Salah Kaprah Calistung

Salam Perspektif Baru,

Sebentar lagi yaitu tidak kurang dari dua bulan akan memasuki tahun ajaran baru. Yang paling menjadi perhatian adalah sekarang masih banyak sekali anak-anak yang masuk sekolah dasar harus dites baca, tulis dan hitung (Calistung). Meskipun sebenarnya sudah dilarang tes calistung terhadap setiap calon peserta didik baru kelas satu SD. Kita membahas fenomena ini dengan Prof. Dr. Cecep Darmawan.

Menurut Cecep Darmawan, seorang anak, apalagi nanti kalau masuk SD dan misalnya dia tidak ikut TK atau PAUD, memang tidak perlu Calistung. Calistung itu nanti ketika dia sudah masuk sekolah, dia baru belajar Calistung. Jadi, alat tes untuk SD hanya usia dan zonasi, tidak boleh dikaitkan dengan Calistung.  

Kalau ditanya, sejak kapan anak itu bisa diajari Calistung? Sebetulnya tidak ada patokan khusus, tetapi kalau ditanya apakah Calistung itu perlu? Jawabannya adalah perlu. Apakah Calistung itu penting? Jawabannya adalah penting. Tapi cara mengajarkan dan pendekatannya itu jauh lebih penting. Metodenya itu yang penting.

Itu karena usia perkembangan psikologis anak itu beragam. Ada anak yang memang belajar sebentar saja bisa cepat Calistung, ada yang relatif sedikit lambat. Apalagi di SD tingkat kelas 1, 2, 3 itu gurunya betul-betul harus memahami psikologi anak.

Kalau Calistung dipaksakan pada anak usia rendah, maka anak bukannya pintar atau cerdas, tapi justru akan menjadi jenuh dan membosankan pada anak usia tertentu karena potensinya berbeda-beda. Jadi, yang penting adalah pendekatan.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Ferdi Setiawan sebagai pewawancara dengan narasumber Prof. Dr. Cecep Darmawan.

Terkait dengan kebijakan dari Menteri Nadiem Makarim yang kembali menegaskan larangan untuk menerapkan tes baca, tulis, dan hitung (Calistung),  bahkan tes Calistung ini dihapus sebagai syarat masuk SD. Bagaimana urgensitas dihapuskannya Calistung ini sebagai syarat masuk SD, dan bagaimana sejarahnya dulu bisa muncul?

Pertanyaannya sangat menarik dan saya kira ini juga mewakili pertanyaan publik. Tapi catatannya sebelum menjawab pertanyaan adalah penghilangan alat tes dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), yaitu Calistung itu sudah lama, bukan hari ini, dan bukan tahun ini. Menteri hanya mempertegas saja kalau ada SD yang PPDB melalui Calistung sebagai alat tes, maka itu dilarang. Sepertinya sudah sangat lama peraturan menteri sudah menyatakan bahwa itu dilarang.

Mengapa itu dilarang? Karena memang seorang anak, apalagi nanti kalau masuk SD dan misalnya dia tidak ikut TK atau PAUD, memang tidak perlu Calistung. Calistung itu nanti ketika dia sudah masuk sekolah, dia baru belajar Calistung. Jadi, alat tes untuk SD hanya usia dan zonasi, tidak boleh dikaitkan dengan Calistung.  

Pemerintah sudah benar dari sisi itu, dan pemerintah melarang Calistung itu sudah lama, mungkin sudah lebih dari 10 tahun itu diterapkan. Kalaupun masih ada berarti pengawasannya yang belum ketat di daerah-daerah.

Kalau merujuk pada teori Piaget, ada beberapa tahapan perkembangan anak itu. Mulai dari tahap sensori motor yaitu usia 18 - 24 bulan, kemudian ada pra-operasional itu di usia 2 - 7 tahun. Di usia 2 - 7 tahun ini anak sudah mengenal simbol. 

Kalau ditanya, sejak kapan anak itu bisa diajari Calistung? Sebetulnya tidak ada patokan khusus, tetapi kalau ditanya apakah Calistung itu perlu? Jawabannya adalah perlu. Apakah Calistung itu penting? Jawabannya adalah penting. Tapi cara mengajarkan dan pendekatannya itu jauh lebih penting. Metodenya itu yang penting.

Misalnya, anak-anak TK itu Calistungnya tidak seperti di anak SD, SMP, SMA. Mengenai Calistung itu terintegrasi dalam learning by doing. Contohnya, “Coba anak-anak kumpulkan sebuah benda, kemudian hitung ada berapa.” Jadi, bukan penalaran seperti anak di SD tingkat tinggi, hanya pengenalan saja.

Potensi manusia itu oleh Allah sudah diberi kesempurnaan. Misalnya, ada anak-anak yang pada usia tertentu bisa hafal sekian juz dalam Al-Quran. Maksud saya, apakah anak-anak yang usia TK boleh belajar Calistung? Kalau belajar tidak dilarang, tapi metodenya yang harus tepat. 

Itu sama juga di tingkat SD, apakah belajar Calistung itu tepat di SD kelas satu, dua, atau tiga? Tepat saja, tapi harus dilihat bagaimana cara belajarnya. Jadi, lebih kepada pendekatan, metode, teknik seorang guru mengajarkan itu. Itu karena anak-anak harus dikenalkan dengan bagaimana membaca, menulis, dan berhitung, tetapi dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangan psikologis anak.

 

Mengapa sekarang masih ada sekolah-sekolah favorit, bahkan mengatasnamakan sekolah yang unggulan menerapkan sistem Calistung, padahal sudah jelas dilarang? Apakah memang pengawasannya yang masih kurang atau memang ada permainan di situ?

Tentu dari sisi regulasi sudah cukup, pemerintah sudah mengeluarkan regulasi peraturan penting itu. SD maupun SMP adalah kewenangan kabupaten/kota. Jadi, ini sebenarnya ada di wewenang kabupaten/kota bagaimana penegakan hukum atau penegakan aturan mengenai PPDB.

Setiap tahun walikota/bupati mengeluarkan regulasi yang kaitannya dengan PPDB, seperti persyaratannya, apa yang dilarang. Ini artinya regulasi saja tidak cukup, tapi bagaimana penegakan regulasi itu. Ini berarti unsur pengawasannya lemah, memang betul. Yang kedua, penegakan sanksinya juga rendah. Ini juga yang menjadi problem.

Jadi, apakah ada jaminan ketika menteri mengumumkan seperti itu? Belum tentu, karena kebijakan itu harus dibarengi dengan action-nya, dengan implementasi kebijakan. Misalnya, disusun regulasi PPDB menghilangkan Calistung. Saya yakin bahwa kabupaten/kota sudah lama menghilangkan itu, tinggal bagaimana pengawasan di lapangan.

Kalau ada laporan dari masyarakat maka harus ditindaklanjuti. Misalnya, beberapa sekolah yang dianggap favorit, dianggap unggulan, ketika mereka masih melakukan itu, maka harus ada sanksi atau peringatan kepada sekolah bahwa itu tidak baik, tidak benar, dan melanggar. Jadi, masalahnya ada pada implementasi kebijakan, bukan pada kebijakannya.

 

Jadi, memang di lapangan harus ada pengawasan yang berjenjang mungkin dari kabupaten, provinsi, dan mungkin dari sekolah-sekolah di kecamatan. Tapi kalau kita lihat memang kenyataannya banyak sekali anak yang ketika masuk SD dituntut untuk bisa membaca, menulis, dan menghitung. Apakah sebenanrnya itu salah kaprah?

Selain salah kaprah berarti gurunya, para pendidiknya harus kita pertanyakan, mengapa harus begitu. Itu karena usia perkembangan psikologis anak itu beragam. Ada anak yang memang belajar sebentar saja bisa cepat Calistung, ada yang relatif sedikit lambat. Apalagi di SD tingkat kelas 1, 2, 3 itu gurunya betul-betul harus memahami psikologi anak.

Kalau Calistung dipaksakan pada anak usia rendah, maka anak bukannya pintar atau cerdas, tapi justru akan menjadi jenuh dan membosankan pada anak usia tertentu karena potensinya berbeda-beda. Jadi, yang penting adalah pendekatan.

Anak-anak SD tingkat rendah termasuk PAUD itu biasanya tidak dikenalkan langsung dengan angka, tapi warna dan benda yang bergerak. Sebaiknya jangan langsung dikenalkan dengan simbol-simbol 1 + 2 x 3. Jangan yang terlalu rumit, yang sederhana saja. Untuk PAUD itu justru learning by doing atau dengan bermain. Jadi, lebih ke metode.

Jadi, kalua ditanya Calistung itu penting atau tidak, maka jawabannya penting karena itu basic. Sekarang Kementerian tidak bicara mengenai kecerdasan Calistung saja, ada kecerdasan-kecerdasan lain atau kompetensi-kompetensi lain yang dituntut kepada anak agar memiliki literasi-literasi yang lain selain Calistung.

 

Implementasinya di lapangan memang berbeda dengan peraturan. Sebenarnya, kalau untuk pembelajaran yang aktif, eksploratif, dan juga interaktif yang menyenangkan terhadap anak-anak di usia itu seperti apa?

Itu harusnya ada di dalam ranah kurikulum. Jadi, kurikulum itu bukan hanya materi, tapi pendekatan, metode, media, itu penting. Seperti misalnya orang memiliki bahan yang sama, tapi harus dimasak dulu dengan baik. Bahannya sama, tapi kalau ahli masaknya bagus dan profesional, maka masakannya akan jauh lebih enak.

Sama dengan kurikulum. Bahan ajarnya sama, tinggal bagaimana guru itu sebagai ujung tombak pembelajaran. Jadi, Calistung itu bagian dari literasi, tetapi ada literasi lain yaitu literasi budaya, literasi kewargaan, literasi sains, literasi digital, termasuk soal karakter pada anak-anak usia dini, harus lebih ditekankan pada sikap, etika. Itu harus diterapkan bersamaan dengan pembelajaran-pembelajaran yang menyenangkan, bukan teori. Jangan bicara teori di anak-anak seperti itu.

 

Seperti apa kurikulum yang harus diterapkan atau mungkin ada terobosan-terobosan untuk dunia pendidikan kita untuk masuk ke jenjang bangku sekolah dasar?

Kurikulum kita itu ada yang menganggap terlalu gemuk karena semua harus masuk kurikulum. Semua dianggap penting, seakan-akan kita ingin menciptakan siswa itu semua bisa. Seharusnya secara dasar kemampuan-kemampuan seperti Calistung itu tentu penting.

Kemudian mengenai karakter itu juga penting. Begitupun dengan literasi digital, literasi kewargaan, literasi budaya juga penting. Tapi istilah-istilah tadi itu harus diterjemahkan pada anak, diukur secara psikologi perkembangan. Misalnya, dikenalkan dengan computer, laptop, kemudian memperlihatkan tayangan dengan dipandu oleh gurunya. Mungkin ada semacam tayangan film singkat yang berisi tentang pendidikan moral. Kemudian dunia anak-anak juga di situ, dan anak juga memerankan.

Jadi, prinsipnya adalah learning by doing, tapi ada nilai. Jadi, penting ketika menerapkan literasi-literasi itu guru harus menguasai betul bagaimana pendekatan kepada anak-anak SD usia-usia rendah itu. Tidak kemudian guru muncul, “Ayo sekarang kita belajar rumus A, rumus B.” Jadi, dikenalkan dengan kehidupan nyata atau istilah pendidikan ada yang disebut dengan entry behavior siswa, yaitu pengetahuan dan pengalaman yang dibawa siswa sebelum dia masuk sekolah atau ke kelas.

Misalnya, mengenai masyarakat petani, guru langsung mencontohkan mengenai kehidupan petani, atau masyarakat pegawai, masyarakat jasa, harus disesuaikan. Itu yang disebut dengan entry behavior.

Kurikulum itu bicara bukan hanya kurikulum formal yaitu kurikulum yang tertulis. Ada kurikulum yang disebut dengan hidden curriculum atau kurikulum tersembunyi, yaitu kurikulum yang hidup dalam masyarakat. Di sini guru lah sebagai agennya, agen yang bisa menghidupkan kurikulum karena kurikulum itu adalah benda mati. Di situlah anak diajarkan learning by doing dan harus lebih menyenangkan. Jangan sampai anak itu tersiksa, jangan banyak PR juga.

 

Apakah ini berarti memang harus disesuaikan dengan usia mereka ketika pengenalan sesuatu yang baru?

Betul, seperti teori perkembangan. Jadi, psikologi perkembangan bagi anak itu sangat penting dan guru harus menguasai itu.

 

Bagaimana dengan pendidikan karakter yang kalau dulu kita mengenal ada pendidikan budi pekerti, dalam bahasa Jawa ada tata krama? Apakah sekarang perlu digiatkan lagi agar anak-anak bisa mengenal mengenai pendidikan karakter seperti itu?

Kita seringkali salah mempersepsi pendidikan karakter itu seperti mata pelajaran. Saya memahaminya begini, pendidikan karakter itu adalah pendidikan yang melekat pada semua mata pelajaran. Jadi, ruhnya pendidikan itu antara lain adalah karakter, bukan ini sudah belajar pendidikan karakter dan yang diajarkannya pengetahuan karakter, bukan perilaku atau sikap. Akhirnya anak hanya diajari apa itu karakter, macam-macam karakter, contoh karakter, yang itu semua adalah kognitif.

Seharusnya ada afektif, psikomotorik, atau skill nya. Jadi, salah kaprah menurut saya kalau seperti itu. Pendidikan karakter itu harus melekat, atau dimasukkan pada seluruh mata pelajaran. Apalagi pada usia anak-anak tingkat kelas 1 - 3 misalnya, itu harus terintegrasi. Jadi, kurikulumnya pun terintegrasi, bukan yang separatis.

Kalau di SMA sudah separatis, di SD itu terintegrasi. Misalnya, ada cerita soal desa kita, desa kita itu indah dan sebagainya, hurufnya besar-besar, berwarna-warna, sebetulnya anak-anak belajar banyak di situ. Bukan hanya pelajaran tentang desa kita, tapi juga belajar membaca, mungkin ada nilai, moral, dan karakter di situ. Bagaimana interaksi orang tua dengan anak, bagaimana orang-orang di desa bergotong-royong, itu IPS juga masuk. Jadi, itu juga termasuk pendidikan karakter, bukan “Sekarang waktunya pelajaran pendidikan karakter.” Itu yang menurut saya keliru. Jadi, seharusnya itu sudah include pada semua mata pelajaran.

 

Saya sepakat Prof, jadi ketika nanti adik-adik kita masuk ke SD yang kita berikan bukan pelajaran karakter secara formal, tapi include di semua pelajaran seperti mengenalkan tata krama, mengenalkan gotong royong, itu menurut saya menarik.

 

Bagaimana ketika yang sudah diberlakukan tentang Calistung di beberapa sekolah karena orang tua banyak yang takut juga ketika nanti anaknya masuk sekolah akan ketinggalan pelajaran?

Bagi orang tua sebaiknya tidak takut. Memang itu persepsi yang keliru dan harus diluruskan. Jadi, anak itu pada usia-usia kelas 1 - 3 tenang-tenang saja kalau misalnya sedikit lambat untuk bisa Calistung. Itu karena nanti pada usia tertentu dia bisa mengembangkan potensinya.

Setiap anak itu kasus per kasus kemampuannya sangat berbeda, beragam. Bahkan kecerdasan seseorang juga beragam, ada kecerdasan intelektual, kecerdasan kinetik, ada kecerdasan spasial, dan ada kecerdasan macam-macam. Itu banyak teorinya.

Misalnya, kalau anak kemampuan matematikanya rendah, tapi kemampuan bahasa Inggrisnya bagus. Apakah kira-kira orang tua anak itu akan menyuruh anaknya les bahasa Inggris atau matematika?

Jadi, matematikanya kurang bagus, tapi bahasa Inggrisnya bagus, umumnya orang tua akan menyuruh anaknya untuk les matematika, bukan bahasa Inggris. Padahal seharusnya yang di push itu bahasa Inggrisnya, supaya dia nanti kecerdasan berbahasanya jauh lebih bagus, lebih menonjol. Tentu matematikanya juga tetap harus dikejar, tapi jangan memaksakan anak pada satu pelajaran yang tadi dia tidak mampu, kemudian harus mampu.

Nanti anak pada perkembangan tertentu, kalau ditekan terus menerus akan menjadi bosan dan bisa frustrasi. Nantinya anak tidak mau belajar. Jadi, harus pelan-pelan dan sesuai dengan perkembangan anak.

Previous
Previous

Next
Next