daerah, masyarakat dengan inisiasi kemauannya sendiri untuk tetap menjaga keberadaan mangrove, dan kemudian adanya kehadiran perusahaan. Sehubungan ada konservasi, maka perusahaan ini menggandeng perguruan tinggi, dan kebetulan saya yang diminta untuk terlibat dalam penyediaan data-data terkait dengan biodiversitas.

Ketika upaya konservasi Hutan Bakau Blekok ini dikaitkan dengan ekowisata, apakah keberadaan ekowisata tersebut tidak merusak atau tidak mengganggu konservasi tersebut, seperti burungnya malah menjadi kabur karena terganggu ada pengunjung?

Hal itu bisa dimungkinkan terjadi. Karena itu perlu ada monitoring secara periodik setiap tahun. Dengan pengamatan biodiversitas, saya akan mencari indeks biodiversitas sebelum lokasi itu dibuka, sehingga saya akan memperoleh data. Saya mulai dari 2018 untuk mengumpulkan baseline data tersebut. Kemudian saat 2019 dibuka menjadi ekowisata, kami tetap melakukan monitoring apakah dengan perubahan menjadi ekowisata terjadi perubahan atau tidak.

Pada 2020 sampai sekarang ternyata, menurut pantauan atau monitoring saya, flora dan fauna yang ada di sana itu masih dalam kategori aman. Saya objektif bicara ini, bukan berarti saya akan berpihak kepada siapa, tapi indeks keragaman hayatinya masih dalam kategori tinggi.

Apakah ini berarti terjaga kelestariannya?

Itu artinya adalah ada stabilitas. Dengan melihat nilai indeks keragaman, maka kita bisa melihat kondisi itu stabil atau tidak stabil. Selama 2018 sampai sekarang memang indeksnya itu fluktuatif, tapi masih dalam rentang dikategorikan tinggi. Jadi, masih stabil.  

Ini berarti dua tahun dibuka menjadi ekowisata, dengan aturan main bahwa wisatawan domestik itu bisa masuk di kawasan tersebut dengan tetap memperhatikan dan menjaga upaya-upaya melestarikan keberadaan mangrove. Itu karena mangrove itu menjadi rumah, habitat, ekosistem unik di daerah Situbondo yang bisa memberikan nilai ekonomi.

Kegiatan-kegiatan ekowisata di sana pun juga terkendali oleh kelompok masyarakat yang sadar wisata (Pokdarwis). Kerjasama dan sinergi yang demikianlah maka konservasi dan ada upaya peningkatan ekonomi itu bisa berlangsung. Tugas saya sebagai akademisi adalah akan melakukan monitoring terus untuk menjaga apakah terjadi perubahan atau tidak. Jika ada perubahan, maka kami akan bisa segera melaporkan kepada pihak-pihak stakeholder terkait.

Bagaimana dampak dari keberadaan ekowisata ini bagi peningkatan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat sekitarnya yang terlibat dalam ekowisata ini?

Sebelum ke sana saya ingin sedikit menambahkan bahwa kegiatan konservasi itu ada juga penanaman. Ada tempat konservasi Mangrove Center, sehingga ada pembibitan dan sebagainya. Itu adalah upaya-upaya konservasi.

Terkait dengan dampak ekonomi karena dibukanya wisata adalah masyarakat yang sebelumnya pengrajin, maka hand craft nya bisa laku karena ada pengunjung, mereka bisa jual. Itu dari segi ekonomi.

Kedua, mereka juga membuka usaha homestay atau penginapan. Ini menarik sekali, yang sebelumnya tidak ada homestay, mereka bisa membuatnya untuk bisa melayani para wisatawan untuk bisa berkunjung dan bermalam, sehingga kemudahan untuk bisa tetap di sana itu diperoleh di Kampung Blekok.

Ada contoh lain, praktek bagus lainnya juga, yaitu kerja sama Penta-Helix antara PT. POMI dan Paiton Energy dengan pemerintah daerah Kabupaten Situbondo dan masyarakat yang berada di suatu desa yang namanya Desa Selobanteng.

Apakah Selobanteng merupakan hutan bakau juga?

Beda, karena posisinya di pegunungan dan perbukitan. Itu merupakan hutan rakyat. Jadi, bagaimana menjaga hutan rakyat supaya mereka tidak selalu memanfaatkan kayu-kayu dari hutan rakyat, maka ada inisiasi dari perusahaan dan masyarakat. Kebetulan Lurahnya juga memiliki kepeduliannya sangat tinggi, kesadaran untuk menjaga lingkungannya cukup tinggi, mempunyai komitmen, sehingga terjadilah komunikasi dan ada kerja sama Penta-Helix.

Di Selobanteng itu diberi sumbangan sebagai pemicu untuk menanam pohon, yaitu setiap tahun ada 2.000 bibit akan ditanam oleh masyarakat sekitar. Saya melihat masyarakatnya juga komitmen sekali, mereka mau menerima dan menanamnya.

Apa jenis pohon yang ditanam sehingga masyarakat bersedia menerima?

Kebetulan jenis tanamannya adalah tanaman yang mempunyai nilai ekonomi, yaitu jati dan gmelina. Kebetulan masyarakat di sana mata pencahariannya adalah pada umumnya pengrajin mebel, sehingga dia butuh kayu. Supaya dia tidak menebang pohon-pohon jati yang ada di hutan rakyat, maka perusahaan  memberikan bibit untuk ditanam. Setelah 10 tahun, pohon-pohon yang ditanam ini tidak ditebang atau dipanen secara serentak, tetapi memanennya dengan bertahap atau tebang pilih.

Kebetulan ada juga program yang namanya kredit tunda tebang. Ini merupakan program dari Kementerian Kehutanan, dan ini dimanfaatkan betul oleh mereka. Jadi, tanaman-tanaman yang disumbangkan oleh perusahaan untuk rakyat, setelah 10 tahun itu diameternya sudah lumayan antara 20 sampai 30 centimeter.

Itu sudah bisa untuk ditebang. Tetapi pohon gmelina dan jati itu dianggunkan untuk memperoleh kredit tunda tebang, sehinga dengan diameter sekian, nilainya sekian, maka dia akan memperoleh kredit sekian juta. Begitu gambarannya. Kemudian dia akan mengangsur kredit itu dalam jangka waktu tertentu, setelah lunas pohon yang tidak ditebang ini diameternya semakin tinggi dan volume kayu juga bertambah, itu dianggunkan lagi, maka dia akan memperoleh kredit yang lebih besar lagi.

Kredit inilah yang dimanfaatkan secara ekonomi, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pohon-pohon yang ditanam itu tidak ditebang, inilah konservasinya di situ. Jadi, hutan rakyat yang tanaman utamanya adalah jati kemudian mereka dikenalkan juga dengan tanaman gmelina yang juga bahan untuk mebel-mebel di sana, sehingga masyarakat merasa sangat bermanfaat, sangat memperoleh nilai ekonomi yang lumayan meningkat.

Ketika pohon itu ditebang, dalam pandangan masyarakat tentu akan merusak hutan itu sendiri dan akan mengganggu konservasi. Bagaimana itu sampai tidak terganggu?

Begini, tanaman yang sumbangan dari perusahaan tadi karena dianggunkan, dia memperoleh uang, kemudian dia tetap mengangsur kredit itu. Setelah lunas, kemudian pohon tadi bisa dianggunkan kembali sebagai jaminan untuk kreditnya itu, sehingga tanaman-tanaman ini yang secara volume kayu sudah siap ditebang tapi tertunda. Di sinilah, menunda waktu itu lah yang menurut saya konservasinya, sehingga keberadaan pohon itu akan bisa bermanfaat juga untuk mitigasi perubahan iklim.

Kalau kita bicara mitigasi perubahan iklim tentu kita akan bicara mengenai upaya penyerapan karbon. Berapa banyak karbon yang diserap di hutan Selobanteng dan juga hutan bakau Kampung Blekok untuk mengurangi emisi karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim?

Untuk yang di Selobanteng dari pohon jati dan gmelina itu keseluruhannya diukur sekitar 3.800-an ton karbon. Kemudian di Kampung Blekok yang hutan mangrove itu dengan pengukuran pada batas tertentu sekitar 1.100 sekian stok karbonnya.  

Artinya, keberadaan kedua hutan yang ada di pantai dan di perbukitan itu melakukan proses sekuestrasi atau penyerapan karbon-karbon yang ada di udara, kemudian disimpan di dalam biomassa di kedua hutan tersebut. Ini setidaknya sudah mempunyai kontribusi untuk mitigasi perubahan iklim.

Previous
Previous

Next
Next