Pilih Capres Peduli Lingkungan
Salam Perspektif Baru,
Penurunan emisi karbon telah menjadi komitmen internasional untuk semua negara secara bersama-sama menurunkan emisi karbonnya secara nasional. Negara kita tentu saja telah berkomitmen juga untuk ikut menurunkan emisi karbon. Hari ini kita akan membahas topik mengenai tata kelola penanganan perubahan iklim dengan narasumber Laode M. Syarif, Ph.D., yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Kemitraan.
Laode M. Syarif mengatakan nama calon presiden tidak terlalu penting karena yang paling penting adalah apakah presiden ini memiliki komitmen lingkungan yang bagus atau tidak, perubahan iklim yang bagus atau tidak, dia memiliki agenda antikorupsi yang baik atau tidak, dia memiliki agenda perlindungan hak asasi manusia atau tidak, atau model pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.
Jadi, kita harus memilih karena agendanya bukan karena A, B, atau C seperti sekarang ini. Dirinya tidak tertarik dengan nama, dirinya tertarik dengan apa yang ingin mereka kerjakan, dan sekarang ini belum ada yang keluar apa yang mereka ingin kerjakan.
Mungkin saja namanya bagus, bunyi namanya bagus atau dia terkenal, tapi kalau tidak memiliki agenda perlindungan lingkungan, agenda pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, agenda anti korupsi dan agenda perlindungan hak asasi manusia tidak usah pilih orang-orang itu. Pilih yang mempunyai komitmen baik. “Saya pikir itu yang saya ingin sampaikan karena masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh keberpihakan pemimpin”.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Laode M. Syarif, Ph.D.
Pemerintah Indonesia secara tegas telah menyatakan bahwa penanganan perubahan iklim merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2019 - 2024. Sebagai wujud keseriusan menangani perubahan iklim, pemerintah Indonesia memberikan komitmen politik dengan menaikkan target penurunan emisi karbon.
Bagaimana penilaian Anda dan juga lembaga mengenai penanganan tata kelola perubahan iklim di Indonesia hingga saat ini?
Pertama-tama kita harus mengapresiasi pemerintah memiliki komitmen yang bagus untuk penanganan perubahan iklim di Indonesia. Itu perlu didukung dan penting karena Indonesia memiliki banyak pulau kecil. Bahkan di beberapa proyek Adaptation Fund Kemitraan, dampak global warming atau perubahan iklim itu sudah terasa.
Misalnya, di Pekalongan dan Kudus, Jawa Tengah, rob air laut yang salah satunya diakibatkan oleh meningkatnya permukaan air laut sudah sampai ke darat. Ada lagi proyek Kemitraan di Maluku, sama seperti itu juga. Bahkan sebenarnya di Jakarta saja seperti Jakarta Utara peningkatan airnya sudah mulai meningkat. Jadi, tata kelola tentang perubahan iklim, tata kelola lingkungan, dan sumber daya alam pada umumnya itu memang harus didukung.
Kita mensyukuri bahwa pemerintah Republik Indonesia, baik melalui pertemuan tahunan Conference of the Parties (COP) dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) maupun di G20, itu juga dikemukakan targetnya secara global. Mudah-mudahan kita memiliki kesamaan bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga provinsi, kabupaten, sampai di level masyarakat memiliki komitmen itu.
Dari pantauan Anda, apakah ada praktek-praktek baik yang telah dijalankan oleh pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim yang bisa menjadi contoh bagi negara lain?
Ada. Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita memiliki dewan nasional perubahan iklim, dimana saya juga ikut. Kemudian ada moratorium untuk pembukaan lahan, khususnya untuk lahan alam dan lahan gambut yang memiliki high conservation value dilarang untuk dibuka. Ini dari segi kebijakan, bukan dari segi praktek.
Kebijakan lain yaitu komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang juga berlanjut sampai sekarang. Jadi, kalau dari segi kebijakan memang kelihatannya banyak beberapa praktek, dan Alhamdulillah Kemitraan ikut serta juga di dalam perumusan-perumusan kebijakan-kebijakan itu.
Penanganan perubahan iklim di Indonesia pada tahun depan menghadapi tantangan yang sangat berat karena kita menghadapi momentum politik, yaitu adanya Pemilu 2024. Hasil Pemilu 2004 ini sudah dipastikan menghasilkan pemerintahan baru karena presiden sekarang tidak ikut Pilpres.
Apakah kebijakan-kebijakan politik yang sudah dibuat oleh pemerintah sebelumnya itu akan terus dijalankan atau berubah? Apakah momentum politik bisa akan mengubah kebijakan politik penanganan perubahan iklim di Indonesia?
Kalau saya lihat dari 15 tahun terakhir itu berlanjut ke arah kebaikan. Walaupun dari awal misalnya kebakaran hutan masih sering terjadi, Alhamdulilah dalam lima tahun terakhir itu kebakaran hutan menjadi lebih berkurang dan diseriusi. Kemudian pembukaan lahan gambut juga menjadi berkurang, sehingga dunia mengakui bahwa level dari deforestasi di Indonesia itu berkurang.
Sekarang kita akan menghadapi momentum pemilihan umum, apakah mereka akan melanjutkan ini atau tidak? Kalau mereka berpikir panjang, calon presiden baru maupun calon anggota DPR harus melanjutkan, bahkan harus meningkatkan bukan hanya kebijakannya tetapi juga implementasinya. Kebijakan mereka harus lebih ambisius lagi.
Misalnya, tentang pengurangan sedikit demi sedikit sumber energi yang berasal dari fosil. Mungkin kita sudah harus berpindah lebih banyak hydro, solar, maupun bayu atau wind energy, dimana sekarang kita masih kurang.
Dari segi implementasi, mereka juga harus memiliki platform pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang lebih memihak alam dan lingkungan. Kalau mereka tidak memiliki platform itu, maka akan tertinggal dengan G20, itu sudah betul-betul dikatakan kemarin, kemudian di COP.
Ini adalah agenda dunia bukan agenda nasional saja. Jadi, Indonesia tidak boleh kembali ke agenda jauh sebelum perubahan iklim itu. Apalagi kita sudah meratifikasi perjanjian Paris, sehingga harusnya itu diikuti.
Saya tidak tertarik untuk membahas siapa calon presidennya, apakah A, B, C, atau D. Nama itu tidak terlalu penting karena yang paling penting adalah apakah presiden ini memiliki komitmen lingkungan yang bagus atau tidak, perubahan iklim yang bagus atau tidak, dia memiliki agenda antikorupsi yang baik atau tidak, dia memiliki agenda perlindungan hak asasi manusia atau tidak, atau model pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.
Jadi, kita harus memilih karena agendanya bukan karena A, B, atau C seperti sekarang ini. Saya tidak tertarik dengan nama, saya tertarik dengan apa yang ingin mereka kerjakan, dan sekarang ini belum ada yang keluar apa yang mereka ingin kerjakan.
Menarik, Anda tadi menggaris bawahi bahwa siapa pun presidennya harus melanjutkan penanganan kebijakan perubahan iklim.
Meningkatkan, bukan melanjutkan. Harus meningkatkan dengan lebih baik.
Bagaimana Anda melihat nama-nama yang saat ini beredar sebagai bakal calon presiden. Apakah mereka sudah menyatakan kepeduliannya kepada penanganan perubahan iklim atau sama sekali masih diam saja?
Saya ambil contoh kasus yang menarik di Amerika Serikat, Barack Obama mempunyai komitmen politik untuk menangani perubahan iklim. Ketika presidennya berganti menjadi Donald Trump, mereka menarik diri dari penanganan perubahan iklim karena dalam kampanye mereka juga tidak pernah menyebutkannya. Kemudian ketika terjadi perubahan Presiden menjadi Joe Biden, mereka masuk kembali kepada kesepakatan penanganan perubahan iklim internasional.
Bagaimana dengan kandidat-kandidat yang sekarang ini beredar. Apakah mereka sudah mempunyai suara untuk peduli pada penanganan perubahan iklim?
Saya tidak ingin menyebut nama karena mereka semua belum membicarakan hal itu, belum ada. Jadi, sebaiknya jangan kita beli kucing di dalam karung. Mungkin saja nanti kucingnya bagus, mengkilap, bulu panjang, bahkan mungkin mempunyai sayap, tapi kalau kita tidak tahu apa yang ingin dia kerjakan, maka jangan kita pilih.
Contoh lagi, bukan hanya di Amerika Serikat, sekarang di Australia mereka mempunyai perdana menteri baru, dulu dia sangat pro eksploitasi sumber daya alam khususnya mendukung sumber energi yang berasal dari batubara dan fosil. Sekarang Anthony Albanese memutar balikan itu. Kalau kita lihat dulu ada Kevin Rudd, bahkan dia ingin melakukan carbon tax, kemudian dia jatuh oleh Tony Abbott. Akhirnya diambil oleh Julia Gillard dan kembali lagi agenda climate change-nya. Kemudian berubah ke Tony lagi, dia tidak melanjutkan lagi seperti itu.
Di Indonesia jangan kita mengikuti yang seperti itu. Kita harus konsisten bahwa kita sudah bagus karena kalau kita main-main dengan isu perubahan iklim ini, maka akan banyak pulau yang tengelam. Orang Jakarta mungkin tidak terlalu sadar, tapi kalau dia jalan-jalan di Pantai Utara Pulau Jawa sekarang banyak sekali terjadi abrasi akibat penurunan permukaan tanah dan meningkatnya permukaan air laut.
Ini bukan angan-angan lagi, ini sudah nyata dan beberapa pulau di Indonesia sudah banyak yang terendam termasuk depan rumah saya di kampung. Jadi, memang jangan kita memilih anggota DPR atau Calon Presiden yang tidak memiliki agenda lingkungan yang baik.
Dalam penanganan perubahan iklim, selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mempunyai peranan penting, baik itu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota. Bagaimana Anda melihat tata kelola penanganan perubahan iklim di daerah saat ini? Karena kalau di daerah warna politiknya lebih beragam, misalnya Gubernur-nya merah, maka Bupatinya bisa saja biru atau hijau. Itu bisa berubah mengenai kebijakan politiknya dalam penanganan perubahan iklim. Bagaimana Anda melihatnya selama ini?
Jadi, ini penting, tetapi sebelum saya berbicara ke daerah, saya ingin kembalikan dulu ke pemerintah pusat. Pemerintah pusat harus memberikan contoh dan panduan yang jelas karena sekarang semua izin-izin yang berurusan dengan pertambangan, maupun yang berhubungan dengan kehutanan, perkebunan besar ditarik ke pusat, sehingga kewenangan daerah menjadi lebih berkurang. Karena itu kita berharap kepada pemerintah pusat untuk konsisten juga.
Contohnya, kalau mereka memiliki ambisi target pengurangan emisi yang cukup, maka tolong juga tambang-tambang pulau kecil yang dilarang, jangan diberikan izinnya. Kemudian yang melakukan pencemaran lingkungan, dan perusakan sumber daya alam harus ditindak tegas.
Kembali ke provinsi dan kabupaten, ini menurut pengalaman Kemitraan, ada beberapa provinsi yang memiliki komitmen yang bagus, bahkan mereka menyatakan diri sebagai provinsi konservasi. Misalnya, Kalimantan Timur dimana sekarang Kemitraan menjadi lembaga perantara karena mereka berhasil mengurangi penggundulan hutannya, deforestasinya, maka dibayar harganya dan yang menyalurkan itu salah satunya adalah Kemitraan dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Mudah-mudahan Papua Barat juga segera menyatakan diri, dan ada lingkar Kabupaten Lestari seperti Gorontalo. Tetapi lebih banyak yang kerjaannya betul-betul hanya untuk eksploitasi saja, bahkan mereka tidak memiliki rencana pengembangan daerah tentang perubahan iklimnya. Sedangkan di nasional ada yaitu yang dikeluarkan oleh Bappenas, KLHK, yang harusnya itu diikuti dan ada rencana kerja daerah juga untuk bagaimana mempersiapkan diri mengatasi perubahan iklim.
Kembali ke bakal pemimpin nantinya, itu mungkin saja namanya bagus, bunyi namanya bagus atau dia terkenal, tapi kalau tidak memiliki agenda perlindungan lingkungan, agenda pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, agenda anti korupsi dan agenda perlindungan hak asasi manusia tidak usah pilih orang-orang itu. Pilih yang mempunyai komitmen baik. Saya pikir itu yang saya ingin sampaikan karena masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh keberpihakan pemimpin.
Bagaimana publik bisa mengetahui seorang calon Kepala Daerah atau calon anggota DPRD atau DPR RI ataupun calon presiden itu mempunyai kepedulian pada penanganan perubahan iklim?
Mereka biasanya mengeluarkan platform-nya atau rencana kerja atau poin-poin kampanye. Kalau Presiden yang sekarang dulu mengeluarkan Nawacita yang di dalamnya ada komponen lingkungan atau anti korupsi. Jadi, Bupati, Kepala Daerah, atau Gubernur itu biasanya mengeluarkan itu juga.
Masalahnya di Indonesia tidak ada perbedaannya antara partai politik satu dengan partai politik yang lain. Misalnya, anti korupsi Yes, pembangunan berkelanjutan Yes, tetapi implementasi beda-beda.
Kalau di Amerika Serikat itu jelas. Republican pasti dia tidak terlalu suka dengan isu-isu perubahan iklim karena dia sangat pro industrial. Tetapi kalau Demokrat pasti. Kemudian kalau di Inggris, antara konservatif sama dengan Republican, tetapi Labour sama juga dengan Demokrat. Australia ada ideologi politik.
Jadi, Indonesia ini masyarakatnya susah. Mereka oposisi di tingkat nasional, tetapi pemilihan Bupati atau Gubernur mereka koalisi, sehingga tidak ada ideologi. Saya pikir model berpolitik Indonesia yang tanpa ideologi ini harus diperbaiki.
Dengan kondisi tersebut, publik mempunyai kekuatan juga. Bagaimana cara publik, mungkin dengan bantuan rekan-rekan Non-Governmental Organisation (NGO) atau masyarakat sipil bisa mendorong isu perubahan iklim ini masuk ke mereka, agar mereka mau patuh pada empat yang tadi Pak Syarif sebutkan?
Nomor satu, bahwa publik itu bisa melakukan pendekatan. Kalau publik itu Civil Society Organization (CSO), Non-Governmental Organisation (NGO) biasanya mindset-nya adalah meminta janji, kita berharap kepada mereka.
Jarang sekali di dunia itu konstitusinya memberikan hak kepada warga negara seperti Pasal 28 H. Itu jelas mereka sebut bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Itu di konstitusi Amerika Serikat dan Australia tidak ada. Jadi, sebenarnya itu kewajiban setiap pemangku jabatan publik.
Bagaimana masyarakat berperan? Kita meminta hak-hak kita dipenuhi. Kalau ada pemerintah yang merusak alam, sehingga banjir banyak terjadi. Kita juga tidak boleh memberikan semua bunga dari apa yang saya bicarakan tadi. Antara kebijakan dan implementasi masih tinggi gap nya. Karena itu kita berharap bahwa gap ini harus kita hilangkan, bahwa antara janji, antara bunyi kebijakan, dan implementasinya harus menyatu. Kalau seperti itu baru bermanfaat.
Gap antara kebijakan dan implementasi masih tinggi dan masih jauh. Apakah target penurunan emisi yang saat ini dibuat akan tercapai pada 2030?
Kalau misalnya gap-nya dipersempit, mungkin kita bisa capai. Tetapi kalau tidak, mungkin juga akan sulit dicapai. Terus terang beberapa kebijakan strategis akhir-akhir ini banyak bertentangan. Misalnya, mengenai eksploitasi sumber daya alam yang besar-besaran, sumber energi kita juga masih mayoritas berasal dari fosil, dan upaya untuk menggantinya dengan energi yang lain itu masih sedikit. Tetapi kalau dari sektor kehutanan (land use), mudah-mudahan kita bisa capai. Kalau dari segi transportasi dan energi itu sedikit sulit dicapai.