Perspektif terhadap Korea Utara dan Demokrasi Indonesia

Salam Perspektif Baru,

Indonesia dan Korea Utara mempunyai hubungan yang sangat baik sejak hubungan diplomatik itu diresmikan pada 1961. Salah satu faktornya tentu saja karena kedua negara tidak mencampuri urusan dalam negerinya. Hari ini kami akan membicarakan mengenai kehidupan masyarakat Korea Utara dengan narasumber Inaya Wahid, yang berkesempatan berkunjung untuk melihat langsung kehidupan masyarakat Korea Utara beberapa waktu lalu.

Inaya mengatakan kalau ada kesempatan bisa berkunjung ke Korea Utara, berkunjunglah atau mainlah ke sana karena negaranya dengan rakyatnya tentu itu dua hal yang berbeda. Sebelum kita mengambil kesimpulan bahwa mereka begini atau mereka begitu, please see it for yourself, lihat sendiri dan rasakan.

Setelah berkunjung ke Korea Utara, Inaya makin benar-benar merasa bersyukur bahwa kita mempunyai sistem demokrasi Pancasila. memang demokrasi yang kita punya hari ini bukan yang terbaik yang kita miliki, masih jauh sekali dari sempurna. Tapi bisa hilang kalau tidak dijaga.

Jadi, please meskipun demokrasi kita bukan yang paling sempurna, tapi itu yang paling ideal untuk kita semua saat ini di Indonesia dengan kondisi yang beragam, dengan kondisi yang berbeda-beda yang kemudian bisa menjaga supaya semua orang mempunyai kesempatan untuk sejahtera dan segala macam. Saat ini hanya itu. Jadi, please dijaga karena itu bisa hilang sewaktu-waktu.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Inaya Wahid.

Hanya orang-orang tertentu yang bisa berkesempatan berkunjung ke Korea Utara dan juga bisa mendapatkan informasi mengenai Korea Utara. Mengapa Inaya bisa ke Korea Utara, dan apakah mereka tahu bahwa Inaya adalah orang Indonesia?

Tidak, karena pasti terlihat asing karena cukup dengan menggunakan jeans dan kaos saja itu sudah menunjukkan bahwa kita orang asing. Orang sana tidak ada yang berpakaian seperti kita.

Bagaiman gaya busana mereka?

Seperti zaman dulu tahun 1980-an. Yang laki-laki kebanyakan menggunakan baju safari atau baju kerja. Yang perempuan memakai blouse dan celana yang benar-benar seperti tahun 1980-an. Sampai potongan rambut juga seperti zaman dulu sekali.

Apakah semuanya ramah ketika mengetahui Inaya dari Indonesia?

Kalau petugas imigrasi iya karena melihat paspor kami. Jadi, karena hubungan diplomatik yang baik dari zaman Soekarno, Indonesia termasuk dalam daftar negara-negara yang memang dianggap “berteman” dengan Korea Utara. Jadi, mereka senang sekali dan sangat menyambut kami.

Salah satu keberhasilan diplomatiknya Soekarno adalah dia memberikan anggrek bulan, yang sebenarnya kalau di Indonesia itu bukan termasuk a rare species. Namun yang menarik adalah bagaimana kemudian Soekarno membawa itu dan menjadikannya sebagai media membuka hubungan diplomatik dengan menamakannya bunga Kimilsungia. Kemudian itu membuat mereka merasa bahwa memang kita teman dekat, teman baik.

Mengapa saya bisa ke sana? Saya pernah membaca buku Ayah saya dengan salah satu pemimpin Buddhis di Jepang yang namanya Daisaku Ikeda. Mereka membicarakan mengenai Arnold Toynbee. Dia sebagai sejarawan mengatakan bahwa ketika nama Turki buruk, dia memutuskan untuk melihat seberapa buruknya yang dibicarakan oleh orang dengan pergi ke sana.

Gara-gara membaca itu saya jadi kepikiran “Kenapa semua orang membicarakan Korea Utara itu buruk dan seram sekali. Memangnya seperti apa negara itu?” Jadi, saya bersama teman-teman memutuskan untuk mencoba ke Korea Utara sebagai turis saja. Itu yang kami lakukan. Kami pergi ke sana benar-benar mengikuti prosedur, mengikuti kalau jadi turis seperti apa. Kalau ada teman-teman yang mempunyai kesempatan untuk bisa ke sana, lebih baik ke sana saja karena itu akan menarik sekali.

Kalau saya ke luar negeri atau suatu daerah yang baru biasanya yang pertama kali saya amati adalah suasana kotanya, suasana jalan rayanya, karena itu mencerminkan budaya suatu masyarakat atau budaya suatu negara.

Bagaimana suasana jalan-jalan di Korea Utara? Apakah disana banyak polisi atau tentara yang lalu-lalang? Kalau di negara-negara maju hampir tidak ada polisi yang lalu lalang karena semuanya dianggapnya sudah tertib, mungkin hanya pakai CCTV saja.

CTTV ada, polisi pun juga ada dimana-mana, tapi bukan berarti suasananya jadi mencekam. Kita tahu bahwa negara komunis itu menitik beratkan pada pengabdian terhadap negara, itu tipikalnya mereka. Salah satu bentuk pengabdian terhadap negara adalah dengan menjadi militer, itu sesuatu yang umum sekali di sana. Jadi, memang banyak tentara dimana-mana.

Kalau untuk jalan raya di sana lengang, tidak ada macet karena transportasi umumnya sangat bagus di sana. Mereka mempunyai mobil sendiri karena mereka diembargo sehingga tidak ada produk dari luar, kalaupun ada mungkin dari China. Tapi sangat menarik karena selain sangat zaman dulu atau jadul sekali tapi at the same time banyak sekali gedung-gedung yang dibuat secara futuristik. Kim Jong-un menghabiskan banyak uang untuk kemudian membangun gedung-gedung yang futuristik.

Kami ditemani oleh tour guide sekitar dua orang. Selama di sana kita bisa foto asalkan fotonya itu di tempat yang diizinkan. Jadi, jangan membayangkan seperti paket perjalanan wisata lainnnya.

Jadi, tidak bebas kita ingin selfie dimana saja

Tidak. Kalau saya pergi ke negara lain, sepanjang hidup saya pergi ke negara lain, kalau kami sudah selesai tour, misalnya jam tujuh malam kembali ke hotel. Biasanya saat kembali ke hotel, para anggota tour pasti akan sibuk jalan-jalan sendiri ke luar dari hotel, lihat pemandangan, lihat budayanya orang-orang di sana. Tapi di Korea Utara tidak boleh, begitu sudah masuk hotel maka tidak boleh keluar, di pelatarannya pun tidak boleh.

Bagaimana fasilitas hotel di sana?

Begitu sampai di Korea Utara, handphone dan segala macam secara otomatis kita tidak bisa gunakan, kecuali untuk foto.

Jadi, tidak ada jaringan internet sama sekali.

Tidak ada jaringan internet. Kadang-kadang kalau ke luar negeri biasanya kita beli SIM card lokal, tapi di sana tidak dimungkinkan karena mereka mempunyai gadget sendiri dan sangat mandiri. Namanya juga negara diembargo, semuanya mempunyai sendiri. Jadi, tidak compatible. Satu-satunya kami mendapatkan akses internet itu adalah ketika kami ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Apakah bisa membuka beragam situs atau hanya situs-situs tertentu yang bisa kita buka saat mendapatkan akses internet di KBRI?

Untuk sosial media seperti Instagram berhasil kami buka, tidak seperti di China. Kalau di China pengalaman saya di sana kami membutuhkan VPN untuk beberapa sosial media.

Bagaimana kalau portal-portal berita seperti CNN?

Tidak ada. Bahkan saya bertanya hal yang sangat simpel dan menurut saya itu biasa saja, seperti dimana tinggalnya supreme leader, mereka tidak tahu.

Apakah tidak bisa dicari pakai Google Map?

Tidak bisa karena juga tidak ada akses internet. Yang menarik adalah ketika saya bertanya seperti itu yang biasanya kalau di negara lain adalah bagian dari city tour. Jadi, ketika tidak melewati itu saya bertanya seperti itu karena mereka menunjukkan patung Kim Il Sung dan Kim Jong-il yang mana saat kita datang harus membungkuk, lalu mausoleum mereka, dan segala macam. Tapi saat pertanyaan bahwa istana tempat mereka tinggal ada di sebelah mana, apakah kita tidak melewatinya? Yang menarik adalah jawaban dari tour guide kami yaitu “Untuk apa tanya-tanya seperti itu? Itu bukan urusan kami, rakyat itu bekerja saja seperti sebagaimana fungsinya rakyat.”

Kembali ke cerita mengenai hotelnya, ada satu pengalaman menarik karena Dubes Indonesia kemudian datang ke hotel karena tahu kami ada di situ. Dubes datang lumayan malam, yaitu pukul 23.00.

Yang tidak pernah saya duga adalah ketika saya ke bawah karena Dubes sudah di lobby, kami ke lobby sudah dalam kondisi gelap total. Jadi, kami meraba dinding untuk mencari saklar lampu dimana. Bayangkan, di hotel internasional kita di lobby mencari saklar karena semua lampu sudah dimatikan.

Mulai pukul berapa di sana lampunya dimatikan?

Sepertinya pukul 20.00. Bagi kami pukul jam 21.00, apalagi kalau ke luar negeri yang belum pernah kita datangi, kebiasaan traveler tidak ada yang jam segitu sudah di dalam hotel. Pasti masih sibuk kemana-mana, jelajah kota. Tapi karena di sana jam 19.00 sudah harus ada di dalam hotel dan tidak bisa ke mana-mana juga, tidak ada akses apapun juga, akhirnya orang juga memilih untuk tidur saja karena mau ngapain lagi.

Bagaimana masakan hotel di sana?

Masakan Korea Utara sama seperti masakan Korea Selatan. Misalnya, seperti yang sekarang lagi ngetren di Indonesia yaitu Tteokbokki atau segala macam.

Apakah masakan Internasional tidak ada karena biasanya kalau di hotel negara lain ada masakan internasional.

Tetapi ada satu yang menarik kalau makan di hotel di Korea Utara. Biasanya kalau paketan sewa kamar hotel ada paketan untuk sarapan. Kalau sarapan di hotel biasanya di negara manapun yang selama ini saya datangi, di hotel manapun di seluruh negara lain kita bisa datang kemudian masuk ke dalam restaurannya dan kita akan mencari meja kosong. Di sana tidak begitu sistemnya, misalnya turis Indonesia diberi tempat di satu spot, maka sampai mati atau sampai kiamat pun dia tidak boleh pindah spot.

Saat menerima Dubes, dimana Inaya dan Dubes duduk? Apakah harus di tempat Inaya duduk?

Tidak, karena kita bertemunya di lobby hotel, di sofa lobby hotel.

Dubes bertanya, apakah teman-teman ingin makan malam di KBRI? Karena teman-teman ingin makan malam di sana, akhirnya kami ke sana. Yang menarik adalah tour guide dan segala macam itu tidak bisa ikut. Sebenarnya kalau kami melakukannya di negara lain, mungkin mereka akan ikut dan biasa saja. Tapi mereka tidak bisa masuk karena mereka merasa itu bukan wilayahnya mereka, dan segala macam.

Jadi, mereka benar-benar menunggu di pinggir jalan. Padahal waktu itu sudah masuk musim dingin dan dingin sekali di sana. Kemudian besoknya tour guide bertanya ke saya, “Apa yang kalian bicarakan?” Bahkan sebelumnya tour guide sempat bertanya, “Apakah kalian membutuhkan penerjemah?” Saya pun bingung karena saya akan bertemu dengan Dubes saya, kenapa harus ada penerjemah. Kemudian mengenai pertanyaan apa yang kami bicarakan, saya menjawab “Ya standar saja, Dubes bertanya mengenai update terbaru dari Tanah Air.”

Jam berapa makan malam di KBRI? Itu karena tadi Inaya mengatakan bahwa di sana pukul 19.00 sudah harus masuk hotel dan tidak boleh keluar lagi. Berarti ada pelanggaran jam malam dan dampaknya bahaya karena melanggar aturan suatu negara.

Ya, betul. Jadi, awalnya kami datang sebagai turis dan selama di sana pun benar-benar sebagai turis. Tapi kemudian ketika Dubes datang, dan kita pergi ke KBRI tentu tour guide kami bertanya kenapa Dubes datang menemui kami.

Apakah mereka tidak tahu bahwa Inaya adalah putri presiden keempat RI?

Tidak, karena memang saya tidak mengatakan itu. Tapi mungkin teman saya yang memberikan informasi itu dan akhirnya dia tahu. Ketika saya mengatakan bahwa Dubes ingin mengajak kami makan malam, dia kalangkabut dan ketakutan.

Kemudian saya mengatakan, kalau tidak boleh juga tidak apa-apa karena kami hanya turis saja, kami hanya ingin jalan-jalan dan kebetulan Dubes tahu kalau kami ada di sini. Akhirnya dia mengatakan bahwa dia harus koordinasi dulu dan segala macam, tapi kemudian diperbolehkan.

Jadi, apakah selama di Korea Utara Inaya tidak pernah sama sekali menikmati suasana malam?

Tidak bisa, tapi ada momen seperti saat makan malam karena kita makan malamnya di restaurant. Itu kita bisa lihat tapi mungkin sekadar sampai pukul 19.00 atau maksimalnya sampai pukul 20.00 atau 20.30.

Seperti diketahui bahwa Korea Utara dan Indonesia mempunyai hubungan yang sangat baik sejak presiden pertama kita Soekarno dan presiden pertama mereka, pemimpin tertinggi mereka yaitu Kim Il-sung. Walaupun kedua negara secara dasar negara sangat berbeda, Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila sedangkan Korea Utara menganut sistem komunis. Perbedaan ini juga tentu akan berdampak pada kehidupan kita, yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat, dan sebagainya.

Bagaimana yang Inaya rasakan ketika berada di Pyongyang mengenai perbedaan dua sistem negara ini?

Saya benar-benar merasa bersyukur bahwa kita mempunyai sistem demokrasi Pancasila. Sistem itu benar-benar bukan sistem yang ideal, banyak cacatnya, flow-nya banyak kekurangannya memang betul. Waktu ke Pyongyang kemarin saya semakin bersyukur.

Mungkin anak-anak zaman sekarang yang tidak merasakan, jauh sekali jaraknya dengan saat negara ini dibuat, seringkali saya merasa mereka benar-benar berpikir bahwa apa yang kita rasakan hari ini, apa yang kita dapatkan hari ini memang begitu.

Bahwa hari ini saya bisa melihat apapun, saya bisa bicara apapun itu adalah sesuatu yang biasa saja. Padahal tidak, itu sesuatu yang memang para founding father dan founding mother's bentuk dan bangun. Semakin ke sini saya semakin merasa bahwa kalau itu tidak dijaga, maka bisa hilang kapan saja.

Salah satu nikmat kebebasan yang kita nikmati dengan sistem demokrasi Pancasila adalah kita bebas mendapatkan atau mengakses informasi. Bagaimana rasanya ketika di sana tidak bisa mengakses informasi?

Pertama, saya benar-benar merasa seperti di twilight zone, bukan dunia, saya merasa seperti ada di parallel universe, benar-benar seperti tidak ada di dunia nyata. Kedua, bukan hanya itu saja, bukan hanya bahwa kita tidak bisa mendapatkan informasi saja, tapi juga yang sangat membedakan di sana adalah kita bahkan tidak bisa berinteraksi dengan orang lokal. Itu tidak diperbolehkan. Jadi, kalaupun misalnya kita mendekat untuk bertanya sesuatu, mereka otomatis langsung pergi. Di sana kita benar-benar merasa seperti alien di suatu wilayah, merasa terisolasi.

Salah satu nikmat demokrasi Pancasila yang saya rasakan pribadi adalah kebebasan dalam beragama. Bagaimana Inaya melihat kehidupan kebebasan beragama di sana?

Kebetulan waktu hari Jumat di sana Dubes ternyata menyiapkan tempat untuk shalat Jumat bagi kami.

Apakah itu di dalam Kedubes?

Tidak, itu di Kedubes Iran. Mereka mempunyai masjid kecil di sana. Jadi, sebenarnya kalau itu digunakan untuk agama lain yang memang bukan untuk kebutuhan warga di sana, itu saya tidak melihat ada masalah di sana.

Jadi, ketika Dubes mengatakan sudah menyiapkan tempat untuk shalat Jumat, tour leader kita merasa bahwa ini mengganggu jadwal karena tidak ada di dalam jadwal. Yang menarik adalah tour leader ini bertanya kepada saya, “Jadi, kalian itu mempunyai agama ya? Apakah kalian agamanya sama semua?”

Saya menjawabnya tidak, kami ada beragam agama. Saya beragama Islam, teman saya ada yang Katholik, Buddhis, dan Kristen. Lalu dia bertanya lagi, “Memangnya di sana bisa begitu ya? Bisa berbeda-beda agamanya?” Saya jawab bisa.

Apakah di sana Inaya pernah melihat aksi demo di jalanan?

Apa yang mau di demo di sana?

Bagaimana penyalurannya kalau tidak puas dengan pemerintah atau negara?

Tidak puas itu karena kita tahu bahwa ada sesuatu bentuk lain yang seharusnya bisa kita dapatkan, tapi tidak kita dapatkan. Kalau di sana, apa yang mau dilihat bentuk lainnya? Itu karena mereka tidak ada perbandingannya. Mereka benar-benar menganggap bahwa apapun yang mereka dapatkan itu adalah karena kebaikan para leader. Kalau yang sekarang disebutnya Supreme Leader.

Bagi mereka itu memang kebaikannya para leader yang sudah membangun negara ini. Jadi, yang mereka perlu lakukan adalah benar-benar bekerja kepada negara, membaktikan diri kepada negara, dan itu benar-benar sesuatu yang memang ditanamkan, sangat jelas. Jadi, tidak ada yang namanya nongkrong-nongkrong, karena memang tidak bisa.

Di sana moto mereka adalah kerja, kerja, kerja. Semuanya mengenai kerja dan pengabdian kepada negara. Kalau misalnya kemudian mereka meminta sesuatu dan segala macam itu artinya mereka tidak tahu diri. Karena di sana semuanya disubsidi, mulai dari makanan, pendidikan, medis, dan sebagainya.

Apakah jodoh juga difasilitasi?

Katanya begitu, tapi saya tidak mengerti juga. Ada selentingan yang saya dengar bahwa saat mereka di usia berapa gitu akan ada sistem perjodohan yang difasilitasi oleh negara. Itu bisa saja benar, saya tidak tahu dan tidak pernah bertanya itu.

Tapi untuk kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan itu mereka merasa sudah dipenuhi. Jadi, mau ngapain lagi? Bukankah hidup memang hanya persoalan itu? Kalau kita mau pakai bagannya Maslow itu baru di bagian dasar saja, sedangkan yang bagian atas tidak ketemu.

Sekali lagi, saya juga tidak tahu apakah mereka mengikuti bagannya Maslow atau tidak. Bahkan kalau sekarang, di kondisi hari ini bagannya harusnya nambah lagi di bagian paling atas yang paling besar yaitu internet dan gadget.

Apa manfaat yang paling bisa diambil dari kunjungan Inaya ke Pyongyang?

Pertama, kalau ada kesempatan bisa berkunjung ke Korea Utara, berkunjunglah atau mainlah ke sana karena negaranya dengan rakyatnya tentu itu dua hal yang berbeda. Sebelum kita  mengambil kesimpulan bahwa mereka begini atau mereka begitu, please see it for yourself, lihat sendiri dan rasakan.

Kedua, memang demokrasi yang kita punya hari ini bukan yang terbaik yang kita miliki, masih jauh sekali dari sempurna. Tapi bisa hilang kalau tidak dijaga. Jadi, please meskipun demokrasi kita bukan yang paling sempurna, tapi itu yang paling ideal untuk kita semua saat ini di Indonesia dengan kondisi yang beragam, dengan kondisi yang berbeda-beda yang kemudian bisa menjaga supaya semua orang mempunyai kesempatan untuk sejahtera dan segala macam. Saat ini hanya itu. Jadi, please dijaga karena itu bisa hilang sewaktu-waktu.

Previous
Previous

Next
Next