Jangan Maklum dengan Pikun

Salam Perspektif Baru,

Saya, Inaya Wahid kembali hadir di Perspektif Baru. Hari ini saya mempunyai tamu yang istimewa, yaitu Soraya Salim, atau bisa kita panggil Aya. Dia adalah seorang psikolog dari Yayasan Pulih yang bergerak di bidang pemulihan pasca trauma, dan juga seorang co-founder dari Pulih @The Peak. Selain psikolog senior, Aya juga konsultan di Daya Dimensi Indonesia dan mempunyai spesialisasi mengenai youth, couples counseling, Alzheimer, and caregiver English speaking clients dan experience in my courageous and corporate.

Menurut Soraya, alzheimer adalah bagian dari demensia. Demensia ada bermacam-macam. Ada penderita atau pasien yang kelihatannya baik-baik saja atau sehat-sehat saja, tapi kelakuannya aneh. Kalau sampai gangguan perilaku, ini yang susah karena dia bisa menjadi selalu curiga kepada orang, mulai dari asisten rumah tangga (ART), supir, sampai dengan anak sendiri. Selain itu,  dia juga menjadi semakin lupa. Kalau dulu kita dengar pikun itu sudah paketannya orang tua dan mungkin hanya lupa saja.

Ternyata pikun itu tidak sesederhana itu. Itu bahkan bisa mengganggu hubungan antara keluarga karena ini masuk dalam kategori long term care atau long term illness. Ini juga mengganggu aspek finansial. Kalau di Alzheimer Indonesia itu tagline-nya adalah, “Jangan Maklum dengan Pikun”. Artinya,  jangan dianggap biasa saja kalau kemudian ada hal-hal yang bukan sekadar lupa saja.

Jadi, kalau kemudian orang tua kita ada sinyal tertentu yang dianggap “mencurigakan” maka cepatlah diperiksakan. Apapun hasilnya itu belum tentu orang tua kita terkena demensia atau alzheimer. Kita sangat berharap tidak. Tapi, kalau ternyata betul, dan kalau itu bisa dideteksi sejak dini, maka kita lebih bisa bersiap-siap.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Inaya Wahid sebagai pewawancara dengan narasumber Soraya Salim.

Hari ini saya akan berbicara sesuatu yang mungkin kelihatannya tidak relate dengan saya, tapi apakah benar tidak relate, atau jangan-jangan saya seharusnya sudah mulai berbicara mengenai ini yaitu berbicara mengenai demensia dan alzheimer.

Aya adalah orang yang aktif sekali dan sepertinya jauh dari Alzheimer dan demensia. Saya sempat membaca artikel Aya yang membicarakan mengenai reuni. Ini ternyata bisa membantu untuk mengurangi demensia, pikun, dan Alzheimer.

Sebenarnya, mengapa Aya sampai banyak fokus di situ. Apa pentingnya kita paham mengenai alzheimer dan demensia?

Jadi, memang saya ada peminatan pada aging, senior people, orang tua atau lanjut usia (lansia). Mungkin karena zaman dulu kebetulan mempunyai orang tua yang sudah lansia. Kemudian berkembangnya waktu, pengetahuan, kondisi, dan situasi, maka munculah yang namanya demensia dan alzheimer.

Bermula dari seorang teman yang menjadi founder dari Yayasan alzheimer Indonesia, namanya DY Suharya. Saat itu kondisi beliau sedang merawat ibunya yang demensia alzheimer, tapi sangat kekurangan informasi. Jadi, akhirnya dia sangat aktif untuk mengumpulkan informasi dan kemudian juga mensosialisasikannya. Dia mengajak saya yang juga sebenarnya mempunyai peminatan terhadap hal itu, sehingga kemudian kami bersama-sama belajar dan berusaha untuk mensosialisasikannya kepada banyak orang.

Alzheimer adalah bagian dari demensia. Demensia ada bermacam-macam. Ada penderita atau pasien yang kelihatannya baik-baik saja atau sehat-sehat saja, tapi kelakuannya aneh. Jadi, itu yang sering kali membuat orang lain melihatnya itu “masa sih dia sakit?” Apalagi di keluarganya sendiri karena ada yang namanya bukan hanya gangguan memori, tapi juga ada gangguan perilaku.

Kalau sampai gangguan perilaku, ini yang susah karena dia bisa menjadi selalu curiga kepada orang, mulai dari asisten rumah tangga (ART), supir, sampai dengan anak sendiri. Selain itu,  dia juga menjadi semakin lupa. Kalau dulu kita dengar pikun itu sudah paketannya orang tua dan mungkin hanya lupa saja.

Ternyata pikun itu tidak sesederhana itu. Pikunnya itu bisa misalnya lupa menaruh kunci mobil di dalam kulkas. Jadi, lupanya ini serius dan bahkan bisa mengganggu hubungan antara keluarga karena ini masuk dalam kategori long term care atau long term illness.

Ini juga mengganggu aspek finansial. Bayangkan saja, misalnya ada anggota keluarga yang kecil, anak hanya satu, kemudian diganggu setiap hari di pekerjaan kantor sampai akhirnya harus berhenti bekerja. Kemudian, darimana sumber pengahasilan untuk perawatannya? Ini yang menarik perhatian saya karena efek atau dampaknya sangat luas, dan itu sampai ke keluarga khususnya. Jadi, stabilitas keluarga benar-benar tergoncang karena penyakit ini. Itu kira-kira latar belakangnya.

Kita masih berbicara mengenai alzheimer dan demensia yang ternyata tidak simpel seperti, “Oh ya sudah, memang sudah tua makanya pikun. Ya namanya juga orang udah senior.” Ternyata tidak sederhana seperti itu, ada efek-efek lain yang juga kemudian berdampak.

Tadi Aya sempat berbicara, darimana penghasilannya kalau mereka secara finansial tidak bisa bekerja dan segala macam? Mungkin salah satunya dari kami-kami ini para generasi sandwich yang akan ikut terkena dampak bahwa kemudian harus membantu orang tua secara finansial. Itu karena ternyata banyak sekali generasi sandwich yang kemudian mungkin harus menjadi caretaker untuk orang tuanya.

Apa sebenarnya yang harus kami ketahui mengenai demensia dan alzheimer ini? Misalnya, apa yang menjadi mitos? Apakah semua yang kita dengar selama ini mengenai demensia, pikun itu benar atau hanya mitos? Yang mana yang perlu kita percaya dan yang perlu kita lakukan dan dijadikan pengangan?

Kalau di Alzheimer Indonesia itu tagline-nya adalah, “Jangan Maklum dengan Pikun”. Artinya,  jangan dianggap biasa saja kalau kemudian ada hal-hal yang bukan sekadar lupa saja. Ini kita bicara kalau kita mengurus orang tua. Karena biasanya situasi yang sedang dihadapi oleh generasi sandwich ini adalah dia harus mengurus orang tua, sementara dia sendiri sedang membina hidupnya sendiri atau bahkan dengan anaknya.

Jadi, kalau kemudian orang tua kita ada sinyal tertentu yang dianggap “mencurigakan” maka cepatlah diperiksakan. Apapun hasilnya itu belum tentu orang tua kita terkena demensia atau alzheimer. Kita sangat berharap tidak. Tapi, kalau ternyata betul, dan kalau itu bisa dideteksi sejak dini, maka kita lebih bisa bersiap-siap.

Ada contoh kasus, mereka bersaudara ada berlima. Kemudian ternyata ibunya  dideteksi demensia, tapi karena masih dini, mereka masih bisa bagi-bagi peran antara keuangan, waktu, dan sebagainya. Jadi, konflik dalam keluarga bisa direndam dan diantisipasi. Perawatan orang tua juga bisa jadi lebih seksama, atau bisa juga kemudian bergabung dengan komunitas sehingga bisa saling membina ilmu. Ini karena banyak masalah emosi, koneksi keluarga atau hubungan, maka sering terjadi konflik. Sebelum ketergantungan itu terjadi pada salah satu anak saja, maka harus bisa dibagi secara lebih merata yang mana yang mempunyai kelebihan tertentu.

Kemudian untuk anak, memang masih kecil sekali prosentasinya bahwa ini bisa menurun ke anak. Tapi alangkah baiknya kemudian kita juga menjaga kondisi kita sendiri supaya jangan sampai ada potensi terkena demensia alzheimer. Jadi, harus ada perbaikan gaya hidup.

Kita bisa memakai orang tua kita sebagai refleksi, apa kira-kira yang mungkin diri kita perlu improve supaya jangan sampai kita demensia alzheimer. Misalnya, jangan baperan, sedikit-sedikit sensitif, depresi. Apalagi kalau sampai depresi, mungkin harus ada penanganan emosi yang lebih sehat. Lalu, gaya hidup lain seperti apakah istirahatnya cukup, apakah makannya benar, dan sebagainya untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif.

Itu karena demensia alzheimer ini juga banyak masuk dari penyakit degeneratif. Misalnya, diabetes, hipertensi, kolesterol, dan struk. Pasca struk itu rentan sekali untuk masuk ke demensia alzheimer ini. Memang sementara ini penyebabnya masih macam-macam, tidak hanya satu faktor.  

Jadi, practically sebenarnya kehidupan kita semuanya perlu ditata supaya kita bisa berusaha mencegah jangan sampai ke demensia alzheimer. Walaupun ada hal yang tidak bisa kita kontrol. Karena itulah aspek-aspek fisik itu harus kita jaga. Jadi, berolahraga rutin dan teratur itu perlu sekali kita perhatikan.  Kemudian juga menjaga mental kita, psikologis kita supaya tetap sehat. Namanya stres, apalagi orang di Jakarta itu tidak mungkin tidak stres.

Satu lagi adalah sosial, itu juga salah satu hal yang mungkin menyebabkan artikel saya beredar cukup kencang. Itu karena yang menariknya adalah ternyata dari penelitian menyatakan bahwa aspek sosial itu sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan psikososial kita, sehingga cukup memberikan kontribusi terhadap pencegahan dimensi alzheimer. Meskipun bukan satu-satunya, tapi cukup besar. Jadi, mempunyai teman dan menjaga relasi itu penting. Tidak perlu banyak teman, tapi mempunyai teman itu penting karena ternyata hubungan kontak sosial itu kontribusinya cukup besar, selain psikologis atau mental dan fisik.  

Tadi Anda sempat berbicara bahwa salah satu yang penting dalam membantu orang-orang dengan alzheimer dan demensia adalah relasi sosial, sehingga penting untuk kita mempunyai temen. Itu yang perlu kita jaga juga selain gizi, kesehatan, dan segala macam. Jadi, kalau yang sekarang masih suka julid, coba dikurangi supaya nanti pada saat sudah senior tidak kesulitan dan kesepian.

Menurut saya, ini menjadi penting karena saya sempat berbicara dengan beberapa senior yang selalu mengatakan, “Saat ini fokus negara adalah di bonus demografi”. Kita akan menuju Indonesia 100 tahun. Di situ ada bonus demografi. Tapi kita lupa bahwa pasca bonus demografi yang terjadi adalah bonus lansia. Kalau negara kemudian tidak menyiapkan hal tersebut, maka itu akan menjadi beban negara juga.

Bagaimana supaya itu tidak menjadi beban negara, tidak menjadi beban kita semua juga, tapi para lansia ini bisa hidup dengan sehat, dengan baik, dan demensia alzheimer kemudian bisa ditekan angkanya?

Jadi, yang memang harus dijaga sekali adalah menjadi produktif. Diharapkan lansia itu walaupun menjadi senior tetap produktif, mandiri dalam arti untuk hal-hal yang sesuai dengan kemampuan usianya, sehingga mereka bisa merasa bermartabat. Itu karena yang namanya memiliki harga diri itu penting sekali untuk kontribusi kesehatan mental seseorang.

Ada prinsip perkembangan yang memang secara natural pasti akan ada hal-hal yang membuat kemampuan-kemampuan para lansia ini berkurang. Kekuatan fisik pasti berkurang dan sebagainya. Tetapi ada hal-hal lain yang juga bertambah sebenarnya, yaitu pengalaman dan ilmunya juga bertambah.

Kalau kemudian dengan kondisi fisik atau segala macam itu mungkin tidak bisa terlalu dikontribusikan karena keterbatasan, tetapi masih ada hal lain yang masih bisa dikontribusikan untuk masyarakat dan untuk lingkungan sekitar, sehingga mereka tetap merasa bermakna. Itu yang penting untuk dipelihara. Bagaimana senior citizen ini kita fasilitasikan atau keluarga mengingatkan para senior ini untuk mereka tetap bisa produktif.

Di Indonesia usia 58 tahun itu untuk ASN sudah harus pensiun. Sementara usia 58 tahun itu orang masih bisa ngapa-ngapain, masih cukup kuat untuk menjadi produktif. Itu yang sebenarnya mungkin perlu peran serta pemerintah juga untuk mempersiapkan apa yang kemudian masih bisa difasilitasi untuk orang-orang senior ini, sehingga mereka masih bisa berkarya dan produktif.

Orang-orang senior ini pun juga kemudian perlu mengingat bahwa dirinya itu masih mempunyai ruang untuk berproduksi. Kalau mungkin tidak bisa secara fisik, mungkin bisa secara ilmu, misalnya menulis atau membuat buku.

Saya jadi ingat salah satu guru kami yaitu Saparinah Sadli. Dia umur 92 tahun masih mengarang buku, masih menyetir mobil, masih jalan-jalan, masih mengisi seminar, dan sebagainya. Jadi, itu adalah gambaran lansia yang tetap produktif dan menjaga kontak sosialnya, sehingga secara sosial dan psikologi mereka juga sehat.  Itu biasanya akan berpengaruh juga pada fisik.

Hal-hal ini yang perlu diperhatikan oleh kita sebagai anak-anaknya. Kadang-kadang sebagai anak cenderung banyak melarang orang tuanya yang sudah lansia supaya tidak capek-capek. Tapi kalau para orang tua ini tidak bisa ngapa-ngapain, kadang-kadang justru bisa menciptakan depresi yang lain untuk mereka. Mungkin hal itu yang juga kita sebagai anak-anaknya perlu ingat, selama mereka masih bisa melakukan sesuatu kita harus memberikan ruang itu asal kita juga jaga.

Kita sebagai generasi berikutnya, juga perlu mempunyai mindset seperti itu. Salah satu yang juga dipercaya berkontribusi adalah belajar. Belajar itu juga mengurangi risiko demensia alzheimer karena sebenarnya belajar itu kemudian menumbuhkan sel-sel atau koneksi-koneksi baru di otak kita, sehingga yang sudah jelek itu ada penggantinya dibandingkan dengan yang tidak dipakai.

Mungkin gaya hidup yang seperti itu yang perlu kita ingat dan lakukan, selain menjaga gaya hidup yang lebih sehat. Pandemi ini mengajarkan kita banyak hal bahwa vitamin D itu perlu, berjemur itu perlu, dan bergerak itu perlu. Ditambah lagi dengan menjaga kondisi hati. Bagaimana caranya mengelola stres yang sebenarnya lebih perlu diperhatikan.

Satu lagi yang terakhir adalah menjaga relasi sosial. Kalau orang tua kita itu masih ingin bertemu dengan teman-temannya jangan dilarang karena di situlah mereka merasakan kembali energinya. Energi mudanya saat mereka masih memiliki segala macam kekuatan dalam dirinya. Itu sangat luar biasa.

Misalnya, poco-poco itu selain membuat dia bergerak, ada koordinasi antara tangan, kaki, arah kanan atau kiri, juga mereka bisa bahagia. Itu karena poco-poco adalah senam yang gembira. Selain itu, poco-poco juga dilakukan secara bersama-sama. Kombinasi itu sudah diteliti oleh dokter Ria Maria, dia adalah seorang psikiater. Bahwa itu memang berkontribusi terhadap penurunan risiko demensia alzheimer. Itu juga bisa kita pindahkan ke hal-hal yang lain. Misalnya, bukan dengan poco-poco, tapi dengan aktivitas lain dalam kehidupan kita. Jadi, tetaplah produktif.

Ada satu tambahan lagi kalau ingin mengakses informasi mengenai demensia alzheimer bisa mengunjungi websitenya di www.alzi.or.id  

Previous
Previous

Next
Next