Healing untuk Kesehatan Mental
Salam Perspektif Baru,
Kini setelah pandemi Covid-19 mulai mereda, kegiatan healing menjadi salah satu kegiatan yang favorit di kalangan masyarakat kita. Lalu, bagaimana konsep healing yang tepat? Hari ini kami menghadirkan narasumber psikolog klinis yaitu Silvany Dianita Sitorus, M.Psi., yang bekerja di dua rumah sakit di Jakarta dan juga melayani konsultasi di aplikasi kedokteran di media sosial.
Menurut Silvany, dari perspektif psikologi, healing itu artinya metode yang digunakan oleh seseorang untuk bisa memulihkan kondisi kesehatan mentalnya maupun juga kesehatan secara fisiknya. Jadi, perspektifnya kedua-duanya harus berkaitan satu dengan lainnya. Tujuannya adalah mengurangi potensi tekanan dalam kehidupannya, bukan menghilangkan sama sekali.
Self-healing itu bisa dilakukan oleh setiap orang karena kita perlu meyakini bahwa diri sendiri itu mempunyai kemampuan antibodi yang sangat baik sekali. Namun, yang perlu diingat adalah kita perlu memahami dulu tekanan apa yang dihadapi oleh setiap orang karena kerentanan tekanan hidup setiap orang berbeda-beda.
Cara utama mengenali kesehatan mental kita mulai terganggu adalah kita belajar untuk bisa peduli terhadap body sensations kita. Kalau selama ini kita seringkali merasakan sakit kepala, mudah sakit flu, itu artinya kita sebenarnya memiliki porsi untuk memahami kondisi tubuh kita sedang tidak baik-baik saja.
Kalau sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, kita harus berikan admit “Ok, I’m not good, I’m not delicious enough”. Di momen seperti itu kita perlu memberikan jeda untuk diri kita sendiri, atau setidaknya kalau kita punya kebiasaan untuk bisa mencatat, itu juga perlu.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Silvany Dianita Sitorus.
Pandemi Covid-19 yang berlarut-larut tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental masyarakat. Sebagai upaya untuk menjaga kesehatan mental dan juga sekaligus untuk memulihkan gangguan kesehatan mental, kini healing menjadi pilihan favorit masyarakat kita. Dari pemantauan kami di media massa dan media sosial, kegiatan healing berupa pergi ke tempat wisata dan menginap di hotel menjadi pilihan yang paling banyak diposting.
Benarkah healing ke tempat wisata dan juga menginap, terutama di hotel mewah, merupakan salah satu bentuk kegiatan healing?
Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa healing itu sebenarnya salah satu metode, atau cara yang digunakan oleh kita untuk bisa memulihkan diri sendiri. Healing yang seringkali kita lihat di tayangan media sosial, misalnya healing ke Bali atau destinasi wisata lainnya yang sekarang ini menjadi trend akibat telah terbukanya peluang untuk bisa berpergian, itu bisa saja dijadikan salah satu cara untuk bisa me-relieve stres.
Namun, apakah setelah itu individunya benar-benar langsung healing atau tidak. Jadi, maknanya betul-betul harus dipahami dulu. Healing untuk ke diri sendiri atau tujuan yang ingin dicapai itu benar-benar akan diperoleh yaitu heal atau kesembuhan.
Kalau orang-orang kekinian menyebut healing itu “hilangkan pusing”. Apa makna healing yang tepat dari sisi psikologi?
Healing itu sederhananya adalah penyembuhan. Kalau dari Bahasa Inggris heal itu artinya sembuh atau pulih. Kalau dari perspektif psikologi, healing itu artinya metode yang digunakan oleh seseorang untuk bisa memulihkan kondisi kesehatan mentalnya maupun juga kesehatan secara fisiknya.
Jadi, perspektifnya kedua-duanya harus berkaitan satu dengan lainnya. Tujuannya adalah mengurangi potensi tekanan dalam kehidupannya, bukan menghilangkan sama sekali. Jadi, pemulihan itu bukan berarti hilang sama sekali tekanan yang dirasakan dalam kehidupannya, tetapi pulih itu yang ingin dicapai.
Dalam hal ini, apakah healing bisa dilakukan secara sendiri atau istilah kerennya self-healing untuk memulihkan kesehatan mental atau mengurangi tekanan mental ini?
Bisa sekali, self-healing itu bisa dilakukan oleh setiap orang karena kita perlu meyakini bahwa diri sendiri itu mempunyai kemampuan antibodi yang sangat baik sekali. Namun, yang perlu diingat adalah kita perlu memahami dulu tekanan apa yang dihadapi oleh setiap orang karena kerentanan tekanan hidup setiap orang berbeda-beda.
Kalau healing yang ingin dicapai terkait dengan tekanan yang lebih pada hal keseharian, misalnya stres kerja atau berkaitan dengan hal-hal yang tidak terlalu rentan atau berat, self-healing itu bisa dilakukan oleh diri kita sendiri. Misalnya, self-healing yang paling sederhana dan yang saya sering terapkan juga adalah teknik grounding.
Apakah bisa dijelaskan mengenai teknik grounding ini?
Teknik grounding itu lebih kepada metode untuk bisa merasakan hal-hal yang terkait di sekitar kita. Misalnya, kita bisa menggunakan lima panca indera kita dalam merasakan tekanan yang ada dalam diri kita.
Pertama, kita bisa melihat apa yang ada di sekitar kita. Jadi, ini merupakan teknik menggunakan panca indera mata, pengecap, perasa, dan kita juga bisa menggunakan teknik mendengarkan apa yang terjadi di sekitar kita. Sangat sederhana metodenya, tapi memang harus dibimbing oleh profesional atau bisa juga secara mandiri, tapi kita perlu menyediakan waktu yang cukup untuk diri kita sendiri.
Apakah teknik grounding ini sama dengan meditasi?
Ya, seperti meditasi tapi ini lebih sederhana.
Apakah bisa dicontohkan?
Sebelum menuju ke pada teknik grounding, mungkin saya ingin mengajak para pendengar untuk pertama-tama mengenali dulu masalah yang lagi dihadapi. Misalnya, secara sederhana beban kerja yang dihadapi oleh para pekerja di kantor sehari-hari. Kita ambil kerucut lagi, apa permasalahan yang kita rasakan? Stres atau terlalu banyak pekerjaan sehari-hari.
Kita bisa lakukan itu di tengah-tengah kesibukan kita. Tidak mungkin dalam waktu 1 x 24 jam kita tidak ada waktu kosong selama lima menit saja. Dalam waktu lima menit itu kita duduk diam saja di ruangannya masing-masing, kita siapkan space nya, kita tenangkan dulu pikirannya, atau setidaknya kita pejamkan mata dulu, dan kita berikan ruang dalam otak kita untuk merasakan apa yang ada di sekitar kita.
Sebagai contoh, kita gunakan indera pendengaran kita, kita kenali selama beberapa menit atau beberapa detik, misalnya lima detik utama untuk bisa mengenali apa yang ada di sekitar kita. Saat konsentrasi kita dengar ada detik waktu dari jam dinding, kita dengarkan dan rasakan. Setelah itu kita coba hirup bau-bauan yang ada di sekitar kita, dan kemudian kita melihat apa yang ada di sekitar kita, seperti benda-benda apa saja yang ada.
Setelah itu baru kita mencoba untuk merasakan diri kita dengan memeluk diri kita sendiri dan katakan bahwa diri kita itu adalah orang yang sangat berharga dan bisa memantaskan diri kita untuk bahagia. Lakukan itu sesering dan se-efektif mungkin sehingga bisa membangkitkan konsep diri kita sendiri bahwa tekanan-tekanan yang kita hadapi itu tidak selamanya akan berada di diri kita sendiri.
Apakah itu bisa dilakukan di ruangan kantor dan tidak perlu pergi ke tempat wisata atau pergi menyendiri ke hotel mewah?
Saat kondisi ekonominya sedang pas-pasan, maka akan sulit jika ingin pergi ke tempat wisata karena itu membutuhkan nilai ekonomi yang tinggi. Kalau memang kita tidak ada kesempatan itu atau misalnya juga kita ingin yang lebih sederhana, lima menit di waktu luang kita juga bisa dilakukan. Itu karena tidak selamanya kita mempunyai waktu yang cukup untuk benar-benar berada di tempat wisata. Bukan berarti saya katakan bahwa tempat wisata itu bukan menjadi salah satu cara yang bisa digunakan untuk bisa stress relief, bisa saja. Sebenarnya dimanapun kita berada, kita bisa lakukan itu.
Kalau untuk kesehatan fisik, kita bisa minum obat dan ada dosisnya, misalnya, tiga kali sehari. Apakah untuk self-healing juga ada dosisnya?
Pertanyaannya bagus sekali. Reaksi kita terhadap sebuah pengalaman kesehatan mental itu sebenarnya hampir sama dengan reaksi kita ketika kita merasa sakit secara fisik. Misalnya, kalau saya merasakan sakit kepala, otomatis selalu intensitas kita kepada sakit kepalanya karena itu kelihatan.
Kalau kesehatan mental kadang-kadang tidak kelihatan seperti gunung es, dirasakan kalau sudah mulai memberikan alert ke kesehatan fisiknya. Sebenarnya reaksi kita terhadap kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Yang kita perlu lakukan adalah memberikan prioritas yang utama juga kepada kesehatan mental kita, sesering mungkin pun boleh-boleh saja. Minimal tadi saya katakan lima sampai tujuh menit di pagi hari, di siang hari, atau bisa saat kita break karena tubuh itu perlu istirahat.
Bayangkan, kita memberikan perhatian kepada gawai kita untuk di-charge, tapi kenapa kita tidak memberikan prioritas istirahat itu juga pada tubuh kita sendiri. Sama seperti itu perlakuannya, saya menganggapnya seperti gawai.
Apa manfaatnya bagi mental kita jika kita sering melakukan self-healing, misalnya dalam sehari itu lima menit sekali?
Manfaatnya, bagus sekali karena kita bisa memiliki perspektif konsep diri yang baik terhadap diri kita sendiri. Kita jadi lebih menghargai terhadap kebutuhan kesehatan mental kita yang kita bisa penuhi. Itu bisa memberikan pengaruh yang baik juga pada kesehatan tubuh kita. Jadi, kalau kata World Health Organization (WHO), tak ada kesehatan fisik tanpa ada kesehatan mental. Jadi, dua-duanya harus menjadi hal yang terikat satu sama lainnya.
Tidak ada kesehatan fisik tanpa memperhatikan kesehatan mental. Ini menunjukkan betapa pentingnya kesehatan mental untuk menjadi perhatian kita semua karena jika fisik kita oke, tapi kesehatan mental kita terganggu maka produktivitas kita tentu pasti akan terganggu.
Dalam hal ini tentu saja untuk bisa mengenali kesehatan mental ini sangat sulit, beda dengan kesehatan fisik. Bagaimana cara mengenali bahwa kesehatan mental kita mulai terganggu?
Cara utamanya adalah kita belajar untuk bisa peduli terhadap body sensations kita. Kalau selama ini kita seringkali merasakan sakit kepala, mudah sakit flu, itu artinya kita sebenarnya memiliki porsi untuk memahami kondisi tubuh kita sedang tidak baik-baik saja.
Kalau sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, kita harus berikan admit “Ok, I’m not good, I’m not delicious enough”. Di momen seperti itu kita perlu memberikan jeda untuk diri kita sendiri, atau setidaknya kalau kita punya kebiasaan untuk bisa mencatat, itu juga perlu.
Kita coba cermati dan amati, kemudian catat kira-kira sensasi apa yang kita rasakan dari kondisi fisik kita dulu. Misalnya, saat bangun pagi hari, “Saya kok merasa badan saya sedikit capek ya,” atau misalnya “kok saya pegal-pegal ya.” Itu bisa jadi bukan terjadi karena kita memang capek, tapi mungkin sebelum pengalaman capek itu terjadi mungkin ada pengalaman-pengalaman lainnya yang mempengaruhi. Jadi, baiknya untuk bisa menemu kenali kita coba amati dulu selama satu minggu terakhir saja apa yang terjadi dalam tubuh kita.
Kedua, kita amati juga bagaimana cara berpikir kita selama satu minggu. Misalnya, kita cek setiap hari bagaimana mood tracker kita. Sebagai contoh, di pagi hari mood tracker saya sepertinya normal saja. Normal itu dalam arti tidak terlalu kesal atau sebal. Kenali dulu emosinya.
Kadang kala yang seringkali saya temui, emosi yang sering digunakan dan yang diketahui oleh setiap orang hanya emosi marah-marah, kesal, dan sedih. Padahal ada emosi yang baik, afirmasi positif nya ada emosi bisa menghargai diri sendiri, proud terhadap diri sendiri, confident, excited, dan sebagainya. Coba dibangun emosi-emosi yang baik itu, tapi tidak meninggalkan juga emosi-emosi lainnya.
Jadi, pertama, menemu-kenali body sensations, menemu-kenali juga apa yang terjadi dalam diri kita selama sehari-hari, menemu-kenali emosi kita yang ada di sehari-hari seperti apa dalam satu minggu di awal saja.
Itu untuk kita mengenali diri kita sendiri, dan kadang-kadang emosi kita itu berubah dari faktor diluar diri kita. Misalnya faktor teman, ada teman yang julid atau mem-bully. Apakah itu harus kita cermati juga sebagai gangguan mental untuk diri kita?
Boleh saja, tapi yang harus kita pahami adalah dari sisi hal-hal yang di luar diri kita itu kadang kita tidak mempunyai border terhadap hal yang terjadi di luar diri sendiri. Ibaratnya spons, tubuh kita itu kita gunakan menyerap semuanya tanpa adanya saringan. Jadi, kita perlu juga belajar untuk bisa memfilter apa saja yang tidak bisa kita kontrol diluar diri. Misalnya, kita tidak bisa kontrol pikiran orang lain, emosi orang lain, dan sebagainya.
Fokusnya adalah sebenarnya kontrol saja apa yang bisa kita kontrol, daripada kita mengontrol terhadap sesuatu yang tidak bisa kita kontrol. Itu yang seringkali menjadi beban mental yang secara tidak sadar kita bawa seperti ransel emosi yang tidak pernah selesai.
Apa dampaknya kalau kita tidak bisa mengontrol itu bagi kita dan kehidupan orang lain?
Dampak yang seringkali terjadi adalah gangguan kecemasan, itu yang paling ringan. Orang dewasa seringkali mengalami kecemasan yang intensitasnya tinggi sekali. Akhirnya Kalau kecemasan itu tidak bisa teratasi dengan baik bisa mengarah kepada gangguan depresi.
Kalau depresinya tidak bisa teratasi, bisa mengalami peningkatan-peningkatan serius. Khawatirnya bisa mengalami gangguan kesehatan mental yang lain yang tidak kita harapkan. Jadi, gangguan kesehatan mental yang paling bisa kita kenali itu adalah gangguan kecemasan kita sendiri itu seperti apa.
Kalau dalam menjaga kesehatan fisik yang jelas kita ada kegiatan olahraga atau pola konsumsi makanan yang sehat. Apa yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan mental?
Yang paling pertama adalah jaga asupan pola pikirnya. What we see, what we saw is what we get. Kenapa saya bilang apa yang kita lihat itu menjadi cikal bakal kecemasan berikutnya adalah karena itu yang pertama kali kita lihat. Setiap hari ketika bangun tidur yang kita lihat adalah kondisi di sekitar kita. Kita perlu belajar untuk bisa memfilter tabungan otak kita dengan baik. Jangan sampai isi tabungan otak kita seringkali terkuras seperti tabungan di dompet.
Kita harus bijaksana untuk bisa memelihara kesehatan pikiran kita dengan baik supaya tidak mempengaruhi pada emosi kita. Juga yang paling utama kalau pikiran tidak bisa terkontrol, emosi juga bisa berdampak. Kalau keduanya ini tidak bisa saling berteman dengan baik, yang bisa terlihat adalah perilakunya karena perilaku itu ibarat interpreter, menginterpretasikan apa yang dipikirkan dan emosikan. Seringkali perilaku kita itu yang akan terlihat oleh orang lain berdasarkan dari pikiran dan emosi.
Kedua, tentunya saya juga mengajak untuk bisa memelihara pola makan. Kenapa pola makan itu penting? Karena apa yang kita makan itu adalah mencerminkan diri kita sendiri. Terakhir, pola istirahat, itu ibaratnya sebagai energi untuk diri kita memelihara kesehatan fisik kita secara baik. Tidak perlu punya banyak pikiran.
Orang yang tidak tidur selama satu hari saja saya yakin banyak masalah dalam hidupnya. Silakan dicoba kalau tidak tidur seharian bagaimana mood-nya, pasti rasanya kesal dan bete seharian. Kalau sudah bete seharian pasti akan mempengaruhi pada pola kerjanya. Yang terakhir menurut saya, kalau olahraga itu hanya sebagai suplemen, boleh dipakai boleh tidak. Tapi kalau dipakai lebih baik lagi.