Cegah Polarisasi Sentimen Negatif
Salam Perspektif Baru,
Kali ini kita akan membahas mengenai politik yaitu menghindari polarisasi di Pemilu 2024. Sudah hadir bersama saya yaitu Pakar Psikologi Politik, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si.
Menurut Hamdi Muluk, polarisasi politik pada taraf tertentu sebenarnya keniscayaan dan biasa-biasa saja. Bukankah hakikat dari demokrasi itu adalah kontestasi politik. Itu berarti pasti ada beberapa pihak yang sedang berkontestasi, berkompetisi untuk, misalnya mencoba merayu, mempersuasi, meyakinkan pemilih bahwa programnya paling bagus, kami orang yang paling tepat mengurus urusan publik, dan pilihlah kami. Kurang lebih begitu, layaknya sebuah pertandingan, pasti ada yang kalah dan menang.
Kalau yang tidak biasa adalah kalau polarisasinya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kontestasi politik dalam bentuk yang substantif. Yang tidak boleh adalah polarisasi itu menjadi polarisasi yang bersifat sentimen negatif, menjadi penyakit-penyakit psikologis atau prasangka, sikap negatif. Bahkan misalnya membuat orang menjadi emosional tidak karuan, dan yang paling menakutkan itu menjadi Outgroup hate, yaitu membenci kelompok luar selain kelompok kita.
Hamdi Muluk mengatakan biasanya sentimen yang paling kuat memacu itu ada dua, yaitu agama dan suku. Jadi, kalau kontestasi politik itu akhirnya bermuara pada polarisasi agama dan suku, maka di sinilah dia mempunyai daya rusak.
Kalau di negara kita banyak aktor politik yang kalau ada lawan politiknya disudutkan dengan agama dan suku menjadi senang dan pura-pura tidak tahu, dia mengambil keuntungan. Jadi, memang suka tidak suka, saat ini bawa-bawa suku agama itu masih laku di negara kita untuk pencitraan pribadi. Apa boleh buat, level kita masih di situ.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Ferdi Setiawan sebagai pewawancara dengan narasumber Prof. Dr. Hamdi Muluk, MS.i.
Akhir-akhir ini di media sosial dan media mainstream, bahkan di media percakapan whatsapp, sudah mulai memanas politik menjelang 2024. Yang ditakutkan banyak pihak adalah kembali terulangnya polarisasi pada pemilihan umum (Pemilu) kali ini mengacu pada Pemilu 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 di DKI. Apa komentar Prof. Hamdi Muluk?
Sebenarnya polarisasi politik itu ada to some extent (pada taraf tertentu) sebenarnya keniscayaan dan biasa-biasa saja. Bukankah hakikat dari demokrasi itu adalah kontestasi politik. Itu berarti pasti ada beberapa pihak yang sedang berkontestasi, berkompetisi untuk, misalnya mencoba merayu, mempersuasi, meyakinkan pemilih bahwa programnya paling bagus, kami orang yang paling tepat mengurus urusan publik, dan pilihlah kami. Kurang lebih begitu, layaknya sebuah pertandingan, pasti ada yang kalah dan menang.
Jadi, itu hal yang biasa. Bahkan misalnya perbedaan atau pengkubuan partai politik bisa jadi juga berlanjut terus walaupun Pemilu sudah selesai. Itu satu hal yang biasa. Kita lihat misalnya di Amerika Serikat (AS), setelah Pemilu selesai tetap ada pendukung dari Partai Demokrat atau Partai Republik. Kemudian di Inggris juga tetap ada pendukung Partai Konservatif dan Partai Buruh.
Polarisasi itu artinya pengkutuban dari kutub-kutub kemudian terbentuk. Tentu polarisasi yang paling dasar, kalau orang mengatakan bipolar itu adalah dua polarisasi. Bahkan di AS itu tajam sekali, orang bisa katakan ini basis-basisnya merah yaitu orang Demokrat, atau ini basisnya biru yaitu orang Republik. Jadi, itu hal yang biasa.
Kalau yang tidak biasa adalah kalau polarisasinya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kontestasi politik dalam bentuk yang substantif. Misalnya, saya setuju dengan gagasan sebuah partai untuk mengurangi pajak, tapi di sisi yang lain ada yang ingin membesarkan pajaknya, itu tidak apa-apa, kita bisa berdebat, berseberangan, atau berkubu-kubu untuk sesuatu yang sebenarnya dalam politik itu keniscayaan.
Itu boleh dipertontonkan, boleh dikampanyekan, dan boleh berdebat keras atau “gontok-gontokan” dalam bermacam-macam ekspresi, kecuali kekerasan karena dalam demokrasi norma itu yang dijaga. Kita boleh berdebat, boleh “gontok-gontokan”, tapi tidak melibatkan violence, baik yang verbal misalnya maki-maki, maupun nonverbal.
Jadi, berdebat keras itu tidak apa-apa, bahkan itu sehat untuk demokrasi supaya kita mengerti dulu konsepsinya. Jangan sedikit-sedikit kita mengatakan bahwa ini polarisasi dan harus dihindarkan karena nantinya politik bisa menjadi hambar kalau tidak ada polarisasi.
Yang tidak boleh adalah polarisasi itu menjadi polarisasi yang bersifat sentimen negatif, menjadi penyakit-penyakit psikologis atau prasangka, sikap negatif. Bahkan misalnya membuat orang menjadi emosional tidak karuan, dan yang paling menakutkan itu menjadi Outgroup hate, yaitu membenci kelompok luar selain kelompok kita.
Biasanya sentimen yang paling kuat memacu itu ada dua, yaitu agama dan suku. Jadi, kalau kontestasi politik itu akhirnya bermuara pada polarisasi agama dan suku, maka di sinilah dia mempunyai daya rusak.
Dua hal yang paling rentan dan paling sensitif adalah mengenai agama dan suku. Memang kenyataannya di Indonesia yang sering menjadi pemicu itu bukan substansif dalam hal kampanye, gagasan, dan ide, tapi lebih ke dua hal tersebut. Mengapa masyarakat Indonesia belum dewasa mengenai itu?
Kembali lagi ke penyakit kronis demokrasi kita. Mungkin di tayangan-tayangan yang sebelumnya sudah saya bahas dan di beberapa tempat juga saya bahas, yaitu pentingnya kita menghadirkan politik berbasis kontestasi gagasan ideologis yang non agama dan suku. Itu yang penting, dan itu sebenarnya jumlahnya tidak banyak.
Partai politik itu sebenarnya cukup tiga atau empat untuk mewakili variasi-variasi gagasan ideologi politik. Kalaupun ada misalnya partai politik yang mengatakan kami terinspirasi oleh agama, tapi dia mengatakan kami bukan partai agama, itu penting, rohnya bisa.
Jadi, kalau misalnya partai itu ada tiga atau empat saja, maka dengan sendirinya partai itu akan mulai berpolitik tentang politik gagasan dan politik platform. Jadi dia akan mengutarakan platform kebijakan, platform ideologinya ketika dia membesarkan partai itu dengan melakukan kerja-kerja politik yang standar dalam kepartaian, yaitu merekrut, mengkader, melakukan kerja-kerja politik, menyiapkan kampanye, menominasikan calonnya, menawarkan ke publik, menawarkan gagasannya.
Masalah di kita adalah jumlah partainya ada 40, kemudian berebut ideologi dan akhirnya tidak banyak partai yang jelas ideologinya. Dengan begitu dia tidak ditangkap secara jernih oleh masyarakat ketika dia harus mengakumulasikan gagasannya, itu bubar semua. Akhirnya pertarungan akan menjadi non gagasan politik atau non platform, yang dijual adalah tokoh.
Ketika tokoh itu misalnya terasosiasi dengan suku, agama tertentu, maka hiduplah dua sentiment tadi yang sebenarnya tidak kita inginkan. Konteks politik kita mulai dari 2014 - 2019 itu yang terjadi. Kita berusaha membuat misalnya kontestasi itu supaya ada kontestan yaitu kubu presiden A dan kubu presiden B. Tetapi menjadi panas karena dipersepsikan ada satu kubu presiden tidak sesuai dengan agama saya atau suku saya. Kemudian mulai muncul-muncul narasi, “Ini sebenarnya antek-antek asing” atau “Ini pemimpin kafir.”
Ini yang menjadi wacana tidak sehat. tapi ini yang terjadi dan harus kita akui ini yang membuat panas. Itu karena ketika misalnya gagasan-gagasannya yang non political, non platform, non kebijakan, non gagasan politik itu dibawa. Akhirnya itu mematikan kalau pemilih melihat kubu itu telah merepresentasikan lebih dekat kepada kelompok agama tertentu dan ini tidak dekat, itu bahaya atau didominasi oleh kelompok suku tertentu, ditambah lagi iming-iming yang masih berbau sara.
Itu semua pangkal balanya menurut saya karena partai itu gagal memformulasikan kebijakannya dalam bentuk yang sangat distinctive, jelas ditangkap secara jernih oleh publik, dan itu punya tradisi yang panjang. Akhirnya kalau kita ingin misalnya campaign atau debat campaign ataupun “gontok-gontokan politik” sebenarnya itu boleh. Bahkan, itu boleh dilakukan di sosial media. Namanya politik itu kalau kata ahli politik adalah diskursus, kita boleh bertukar diskursus.
Jadi, di sosial media atau dimanapun itu boleh, apalagi sekarang era sosial media. Kalau dulu orang berdebat di TV, di radio atau dimanapun, itu hal biasa karena debatnya adalah platform atau gagasan. Tapi akhirnya kita pertengkarannya menjadi sentimen, seperti yang saya katakan tadi. Akhirnya orang merumuskan atau yang sering kita dengar sekarang ini adalah politik identitas, dan indentitas itu hanya dua yaitu suku dan agama. Itu yang paling mematikan. Jadi, ini yang memang harus kita waspadai.
Memang sedikit rumit kalau bicara mengenai sistem politik kita karena mungkin itu akibat gagal memformulasikan kebijakan atau platform partai-partai berbasis gagasan politik yang jelas. Akhirnya, partai-partai menjual sentimen-sentimen agama dan akhirnya begitu jadinya.
Saya setuju juga dengan Profesor bahwa Parpol gagal untuk memformulasikan kader. Itu realitanya dalam 10 - 15 tahun terakhir seperti itu. Kader dari Parpol itu sendiri tidak muncul, bahkan banyak mengajukan orang yang di luar Parpol yang ujungnya adalah perang tokoh. Apakah betul begitu?
Perang tokoh dan setelah itu apalagi yang dijadikan amunisi perang? Akhirnya untuk mempengaruhi, memanipulasi pemilih pada hal-hal yang non politis, mereka membawa suku dan agama. Itulah polarisasi yang kita takutkan hari ini.
Sebenarnya kader itu sendiri juga bingung ketika orang sudah menjadi kader Parpol tetapi tidak diajukan oleh Parpol menjadi calon presiden, atau mungkin calon kepala daerah. Begitu pula sebaliknya, ketika ada orang yang aktif dalam kegiatan sosial non politik justru diangkat oleh Parpol menjadi seorang calon. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Parpol di negara kita ini?
Kalau menurut saya, Parpol kita itu sebenarnya baru lahir karena selama 32 tahun kita tidak boleh berpolitik oleh Orde Baru, itu dikuasai secara totaliter oleh suatu rezim saja. Jadi, yang namanya Pemilu itu dulu basa-basi, tiga partai itu pun juga rekayasa. Ironisnya, setelah kita selesai dikekang, kebebasannya menjadi tak terkendali juga. Orang membuat banyak partai bukan untuk tujuan politik itu sendiri, tapi sebenarnya untuk bargain.
Jadi, kalau saya mempunyai partai atau mendirikan partai, saya mempunyai uang, kemudian berapapun suara yang saya dapat, misalnya dua, tiga, atau empat persen, maka saya bisa saja dagang di parlemen. Misalnya punya empat persen, saya menawarkan kalau kita ingin koalisi harganya sekian. Seperti itu yang terjadi. Jadi, koalisinya bisa tidak ajeg, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota untuk Pilkada-Pilkada. Ini yang membuat pemilih bingung. Akhirnya cara untuk meraih pemilih adalah tokoh jualannya.
Itu jalan pintas yah?
Betul, masalahnya adalah tokoh. Ideologi itu seharusnya bukan dilihat dari tokoh saja, tapi partai secara keseluruhan, itu maksud saya. Tapi itu gagal, akhirnya orang jualan tokoh. Makanya muncul istilah-istilah tadi. Akhirnya semua tokoh sibuk pencitraan karena dia sadar yang bisa dibeli oleh pemilih hanya citra. Apalagi kalau citranya itu akhirnya mengarah ke polarisasi, dia mengkondisikan dirinya yang paling agamis untuk suatu agama tertentu. Itu sebenarnya tidak sehat.
Jadi, kalau dalam politik istilahnya itu tidak relevan kita bicara halal-haram. Misalnya, tokoh ini haram atau tokoh ini halal menurut perspektif agama saya. Kita hanya akan melihat orang dari semua kualifikasi politik, gagasan, track record dia, bahkan dalam keadaan yang sudah maju di negara tertentu. Dia mengatakan kita tidak perlu tahu juga agamannya apa, sukunya apa, bahkan haram dibawa-bawa dalam sebuah debat atau orang mencitrakan dirinya dengan dua unsur itu.
Kalau di negara maju itu dianggap seperti politik zaman batu. Tapi kalau di kita itu masih laku yang seperti itu. Pada masa kampanye tiba-tiba orang menjadi soleh, tiba-tiba memiliki atribut keagamaan. Kalau ada orang yang tiba-tiba dikatakan sebagai pemimpin kafir, maka langsung dibenci oleh satu republik. Itu tidak sehat sebenarnya.
Saya ingat betul sewaktu masa kampanye John McCain dengan Barack Obama. Saat itu pengikut John McCain menuduh Barack Obama itu Islam supaya tidak dipilih. Kemudian pengikutnya dimarahin, “Saya akan menjamin bahwa Barack Obama itu bukan Islam, dan kita tidak boleh bawa-bawa suku dan agama.” Itu dia sendiri yang bicara.
Kalau di negara kita banyak aktor politik yang kalau ada lawan politiknya disudutkan dengan agama dan suku menjadi senang dan pura-pura tidak tahu, dia mengambil keuntungan. Jadi, memang suka tidak suka, saat ini bawa-bawa suku agama itu masih laku di negara kita untuk pencitraan pribadi. Apa boleh buat, level kita masih di situ.
Apakah ini berarti masyarakat sekarang benar-benar tidak ada pilihan karena tokoh yang muncul itu-itu saja?
Saya melihat anak-anak generasi milenial atau anak muda sebenarnya sudah muak dengan isu itu. Jadi, kalau kita melihat dimana titik cerah kita atau kapan ada semacam pembaharuan dalam politik kita? Anak-anak muda atau generasi-generasi Z itu sebenaranya bisa kita pakai untuk mendobrak tradisi yang buruk ini. Mereka sedikit skeptis dengan politik yang masih bawa-bawa agama dan suku, tapi yang tua-tua masih susah sekali.
Saya melihat, misalnya di grup WhatsApp, polarisasi yang paling kencang. Akhirnya terjadi fenomena yang dalam penelitian psikologi politik disebut dengan echo chamber. Jadi, orang berbicara di goa sendiri, kemudian ditepokin oleh kelompoknya sendiri, sehingga tidak ada komunikasi dengan orang lain atau terpolarisasi.
Itu memang yang terjadi kemarin pada 2017, 2019, dan 2024 tidak menutup kemungkinan itu bisa terjadi lagi ketika tidak ada tanggung jawab dari Parpol dan juga dari beberapa tokoh yang menjadi calon.
Iya, sekarang itu karena memang banyak politik itu masih dikuasai oleh tokoh dan Parpol. Memang tidak banyak yang kita bisa harapkan dari grassroots ini kalau tokoh yang diatas masih manas-manasin. Jadi, memang kita harus mencari John McCain versi Indonesia yang konsisten. Kalau ada pengikutnya yang memakai itu, maka dia yang marah. Kalau ada pernyataan publik yang keras dan tegas itu dia yang melarang. Tetapi kalau ada aktor politik yang diam-diam mensyukuri, maka itu yang repot.
Sebenarnya bagaimana psikologi masyarakat sendiri menghadapi calon-calon yang ada sekarang ini dan tidak ada pilihan lain?
Dulu saya paham terhadap gaya Joko Widodo merangkul Prabowo dan Sandiaga Uno untuk meredam polarisasi itu. Menurut saya, itu usaha yang berat sekali kalau dalam misi politik. Justru orang mengatakan itu sedikit mustahil, tetapi terjadi juga. Saya tidak mengerti juga, kenapa polarisasi itu tidak selesai. Di sini saya menjadi paham bahwa ternyata di luar Prabowo dan Sandiaga Uno itu masih ada aktor-aktor lain yang ingin polarisasi itu tetap ada.
Jadi, yang kemarin itu tidak meredam tetapi masih tersimpan.
Pindah aktor lain yang ingin polarisasi juga. Karena itu kita harus cukup cerdas. Saya mengimbau mungkin untuk generasi milenial dan generasi Z intinya jangan memilih aktor-aktor atau partai yang memang kampanyenya masih bawa-bawa suku dan agama.