Motif Survival untuk Hadapi Perubahan Iklim

Salam Perspektif Baru,

Hari ini kita membahas mengenai perubahan iklim dan generasi muda bersama narasumber kita Sarwono Kusumaatmadja, yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sarwono Kusumaatmadja mengatakan dulu perubahan iklim terjadi karena penggunaan energi kita dititik-beratkan pada apa yang disebut bahan bakar fosil, yaitu yang pertama adalah minyak bumi dan batubara. Penggunaan bahan bakar fosil itu menyebabkan emisi yang berlebihan di udara sehingga emisi yang berlebihan di udara menutupi atmosfer bumi seperti selimut.

Ini seperti kita hidup di bawah selimut yang membuat kita lebih hangat dari biasanya. Jadi, selimut ini harus dibuat tipis dengan cara tidak memakai BBM dan batubara, tapi pakailah energi baru dan terbarukan yang tidak mengeluarkan emisi.

Menurut Sarwono, untuk generasi muda, kita kembali saja pada motif dasarnya dari apa yang harus kita kerjakan yaitu survival. Itu karena kalau kita tidak survive, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, kita kerjakan apa yang perlu untuk survival diri kita dan lingkungan kita masing-masing di tingkat yang paling lokal. Itu saja yang diurus dan konsep besarnya adalah ketahanan iklim dengan menggabungkan adaptasi dan mitigasi secara setara dan lakukanlah itu di tingkat lokal secara kolaboratif.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Sarwono Kusumaatmadja.

Selain pandemi COVID-19, pada hari ini perubahan iklim menjadi masalah yang krusial dan sangat penting karena dampak perubahan iklim bisa kemana-mana termasuk bisa berdampak pada krisis pangan dan kesehatan. Jadi, pada masa depan generasi muda kita atau orang-orang yang dalam usia produktif pada saat ini akan menghadapi suatu kondisi iklim yang sangat menantang pada beberapa tahun mendatang.

 

Pada masa depan dampak perubahan iklim masih akan terus berlanjut. Karena itu membangun pemahaman terhadap perubahan iklim dan menyiapkan generasi muda yang tangguh agar mampu melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sejak dini adalah sebuah keharusan. Bagaimana tingkat kesadaran generasi muda kita mengenai perubahan iklim ini?

Pertama, mengenai perubahan iklim itu memang gejala yang sekarang sedang menggila. Ceritanya panjang, tetapi pendeknya yaitu para ahli dari dulu sudah memperingatkan bahwa dunia ini mengalami kenaikan temperatur rata-rata dibandingkan dengan era pra industri abad ke-17. Kemudian beralih mengingatkan bahwa kenaikan rata-rata itu tidak boleh melebihi 1,5 derajat celcius dibandingkan dengan temperatur rata-rata era pra industri tersebut. Kalau ini tidak dihiraukan, maka akan terjadi berbagai bencana iklim.

Atas dasar itu kemudian dibentuklah perjanjian-perjanjian internasional. Pertama, Protokol Kyoto, dan yang kedua adalah Perjanjian Paris. Dalam Perjanjian Paris, setiap negara mengajukan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca supaya temperatur rata-rata turun. Ini bukan perkara yang mudah karena Amerika Serikat (AS) juga dari dulu merupakan pihak yang pertama menjadi penyebab emisi gas rumah kaca terbesar. Tapi juga yang paling tidak mau ikut mengendalikan emisi mereka, bahkan Presiden AS saat itu Trump keluar dari Perjanjian Paris.

Akibatnya, karena isu ini terlantar dan tidak ditangani secara efektif maka semakin menjadi-jadi, sehingga sekarang disimpulkan bahwa perubahan iklim ini mengalami akselerasi. Tanda -tanda akselerasinya sudah sangat kelihatan, beberapa diantaranya sangat dramatis.

Misalnya, kebakaran hutan di AS yaitu di Oregon, California, luasan yang terbakar melebihi dua juta hektar. Usaha-usaha pemadaman yang dilakukan sangat susah payah, banyak memakan korban dan efektifitasnya juga masih diragukan. Kemudian ada lagi kebakaran hutan di Turki, Yunani, dan negara-negara lain di sekitar laut tengah.

Ada kasus di negara Brazil, Presiden Brazil Jair Bolsonaro bandelnya setengah mati. Dia membabat cadangan-cadangan penyerap karbon karena ingin membuat peternakan dan pertanian. Dia juga tidak menganggap COVID-19 ada. Jadi, kualitas kepemimpinan dunia yang tidak menghiraukan perubahan iklim ini menjadikannya suatu problem yang sangat serius.

Bagaimana di Indonesia? Menurut saya, Indonesia termasuk pihak yang bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan juga melakukan tindakan-tindakan korektif, melakukan tindakan-tindakan untuk mewujudkan koherensi kebijakan.

Banyak sekali inisiatif yang telah dilakukan, misalnya, moratorium pengembangan sawit dan moratorium ekspansi gambut. Gambut itu diprioritaskan untuk dikonservasi dan tidak lagi dieksploitasi. Pengendalian kebakaran hutan juga kita lakukan, sehingga kita mendapat penghargaan dari berbagai pihak karena usaha itu.

Koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang keliru di masa lalu itu dilakukan secara aktif dan mulai membuahkan hasil. Kemudian kita ditunjuk sebagai Coach Chairman dalam rangka persiapan konferensi perubahan iklim tahun ini di Glasgow, Inggris Raya. Begitu singkat ceritanya.

 

Indonesia telah mempunyai komitmen dan telah melakukan kebijakan-kebijakan politik untuk mengatasi perubahan iklim, baik berupa mitigasi maupun adaptasi. Bagaimana kebijakan politik kita mengenai generasi muda dan perubahan iklim ini?

Ada hal-hal yang perlu dilakukan, dan ini penting karena yang melanjutkan kebijakan-kebijakan ini nantinya adalah orang-orang yang sekarang masih muda. Posisi Indonesia unik di sini, antara sekarang dan tahun 2035 mayoritas penduduk kita berada dalam rentang usia produktif antara usia 15 sampai 65 tahun. Rentang usia produktif itu lazim disebut sebagai bonus demografi.

Yang menarik adalah bahwa negara-negara tetangga kita sekarang sedang mengalami penuaan. Masa bonus demografi untuk mereka sudah lewat, dan sekarang mereka mengalami masa penuaan. Sedangkan kita sedang mengalami posisi bonus itu. Thailand menua, Philipina menua, Malaysia, Singapura, China, Korea, Jepang semuanya menua. Ini berarti kita mempunyai semacam kelebihan dari bangsa lain kalau kita bisa menggunakan kelebihan itu.

 

Bagaimana menggunakan kelebihan itu agar generasi muda kita paham dan peduli mengenai perubahan iklim?

Saat ini masalah yang kita hadapi bukan hanya perubahan iklim, tetapi juga pandemi. Tidak ada satu pun negara di dunia yang siap untuk menghadapinya. World Health Organization (WHO) juga mengizinkan penggunaan vaksin atas dasar izin penggunaan darurat karena uji klinik dan vaksin-vaksin itu belum selesai. Ada ketimpangan antara supply dan demand dari vaksin, yang membutuhkan jauh lebih banyak daripada stok vaksin yang tersedia. Jadi, ada perang vaksin sekarang atau rebutan.

Tidak ada satu pun negara yang sukses mengendalikan pandemi ini secara runtut dan bagus karena rata-rata kebijakan nasional tiap negara terjebak antara optimisme yang datang karena laju penularannya sudah menurun, kemudian lepas rem, kegiatan ekonominya dipacu lagi, sehingga terjadi gelombang kedua yang lebih dahsyat. Kita tidak tahu kapan ini akan berakhir.

Selain pandemi dan perubahan iklim, ada satu lagi yaitu bahwa kita berada dalam era revolusi industri ke empat dengan perkembangan-perkembangan yang juga pesat termasuk pengembangan dari kecerdasan buatan. Hikmahnya buat kita banyak yaitu kemajuan teknologi dan informatika, tapi penyakitnya juga banyak karena orang kemudian menyalahgunakannya untuk pemerasan, menyebarkan kebohongan untuk mempengaruhi alam bawah sadar orang, sehingga kemudian terjadilah dis-orientasi mentalitas manusia di mana-mana.

Di samping itu juga ada masalah geopolitik. Terjadinya ini semua membuat hubungan antar bangsa itu mengalami perubahan-perubahan. Siapa yang kuat dan siapa yang lemah tidak jelas lagi, siapa yang benar dan siapa yang tidak sudah tidak jelas lagi, dan balance yang baru juga belum sampai.

Jadi, untuk generasi muda saya kira kalau menghadapi masalah yang sangat kacau balau begini, kita harus sangat bagus merumuskan isu-isu dasar apa yang perlu dikembangkan, dan satu saja motifnya yaitu survival umat manusia. Kita kerjakan apa yang perlu untuk survival diri kita dan lingkungan kita masing-masing di tingkat yang paling lokal. Memikirkan dunia tidak ada gunanya.

Saya kira saat ini kita sedang mengalami proses riset, ctrl+alt+del kemudian mati itu komputer. Kita berbenah, tapi tidak mengerti algoritmenya seperti apa. Jadi, ujungnya dari proses riset seperti apa itu kita tidak mengerti.

Ada satu cerita yang menurut saya mengerikan, yaitu Siberia temperaturnya sekarang ini 48 derajat Celcius. Padahal beberapa bagian Siberia adalah kawasan beku permanen, dari dulu juga di bawah nol derajat, sekarang menjadi 48 0C. Hutan-hutan di Siberia terbakar semuanya.

Kemudian di daerah permafrost (tanah beku) banyak sekali entah bakteria atau virus yang jutaan tahun membeku di situ. Bagaimana kalau itu mencair dan mereka kelayapan kemana-mana mencari inang? Mereka juga hidup sebelum umat manusia ada di bumi. Jadi, kita tidak mengerti apa akibatnya. Daripada terlalu banyak memikirkan hal-hal yang di luar jangkauan kita, mari kita memikirkan apa yang harus kita perbuat untuk survival kita di tingkat yang paling lokal.

 

Anda telah menjelaskan bahwa generasi muda mempunyai sedikitnya empat tantangan yaitu pandemi, perubahan iklim, geopolitik, dan teknologi. Dilihat dari sisi perubahan iklim, apa yang bisa diperbuat oleh generasi muda untuk perubahan iklim ini?

Begini, kita kembali saja pada motif dasarnya dari apa yang harus kita kerjakan yaitu survival. Itu karena kalau kita tidak survive, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Survival kita tergantung dari tiga, yaitu makanan atau asupan, katakanlah termasuk juga obat-obatan dari alam, air, dan energi.  Itu saja yang diurus dan konsep besarnya adalah ketahanan iklim dengan menggabungkan adaptasi dan mitigasi secara setara dan lakukanlah itu di tingkat lokal secara kolaboratif.

Di masa krisis, jangan terlalu memikirkan apa yang dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah adalah suatu organisasi yang pada dasarnya bersifat konservatif. Pemerintah dimana pun tidak mempunyai bakat untuk menangani krisis besar. Pemerintah dalam posisi ini mempunyai fungsinya sendiri. Yang harus ada di depan adalah masyarakat, dunia usaha, dunia perguruan tinggi, yang kemudian harus fokus memikirkan survival. Kalau kita tidak survive, kita tidak bisa didik orang, tidak bisa berniaga, tidak bisa kerja, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi survival dulu yang harus diurus.

 

Apa yang bisa dilakukan dari sisi energi untuk bisa mitigasi dan adaptasi perubahan iklim?

Dulu perubahan iklim terjadi karena penggunaan energi kita dititik-beratkan pada apa yang disebut bahan bakar fosil, yaitu yang pertama adalah minyak bumi dan batubara. Penggunaan bahan bakar fosil itu menyebabkan emisi yang berlebihan di udara sehingga emisi yang berlebihan di udara menutupi atmosfer bumi seperti selimut. Ini seperti kita hidup di bawah selimut yang membuat kita lebih hangat dari biasanya. Jadi, selimut ini harus dibuat tipis dengan cara tidak memakai BBM dan batubara, tapi pakailah energi baru dan terbarukan yang tidak mengeluarkan emisi.

Tapi tidak sederhana masalahnya, terutama bagi kita-kita yang sudah biasa hidup dalam gaya hidup modern yang sangat tergantung pada energi fosil. Ini susahnya luar biasa, penyesuaiannya tidak mudah. Jangan lupa bahwa banyak sekali skim-skim energi baru dan terbarukan itu hanya bisa jalan kalau dalam proses produksinya juga melibatkan energi fosil.

Misalnya, kita mendewakan panel surya, maka kita harus tanya lagi, “Apa energi yang dipakai untuk membuat panel surya itu? Jawabannya adalah pasti dimulai dari fosil. Kemudian kalau panel surya itu sebaiknya dipasang dimana? Kalau dipasang di atas permukaan tanah atau permukaan air, itu menghalangi penggunaan air dan penggunaan tanah untuk keperluan lain, seperti konservasi atau agrikultur. Yang paling cocok adalah membuat rooftop. Tapi kalau membuat rooftop, bagaimana dengan peran PLN sebagai penyedia listrik? Kalau memakai rooftop harus ada baterainya. Sedangkan baterai lithium bahan bakunya adalah nikel yang mana itu ditambang dan merusak lingkungan.

 

Saya dapat informasi bahwa ada sumber energi terbarukan yang sedikit menghasilkan karbon  yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Menurut Anda, apakah kita bisa maksimalkan potensi PLTA ini?

Bisa, tapi kita harus membangun PLTA secara hati-hati. Itu karena kalau kita membangun PLTA, maka kita akan mengubah tata ruang dan mungkin juga ada kawasan-kawasan yang berharga yang perlu dikorbankan untuk mewujudkan PLTA itu.

Ada lagi geotermal. Itu problemnya sama, harus ada trade-off antara kelestarian lingkungan dan tuntutan untuk menyediakan energi bersih. Jadi, tidak ada freelance, semuanya ada trade-off nya yang bisa dihitung secara cermat.

Kalau mikrohidro itu lebih sederhana masalahnya dan logikanya lebih kuat kalau kita menitikberatkan mikrohidro karena bisa melayani listrik dalam tingkat lokal dan proses produksinya mempunyai dampak lingkungan yang relatif jauh lebih rendah. Jadi, kita perlu membangun ribuan mikrohidro.

Kalau kita berpikiran dalam skala mega proyek, maka apapun akan menjadi masalah. Andai kata berhasil, maka bagaimana nanti distribusi dan transmisinya? Kita adalah negara kepulauan, tidak mudah membuat transmisi yang mengcover seluruh negeri ini. Jadi, kembali masalahnya adalah semua tindakan harus mempunyai dampak terbesar di tingkat lokal.

Saat ini dari tingkat atas sampai tingkat lokal semua terkena dampak pandemi COVID-19. apakah pandemi COVID-19 berpengaruh juga dalam upaya-upaya kita untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk sampai ke tingkat lokal?

Jelas iya, karena banyak orang terkena sakit dan ada juga yang meninggal. Artinya kita punya tenaga kerja itu sangat terganggu oleh adanya pandemi ini. Jadi dalam usaha menangani pandemi ini yang namanya protokol kesehatan perlu diperlakukan secara radikal. Jangan ambil resiko apa-apa. Vaksinasi juga harus digalakkan dan higien juga harus kita lebih hiraukan.

Celakanya banyak sekali tokoh-tokoh berpengaruh di dunia ini, bukan hanya di Indonesia, yang menyebarluaskan ketidakpercayaan kepada vaksinasi. Ini juga mempengaruhi mindset kita dan dibarengi dengan berbagai macam distorsi, teori konspirasi, atau hoaks melalui media elektronik, sehingga terlalu banyak orang bingung.

Sebenarnya ada baiknya juga kalau orang bingung karena itu berarti dia mulai memikirkan. Tapi tugas kita di sini adalah untuk memberikan informasi yang kredibel, bisa dipercaya dan bisa mencarikan jalan ke luar bagi kekacauan anarki internasional yang sedang terjadi ini. Tidak ada negara yang imun dari kekacauan akibat pandemi ini.

Previous
Previous

Next
Next