Melindungi Warga Negara dari Kekerasan Seksual

Salam Perspektif Baru,

Hari ini kita memiliki narasumber yang luar biasa yaitu Mike Verawati Tangka. Dia banyak sekali berkiprah dalam dunia perempuan Indonesia sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) dari Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi.

Menurut Mike Verawati, Ketika kita bicara mengenai kekerasan seksual, itu berarti perempuan. Ternyata tidak begitu karena kita pernah menemukan kasus dimana laki-laki juga menjadi korbannya. Lalu, kita juga bicara angka-angka kasus yang tidak pernah turun. Kenapa ini semua selalu dianggap bukan masalah? Padahal sebenarnya angka-angka yang mencuat besar ini adalah bukti bahwa kita punya kekosongan hukum atau kekosongan kebijakan.

Kita akan terus berjuang bagaimana caranya agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bisa cepat disahkan, dan diimplementasikan. Kehadiran UU TPKS penting untuk menghadirkan negara melindungi warga negaranya dari kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Inayah Wulandari Wahid  sebagai pewawancara dengan narasumber  Mike Verawati Tangka.

Kita bicara mengenai kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, serta kejadian-kejadian dari mulai yang ada di sekolah, institusi-institusi, dan segala macam. Bagaimana Mike melihatnya sepanjang 2021 ini?

Kita melihat 2021, kalau ada kurva, mungkin sudah “boom” karena ini puncak ketika situasi -situasi kekerasan itu tidak terjadi lagi di rumah. Kalau kita bicara mengenai kekerasan seksual itu adalah urusan rumah tangga, tapi ternyata di kampus, di sekolah-sekolah agama - bukan hanya agama Islam mungkin juga agama Katolik dan Kristen, ternyata ada kasus-kasus yang ditemui.

Ketika kita bicara mengenai kekerasan seksual, itu berarti perempuan. Ternyata tidak begitu karena kita pernah menemukan kasus dimana laki-laki juga menjadi korbannya. Pernah terjadi kasus yaitu laporan dari Komisi Penyiaran, ada yang mengangkat kisahnya meskipun itu sebenarnya peristiwanya sudah sangat lama tetapi itu akhirnya diangkat, itu menunjukkan bahwa siapa pun sebenarnya berpotensi mengalami kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual.

Lalu kita juga bicara angka-angka kasus yang tidak pernah turun. Kenapa ini semua selalu dianggap bukan masalah? Ini momentumnya ada pada 2020 ketika Rancangan Undang – Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual itu di-kick oleh Komisi VIII. Alasannya, RUU ini belum penting, dan kalau RUU ini nanti dijadikan akan mengganggu cash flow atau anggaran negara karena kita sedang pandemi dan sebagainya. Kenapa ini tidak dikembalikan kepada aturan Undang-undang yang sudah ada?

Padahal sebenarnya angka-angka yang mencuat besar ini adalah bukti bahwa kita punya kekosongan hukum atau kekosongan kebijakan. Yang bisa menangani ketika kita bicara kekerasan seksual bukan korbannya saja, tetapi sebenarnya aparat penegak hukum pun juga bingung. Kita tahu bahwa ini adalah kekerasan seksual, tetapi kita harus menggunakan pijakan yang mana? KUHP kita baru mengatur dua persoalan yaitu pemerkosaan dan pencabulan. Padahal kita bicara jenis kekerasan seksual itu banyak sekali.

Apalagi kalau kita bicara di KUHP, pemerkosaan itu yang terjadi adalah intercourse. Pemaksaan hubungan seksual atau pemerkosaan itu tidak melulu harus terjadi intercourse. Itu membuktikan bahwa banyaknya kasus yang menggunung ini tidak bisa diselesaikan atau tidak bisa didampingi dan diproses karena kita mempunyai kekosongan hukum dan mekanisme hukum yang bisa memberi peluang adil bagi korban.

Tetapi bisa juga angka-angka ini mulai menguat dan banyak, itu adalah karena publik kita sudah berhasil sadar. Ini juga sebenarnya media kita, orang-orang muda kita juga sudah mulai aktif bersuara di media sosial. Ada juga infuencer yang mendorong publik untuk mulai berani. Akhirnya, ini yang mungkin bisa dibilang bahwa progresnya ada di situ.

Masyarakat itu sudah mulai paham, misalnya, ada anak seperti ini berarti itu kekerasan seksual. Mereka juga ikut menyuarakan. Kita tahu kawan-kawan muda itu banyak sekali mewarnai media sosial kita, dan juga tokoh-tokoh yang lain.

Menurut saya, progresnya ada di situ bahwa masyarakat sudah mulai gelisah. Kalau tidak ditangani bagaimana, sehingga mereka juga mulai ikut juga bersama-sama berkampanye. Mereka juga ikut menguatkan dan mendorong agar kebijakan-kebijakan yang pro ke korban bisa disegerakan oleh pembuat kebijakan, meskipun juga ada kelompok-kelompok yang masih menolak.

Ini juga kelihatan sekali bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diarahkan kepada kebijakan-kebijakan bahwa ini tidak sesuai dengan nilai agama, ini akan membawa sebuah dunia yang lebih bebas, orang akan berzina dan segala macam. Itu tuduhan-tuduhan yang sebenarnya juga turut mewarnai jagat kita.

Jadi, sekarang kita sedang bersama-sama battle, bagaimana yang mendukung dan juga yang menolak. Ini menurut saya adalah sebuah fenomena baik, saya senang sekali dibanding kalau kita bicara misalnya mendorong kebijakan KDRT atau tindak pidana perdagangan orang dimana publik masih tidak terlalu terlibat.

Sekarang ini menarik sekali dan yang sangat saya salut adalah gerakan orang muda yang sangat kuat ketika mereka juga sama-sama menyuarakan, dan juga menyadarkan mereka dengan cara-caranya mereka. Itu yang saya lihat progress meskipun sebenarnya masalahnya, atau hambatannya juga mungkin prosentasenya jauh lebih besar karena kita menghadapi tembok yaitu pengambil keputusan, tetapi mereka masih punya paradigma yang salah kaprah, paradigma yang cenderung bias dan juga misogini terhadap isu-isu ketika kita bicara kekerasan berbasis gender.

 

Kalau kata Mbak Mike persoalan atau kasus kekerasan seksual ini sebenernya sudah seperti gunung dan bukan hanya gunung biasa, tapi gunung es. Bahkan sampai ada satu aktivis perempuan yang menyebutnya, “Ini sudah pandemi loh”. Banyak juga kemudian upaya-upaya seperti yang tadi Mike katakan yaitu dari publik.

 

Kemudian kita tahu ada Permendikbud No.30/2021 yang dikeluarkan oleh Menteri. Itu sebenarnya adalah niatan baik untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan kekerasan seksual. Saat ini publik sudah mulai lelah juga untuk terus mendorong bahwa ada kebutuhan mengenai undang-undang untuk menghilangkan kekerasan seksual. Tapi sampai sekarang belum juga disahkan. Permendikbud Ristek malah di tolak, dan yang menolak adalah lembaga-lembaga yang besar, menurut saya. Kalau menurut Mike, ini persoalannya dimana?

Saya ingin memulainya begini, sebenarnya fakta itu sudah sangat jelas di depan mata. Kalau kita bicara kekerasan, itu sudah banyak bahkan ketika satu saja disentil, apalagi yang kasus Novi itu sangat menghentak sekali. Novi adalah perempuan yang bunuh diri karena dia mengalami kekerasan seksual dari pacarnya yang seorang polisi.

Saya langsung mengatakan begitu saja karena sekarang kita sudah tidak bisa lagi eufemisme, kita harus mengatakan bahwa pemerkosa adalah pemerkosa. Tidak perlu di halus-haluskan bahwa misalnya mereka melakukan tindakan asusila. Kita harus aware bahwa mereka adalah pelaku.

Saya ingin kembali kepada sistem pembuat kebijakan kita yang sebenarnya kalau kita bicara 100% maka itu 80% nya mereka ada urusan politik. Misalnya, ketika kita bicara mengenai kebijakan penghapusan kekerasan seksual, ini bukan UU atau kebijakan yang membawa sebuah manfaat di dalam kepentingan-kepentingan politik.

Itu karena mereka menganggap, dan bisa jadi mereka juga terganggu ketika ini juga dipermasalahkan. Jangan-jangan pembuat kebijakan kita ini juga merupakan pelaku, sehingga mereka juga merasa “kok saya di batasi”.

Apalagi ketika misalnya membahas yang mempermasalahkan Permendikbud yang sangat baik itu. Kalau saya bilang itu baik, itu terobosan, itu kemajuan yang dibuat karena kampus adalah tempat nomor tiga terbesar terjadinya kekerasan seksual dan itu gunung esnya tinggi sekali karena di sana ada relasi kuasa.

Yang mereka permasalahkan adalah mengenai tanpa persetujuan atau konsen, padahal tanpa persetujuan itu di situlah kekuatan korban. Dengan frasa itulah korban sebenarnya diposisikan karena selama ini kita punya yang namanya relasi kuasa. Mana ada kekerasan itu disetujui? Tetapi ada persoalan, “Kalau kamu tidak ikuti kemauan saya, saya tidak lulusin kamu, saya tidak akan memberikan nilai kamu.” Akhirnya, yang tadinya tidak setuju menjadi setuju.

Ketika tanpa persetujuan ini juga dipermasalahkan, artinya korban pun menjadi lemah. Contoh lainnya seperti di tempat kerja yaitu bos dengan stafnya, di pesantren yaitu guru dan santrinya, atau mungkin di tempat-tempat asrama lainnya seperti pendamping dan juga anak-anak asramanya, atau di pabrik kita juga bisa melihat di tempat kerja seperti apa.

Tanpa persetujuan itu diletakkan di dalam sebuah frasa, sebenarnya untuk menolong memposisikan korban ketika relasi kuasa itu terjadi, sehingga membuat mereka bersetuju. Contohnya lagi adalah kekerasan berbasis online, “Kalau lu nggak nurutin gue, gue sebar foto bugil lu.” Seperti itu yang tadinya tidak mau melakukan itu, tetapi karena adalanya relasi kuasa, ada seseorang yang lebih berkuasa dengan ada yang lebih lemah, maka akhirnya itu terjadi. Persetujuan ini sebenarnya adalah Frasa atau Klausul yang justru menguatkan korban ketika mereka tidak berani melapor karena nanti takut dipecat atau takut tidak lulus. Mereka mempermainkan di situ.

Sebenarnya kalau kita melihat atau kawan-kawan gerakan perempuan melihat bahwa penolakan-penolakan untuk Permendikbud No.30/2021 yang dikeluarkan oleh Menteri sebenarnya merupakan jalan panjang juga untuk menolak RUU tindak pidana kekerasan seksual karena itu sebenarnya agenda.

Itu yang sebenarnya kita juga mau lihat, bahwa penolakan-penolakan ini juga kembali kepada paradigma kita. Jangankan mereka pengambil kebijakan, masyarakat juga kadang-kadang masih salah kaprah mengira bahwa kalau kekerasan seksual itu sebenarnya bukan urusan kita, itu adalah urusan aib, atau jangan-jangan itu juga karena korbannya.

Ini ngeri sekali ketika ada yang bicara seperti itu dan itu juga yang menjadi persoalan ketika misalnya mengikuti proses-proses rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Ada satu situasi yang membuat saya rasanya ingin marah sekali. Ada yang bertanya seperti ini, “Bagaimana kalau misalnya ada suami-istri yang lagi marahan atau “ngambek” saja dan dia menggunakan RUU tindak kekerasan seksual ini untuk mempermasalahkan suaminya?”

Ayolah kita gunakan logika sehat kita. RUU ini juga mempunyai aturan main hukum. Ada pembuktian di sana, ada investigasi di sana,  masa hanya perkara di situ saja langsung kita stop?  Ini kembali bahwa sebenarnya ada paradigma yang betul-betul masih sangat meletakkan kekerasan seksual itu bagian dari hal yang tidak penting.

Padahal itu adalah performa negara karena kita bicara negara-negara yang sangat maju sekarang mereka punya aturan yang baik mengenai kasus seperti ini. Saya tidak paham juga kenapa proses politik itu menjadi jauh lebih penting daripada kepentingan untuk menekan angka-angka kekerasan dan memberikan keadilan bagi korban. Kadang-kadang kita melihat proses politiknya jauh lebih kencang daripada kepentingan untuk menghadirkan negara melindungi warga negaranya dari kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual.

 

Berhubung Permendikbud N0.30/2021 masih belum benar-benar jalan, dan kemudian juga RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual masih belum disahkan, apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat untuk bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan kasus kekerasan seksual ini?

Ketika semuanya deadlock, Permendikbud No.30/2021 tidak tahu akan diapakan nasibnya, padahal itu sebenarnya diimplementasikan saja juga sudah bisa, dan juga RUU TPKS yang sebenarnya juga belum jadi. Saya berpikir bahwa kita sebagai masyarakat juga harus punya sebuah keberanian untuk mendobrak. Yang tadi kalau kita bicara kekerasan seksual itu aib, delik, privat, kita juga sudah mulai harus membangun dan bagaimana saling menguatkan dan saling membantu.

Satu hal lagi, sebenarnya ketika kita bicara sebuah pola yang efektif untuk mengangkat sebuah isu itu adalah menguatkan penyintas untuk bicara karena mereka ini kekuatan kita. Misalnya kita mengatakan, “Ah, Mike itu kan memang aktivis perempuan dan aktivis perempuan biasanya memang rewel dan cerewet, ada saja masalah yang dia buat.”

Tapi berbeda ketika kita menguatkan penyintasnya, mereka bicara bagaimana mereka berjuang menyelesaikan trauma mereka. Mereka berjuang bagaimana sebenarnya dampak psikis mental yang dialami ketika mereka mengalami kekerasan. Ini harus banyak-banyak diangkat, siapa pun dia. Mungkin kita punya yang sudah sangat terlanjur seperti ceritanya Novi, dia meninggal bunuh diri, itu rasanya pedih sekali di hati. Tetapi kita juga punya sebenarnya penyintas-penyintas yang mereka juga perlu kita kuatkan.

Dan kita juga mempunyai kawan-kawan muda yang sebenarnya ini harus bisa bersuara kencang dengan kegelisahan mau jadi apa masa depan kita ke depan ketika ruang-ruang aman untuk belajar, mendapatkan pendidikan, bahkan kampus, tempat yang istilahnya adalah tempat mulia karena untuk menimba ilmu, tetapi ternyata tempat itu juga tidak aman.

Saya pikir masyarakat, terutama juga kita harus lebih menguatkan lagi. Jadi, kalau sekarang penolakan itu muncul, mungkin kita harus juga mulai menguatkan simpul-simpul masyarakat yang lain. Mungkin suatu hari nanti kita juga harus meminta ibu-ibu buruh perkebunan sawit untuk bicara, karena mereka juga jadi sasaran kekerasan seksual ketika bekerja di perkebunan, misalnya. Mereka bicara bagaimana mereka mengalami perendahan martabat sebagai perempuan.

Saat ini di kalangan sekolah, santri, kampus sudah mulai bertebaran kasusnya. Beberapa minggu terakhir ini bermunculan semuanya kasus-kasus yang terjadi di kampus mulai UNRI, UGM, UNJ, lalu juga yang kasus di Malang ini yang terakhir.

Mungkin besok kita juga harus menguatkan simpul masyarakat lainnya. Misalnya buruh pekerja, bagaimana mereka juga berjuang atau bagaimana mereka juga istilahnya menyelesaikan ketakutan ketika mereka juga mengalami. Atau kita bicara kaum-kaum profesional, yang juga sebenarnya mereka adalah silent majority. Mereka itu mungkin mau bicara, tapi tidak tahu bagaimana. Kita juga sebenarnya ingin menggugat, misalnya, kantor itu juga harus punya regulasi yang bisa menjamin bahwa karyawan itu aman dari kekerasan seksual.

Kita bicara kapasitas lembaga negara saja yang ketika stafnya mengalami kekerasan seksual ternyata mereka tidak punya mekanisme itu. Jadi, sebenarnya ini okay, mungkin tujuan utamanya adalah bagaimana Permendikbud itu implementatif, lalu bagaimana RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera disahkan dan juga diimplementasikan. Tetapi kita juga memperbaiki yang tadi kita sebut ‘Gunungan’, mungkin disitu ada RUU TPKS.

Kita juga selesaikan dengan bagaimana kita mendorong pabrik punya regulasi yang mengamankan stafnya, atau misalnya juga kita mulai berkampanye bagaimana menjadi masyarakat yang sadar terhadap kekerasan seksual.

Itu penting sekali, bagaimana kita juga mendorong sektor-sektor lainnya bisa sama-sama menyuarakan karena bisa jadi itu yang mungkin akan bisa mencelikkan hati, kesadaran, dan pikiran dari para pembuat kebijakan atau para penyelenggara negara. Mereka selalu berpikir bahwa kekerasan seksual itu urusan rumah tangga, itu tidak boleh diumbar-umbar.

 

Apa harapan Mike pada 2022 untuk kasus kekerasan seksual terhadap perempuan?

Saya kira keseriusan. Kalau kami tidak pernah kasih kendor, kita akan terus berjuang bagaimana caranya Rancangan Undang-Undang ini cepat disahkan. Meskipun janjinya yang masih harus dicek lagi, mereka juga akan mulai kolaborasi dengan pemerintah terkait dengan daftar inventaris masalah, karena sebenarnya ini sudah didorong menjadi inisiatif DPR. Semoga smooth sampai besok, mari kita berdoa kuat agar tidak ada ganjelan-ganjelan lagi, tidak ada aksi-aksi politik lagi yang akhirnya mengubah. Tinggal bagaimana kita menguatkan pemerintahan. Semoga di tahun 2022 kita juga sudah punya kebijakan.

Saya juga banyak diundang beberapa kawan-kawan kampus, mereka juga bikin aturan semacam SOP kampus untuk penanganan, pemulihan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus. Mereka mungkin menggunakan Permendikbud itu meskipun Permendikbud sendiri masih digoyang, tetapi kampus sudah mulai juga bergerak. Saya melihat beberapa kampus sudah mulai berinisiatif membuat aturan yang clear mengenai bagaimana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Semoga dengan banyaknya kita juga menguatkan penyintas untuk bicara, kita menguatkan masyarakat rentan kekerasan selama ini, terutama yang juga penting kita angkat adalah disabilitas. Ini juga ngeri sekali karena mereka itu tersembunyi. Bagaimana kita mau mengangkat mereka ini? Bukan hanya persoalan bahwa mereka sangat rentan, tetapi ketika mereka diperhadapkan proses hukum. Aparat penegak hukum pun sudah bingung sendiri bagaimana caranya mereka menjelaskannya. Itu PR sekali, bagaimana kita juga harus punya upaya-upaya. Meskipun kita sambil jalan, kita berusaha punya kebijakan yang bisa menjadi payung hukum bagi kasus-kasus kekerasan yang terjadi.

Harapannya seperti itu dan di implementasikan, bukan hanya sekadar jadi saja, tetapi mari kita mengimplementasikan. Dan untuk pekerja-pekerja kita jangan berhenti, jangan hanya senang karena sudah sah atau sudah ada. Tetapi kerja kita masih panjang karena bagaimana implementasi itu juga bisa diawasi dan ada partisipasi masyarakat di sana.

Previous
Previous

Next
Next