Rumah Tangga Mandiri Energi
Salam Perspektif Baru,
Dalam kehidupan sehari-hari kita, rumah merupakan tempat utama belajar pengetahuan dan keterampilan sosial. Ada satu pengetahuan dan keterampilan sosial sangat penting kita miliki saat ini yaitu bagaimana mengubah pola konsumsi energi listrik dan memanfaatkan energi terbarukan dalam kehidupan kita di rumah tangga. Hari ini kita membicarakan peluang praktik pemanfaatan energi terbarukan skala rumah tangga dengan narasumber Siti Zunariyah, S.Sos.,M.Si yang merupakan peneliti Sosiologi dan dosen di Universitas Sebelas Maret di Surakarta.
Menurut Siti, kita harus melihat desa sebagai salah satu basis untuk mewujudkan rumah tangga yang mandiri energi. Jadi kalau pemerintah ada program Program Keluarga Harapan (PKH), mengapa tidak ada Program Rumah Tangga Mandiri Energi dengan memanfaatkan dana desa?
Misalnya, masyarakat yang punya potensi peternakan sapi, maka di-support melalui dana desa yang ada untuk merealisasikan sumber energi alternatif yang ingin dikembangkan, seperti biogas. Justru hal-hal seperti ini harus diapresiasi, harus diberikan support, dan kalau perlu reward karena dia akan menular kepada rumah-rumah tangga yang lain. Masyarakat kita cenderung kalau ada yang sukses atau bagus maka itu ditiru.
Jadi penting untuk terus menerus menginformasikan tentang cerita sukses rumah tangga yang sudah berhasil mandiri energi ini kepada rumah tangga-rumah tangga yang lain, sehingga mereka juga akan melakukan hal yang serupa. Itu suatu hal yang tidak boleh ketinggalan juga. Seandainya informasi terkait dengan energi terbarukan ini tersampaikan dengan baik pada masyarakat dan dilakukan oleh pemerintah dengan sungguh-sungguh, maka tidak susah mengubah cara berfikir masyarakat.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Siti Zunariyah.
Saat ini negara - negara di dunia sedang giat mengajak masyarakatnya beralih memanfaatkan energi terbarukan untuk konsumsi energi terutama listrik. Selama ini energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM), gas, dan batu bara berkontribusi pada 70% emisi karbon dunia. Jumlah emisi karbon di atmosfir dunia semakin banyak sehingga memicu terjadinya perubahan iklim yang mengancam semua kehidupan di bumi. Apa dampak perubahan iklim dari sisi sosiologi?
Dampak secara sosiologis atau secara sosial sebenarnya dampak yang relatif tidak bisa diprediksi secara langsung, atau mungkin tidak bisa dijumpai secara langsung, tapi itu sangat banyak terutama saat ini. Kita mengetahui negara-negara yang sedang berkembang sebenarnya cukup banyak, atau sangat banyak warga yang akses terhadap sumber daya energi terutama listrik masih kekurangan.
Di Indonesia, beberapa data menyebutkan, ada sampai 25 juta penduduk yang belum memiliki jaringan listrik. Padahal itu simbol kemajuan sebuah masyarakat. Dampaknya secara sisiologis sebenarnya sangat terkait dengan bagaimana keadilan iklim itu bisa diwujudkan atau bisa terjadi.
Jadi dalam masalah keadilan iklim antar negara, yang sebenarnya ada adalah “produsen emisi karbon dioksida” yang sebagian besar sebenarnya juga berasal dari negara-negara maju. Justru yang menerima akibatnya itu negara-negara dunia ke-3. Dalam konteks makro, isu ini terkait dengan dampak ketidakadilan, terutama bahaya pencemaran dan seterusnya. Itu dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Ini satu masalah utama.
Kedua, bisa jadi secara sosiologis, kita bisa pahami seandainya perubahan iklim itu bisa menyebabkan terjadi bencana terutama bencana yang berbasis pada meteorologis. Bencana banjir, badai, angin puting beliung, Badai Katrina di Amerika, secara sosilogis akan menimbulkan dampak. Misalnya, mereka harus melakukan migrasi ke tempat lain untuk melakukan istilahnya mitigasi mengantisipasi. Ini agar dampak itu tidak terjadi kepada mereka, dan mereka pindah ke tempat lain yang aman dan seterusnya.
Perubahan iklim akan membuat orang yang tinggal di pinggir pantai pindah ke tempat yang lain. Ketika pindah, mereka menemui dampak lain juga karena harus bersosialisasi dengan tempat baru. Struktur masyarakatnya berubah. Adat masyarakatnya juga berubah dan seterusnya. Jadi dampak dari dampak itu kemudian juga menimbulkan dampak-dampak yang akan panjang.
Salah satu pemicu perubahan iklim adalah karbon yang dihasilkan dari pembangkit energi listrik yang menggunakan bahan bakar fosil. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk beralih ke energi terbarukan dalam skala rumah tangga?
Sektor rumah tangga jadi sangat strategis, terutama di Indonesia. Saya baca di Outlook Energy 2011 rumah tangga menduduki permintaan energi nomor tiga di Indonesia setelah industri dan transportasi. Bagi kita ini cukup menarik untuk rumah tangga sebagai peluang. Peluang pertama, keluarga itu sebagai unit terkecil. Kemudian tempat pertama kali untuk kita menerima edukasi dan seterusnya.
Banyak hal berasal dari keluarga, melalui rutinitas-rutinitas harian mereka dari mulai kebutuhan energi untuk bangunan, misalnya. Dalam kajian tentang building menyebutkan bahwa kebutuhan rumah tangga terutama energi untuk bangunan cukup besar, sehingga menempatkan keluarga dalam konteks mengubah pola konsumsi.
Melalui efisiensi, saya kira setidaknya ada tiga. Jadi ada transportasi, ada perumahan atau gedung yang di-support oleh energi listrik seperti untuk lampu, AC, peralatan dapur, dan seterusnya. Juga untuk kebutuhan pangan sehari-hari yang membutuhkan energi. Efisiensi ketiga hal itu bisa bekerja bersamaan atau bisa didorong lewat keluarga.
Apa contoh pola perubahan konsumsi energi yang bisa dilakukan rumah tangga?
Contoh riilnya sebenarnya jelas hemat energi. Efisiensi energi itu penting. Kalau saya menggunakan kata kunci itu bisa bersifat preventif dan juga bersifat kuratif. Kuratif itu dalam bentuk planning kebutuhan. Jadi planning tentang kebutuhan energi rumah kita seperti kebutuhan tentang lampu, kebutuhan alat-alat rumah tangga kita. Itu dari awal sudah di-planning.
Itu cara-cara yang sifatnya preventif. Misalnya, kebutuhan tentang kompornya harus seperti apa, kemudian lampunya seperti apa, bangunannya yang pencahayaannya banyak, dan seterusnya. Itu bagian dari upaya preventif termasuk pilihan moda transportasi. Transportasi pribadi membutuhkan energi juga. Itu juga bagian dari planning. Itu bisa dijadikan sebagai satu langkah preventif.
Kalau sudah terlanjur, artinya sudah terjadi bahwa bangunan rumah saya seperti ini, perabotan seperti ini, yang dilakukan adalah efisiensi. Untuk efisiensi kebutuhan pengeluaran energi kita maka di dalam keluarga yang penting dilakukan adalah paling tidak edukasi ke anak-anak. Itu satu tahapan yang paling mendasar di dalam masyarakat untuk menanamkan bahwa energi kita sekarang sudah mulai menipis ketersediaan fosilnya.
Jadi kita harus mulai mengurangi konsumsi energi, kita hemat energi, matikan lampu yang tidak dipakai, colokan yang tidak terpakai pun dilepas, dan seterusnya. Siang hari tidak perlu pakai lampu. Kebutuhan transportasi memilih pakai transportasi umum. Saya kira itu menjadi satu pola konsumsi yang kita edukasi ke anak-anak kita, sehingga itu akan terbangun bahwa sumber energi kita sekarang terbatas. Itu terus disosialisasikan.
Selain efisiensi energi terutama dari sumber bahan bakar fosil, apa contoh energi terbarukan yang bisa kita manfaatkan untuk di skala rumah tangga?
Kalau karakteristik masyarakat perkotaan saya kira energi surya, atau solar cell, atau photovoltaic. Itu menjadi satu alternatif yang paling memungkinkan karena dia tidak cukup rumit, dan bisa dilakukan secara individu pakai tenaga surya.
Kalau dari skalanya, misalnya pada masyarakat di perkampungan yang basisnya peternakan sapi, di Boyolali banyak masyarakat yang memiliki ternak sapi perah. Kotorannya itu mengganggu, bau, dan seterusnya. Itu kemudian diolah menjadi biogas. Itu bisa menjadi sumber-sumber energi alternatif yang mereka bisa kelola.
Pemanfaatan minyak goreng limbah rumah tangga di beberapa tempat di Jawa Tengah juga sudah mulai dipakai untuk menjadi energi alternatif. Itu untuk mengurangi konsumsi energi yang berbahan bakar fosil. Kemudian di Yogyakarta dekat pinggir pantai di daerah Bantul mereka mengembangkan teknologi bayu. Jadi pakai angin untuk energi karena rumah kampung di pinggir pantai anginnya kencang. Kemudian mereka kelola. Itu untuk skala kelompok bisa dikembangkan juga, dan itu nanti bisa didistribusikan ke rumah-rumah tangga yang ada.
Jadi sangat tergantung kepada karakteristik rumah tangga di mana dia berada, apakah di perkotaan atau pedesaan. Pedesaan mempunyai basis potensi sumber daya seperti apa, itu juga akan menentukan jenis-jenis energi yang sesuai dengan kebutuhan mereka sekaligus juga kemampuan mereka.
Apakah pemanfaatan energi terbarukan seperti limbah minyak goreng atau sinar surya itu memerlukan biaya besar?
Kalau biaya sebenarnya tergantung. Misalnya, pada kelompok masyarakat menengah ke atas, maka dipilih sumber energi yang “cukup membutuhkan biaya” seperti tenaga surya dengan solar cell. Kemudian dia butuh aki untuk menyimpan panas dan seterusnya. Saya kira itu cukup besar biayanya. Beberapa tempat yang saya ketahui mungkin sampai Rp 100 juta. Jadi pada kelompok masyarakat yang memang memiliki pendapatan cukup memadai, maka bisa diberikan alternatif untuk memilih sumber daya ini.
Sementara pada masyarakat-masyarakat menengah ke bawah menggunakan alternatif energi yang lain, atau menggunakan pengelolaan skala kelompok atau desa tadi. Justru saya pikir untuk kita melihat desa sebagai salah satu basis untuk mewujudkan rumah tangga yang mandiri energi. Jadi kalau pemerintah ada program Program Keluarga Harapan (PKH), mengapa tidak ada Program Rumah Tangga Mandiri Energi dengan memanfaatkan dana desa?
Taruhlah masyarakat yang punya potensi peternakan sapi, maka di-support melalui dana desa yang ada. Ini untuk merealisasikan sumber energi alternatif yang ingin dikembangkan. Justru hal-hal seperti ini harus diapresiasi, harus diberikan support, dan kalau perlu reward karena dia akan menular kepada rumah-rumah tangga yang lain. Masyarakat kita cenderung kalau ada yang sukses atau bagus maka itu ditiru.
Jadi ada model tradisi kita yang meniru kesuksesan orang lain. Jadi saya kira penting untuk terus menerus menginformasikan tentang cerita sukses rumah tangga yang sudah berhasil mandiri energi ini kepada rumah tangga-rumah tangga yang lain, sehingga mereka juga akan melakukan hal yang serupa. Itu saya kira suatu hal yang tidak boleh ketinggalan juga.
Saya tertarik pemaparan mengenai pengelolaan limbah peternakan untuk sumber energi terbarukan. Apakah biayanya mahal dan rumit?
Yang saya tahu tidak rumit dan tidak mahal. Dulu saya di program pendampingan dengan Pertamina, itu investasinya tidak sampai Rp 20 juta. Walaupun mungkin tidak bisa men-support seluruh kebutuhan energi, kalau di Boyolali itu hanya untuk kebutuhan lampu dan bahan bakar kompor. Jadi untuk masak saja sama untuk penerangan. Sementara untuk kebutuhan yang lain belum.
Namun itu setidaknya sudah 60% lebih dari kebutuhan energi mereka dengan investasi sebesar itu. Kalau mau dikalkulasi sebenarnya bisa dihitung berapa lama modal sebesar itu bisa kembali. Sebenarnya itu bagian dari investasi yang tidak ada ruginya.
Apa keuntungan rumah tangga mandiri energi atau desa yang mandiri energi?
Yang jelas kedaulatan negara itu ditentukan oleh kedaulatan pangan dan energi. Itu ditentukan oleh kemandirian warganya. Saya kira kemandirian energi akan bisa menunjukkan kemandirian kedaulatan bangsa. Itu sebagai jargon politik yang bisa kita masukkan bagian dari kebanggaan atau keuntungan. Keuntungan lainnya, misalnya, kita akan berkontribusi setidaknya pada penurunan karbon dioksida yang dilepaskan ke udara. Itu secara ekologis seperti itu. Kemudian kita juga bisa mengurangi konsumsi energi yang berbasis pada fosil.
Apa bentuk dukungan negara atau pemerintah yang diperlukan agar desa dan keluarga bisa mandiri energi?
Yang jelas dukungan kebijakan. Ada tiga syarat untuk kita membuat mandiri energi. Yang jelas cultural changes. Jadi mengubah cara pikir kita di keluarga terutama dan di negara. Juga harus mempunyai sense of crisis. Jadi juga harus diubah dalam diri para pejabat publiknya yang terkait dengan energi. Tidak hanya masyarakatnya, tapi juga pejabat publiknya yang ada, termasuk komitmen mereka untuk mengubah gaya hidup. Jadi kebutuhan energi tidak terlalu besar dan sebagainya.
Cultural changes penting, baik dari sisi masyarakat maupun pemerintah, karena dia akan menentukan bagaimana cara mengambil kebijakan. Kebijakan ini menjadi satu prasyarat berikutnya. Jadi ketika sudah berubah cara pikir kita tentang energi, maka bagaimana kebijakan itu bisa men-support.
Saya bisa membayangkan seandainya informasi terkait dengan energi terbarukan ini tersampaikan dengan baik pada masyarakat dan dilakukan oleh pemerintah dengan sungguh-sungguh dan teladan pemerintah, saya kira tidak susah mengubah cara berfikir masyarakat. Jadi ada teladan, ada juga dukungan kebijakan.
Misalnya, pada masyarakat yang sudah melakukan inisiasi tentang energi terbarukan maka mereka diberikan reward, apresisasi, dan sebagainya. Kemudian masyarakat akan mulai meniru, termasuk kebijakan-kebijakan terkait dengan dana desa. Itu bisa juga didorong ke arah itu. Dana desa yang ada biasanaya hanya fokus kepada sarana fisik. Jalan dibuat, sudah diaspal lalu diaspal lagi. Kemarin Gapura dibangun lalu dibangun lagi, dan seterusnya.
Bagi saya harus mulai dibuka mindset itu. Jadi dari sisi masyarakat maupun konteks negara, dalam skala yang kecil misalnya desa atau kabupaten atau bahkan nasional. Saya kira era desentralisasi ini menjadi penting. Di samping juga ada kebijakan tentang kedaulatan di tingkat desa untuk mendorong ke arah sana. Jadi ada dari sisi cultural changes, dan juga ada dari sisi policy structural adjustment. Itu menjadi pra syarat bagi keluarga atau desa yang mandiri energi.