Kita Butuh UU TPKS
Salam Perspektif Baru,
Kali ini saya bersama dengan orang lama dan juga orang yang dekat dengan Perspektif Baru, yaitu Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan, dan Hak Asasi Manusia di Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia Jaleswari Pramodhawardani, yang akrab kita panggil Mbak Dhani.
Menurut Jaleswari, UU TPKS harus menjadi perhatian kita bersama, bukan hanya pemerintah, bukan hanya DPR, tetapi masyarakat, akademisi, praktisi, NGO dan lain-lain. RUU TPKS merupakan Undang-Undang yang nantinya akan menjadi terobosan karena dia tidak hanya menghukum pelaku saja, tetapi bagaimana advokasi, pemulihan hak korban, kemudian ada pemberatan hukuman juga. Pelakunya pun selain dia tentu saja dijatuhi hukuman, tapi dia juga dibina agar tidak terjadi keberulangan lagi.
Jadi, ini sebetulnya UU yang sangat penting karena kita berpihak kepada korban, dan kita tahu bahwa berarti juga ada kepentingan-kepentingan lain yang terkait dengan ini, mungkin pihak-pihak yang bisa di masukan ke pengadilan dan lain-lain.
Jaleswari mengatakan, kalau sampai pada satu titik korban-korban ini ingin mendapatkan perlindungan, sementara negara tidak kunjung memberikan itu. Saya rasa kita bisa melihat bagaimana pembiaran-pembiaran itu nanti di ujungnya akan seperti apa. Saya susah membayangkan seperti itu, tetapi yang jelas korban sampai hari ini sangat berharap adanya UU ini.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancara dengan narasumber Jaleswari Pramodhawardani.
Senang sekali akhirnya bisa bertemu dengan Mbak Dhani bukan sebagai host Perspektif Baru, tapi sebagai narasumber saya. Kita akan bicara mengenai hal yang penting untuk kita, dan penting sekali terutama untuk para perempuan di Indonesia yang selama ini tidak bisa berdaya ketika mengalami kekerasan seksual.
Saat ini kita ada suatu kemajuan besar, secara regulasi dan keberpihakan bahwa kita akan segera mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sedikit berubah namanya, kalau sebelum Undang-Undang ini disusun namanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), tapi kini menjadi RUU TPKS.
Mengapa namanya berubah RUU TPKS. Apakah ada yang sensitif sehingga namanya diganti atau ada apa di balik layar?
Ini sebenarnya perdebatan dari akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil. Pertama, memang Penghapusan Kekerasan Seksual, tetapi ketika berubah menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kita seperti diingatkan bahwa yang namanya kekerasan seksual entah itu di ruang publik maupun di ruang keluarga adalah tindak pidana. Jadi, itu harus dihukum dan pelakunya tidak bisa melenggang dengan nyaman walaupun itu ada relasi keluarga sekali pun.
Itu karena kita tahu bahwa kekerasan seksual itu ruangnya luas, dari ruang keluarga sampai ruang publik, ruang kerja, ruang pendidikan, di sekolah, di pesantren, dan lain-lain. Jadi, sebetulnya ini hanya untuk mewadahi bahwa kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan yang harus ditindak, dan pelakunya dihukum setimpal.
Bagaimana update saat ini tentang RUU TPKS. Apakah semakin cerah, mendung atau masih sedikit berkabut?
Sebenarnya kalau melihat kronologisnya RUU TPKS sejak 2016 keluar - masuk untuk dibahas, dan sampai hari ini memang belum disahkan. Tapi kita berharap itu akan disahkan dalam waktu dekat. Kemarin pada 18 Januari 2022 sudah ditetapkan dan diketok bahwa RUU TPKS adalah inisiatif DPR. Dalam seminggu setelah diketok, naskah akademik dan draft RUU PTKS ini disiapkan untuk diserahkan kepada presiden. Nanti kami di pemerintah mengisi Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Seperti yang disampaikan presiden bahwa presiden memberikan tiga arahan, kalau tidak salah pada 4 Januari kemarin. Pertama, RUU TPKS harus menjadi perhatian kita bersama, bukan hanya pemerintah, bukan hanya DPR, tetapi masyarakat, akademisi, praktisi, NGO dan lain-lain.
Kedua, presiden mengamanatkan kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk segera berkonsultasi, berkomunikasi dengan kawan-kawan di DPR untuk mempercepat proses ini. Ketiga, presiden memberikan instruksi kepada kami di Tim Gugus Tugas Percepatan RUU TPKS untuk segera menyelesaikan pengisian DIM supaya bisa segera diberikan kepada DPR dan kemudian disahkan.
Apa posisi Anda di Tim Gugus Tugas untuk RUU TPKS?
Di Tim Gugus Tugas ini dewan pengarahnya adalah para menteri, ada Kepala Staf Kepresidenan, ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), ada Menteri Hukum dan HAM, Kapolri, Jaksa Agung. Kemudian yang menjadi ketua tim gugus tugas adalah Wakil Menteri Hukum dan HAM, dan kami deputi-deputi di beberapa Kementerian Lembaga ini menjadi wakil.
Kerja kami memang sudah intens sekali. Misalnya, melakukan kajian-kajian, membandingkan undang-undang yang ada dengan draft RUU yang terus tumbuh di DPR, ada draft tanggal sekian, kita selalu update. Sebetulnya kerja-kerja ini untuk mengantisipasi supaya kerja itu cepat dan paralel. Jadi, jangan sampai ketika sudah diketok di DPR dan diserahkan ke pemerintah kita baru kerja. Kalau seperti itu nanti malah jadi lebih lama.
Jadi, ini sebenarnya bagian dari “nyicil”. Karena ini sebenarnya Undang-Undang inisiatif DPR, seharusnya memang DPR yang membuat draft nya.
Ini bisa dijadikan semacam model mitra kolaborasi, yang biasanya antara pemerintah dan masyarkat sipil, ini dengan Badan Legislasi (Baleg) dan kawan-kawan di cabang kekuasaan lain misalnya yudikatif dengan mahkamah agung. Jadi ini betul-betul sebuah kolaborasi yang bagus sekali melibatkan semua stakeholder dan ownership tentang pentingnya RUU TPKS menjadi milik bersama. Ke depannya ini bisa dijadikan semacam model kerjasama yang efektif.
Tapi masyarakat menilainya begini, ini bisa efektif dan akhirnya menggelinding, menjadi fokus di DPR, dan jadi barang setelah presiden bicara sedikit keras. Bagaimana di belakang layar sampai presiden meng-address ini secara khusus?
Sebetulnya ini seperti puncaknya. Kalau di peringatan Hari Ibu, Hari Perempuan, atau ketika ada kekerasan-kekerasan seksual yang terjadi dalam kasus besar dan lain-lain, presiden sebenarnya sudah memberikan warning. Tetapi kemarin itu presiden melihat bahwa faktanya angka-angka kekerasan seksual meningkat, kasus-kasus beberapa bulan belakangan ini semuanya naik. Yang korbanya dari umur belasan tahun, sampai paruh baya. Ini benar-benar korban yang anak-anak sampai orang dewasa.
Kemudian wilayahnya, ini bukan hanya wilayah yang di lingkungan keluarga saja, misalnya, antara paman yang memperkosa keponakan, antara bapak memperkosa anak dan lain-lain. Saat ini wilayah publiknya hampir merata, di tempat kerja ada, di tempat ibadah ada, di tempat ibadah dalam artian pesantren, kemudian sekolah, bahkan berdasarkan laporan ke Kantor Straf Presiden itu bemacam-macam sekali korbannya.
Ini menarik, mungkin banyak juga masyarakat yang tidak bisa mengidentifikasi yang mana merupakan kekerasan atau pelecehan seksual. Mungkin Mbak Dhani bisa memberikan pencerahan mengenai kekerasan seksual dalam RUU TPKS ini seperti apa, dan apa saja yang bisa kita identifikasi menjadi bagian dari kekerasan seksual?
Kalau kita bicara jenis-jenis kekerasan seksual itu macam-macam, tetapi sebetulnya itu mengerucut pada satu hal bahwa adanya relasi kekuasaan yang timpang antara orang tua dan anak. Itu relasinya juga tidak setara atau asimetrik. Jadi, banyaknya relasi kuasa yang timpang inilah yang menyebabkan atau memicu terjadinya hal-hal seperti itu.
Dari sana kita melihat bahwa bukan sekadar jumlah tetapi kalau kita melihat testimoni korban itu luar biasa, dan kita melihat ini katakanlah masih minim sekali hukum yang melidungi korban. RUU TPKS merupakan Undang-Undang yang nantinya akan menjadi terobosan karena dia tidak hanya menghukum pelaku saja, tetapi bagaimana advokasi, pemulihan hak korban, kemudian pemberatan hukuman juga ada di sana, itu dilakukan. Jadi pelakunya pun selain dia tentu saja dijatuhi hukuman, tapi dia juga dibina agar tidak terjadi keberulangan lagi.
Bagaimana mensinkronisasi persoalan hukum. Apa yang kemudian diisi kekosongannya oleh RUU TPKS?
Kekerasan seksual ini kadangkala yang paling susah adalah ketika membawa persoalan keluarga ke pengadilan, ke dalam ranah hukum. Relasi kuasa yang timpang itulah sebabnya. Kadangkala perempuan dan anak itu selalu dilihat atau dipandang sebagai properti. Misalnya seperti ini, “Itu kan anakku, jangan ikut campur karena ini persoalan keluarga.”
Padahal yang namanya kekerasan adalah kekerasan, entah kekerasan fisik atau apapun. Di sana juga pasti ada unsur ketidakrelaan, dimana unsur ketidakrelaan tersebut sudah melanggar hak asasi, entah itu anak ataupun korban yang mendapatkan kekerasan. Ini sudah bisa dijadikan tindak pidana.
Apa yang bisa membuat jera para pelaku dari UU baru ini?
Saya rasa mengenai jenis pembuat hukum dan dengan pemberatannya itu hampir semua sama. Tapi yang penting adalah konsistensi dan pemahaman aparat penegak hukum terhadap persoalan-persoalan ini.
Jadi, para penegak hukum sendiri harus disadarkan betul karena mereka garda terdepan dalam penegakkan hukum.
Betul. Kadang kita sudah tahu bahwa anak ini katakanlah sudah diperkosa berkali-kali, namun karena ini sama saudaranya maka kemudian dilakukan melalui jalur mediasi. Jalur-jalur mediasi itu juga ada perdebatannya, ada yang tidak setuju karena itu akan melemahkan hukuman dan kemudian juga melemahkan korban juga.
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa jalur-jalur mediasi ini juga bisa dipakai korban untuk didengarkan haknya dari perspektif dia. Artinya, tidak selalu orang digeret ke ranah hukum, tidak selalu orang nyaman dengan hukum. Tapi ada mekanisme dan ada tahapan, itu yang diatur juga.
Kita bicara mengenai hal yang sangat penting, tapi jujur walaupun kita baca beritanya setiap hari belum tentu paham mengenai RUU TPKS ini. Calon Undang-Undang ini seperti pisau yang cukup tajam untuk para pelaku yang membuat kita harus pikir dua, tiga, empat, bahkan sampai lima kali untuk melakukan pelecehan seksual.
Tapi problemnya ketika kita bicara masuk ke ranah hukum, ini ada proses pemberian kesaksian, bertemu dengan penyidik, belum nanti masuk ke pengadilan, harus bersaksi. Sementara banyak sekali korban dengan relasi yang timpang, seperti tadi Anda katakan, sehinga ada merasa takut, enggan, rikuh, sungkan terutama dengan orang-orang yang nanti akan diperkarakan.
Apakah ada ruang atau celah untuk mengakomodasi ketakutan dan keraguan ini yang ujung-ujungnya pelakunya tidak dihukum karena kompromi atau mengalah dan berakibat trauma yang berkepanjangan kepada korban?
Sebetulnya RUU, yang kita bilang akan menjadi terobosan bagi keadilan korban, ini mendasarkan kepada bagaimana korban mendapatkan keadilan seadil-adilnya dan mendengarkan suara korban. Dari persoalan itu saya rasa tidak ada cara atau strategi tunggal untuk mendapatkan keadilan itu.
Memang ada perdebatan di publik bahwa sebagian besar kawan-kawan masyarakat sipil dan aktivis mengenai restorative justice atau keadilan restoratif. Mereka menolak karena itu dianggap semacam pelemahan. Dalam pendekatan restorative justice ini semua pihak yang masuk dalam persoalan itu didengarkan suaranya, ada kesepakatan dan lain-lain.
Dalam konteks ini banyak yang tidak setuju karena itu dianggap semacam pelemahan karena nanti ujung-ujungnya pelaku tidak dihukum dan korban mengalah. Kadang-kadang orang yang diperkosa, kemudian diarahkan untuk dinikahkan saja, padahal itu bukan solusi.
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa korban itu tidak semuanya nyaman untuk masuk ke pengadilan, didengarkan oleh banyak orang, dicatat oleh panitera, dan sebagainya. Kemudian ada yang berpendapat bahwa ini juga ada celah tetapi tetap memberikan hukuman kepada pelaku, tapi harus ada syaratnya. Misalnya, itu harus kesepakatan yang disetujui korban dan kemudian itu yang mendampingi adalah orang yang disetujui korban, mungkin yang tahu masalahnya atau yang ahli dalam hukum. Jadi, tidak sekedar bersepakat saja.
Perdebatan ini yang kemudian mengkayakan RUU ini. Saya tidak tahu di draft terakhir DPR itu akan seperti apa pasal-pasalnya karena di awal-awal itu kawan-kawan Baleg DPR ada gagasan tentang itu, tapi kemudian ada diskusi, dan sebagainya.
Saya rasa dari apa yang disampaikan Anda tadi benar, jangan lupa bahwa yang utama adalah korban. Seperti yang disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM bahwa dari sekian kasus yang masuk pengadilan hanya 10% yang bisa ditangani. Jadi, kita bisa tahu bahwa kita membutuhkan Undang-Undang ini secepat-cepatnya. Dan saya rasa ini bukan mengenai memonitor, bukan mengenai menjadi perhatian bersama. Seperti kata presiden, kawan-kawan jurnalis, kawan-kawan masyarakat sipil harus memonitor semua prosesnya.
Itu karena korbannya belum tentu jauh dari kita, bisa orang-orang di sekitar kita, orang yang kita sayangi, dan ini bisa saja terlibat dan terjadi pada kita. Jadi kita harus mempunyai concern yang sama. Tapi problemnya dalam merumuskan sesuatu yang baik ini tidak semua orang pasti setuju, tidak semua orang seiring sejalan.
Kita tahu ada beberapa concern yang diungkapkan oleh pihak-pihak yang menolak RUU ini. Misalnya, pertama, ketika undang-undangnya disahkan maka harus ada dulu RUU KUHP yang baru dan harus disahkan juga. Jadi, perundang-undangannya seiring sejalan tidak saling potongan-memotong. Bagaimana menurut Anda?
Saya rasa tidak perlu karena RUU KUHP yang sekarang ini walaupun itu belum selesai, tapi kami melakukan kajian-kajian mengenai apa saja yang akan ada di ruang undang-undang yang lain, dan sebagainya. Tentang kekerasan seksual itu ada satu klausul yang mengatakan bahwa nanti hal-hal yang terkait kekerasan seksual itu merujuknya di UU ini.
Apakah itu artinya memang harus ada dulu undang-undang ini sebagai rujukan utama?
Betul, mengenai perkosaan itu memang ada di sana tapi mengenai kekerasan seksual selama ini belum ada dalam undang-undang yang lain.
Ada juga yang berpendapat bahwa ini melegalkan dan mendorong terjadinya perzinaan, apalagi kalau kita bicara bahwa ada kesepakatan dua pihak. Artinya, kalau ada kesepakatan dua pihak, berzina itu tidak bisa dihukum. Bagaimana menurut Mbak Dhani? Tolong berikan perspektif kepada orang-orang yang berpikir seperti itu.
Itu tidak ada sama sekali di pasal-pasal. Kesepakatan yang misalnya ada dalam pasal itu pun dilihat dari konteks kesepakatan apa dulu. Tidak mungkin kekerasan seksual itu kesepakatan, kalau begitu berarti tidak ada korban, logikanya seperti itu. Jadi ini tidak bisa dilihat seperti itu, dan juga tidak ada pasal yang melegalkan hal seperti itu.
Mengapa bisa sampai ada pikiran dan komentar bahwa ini melegalkan perzinahan?
Kita tahu bahwa ini sebetulnya Undang-Undang yang sangat penting karena kita berpihak kepada korban, dan kita tahu bahwa berarti juga ada kepentingan-kepentingan lain yang terkait dengan ini, mungkin pihak-pihak yang bisa di masukan ke pengadilan dan lain-lain. Tetapi sebetulnya kita harus cermat bahwa dalam pasal-pasal itu sama sekali tidak mengandung apa yang disampaikan yaitu mengenai zina, LGBT, dan segala macam. Itu tidak ada sama sekali. Jadi, justru diskusi-diskusi yang dilakukan di ruang publik itu akan semakin melipatgandakan pemahaman kita tentang wacana apa yang sebenarnya bisa kita serap.
Apakah pemerintah dan DPR masih membuka ruang masyarakat untuk bisa berdiskusi terkait hal ini?
Masih, paling tidak nanti di pemerintah akan ada semacam diskusi publik sebelum kita menyampaikan ke DPR.
Tolong Mbak Dhani memberikan pesan ke kita semua, juga ke kolega-kolega Anda di parlemen sekarang yang lagi berdebat dan berdiskusi mengenai ini. Kenapa kita perlu sekali mempunyai UU TPKS? Lalu, seperti apa Indonesia jika kita punya UU ini, dan akan seperti apa juga Indonesia jika kita tidak kunjung merampungkan UU ini?
Saya rasa untuk waktu enam tahun ini sudah menjadi penantian yang panjang untuk para korban mendapatkan keadilannya. Dan bukan hanya itu saja, semakin hari semakin meningkat korban-korban berjatuhan dan tanpa perlindungan yang jelas. Kemudian kita sekarang sedang berjuang bersama-sama agar UU TPKS ini bisa disahkan oleh DPR dalam waktu yang secepat-cepatnya, sehingga utang kita kepada peradaban bisa dituntaskan, mungkin ini terlalu tinggi bahasanya. Tetapi ini memang kenyataannya, bayangkan korbannya ini dari anak-anak umur 12 tahun, 14 tahun, bahkan ada yang 5 - 6 tahun.
Itu mungkin dianggapnya bukan korban, tapi itu kebiasaan dan budaya atau mungkin karena merasa lebih berkuasa.
Itu tadi, kita bicara mengenai relasi kuasa yang timpang dan lain-lain. Saya rasa kita secara faktual, secara faktanya itu ada dan kita tidak bisa menutup mata. Itu begitu dekatnya dengan persoalan kita di rumah tangga, di sekolah kita, dan sebagainya.
Ada pertanyaan, bagaimana kalau ini dibiarkan dalam jangka waktu panjang? Saya khawatir, ini bicara mengenai penegakan hukum dan lain-lain. Kalau sampai pada satu titik korban-korban ini ingin mendapatkan perlindungan, sementara negara tidak kunjung memberikan itu. Saya rasa kita bisa melihat bagaimana pembiaran-pembiaran itu nanti di ujungnya akan seperti apa. Saya susah membayangkan seperti itu, tetapi yang jelas korban sampai hari ini sangat berharap adanya UU ini.
Kalau kita membiarkan ini berlarut-larut maka korban akan lebih banyak lagi jatuh dan negara tidak bisa melakukan hal yang maksimal untuk melindungi.
Ini tangung jawab negara, bukan hanya pemerintah. Ini tangung jawab tiga cabang kekuasaan yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.