Perdamaian Tanpa Keadilan adalah Ilusi
Salam Perspektif Baru,
Ini adalah program spesial dari Perspektif Baru karena kali ini kami menghadirkan catatan awal tahun mengenai pluralisme dan toleransi di Indonesia. Edisi khusus ini kami membahas mengenai kehidupan pluralisme Indonesia dalam setahun terakhir dan bagaimana kita ke depannya. Kita membahasnya bersama empat co-host sekaligus yaitu Hayat Mansur, Budi Adi Putro, Arie Putra, dan Inayah Wahid.
Kasus-kasus intoleransi masih tetap ada, dan itu menjadi perhatian kita untuk ke depannya. Kasus-kasus yang menolak pluralisme, dan kasus-kasus yang melakukan intoleransi itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Tradisi menghormati atau toleransi itu sudah ada sejak sebelum Indonesia lahir, dan bahkan ketika Indonesia lahir pun diadopsi dengan di lambang negara kita tertulis Bhinneka Tunggal Ika.
Semboyan itu sebenarnya adalah dari kerajaan Majapahit yang diciptakan oleh Mpu Tantular untuk menunjukkan bahwa kehidupan bangsa yang ada di Nusantara sejak dulu memang adalah kehidupan yang plural atau multikulturalisme.
Dalam hal ini kita harus mempunyai keberpihakan yang jelas bagi kelompok-kelompok minoritas yang selama ini terpinggirkan. Kita harus mempunyai keberpihakan jelas bahwa penggunaan politik identitas, terutama yang sektarian dalam kaitan dengan agama, itu tidak boleh mendapat tempat terlalu banyak dalam ruang publik. Itu yang paling bisa kita lakukan dengan kapasitas kita masing-masing
Kalau kita bicara toleransi, tidak ada yang lebih penting selain dilakukan. Tentu kalau kita melihat bahan bakar utama dari intoleransi adalah kebencian, maka kita perlu mengarusutamakan kontrasnya yaitu cinta kasih dan keberpihakan yang jelas. Saya percaya ada hak yang harus dijaga, ada hati yang harus dijaga juga. Yang terakhir, kalau kita bicara mengenai toleransi tentu hasil akhir yang ingin kita dapatkan adalah perdamaian. Seperti kata Gusdur, “Peace Without Justice is an Illusion” - Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
Berikut dialog Perspektif Baru yang dilakukan oleh empat co-host Perspektif Baru, yaitu Hayat Mansur, Budi Adiputro, Inayah Wahid dan Arie Putra.
Salam Perspektif Baru,
Kita sebagai negara bangsa atau nation state, Indonesia dihuni oleh penduduk yang plural. Mulai dari ragam bahasa, budaya, hingga agama, dan kepercayaan. Pluralisme Indonesia sudah dikenal di berbagai negara di dunia. Ini juga menjadikan Indonesia sebagai contoh bersatunya seluruh keberagaman dalam persatuan. Namun, apakah praktik menghormati keberagaman dan toleransi di Indonesia sudah optimal? Bagaimana kebhinekaan kita? Kita tanya dulu kepada Inaya, mungkin dia mempunyai data dari Wahid Institute atau lembaga lain.
Inayah Wahid
Wah, saya tidak punya data. Saya tidak bawa data apa-apa saat ini. Tapi kalau ditanya bagaimanakah kehidupan pluralisme kita? Ini mungkin sedikit mirip dengan situasi saat ini di Perspektif Baru yaitu sudah mulai setara, tapi seperti tampak di sini saya tetap minoritas, dan terlihat seperti token karena sebagai satu-satunya perempuan di sini.
Maksudnya, masih banyak PR-nya. Saya melihat ada beberapa kasus, misalnya, kasus yang paling dekat yaitu ada yang menendang sesajen. Itu menurut saya publik sudah jauh lebih mau untuk speak out.
Ada banyak isu ketika kita bicara mengenai keberagaman. Keberagaman itu berarti identitas apa pun. Kita sudah bisa melihat bagaimana publik berdiri dan speak out untuk hal tersebut. Jadi, di tengah situasi yang kemarin kita lihat banyak sekali kasus-kasus yang masih terjadi, saya rasa kita mempunyai harapan yang cukup bagus juga.
Budi Adiputro
Betul sekali, saya sangat setuju bahwa memang semakin lama ini karena memang leadership. Kepemimpinan Presiden Jokowi mempunyai leadership yang memberikan gestur yang cukup baik untuk berkembangnya dan berbunganya pluralitas dan pluralisme di Indonesia.
Jadi, menurut saya, ini sebuah langkah yang bagus. Apalagi kalau kita melihat misalnya di kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) yang baru, K.H. Yahya Cholil Staquf ketika ditanya apa visi Anda sebagai Ketua Umum PBNU yang baru? Visinya jelas, sesimpel menghidupkan kembali Gus Dur.
Kalau kita bicara Gus Dur, tentu saja Gus Dur ini bukan hanya tokoh demokrasi, bukan hanya kyai, tapi juga tokoh pluralisme. Orang yang selama hidupnya berjuang untuk minoritas, berjuang untuk pluralisme dan memberikan ruang, keamanan, dan kenyamanan yang cukup baik bagi orang-orang atau pihak-pihak yang terdiskriminasi di Indonesia.
Menurut saya, dengan kepemimpinan politik dan organisasi yang saya lihat mempunyai rekam jejak dan komitmen yang jelas terhadap pluralisme. Ini sebuah gestur yang cukup baik meskipun ada beberapa kasus yang menurut saya juga masih menjadi PR.
Tahun lalu, langkah-langkah atau fakta-fakta diskriminasi bagi teman-teman atau saudara-saudara kita, masyarakat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat. Juga kita lihat di NTB, eks pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito, Ketapang, yang 15 tahun harus berlebaran di pengungsian, ini juga masih menjadi PR serius.
Tapi ada anomali, misalnya di Jakarta, kita melihat Gubernur Anies Baswedan banyak dianggap menjadi manifestasi dari kelompok Islam yang sedikit konservatif. Tapi beberapa waktu terakhir dia memberikan gestur yang cukup baik juga dengan memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi gereja-gereja yang selama bertahun-tahun mengalami kesulitan mengakses IMB.
Sementara ada lagi anomali kedua, Walikota Bekasi yaitu Rahmat Effendi yang selama ini kita kenal ada di garis terdepan membela rumah-rumah ibadah minoritas untuk dibangun di wilayah Bekasi, ternyata malah tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jadi, ada anomali-anomali yang di satu sisi kita percaya ini mempunyai gestur dan masa depan yang cukup baik, tapi di sisi lain orang-orang yang selama ini kita lihat ada di garda terdepan membela pluralisme, let’s say misalnya yang paling dekat adalah Walikota Bekasi ataupun misalnya Gubernur Sulawesi Selatan yaitu Pak Nurdin Abdullah itu juga tersangkut kasus di KPK. Itu catatan saya.
Hayat Mansur
Bagaimana dengan catatan Arie? Dari sisi politiknya, apakah para tokoh politik seperti yang tadi disebutkan rekan Budi Adiputro justru menyuburkan pluralisme atau malah menyuburkan intoleransi dalam setahun terakhir?
Arie Putra
Saya melihatnya memang sebuah hal yang krusial adalah pemolisian konflik-konflik sektarian. Banyak orang berupaya menggunakan instrumen kohersif, yang mana itu harusnya dimonopoli oleh negara, malah digunakan untuk menjustifikasi atau membenarkan perasaannya. Jadi, kalau ada yang tersinggung, misalnya merasa bahwa pemahaman orang keliru, ada kecenderungan untuk membawa itu ke polisi. Seharusnya yang seperti itu kita selesaikan sendiri saja.
Ini memperlihatkan bagaimana 23 tahun reformasi sampai hari ini belum mampu membangun sebuah konsolidasi politik di masyarakat kita. Jadi, elitnya mulai konsolidatif, undang-undang yang disepakati antar elit misalnya aturan-aturan yang disepakati antara elit itu cepat disepakati dan menjadi sebuah kebijakan publik. Namun, dia menjadi problem adalah konsolidasi antar masyarakatnya tidak berjalan. Orang cenderung lapor-melaporkan, dan ironis lapor-melaporkan itu di tengah kepercayaan publik terhadap institusi hukum itu sedang menurun.
Hayat Mansur
Bukankah memang itu bagus bahwa semua persoalan dilakukan secara koridor hukum? Tidak dilakukan secara istilahnya main hakim sendiri, sehingga dengan begitu ada penyelesaiannya bahwa ini salah secara hukum, atau ini benar secara hukum. Jadi, bukan atas pandangan subjektif seseorang atau sekelompok orang.
Arie Putra
Jadi, hukum ini kan kodifikasi moral dan etika. Misalnya, menghormati orang tua itu tidak ada di hukum, tapi kita lakukan dan kita wajib menghormati orang tua. Kalau dia kodifikasi moral dan etika artinya moral dan etikanya ini kalau bekerja dengan baik, kita tidak perlu ke kodifikasinya. Urusan sektarian, kalau pandangan Budi sesat maka kita debat saja. Misalnya, “Dit, alkohol itu tidak baik, maka Anda kurang-kurangi.” Bisa seperti itu karena ada trust. Nah, kepercayaan antar warga negara kita ini makin ke sini makin menurun karena itu banyak faktornya.
Hayat Mansur
Benang merahnya adalah kasus-kasus intoleransi masih tetap ada, dan itu menjadi perhatian kita untuk ke depannya. Apa saja faktor yang menyebabkan kasus intoleransi ini masih ada di Indonesia. Padahal sejak 1945 kita sudah menyatakan bahwa kita Bhinneka Tunggal Ika?
Kalau menurut saya, kasus-kasus yang menolak pluralisme, dan kasus-kasus yang melakukan intoleransi itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Tradisi menghormati atau toleransi itu sudah ada sejak sebelum Indonesia lahir, dan bahkan ketika Indonesia lahir pun diadopsi dengan di lambang negara kita tertulis Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu sebenarnya adalah dari kerajaan Majapahit yang diciptakan oleh Mpu Tantular untuk menunjukkan bahwa kehidupan bangsa yang ada di Nusantara itu sejak dulu memang adalah kehidupan yang plural atau multikulturalisme.
Menurut rekan-rekan, apa penyebabnya?
Inayah Wahid
Ada satu poin yang ingin saya bicarakan, apalagi tadi membicarakan bagaimana trust antar warga menurun. Saya rasa ini bukan problem di Indonesia saja, ini problem global. Warga dunia saya rasa memang sedang mengalami hal yang sama di berbagai belahan dunia lainnya. Kita bisa melihat bagaimana penguatan indentitas-indentitas kemudian mulai banyak muncul, tetapi pada saat yang sama karena batasan-batasan sehingga banyak sekali terbuka tentang bagaimana kita ada di dunia yang baru ini. Misalnya, dunia digital yang tanpa batas. Tetapi pada saat yang sama indentitas-indentitas jadi semakin menguat.
Saya rasa beberapa problem-nya itu bagaimana kemudian trust yang karena indentitas-indentitas itu menguat, terutama indentitas-indentitas yang sebelumnya terpinggirkan, kemudian di tengah dunia yang tidak terbatas ini mereka mendapatkan penguatan dari sesamanya di tempat-tempat lain. Saya rasa, kita bisa melihat dengan sangat gamblang dan vulgar bahwa identitas-identitas ini kemudian juga dibudidayakan untuk kepentingan tertentu yang kemudian dimanfaatkan.
Jadi, tidak heran kalau trust itu juga kemudian menurun. Belum lagi faktor yang secara organik, kemudian ada banyak identitas-identitas yang muncul dan ada upaya-upaya yang manufaktur. Kalau mungkin kita bisa melihat itu secara jelas atau kemudian sedikit blur, saya rasa kita bisa merasakan itu.
Bagaimana misalnya tadi Didit dengan gambarannya secara dikotomis mengatakan ini bisa menjadi anomali bahwa si A yang biasanya begini, si B yang biasanya begitu, kita bisa melihat dikotominya dengan sangat jelas di masyarakat. Trust itu akan lebih mudah untuk hilang ketika misalnya identitas-identitas itu kemudian dibudidayakan untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, dan dimanufaktur dengan kebencian. Itu yang saya rasa cukup menjadi problem.
Budi Adiputro
Identitas dan manufacturing kebencian memang selalu diproduksi karena memang selalu ada pasarnya. Memang boleh dan benar saja, misalnya, secara statistik di banyak tempat tokoh-tokoh yang lebih pluralis atau tokoh-tokoh yang lebih berpihak kepada keberagaman banyak yang menang Pemilu. Tapi tetap saja untuk menjadi pembeda, positioning politik dalam sebuah pertarungan politik, tentu setiap calon harus meng-entertain dan memenuhi kebutuhan asupan ketidak-beragaman, atau puritanisme dari sebagian kelompok yang ada di masyarakat. Itu yang menjadi celah politik yang akhirnya terus-menerus diproduksi dan direproduksi oleh para elit-elit politik, itu pertama.
Kedua, ini otokritik juga bagi ormas keagamaan, dan juga Inayah sebagai bagian dari mantan oligarki dari ormas keagamaan, karena sejak era demokrasi kita berkembang atau musim semi sejak reformasi 1998, partai-partai yang berafiliasi atau punya kaitan dengan ormas keagamaan itu bermunculan dan sangat terbuka menampakkan afiliasi dan juga warna politiknya.
Kalau kita lihat banyak ormas-ormas keagamaan yang selama ini seharusnya menjadi tiang penting dari penjaga moralitas, religiusitas, spiritualitas, dan keberagaman kita di masyarakat yang sejak zaman adiluhung kita sudah secara natural kita lakukan, ternyata banyak dari mereka yang masuk ke politik. Mereka meninggalkan rumah-rumah ibadahnya, meninggalkan tempat -tempat spiritualnya yang selama ini mengayomi masyarakat untuk menjadi dan hidup berdampingan secara beragam.
Jadi, saya setuju dengan kata Gus Yahya Staquf, lagi-lagi saya apresiasi betul dan ini harapan baru bahwa, “NU tahun 2024 tidak usah mencalonkan diri jadi calon presiden atau calon wakil presiden, kita menjaga umat saja, kita menjaga rakyat jangan sampai lebih banyak lagi mushola kita, surau-surau kita, pengajian-pengajian kita yang direbut oleh orang-orang yang bisa mencuci otak dan mempunyai akibat destruktif, dan juga mengganggu keberagaman kita.”
Lagi-lagi ini kembali ke khittah. Seharusnya agamawan-agamawan kita, ustad-ustad kita yang baik-baik, pendeta-pendeta kita yang baik-baik, romo-romo kita yang baik-baik, biksu-biksu kita yang baik-baik, uruslah umat dan jagalah karena dari situlah kita mendapatkan referensi bahwa keberagaman adalah hal yang harus kita perjuangkan, dan merupakan bagian penting dari keimanan kita sebagai pribadi dan sebagai masyarakat.
Hayat Mansur
Yang menarik dari pendapat Didit, menurut penilaian saya bahwa merebaknya intoleransi dan menurunnya pluralisme kita itu karena adanya keterlibatan politisi dan partai politik yang haus terhadap kekuasaan, sehingga mereka melakukan berbagai macam cara, strategi, taktik, termasuk cara-cara kotor untuk menggapai kekuasaan, termasuk menyebarkan intoleransi.
Apakah memang begitu Bung Arie? Apakah politisi kita ini untuk mencapai maksud kekuasaannya sampai mengorbankan kehidupan pluralisme dan toleransi kita?
Arie Putra
Memang seperti yang Inayah katakan bahwa ini adalah sebuah gejala global dan banyak di berbagai macam negara bagaimana politik identitas itu kembali diaktivasi, karena memang problem utamanya menurut saya adalah politisi-politisi kita, elit-elit politik kita itu tidak mempunyai kaki-kaki sampai ke akar rumput, yang hari ini terutama.
Mereka ini bagian dari elit nasional, bagian dari elit daerah yang tidak pernah berlumpur tangannya, tidak pernah bersusah-susah membangun basis, kebanyakan di antara mereka dan tidak semua tentunya. Tiba-tiba ada momentum elektoral dimana mereka harus mengambil keputusan dan mengambil jalan singkat untuk membangun dukungan politik. Jadi segmentasi yang sudah ada itu cenderung untuk cepat dimanfaatkan.
Berbeda cerita apabila memang elit-elit politik itu memiliki kaki-kaki sampai ke akar rumput, memiliki basis konstituen yang kuat, mereka melakukan pendidikan politik, dan membangun basis loyalitas constituency, mungkin akan berbeda cerita. Kita melihat data misalnya Party-ID kita masih sekitar 23%. Ini artinya hanya 23% masyarakat Indonesia yang merasa memiliki partai politik, bahkan Inayah saja merasa tidak memiliki partai politik.
Jadi, maksudnya memang ini ada kebuntuan di dalam politik kita. Sementara kita memiliki arena pertarungan yang jumlahnya banyak sekali. Indonesia adalah negara dengan pemilihan terbanyak di dunia. Kita melakukan lebih dari 70.000 pemilihan di dalam lima tahun, mulai dari Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), ini belum masuk pemilihan ketua RT dan RW. Ini yang diselenggarakan oleh pemerintah saja, itu lebih dari 70.000.
Artinya, setiap level itu banyak politisi-politisi yang membutuhkan momentum dan membutuhkan konektivitas ke akar rumput, membutuhkan koneksi dan membutuhkan dukungan dari akar rumput. Sementara yang sudah melakukan itu adalah organisasi-organisasi keagamaan, ulama-ulama, kyai-kyai, ustad, dan lain-lain.
Jadi, ini mengenai ada momentum elektoral yang mana pertarungannya sangat ramai, sangat banyak dan mereka butuh memenangkan itu. Sementara, mereka bukan orang-orang yang dibangun melalui sebuah mekanisme politik yang terukur dan bersentuhan langsung dengan akar rumput.
Jadi, di kepala kita sampai hari ini masih ada pikiran ingin mempunyai presiden atau kepala daerah seorang alumni TNI. Itu karena TNI Memang sebagai organisasi mempunyai koneksi sampai ke akar rumput. Misalnya juga NU, dia mempunyai jaringan sampai ke akar rumput. Kenapa Gus Yahya dikatakan revolusioner? Karena dengan jaringan akar rumput, Gus Yahya mengatakan capres capres, jadi revolusioner.
Budi Adi Putro
Arie, apa kalau kata George Washington?
Arie Putra
George Washington menjadi presiden hebat bukan karena dia menggunakan kekuasaannya, justru karena dia tidak menggunakan kekuasaannya untuk memperpanjang masa jabatannya. Dia menjadi presiden hebat karena akhirnya seorang penguasa itu menjadi penguasa yang hebat bukan karena kekuasaannya, tapi karena dia memilih untuk tidak menggunakan kekuasaan.
Hayat Mansur
Lalu, bagaimana upaya kita untuk tetap bisa merawat pluralisme dan kebhinekaan kita?
Budi Adi Putro
Kalau kita sendiri, yaitu orang-orang yang paham dan percaya bahwa pluralisme dan kebhinekaan adalah roh dan warna penting dari bangsa kita, maka kita lakukan, kita tebarkan virusnya. Misalnya, Perspektif Baru mempunyai media, kemudian Total Politik juga mempunyai media, maka kita pilih agenda setting yang mendukung nilai keberagaman.
Kita harus mempunyai keberpihakan yang jelas bagi kelompok-kelompok minoritas yang selama ini terpinggirkan. Kita harus mempunyai keberpihakan jelas bahwa penggunaan politik identitas, terutama yang sektarian dalam kaitan dengan agama, itu tidak boleh mendapat tempat terlalu banyak dalam ruang publik. Itu yang paling bisa kita lakukan dengan kapasitas kita masing-masing.
Menurut saya, nanti ke depan perbedaan akan semakin jelas antara orang-orang yang akan menggunakan politik identitas secara kental dan tidak. Meskipun kita tahu politisi itu tidak pernah mempunyai identitas politik yang pasti. Hari ini dia bisa dianggap sangat sektarian dan anti toleransi, di tahun ketiga dia bisa bagi-bagi IMB untuk gereja dan pura untuk warganya.
Jadi, memang paling penting kita melihat politisi ini seiring sejalan atau tidak apa yang dikampanyekan dengan apa yang dilaksanakan. Kalau bahasanya Wimar itu gampang, kalau kita tidak tahu memilih politisi mana yang baik atau yang brengsek, lihat saja orang-orang yang berkelindan atau berkeliling atau berjalan bersama di sekelilingnya. Itu karena burung pasti akan terbang dengan kawanannya. Kalau bahasanya Mbak Jaleswari Pramodawardhani, jenis ketemu jenis. Itu cara paling gampang untuk kita mengidentifikasi apakah orang ini genuinely baik atau memang packaging saja untuk mendapatkan politik kekuasaan.
Hayat Mansur
Jadi, keberpihakan yang jelas dari masing-masing individu terhadap pluralisme kita, terhadap kebhinekaan kita sangat penting karena saya juga mengingatkan bahwa adanya kasus-kasus intoleransi itu juga tidak bisa dilepaskan dari kepasifan kita sebagai individu, apakah kita mau merawat kemajemukan ini atau tidak. Ingat bahwa kejahatan itu terjadi karena orang baik diam. Kalau orang baik bersuara, maka kejahatan tidak akan terjadi.
Arie Putra
Ini kata-kata Wimar yang selalu saya ingat bahwa demokrasi kita sudah berjalan 23 tahun. Ibarat sebuah pompa air, karena lama tidak dipakai pompa airnya, maka ketika kita pakai pompa air itu, yang keluar duluan adalah lumut-lumut. Kita masih dalam fase lumut-lumut demokrasi kita ini sedang keluar semua.
Saya sangat optimis bahwa ini akan segera bersih, dan orang akan semakin mempunyai kesadaran politik. Ini mengenai kesadaran politik, bukan mengerti politik tapi sadar mengenai politik. Sadar mengenai politik yaitu mengenai hak dan kewajiban. Apa kewajibanmu dan apa hak orang yang harus dijaga.
Ini menjadi problem kita bersama bahwa kita tuna warga. Kita ini tidak paham dengan konsep citizenship mengenai hak dan kewajiban kita. Kadang kita bisa merasa benar dengan mewakili orang lain yang sakit hati, kita wakili orang lain yang sakit hati ini kemudian kita laporkan pula ke polisi. Ini yang menjadi masalah bahwa kita tidak tahu cita-cita konstitusional kita, tidak tahu apa itu hak dan kewajiban. Banyak orang yang saya tanya apa bedanya rakyat, warga, masyarakat, tidak banyak orang yang tahu bedanya, apa konteks penggunaan kata itu.
Ketika kita hadir sebagai warga, itu mengenai hak dan kewajiban. Jadi, ada hak orang lain yang harus kita jaga, ada kewajiban juga. Jangan sampai aparat pemerintahan juga menjadi campur aduk. Misalnya, yang mana menjadi hak dan yang mana kewajiban, hak orang tidak dilindungi, kewajiban orang dipaksa, itu yang menjadi problem kita hari ini bahkan di level aparat pemerintahan sendiri. Jadi, memang keberagaman, pluralisme, dan ide-ide mengenai kesetaraan dan demokrasi ini bisa berjalan apabila kesetaraan dan prinsip-prinsip kebebasan itu memiliki ruang di level kehidupan kita bernegara juga.
Hayat Mansur
Jadi, kalau Didit mengatakan perlu adanya kesadaran individu terhadap pluralisme atau kemajemukan. Kemudian Arie mengatakan perlu adanya kesadaran politik. Lalu, bagaimana menurut Inayah Wahid?
Inaya Wahid
Sebagai penutup saya hanya akan mengatakan satu hal yang saya rasa menjadi harapan adalah saya percaya kalau problem itu muncul di permukaan dan kita merasa itu banyak sekali artinya solusi juga akan muncul. Sekarang kita tinggal akan fokus di mananya saja. Saya sangat sepakat dengan Didit mengenai apa yang bisa kita lakukan.
Tadi kita juga sudah membahas bagaimana identitas-identitas digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik. Sehingga mungkin kalau menaruh harapan pada mereka itu sedikit naif, tapi saya sangat percaya bagaimana kita kemudian bisa mengarusutamakan toleransi dan segala macam.
Saya akan memberikan contoh kecil, ada beberapa teman saya yang Kristen cerita bahwa setiap Natal, semakin tahun semakin sering teman-teman muslim yang mengucapkan Natal kepada mereka. Tapi orang ini adalah orang yang tidak mau terlibat dalam perdebatan, misalnya mengucapkan selamat Natal di sosial media. Jadi saya rasa ini bagus bagaimana kemudian publik sudah mulai, “Ya sudah, lakukan saja daripada berdebat di sosial media dan segala macam.” Tapi kemudian bagaimana toleransi menjadi arus utama dan dilakukan?
Kalau kita bicara toleransi, tidak ada yang lebih penting selain dilakukan. Kalau diskusi seperti ini - itu tidak penting. Jadi, bagaimana kita mengarusutamakan kontrasnya? Tentu kalau kita melihat bahan bakar utama dari intoleransi adalah kebencian, maka kita perlu mengarusutamakan kontrasnya yaitu cinta kasih dan keberpihakan yang jelas. Saya percaya ada hak yang harus dijaga, ada hati yang harus dijaga juga.
Yang terakhir, saya akan menutupnya dengan quote Gusdur, kalau kita bicara mengenai toleransi tentu hasil akhir yang ingin kita dapatkan adalah perdamaian. Seperti kata Gusdur, “Peace Without Justice is an Illusion” - Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.