Kebebasan Pers Penting untuk Publik

Salam Perspektif Baru,

Menurut Herik Kurniawan, pewarta warga itu bukan jurnalis. Namun jurnalis dan pewarta warga bisa saling menguatkan. Jurnalis itu dilindungi oleh Undang-Undang, karena itu jurnalis memiliki privilege. Diberi privilege oleh publik untuk menembus siapa saja, ke mana saja, untuk kepentingan publik, untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya bagi publik. Itu yang penting. Sedangkan pewarta warga itu tidak.

Terkait kebebasan pers, Herik mengatakan ketika RUU KUHP kemudian disahkan dan ketika saat ini juga sudah berlaku tentang Undang-Undang ITE, ada beberapa bagian yang perlu terus suarakan supaya kemudian juga dilakukan revisi, misalnya mengenai pencemaran nama baik. Yang dikhawatirkan dalam konteks ini adalah jurnalis kemudian dikriminalisasi. Jadi, kalau selama ini ada ancaman yang kemudian para jurnalis akan dilaporkan ke polisi, saya pikir dan khawatir itu juga bagian dari upaya yang kemudian menakuti para jurnalis supaya mereka berpikir ulang untuk melakukan sebuah pemberitaan. Itu adalah salah satu yang disebut sebagai ancaman terhadap kebebasan pers.

Herik juga menyampaikan perspektifnya tentang pentingnya menjaga kebebasan pers dan tantangan jurnalis untuk terus menjadi yang terbaik dalam menjalankan perannya demi kepentingan publik, terlebih pada tahun politik, pada pemilu dan pemilihan presiden 2024 mendatang.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Herik Kurniawan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, peran media dan kebebasan pers sangat penting karena menjadi pendorong untuk terwujudnya hak-hak asasi manusia lainnya, seperti hak mendapatkan akses informasi, hak mendapatkan penghidupan yang layak, dan hak akses pembangunan. Hari ini kita akan membahas mengenai peran media dan kebebasan pers, tentu saja dengan narasumber yang kredibel untuk membahasnya yaitu Bung Herik Kurniawan, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

 

Bung Herik, urgensi dari adanya hak kebebasan berekspresi dan kebebasan pers adalah untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan dan demokratis, serta untuk membantu mewujudkan pemerintahan yang terkontrol dan tidak sewenang-wenang. 

 

Bagaimana perspektif Anda mengenai kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Indonesia hingga saat ini?

Saya ingin memberikan sedikit pandangan tentang bagaimana kita melihat kondisi para jurnalis Indonesia saat ini, sebelum sampai kepada kebebasan pers. Yaitu bahwa saat ini jurnalis adalah profesi yang sangat terbuka, siapapun juga bisa menjadi jurnalis, dalam konteks jurnalis profesional. Karena itulah maka setiap orang yang menjadi jurnalis, mereka harus terus meningkatkan kapasitasnya setiap hari dan setiap saat.

Saya sebagai pemimpin dari salah satu organisasi profesi jurnalis di Indonesia juga melihat bahwa tingkat kualitas para jurnalis di Indonesia masih harus terus ditambah dan diperkuat lagi. Bukan hanya pada konteks pemahaman mengenai regulasi, tapi juga pada konteks pemahaman bagaimana memproduksi karya jurnalistik itu sendiri dan bagaimana mereka melihat kebijakan-kebijakan yang kemudian dibutuhkan oleh masyarakat.

Saya melihat juga kadang ditanyakan, apakah ada jurnalis yang kemudian menyebarkan hoax? Saya pikir kalau seorang jurnalis profesional itu tidak akan mungkin menyebarkan hoax. Itu mustahil. Yang ada adalah problem dari kapasitas seorang jurnalis yang tidak memiliki pemahaman yang maksimal terhadap konteks pengetahuan yang tepat terhadap sebuah situasi sehingga dia salah menginterpretasikan, atau dia terjebak oleh framing yang kemudian dikondisikan oleh hal-hal yang diatur oleh pihak luar. Maka dia kemudian juga terbawa arus yang terkesan membuat berita hoax yang padahal itu bukan hoax.

Jadi, jurnalis itu memang harus cerdas sekali. Artinya, dia harus melihat bagaimana kemudian bisa memilah mana hal-hal yang penting dan dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak. Apalagi sekarang di era media sosial, dimana teknologi informasinya sangat kuat. Banyak sekali informasi yang kemudian diterima oleh para jurnalis dan kadang-kadang para jurnalis itu juga tergoda untuk ikut terbawa arus di dalamnya. Padahal kita tahu juga bahwa tidak semuanya itu bisa benar dan bisa baik.

 

Di masyarakat ini masih sering rancu tentang jurnalis, karena seperti yang tadi Anda katakan bahwa jurnalis itu merupakan profesi yang terbuka. Di sisi lain banyak pembedaan antara jurnalis dan pewarta warga. Apa perbedaan antara jurnalis dan pewarta warga? Apakah yang menyebarkan informasi melalui media sosial atau melalui akun pribadinya itu bisa disebut sebagai jurnalis juga?

Ini yang sangat menarik, ada jurnalis dan ada pewarta warga. Bagi saya pribadi pewarta warga itu bukan jurnalis. Mereka adalah yang menyalurkan potongan-potongan informasi yang mereka dapatkan melalui saluran teknologi yang tidak bisa dihindari. Jurnalis itu mempunya lima hukum yang harus dikerjakan sebelum dia mempublikasikan beritanya yaitu verifikasi, verifikasi, verifikasi, verifikasi, dan verifikasi. Hal ini tidak mungkin dan tidak bisa dimiliki oleh para pewarta warga itu sendiri. Pewarta warga hanya dapat potongan berita.

Kalau misalnya ada suatu kejadian di sebuah wilayah, hanya jurnalislah yang bisa menembus, kemudian memverifikasi kejadian tersebut kepada otoritas. Sementara para pewarta warga hanya terbatas pada melemparkan apa yang mereka lihat, menuliskan apa yang mereka dengar. Itu bedanya. Jurnalis tidak boleh menyampaikan kesalahan karena kalau salah maka dampaknya sangat massif. Jadi sangat beda sekali.

Dan di dalam hukum para jurnalis itu dilindungi oleh Undang-Undang, karena jurnalis itu memiliki privilege. Diberi privilege oleh publik untuk menembus siapa saja, ke mana saja, untuk kepentingan publik, untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya bagi publik. Itu yang penting. Sedangkan pewarta warga itu tidak. Mereka “tidak bertanggung jawab” juga. Ketika mereka masuk ke sebuah wilayah, kemudian ada kecelakaan tabrak, tembak, sudah hanya begitu saja. Tapi kalau misalnya dalam hal jurnalis professional, dia harus bertanggung jawab untuk memberikan informasi lengkap dalam konteks yang tepat dalam setiap informasi yang dia sebarkan.

Jadi, saya melihat jurnalis dan pewarta warga adalah satu sisi yang bisa saling menguatkan. Tetapi di sisi lain, saat ini juga pewarta warga itu memang tergantung siapa yang menyebarkannya. Apakah pewarta warga yang memang jujur dan polos menyebarkannya atau ada pihak-pihak lain yang memang berusaha untuk memancing di air keruh. Pada faktanya, kami para jurnalis profesional itu sekarang sedang berusaha untuk membersihkan polusi informasi yang ada di Indonesia khususnya. Karena berjuta informasi yang berseliweran di antara warga, kita harus memberikan verifikasi mana informasi yang tepat dan benar.

Ada dua hal yang harus diperhatikan, pertama adalah informasi yang diinginkan oleh publik, dan yang kedua adalah informasi yang dibutuhkan oleh publik. Sesuatu yang dibutuhkan oleh publik itu berarti informasi tersebut mampu mempengaruhi keputusan-keputusan sehari-harinya dan itu penting diketahuinya, seperti harga bawang dan sebagainya. Tapi kalau informasi yang diinginkan, tanpa adanya informasi itu pun publik tidak berpengaruh. Tapi itu mempunyai daya tarik tersendiri. Misalnya, kasus perceraian artis yang tidak jelas arahnya, perseteruan orang tua dan anak di kalangan artis. Apakah itu memang dibutuhkan oleh publik? Mungkin ada ruang-ruang yang dibutuhkan kalau misalnya dari ruang pendidikan. Tapi sebagian besar itu hanyalah bersifat sensasi dan itu hanya memenuhi keinginan publik saja. Tidak dibutuhkan karena tanpa ada berita itu pun publik masih bisa hidup, menjalani kehidupannya dengan sangat baik. Bahkan bisa saja apa yang diinginkan itu bisa mencelakakan proses pengambilan keputusan oleh publik.

Saat ini ada kemajuan teknologi informasi yang begitu sangat pesat sehingga setiap orang dapat mengakses informasi bahkan menyebarkan informasi dalam hitungan detik. Bagaimana kemajuan teknologi ini berdampak kepada kebebasan pers di kita?

Satu sisi lagi dalam konteks para jurnalis yaitu sejauh mereka bekerja berlandaskan dan berlindung kepada Undang Undang pers dan menjalankan kode etik, saya pikir tidak ada yang perlu dikawatirkan. Tapi apakah kekhawatiran itu tetap ada? Iya, tetap ada. Ketika kemarin RUU KUHP kemudian disahkan dan ketika saat ini juga sudah berlaku tentang Undang-Undang ITE, itu juga ada beberapa bagian yang kita terus suarakan supaya kemudian juga dilakukan revisi. Misalnya, salah satu yang paling penting adalah mengenai pencemaran nama baik.

Yang kita khawatirkan dalam konteks ini adalah jurnalis kemudian dikriminalisasi. Mereka kemudian harus bersusah payah maju ke ruang pengadilan karena kasus-kasus yang sebetulnya secara Undang-Undang sudah dilindungi. Tapi yang harus dipahami adalah kita ada Dewan Pers. Maka sejauh apa yang dikerjakan itu memang clear dan fair, sesuai dengan niat baik dalam pengerjaannya, kita bisa bersengketa terlebih dahulu di Dewan Pers.

Jadi, kalau selama ini ada ancaman yang kemudian para jurnalis akan dilaporkan ke polisi, saya pikir dan khawatir itu juga bagian dari upaya yang kemudian menakuti para jurnalis supaya mereka berpikir ulang untuk melakukan sebuah pemberitaan. Itu adalah salah satu yang disebut sebagai ancaman terhadap kebebasan pers. Mengapa? Karena mereka menjadi khawatir dan menahan diri, “Kalau saya kemudian memberitakan ini takutnya terjadi sesuatu”.

Dan ketakutan-ketakutan itulah yang saya pikir juga ada di bawah bayang-bayang regulasi-regulasi tersebut. Padahal misalnya memang semuanya sudah aman, saya pikir juga kita bisa berjalan pada relnya dan apapun yang kemudian terjadi melalui karya jurnalistik itu, kami di IJTI dan teman-teman di organisasi profesi, termasuk Dewan Pers juga mempunyai komitmen untuk juga bersama-sama menegakkan keadilan. Sekarang yang paling penting adalah jangan sampai kemudian ketakutan dan kekhawatiran para jurnalis itu kemudian membuat publik menjadi kesulitan, tidak mendapatkan informasi yang lengkap atau sebuah informasi yang seharusnya mereka dapatkan. Itu yang menjadi berbahaya karena bagaimanapun juga publik adalah pemilik negeri ini.

 

Tadi dikatakan bahwa saat ini kebebasan pers di Indonesia mulai ada ancaman dengan adanya ketentuan di KUHP yang baru disahkan pada Desember 2022. Bagaimana dampaknya hingga saat ini dari Januari sampai dengan Mei ini? Apakah sudah menelan korban ataukah membuat kualitas karya jurnalistik kita ini menjadi menurun?

Kalau saya melihat, sejauh ini memang belum ada dampak yang secara langsung, kasus-kasus yang menimpa para jurnalis atas berlakunya RUU ini. Dan lagipula UU ini baru berlaku setelah sekian tahun nanti. Jadi, saat ini juga masih belum berlaku sepenuhnya. Tetapi kita juga khawatir dan memang bisa terjadi. Saat ini memang kita mendapat jaminan dari pemerintah bahwa regulasi yang kemudian tersebut itu tidak ditujukan kepada para jurnalis. Tapi kita tidak tahu karena rezim akan berubah dan jangka panjang Undang-Undang itu memang harusnya sempurna. Sehingga jangan sampai nanti ketika rezimnya berganti, ada kesalahan dan ada upaya-upaya tersendiri seperti salah interpretasi dan memang sengaja dilakukan untuk mengancam pada kebebasan pers. Sebetulnya yang dilindungi dalam konteks ini adalah bukan para jurnalis itu sendiri, tetapi sebetulnya yang kita kerjakan adalah bagaimana kita melindungi masyarakat dari kekurangan informasi yang seharusnya mereka dapatkan.

 

Tadi dikatakan bahwa Undang-Undang KUHP mengenai kebebasan pers itu bukan ditujukan untuk jurnalis. Lalu, itu ditujukan untuk siapa? Dan apakah pewarta warga juga bisa menyatakan bahwa dalam mereka berusaha mendapatkan informasi mereka bisa menyatakan bahwa mereka mempunyai hak kebebasan pers?

Tadi di awal saya sampaikan bahwa jurnalis itu dilindungi oleh Undang-undang Pers, kemudian kita bekerja atas konsekuensi tersebut. Maka kita kerja atas verifikasi dan melakukan a wise journalismPositive journalism itu adalah antara lain supaya kita bisa menggunakan karya jurnalistik yang baik. 

Jadi, publik itu bukan jurnalis. Maka ada ruang berbeda dalam regulasi yang dilakukannya juga. Ketika ada persoalan pada ranah yang disebut sebagai informasi yang keluar ke publik dalam hal ini kita sebut sebagai karya jurnalistik, maka kita akan bersengketa dulu di Dewan Pers kalau itu karya jurnalistik. Tapi yang bukan, maka akan langsung masuk ke Undang-undang ITE atau KUHP. Saya pikir itu cukup fair juga karena itu untuk mengantisipasi supaya jangan sampai ada pihak yang tidak bertanggung jawab menyebarkan informasi asal-asalan, fitnah, kebohongan yang tidak tercegah. Dan kita sepakat bahwa itu harus dibatasi. Hanya saja, Undang-Undang itu memang harus direvisi, paling tidak disclaimer bahwa regulasi tersebut tidak tidak ditujukan kepada para jurnalis yang profesional. Tapi sayangnya itu tidak terwujud. 

Jadi, kita sepakat. Seperti halnya pistol, itu boleh digunakan oleh polisi, tapi warga juga boleh memiliki dengan berbagai kebijakan yang sangat ketat karena memang penggunaannya sangat spesial. Sama juga dengan jurnalis, karena dampak yang ditimbulkan oleh jurnalis itu bahkan lebih besar menurut saya dengan misalnya kejahatan-kejahatan yang sifatnya kecil-kecilan. Artinya, dampak yang diberikan oleh sebuah informasi itu bukan hanya massif, tapi juga bisa berkepanjangan dan bisa menahun. Misalnya, kita tahu bahwa Suku Tutsi dan Hutu bersengketa di sana itu juga disebabkan oleh adanya informasi yang tidak benar, yang disampaikan oleh radio setempat. Itu adalah salah satu dampak yang kemudian kita sampaikan bahwa begitu masifnya dampak yang bisa disampaikan oleh setiap informasi yang disebarluaskan oleh media masa.

 

Berbicara mengenai kebebasan pers ini sangat penting, terutama pada tahun ini dan tahun depan kita menghadapi momentum tahun politik yaitu kita akan menyelenggarakan pemilu dan pemilihan presiden. Dari Pemilu, Pilpres atau Pilkada sebelumnya itu ketika ada hajatan demokrasi tersebut itu selalu bertebaran informasi yang asal-asalan, bahkan boleh dikatakan sebagian besarnya adalah hoax dan kampanye hitam.

 

Bagaimana peran jurnalis kita untuk tetap menampilkan jurnalis positif dan mendukung pesta hajatan demokrasi ini?

Ini memang tantangan yang sangat luar biasa di tahun 2024. Posisi jurnalis sekarang juga sangat seksi karena memang melalui media nya masing-masing bisa memberikan informasi yang sangat luas dalam hitungan waktu yang sangat pendek. Artinya, memang pengaruhnya secara teoritis juga sudah sangat luar biasa.

Ada banyak hal yang kemudian harus kita pelajari. Pertama, yang paling penting adalah secara personal para jurnalis itu harus meningkatkan kapasitas sebagai jurnalis, dia harus mengerti bagaimana membuat teks yang bagus, dia harus memahami bagaimana mengedit audio visual yang bagus, dia harus memahami bagaimana membuat laporan berita yang sifatnya audio yang bagus, jangan ada potongan-potongan yang salah, harus lengkap dan komprehensif.

Dan jangan lupa juga bahwa pesta demokrasi itu kita tidak bisa juga mengabaikan kehadiran partai-partai yang kemudian apriori dengan partai pendukung A atau B. Karena ini adalah kenyataannya, bukan pilihan bahwa kita sebagai negara demokrasi memang seperti ini posisinya. Hanya saja bagaimana kita kemudian bisa secara proporsional melakukan pemberitaan yang lagi-lagi sesuai dengan fakta, faktual, aktual, sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Itu yang paling penting dan utamanya adalah para jurnalis itu terus meningkatkan kapasitasnya. Dan kemudian para kontestan juga saya harapkan juga tidak mengelabui atau memanfaatkan para jurnalis untuk menyiapkan informasi-informasi yang yang tidak fair sesuai dengan keinginannya. Sehingga jurnalis terkecoh untuk mengecoh publik melalui karya jurnalistik yang sebetulnya saya juga khawatirkan. Artinya, bisa saja dalam sebuah kontestasi semuanya berjuang bersama, semuanya berkompetisi untuk mendapatkan yang terbaik tapi dengan cara-cara yang fair. Saya harap begitu. 

 

Mengaca pada Pilpres dan Pemilu lima tahun yang lalu, banyak media dan mungkin jurnalis yang ikut terpengaruh dalam pesta demokrasi. Misalnya, media X karena dia pemiliknya atau pengurusnya itu dekat dengan Partai Politik A, maka informasi-informasi jurnalis yang muncul di media tersebut banyak sekali hanya mendukung Parpol A. Kalau media lain misalnya karena dekat dengan Parpol B, maka informasi-informasinya hanya mengenai Parpol B. Bagaimana dengan kondisi tersebut? Artinya, upaya memunculkan jurnalis yang positif itu tidak muncul dalam hajatan demokrasi.

Saya sebagai ketua umum IJTI tentu menghimbau kepada seluruh stakeholders, pada seluruh pemilik atau pengelola redaksi supaya bisa bersama-sama untuk menegakkan fairness dalam pemberitaan penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti. Jurnalis itu memang berpihak, tapi berpihak kepada publik. Dalam kondisi ini kita harus menyadari bahwa kondisi kita saat ini sebagai jurnalis memang mendapat posisi yang baik karena ada amanah dari publik untuk kemudian mengakses siapapun juga.

Saya pikir publik juga dalam teori komunikasi tidak hanya sepihak dalam konteks ini. Seperti yang disampaikan oleh para pakar bahwa komunikasi itu sekarang bisa berlangsung dua arah. Publik juga bisa meng-counter. Sekarang dalam era sosial media yang begitu kuat, saya pikir ini juga bisa saja. Kemudian kredibilitas daripada pengelola media itu bisa terganggu kalau misalnya mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang fair dalam karya jurnalistiknya. Dan jangan lupa pula bahwa kita ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan juga Dewan Pers.

Saya menghimbau kepada seluruh pendengar dan kepada siapa pun juga sebagai stakeholder negeri ini supaya bisa menyampaikan keluhan-keluhan kalau misalnya memang ada praktek-praktek yang dianggap tidak fair tersebut. Karena bagaimanapun juga tetap kebebasan pers itu memang harus dijaga, tapi publik juga harus tetap dijaga bahwa publik adalah yang harus kita layani. Publik dalam konteks ini juga bisa lebih aktif lagi untuk bisa bersama-sama menjaga supaya karya jurnalistik bisa tetap baik. Jangan sampai nanti publik kehilangan kepercayaan pada media mainstream, itu yang sangat berbahaya.

Dalam kondisi ini, saya sempat khawatir terjadi chaos bahwa informasi yang dipercaya oleh publik adalah informasi di sosial media. Ini akan gawat seperti teori lama, ketika situasi serba tertutup, informasi serba terbatas, maka yang dipercaya adalah rumor. Kemudian juga ketika media mainstream itu bungkam, maka yang dipercaya adalah media sosial yang sebetulnya itu bukan karya jurnalistik, tapi adalah pewarta warga. Kalau dulu saat eranya media cetak itu ada namanya surat pembaca yaitu keluhan warga mengenai sebuah masalah. Saya pikir sekarang keluhan warga tersebut tidak lagi dimuat di koran atau di online, tapi juga bisa langsung disampaikan melalui sosial media.

 

Kalau kami cermati saat ini pemberitaan-pemberitaan di “media mainstream” mengenai hajatan Pemilu itu hanya menampilkan nilai-nilai positif dari masing-masing Capres tanpa membedah kelemahan atau sisi-sisi yang negatif dari para Capres tersebut. Sehingga pada akhirnya publik mencari informasi itu melalui media sosial yang memang banyak menampilkan sisi negatif dari Capres untuk menjadi rujukan dalam Pilpres atau Pemilu nanti. Apakah ini karena media mainstream dan jurnalisnya itu khawatir atau tidak mempunyai kebebasan pers sehingga tidak berani menampilkan sisi-sisi negatif dari para Capres ataupun siapapun yang ikut kontestasi Pemilu?

Jadi, kalau dalam konteks Capres, saat ini ada beberapa calon yang muncul. Mereka adalah orang-orang terbaik yang diusung oleh partainya masing-masing untuk berkontestasi menjadi Presiden Indonesia berikutnya. Kenapa kemudian kesannya adalah yang positif-positif saja yang dimunculkan? Saya pikir itu adalah kebijakan dari masing-masing redaksi. Kalau saya melihatya, konteks wise journalism itu diterapkan dan mungkin mereka berpikir untuk lebih bijak lagi dalam mengupas setiap informasi, setiap portofolio dari masing-masing Capres.

Tetapi apakah kemudian hal-hal negatif, hal buruk, atau kritik kritik yang disampaikan oleh mereka yang disebut sebagai pewarta warga itu memang betul? Kita juga harus memverifikasinya. Jangan sampai kritik-kritik yang disampaikan oleh masyarakat melalui sosial media itu adalah kritik yang asal-asalan. Kita tidak tahu juga apakah memang itu betul, jangan-jangan ada pihak lain juga yang berusaha untuk memancing di air keruh. Bukan warga sepenuhnya, tapi adalah warga abal-abal yang berusaha untuk melakukan perang sosial media untuk mendukung calonnya masing-masing. Itu yang kemudian juga harus hati-hati.

Yang paling penting adalah pesta demokrasi ini harus sukses dan harus pesta. Karena namanya saja pesta, maka kita harus melakukannya dengan bahagia. Jadi, semua harus mampu menahan diri dalam konteks harus sesuai dengan regulasi, kritik pun harus tetap berjalan juga. Dan setelah pesta nanti berakhir, maka selayaknya dengan pesta-pesta lainnya, kita juga harus tetap kembali ke kehidupan masing-masing dalam kondisi yang baik-baik pula.

 

Terima kasih, sebagai penutup saya hanya mengingatkan bahwa kebebasan berkekspresi dan kebebasan pers harus tetap kita rawat dan kita jaga dengan penuh tanggung jawab.

Previous
Previous

Next
Next