Memberdayakan Masyarakat dengan Sampah

Salam Perspektif Baru,

Dalam kehidupan sehari-hari kita pasti menghasilkan sampah setiap harinya. Sampah adalah masalah lingkungan yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Penanganan sampah perlu keterlibatan dan kerjasama semua pihak termasuk masyarakat. Hari ini narasumber kita adalah orang yang peduli untuk ikut mengatasi masalah sampah. Dia adalah Dadan M. Ramdan, pendiri Salarea Foundation dan pendiri Rumah Sampah Salarea di Garut, Jawa Barat. Salarea merupakan lembaga yang berkecimpung untuk pengelolaan sampah berbasis pemberdayaan masyarakat.

Dadan M Ramdan mengatakan edukasi literasi masyarakat terhadap sampah masih minim karena paradigmanya masih melihat sampah sebagai barang sisa atau limbah, bau, dan kotor. Kalau pemikiran masyarakat masih seperti itu, maka akan ada bom waktu, yang sebenarnya sudah terasa saat ini, yaitu dimana-mana ada sampah. Ketika musim hujan akhirnya menimbulkan kebanjiran karena sungai-sungai penuh dengan sampah, terutama sampah plastik. Dari situ dia melihat bagaimana persoalan sampah harus dikelola secara berkesinambungan.

Awalnya Dadan mendirikan Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL) di Garut, Jawa Barat. Hal itu untuk pengelolaan sampah berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat, sehingga ada partisipasi dan swadaya gotong royong bersama-sama. Fungsinya kampanye untuk mengajak masyarakat mengumpulkan sampah, memilah sampah, dan membuat paving block. Satu paving block saja bisa menyerap satu sampai satu setengah kilo. Kalau membuat seribu paving block, maka sudah satu ton sampah plastik yang bisa dicegah masuk ke sungai dan jalan raya.

Kemudian pada awal tahun 2001 dia mendirikan Rumah Sampah Salarea untuk menampung dan mengolah sampah-sampah plastik yang bisa didaur ulang, sehingga bisa memiliki nilai ekonomis.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Dadan M Ramdan.

Saat kita membicarakan sampah, lebih banyak orang yang menghindarinya karena kotor dan seringkali bau. Namun, Anda justru memberdayakan masyarakat dengan sampah. Apa yang menyebabkan Anda peduli terhadap sampah?

Ini awalnya mungkin dari keprihatinan saya sebagai masyarakat Indonesia. Saya memiliki latar belakang sebagai jurnalis yang sering menulis isu-isu lingkungan. Salah satu isu lingkungan yang paling kompleks, rumit, ruwet, dan tidak pernah selesai-selesai adalah masalah sampah.

Sampah itu diproduksi setiap detik atau setiap waktu, semakin bertambah ketika populasi penduduk semakin banyak. Tapi sampah yang bisa dimanfaatkan dan bisa diolah masih sedikit. Apalagi sampah yang sifatnya dari bahan plastik tidak bisa didaur ulang secara alamiah oleh unsur-unsur yang ada di dalam tanah, sehingga bisa makin banyak dan akhirnya menyebabkan adanya problem sosial sampah di masyarakat.

Pengaruhnya bisa kemana-mana yaitu dari kesehatan, estetika lingkungan, dan sebagainya. Sampah plastik tidak hanya ada di perkotaan, tapi di daerah, sampai di tingkat kecamatan, desa atau kampung pun sudah ada. Itu karena produksi sampah plastik bisa dari minimarket atau toko-toko yang semua dagangannya memakai kemasan-kemasan plastik.

Di sisi lain edukasi literasi masyarakat terhadap sampah masih minim karena paradigmanya masih melihat sampah sebagai barang sisa atau limbah, bau, dan kotor. Kalau pemikiran masyarakat masih seperti itu, maka akan ada bom waktu, yang sebenarnya sudah terasa saat ini, yaitu dimana-mana ada sampah. Ketika musim hujan akhirnya menimbulkan kebanjiran karena sungai-sungai penuh dengan sampah, terutama sampah plastik. Dari situ saya melihat bagaimana persoalan sampah harus dikelola secara berkesinambungan.

Di Cibatu, Garut, Jawa Barat, hanya belasan meter dari depan Kantor Desa Keresek, ada perempatan jalan yang pinggirannya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Juga di dekat situ ada sungai yang menjadi tempat pembuangan sampah. Sampai saat ini hal tersebut belum bisa teratasi karena di sana tidak ada pembuangan sampah sementara.

Jadi, sampah-sampah itu larinya ke pinggir jalan dan sungai, sampai pinggir jalan di depan Kantor Kepala Desa pun banyak sampah. Itu miris sekali. Padahal di Kecamatan Cibatu ini akan dikembangkan potensi wisata alam, wisata pertanian, dan wisata religiusnya. Tapi kalau lingkungannya banyak sampah, siapa yang tertarik untuk datang?

 

Apa bentuk kepedulian Anda dan juga teman-teman untuk peduli atau mengatasi sampah-sampah liar yang ada di Cibatu, Garut ini?

Awalnya sekitar pertengahan tahun 2000 lalu, ketika itu setiap akhir pekan saya berada di Garut dan sering berkeliling di sekitar sana dan melihat banyak sampah di sekeliling. Kemudian muncul ide untuk mendirikan yang namanya Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL) Komunitas Alam. MPL ini adalah relawan-relawan, anak muda, anak sekolahan, karang taruna, dan berbagai macam lintas latar belakang yang memiliki satu visi dan misi yang sama untuk menangani sampah di Cibatu.

Akhirnya kita bergabung dan saya mendirikan yang namanya MPL Komunitas Alam Loji. Basis pendiriannya ada di Loji yaitu salah satu desa di Keresek yang bersebelahan dengan Kantor Kecamatan Cibatu. Ini berada di kota karena memang problemnya ada di kotanya.

 

Apakah banyak masyarakat yang tertarik untuk ikut bergabung dalam Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL) yang Anda bentuk ini?

Awalnya itu dianggap tidak mungkin karena ada juga organisasi yang sebelumnya mencoba menangani masalah sampah dan tidak berhasil. Saya termotivasi di situ, bagaimana caranya kita menghadirkan pola pengembangan pengelolaan sampah berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat sehingga ada partisipasi dan swadaya gotong royong bersama-sama.

Awal kegiatannya adalah memproduksi paving block dari sampah plastik. Jadi, relawan-relawan ini saya beri kantong plastik besar dan karung bekas untuk disebarkan ke rumah-rumah. Masing-masing rumah diberikan dua kantong plastik, yang satu khusus untuk menampung sampah plastiknya. Setiap Jumat kita menggiatan lagi agenda Jumat bersih dan remaja masjid juga kita rekrut menjadi relawan MPL itu. Dari situ sampah terkumpul.

Kita juga memfasilitasi alat cetak pavingnya. Jadi, sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang itu menjadi bahan baku paving block. Satu paving block itu membutuhkan satu setengah sampai dua kilo sampah plastik yang tidak bisa diapa-apain lagi. Sementara sampah plastik yang bisa didaur ulang kita pisahkan untuk diolah lagi dan dijual.

Dari pembuatan paving block itu akhirnya masyarakat mulai ada kepedulian terhadap sampah. Mereka tidak menyangka sampah plastik bisa dibuat menjadi paving block. Padahal, sebenarnya kalau kita lihat di YouTube dan media sosial lainnya sudah banyak kelompok masyarakat yang membuat paving block dari plastik, tetapi di Cibatu belum ada.

Anggota MPL Komunitas Alam Loji sekitar 25 sampai 30 orang, tapi yang aktif langsung terjun ke lapangan hanya separuhnya. Itu karena namanya relawan, sehingga mereka juga ada aktivitas lainnya. Jadi harus diatur-atur waktunya. Tapi tetap ada pembagian tugas dalam satu minggu sekali untuk siapa yang mengambil sampah dari rumah-rumah, siapa yang membakar sampah menjadikan paving block, siapa yang mensortir sampah untuk diolah dan dijual.

 

Apakah pembuatan paving block ini menghasilkan nilai rupiah? Berapa yang didapat oleh masyarakat dan juga dari pengelolaan sampah plastik lainnya?

Kalau secara komersil paving block itu belum bisa dijual karena jumlahnya masih belum banyak, belum ribuan. Di sini kita ingin memberdayakan masyarakat terlebih dahulu. Pertama, masyarakat disiplin dulu untuk memisahkan sampah dari dapurnya langsung karena ketika dari dapurnya sudah bercampur, maka kita akan lama lagi untuk mengolahnya. Ada kesadaran masyarakat untuk memisahkan.

Kedua, masyarakat disiplin untuk menyetorkan dan mengumpulkan sampah. Kemudian relawan disiplin untuk mengambil dari tiap-tiap rumah dibawa ke penampungan sementara untuk diolah lebih lanjut. Ketika kita mulai menggiatkan kegiatan produksi paving block, sudah mulai ada perhatian dari pemerintah dan organisasi kemasyarakatan yang lainnya. Akhirnya kita bisa mendirikan lagi satu MPL di Limbangan karena di sana lebih banyak lagi sampahnya.

Jadi, pionir MPL nya di Loji Kecamatan Cibatu,  kemudian ada lagi di Pasir Waru Kecamatan Limbangan, dan tiga bulan yang lalu sudah berdiri MPL di Kecamatan Sukawening, Desa Kampung Waru. MPL ini sudah meng-cover tiga Kecamatan sebagai rintisan pengembangan pengelolaan sampah.

Kapan muncul adanya rumah sampah? MPL itu fungsinya hanya kampanye untuk mengajak masyarakat mengumpulkan sampah, memilah sampah, dan membuat paving block. Sementara sampah plastik hasil sortiran mau dikemanakan? Akhirnya awal tahun 2001 saya mendirikan Rumah Sampah Salarea untuk menampung dan mengolah sampah-sampah plastik yang bisa didaur ulang, sehingga bisa memiliki nilai ekonomis.

Sementara itu paving block sudah banyak tawaran dari alumni, ada yang sampai pesan seribu. Ketika ada suatu agenda dan dihadiri oleh Bupati Garut, dia tertarik dan menanyakan berapa banyak yang bisa diproduksi oleh MPL. Saya mengatakan bahwa saat ini belum bisa banyak karena baru tahap rintisan dan baru ratusan produksinya. Tapi kalau sudah digabung-gabung, bisa jadi banyak.

Satu paving block saja bisa menyerap satu sampai satu setengah kilo. Kalau kita membuat seribu paving block maka sudah satu ton sampah plastik yang bisa dicegah masuk ke sungai dan jalan raya. Sebenarnya saya tidak akan menjual paving block-nya, tapi itu akan dipasang di tempat-tempat tertentu sebagai kampanye bahwa sampah itu masih bisa diolah dan bisa dimanfaatkan sebagai paving block.

 

Apa saja kegiatan rumah sampah Salarea?

Ketika MPL berbasis komunitas alam itu sudah hadir di tiga kecamatan dengan sejumlah relawan yang tergabung 75 orang, maka otomatis sampah yang dikumpulkan semakin banyak, khususnya sampah plastik yang bisa didaur ulang seperti botol air mineral, botol shampo, dan  lainnya. Itu kita olah lagi menjadi biji plastik.

Alhamdulillah, aktivitas yang tadinya rumah sampah itu tidak memiliki tempat, kita mendapat bantuan fasilitasi dari PT. Jaminan Kredit Indonesia (JAMKRINDO) karena melihat aktivitas MPL dan rumah sampah itu positif terhadap kegiatan pengendalian masalah sampah. Akhirnya Rumah Sampah Salarea difasilitasi oleh JAMKRINDO untuk membangun rumah sampah induknya di Desa Cikoang. Kita juga membuat mini rumah sampah yang fungsinya sebagai cabang dari rumah sampah di MPL Limbangan dan MPL Kecamatan Sukawening.

Kalau di pengepul, sampah plastik itu dihargai satu kilo sekitar Rp 3.000, tapi kalau dicacah  atau diolah lagi sesuai dengan jenis-jenisnya bisa dihargai satu kilo mencapai Rp 9.000. Ada nilai ekonominya.

Apa yang akan didapatkan langsung oleh masyarakat? Secara ekonomi masyarakatnya tidak mendapatkan uang dari pengumpul sampahnya karena yang bekerja di sini adalah relawan. Tapi hasil penjualan dari sampah itu dikembalikan lagi ke MPL untuk dana kas operasional dan insentif bagi para relawan. Misalnya, mendapat 25 karung sampah plastik atau 25 kilo, rumah sampah akan membeli dari MPL dan uangnya akan masuk ke kas MPL untuk kegiatan-kegiatan mereka, selain kita juga mensubsidi kegiatan operasionalnya.

Ke depan, rumah sampah itu dari hasil penjualan sampah olahnya bisa mensubsidi kegiatan beasiswa untuk anak yatim karena tingkat pendidikan di Garut masih rendah. Rata-rata banyak yang putus sekolah dan banyak anak yatim piatu, sehingga kita menyisihkan dari penjualan sampah itu untuk subsidi beasiswa anak yatim.

Kemudian kita juga ada program tukar sembako dengan sampah. Jadi, untuk masyarakat yang miskin kalau mempunyai sampah bisa datang ke rumah sampah untuk menukarnya dengan beras, minyak, atau sembako lainnya. Bahkan kita sedang menginisiasi bagaimana penjualan sampah dari masyarakat itu bisa dikonversi menjadi token listrik. Ini sudah di uji coba di beberapa kecamatan di Garut dan cukup berhasil di bawah binaan beberapa universitas.

Kita juga ingin program-program pengelolaan sampah yang mengambil sisi ekonominya itu bisa kembali dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tidak mampu. Tapi bagi masyarakat yang mampu dan mempunyai sampah atau rongsokan barang bekas, kita menampung sedekahnya. Jadi, bagi masyarakat yang mampu kita menampung sedekahnya. Sedangkan bagi yang tidak mampu kita beli sampahnya dengan di tukar sembako.

 

Dengan adanya MPL dan rumah Salarea ini, apakah problem sampah di daerah Cibatu Garut bisa terselesaikan atau teratasi?

Karena masalah sampahnya itu sudah akut, maka dengan posisi simpul-simpul MPL yang baru ada satu di satu kecamatan, sementara dalam satu kecamatan bisa ada 30 Desa, itu masih jauh api dari panggang kalau ingin mengefektifkan menyerap sampah lebih banyak lagi.

Namun, setidaknya dengan tekat kita membangun simpul-simpul MPL dengan satu brand, maka ini menjadi satu ekosistem relawan yang menangani masalah sampah dengan pendekatan yang sama, atau istilahnya secara berjamaah.

Simpul-simpul itu satu sama lain saling terintegrasi di tiap daerah, kegiatannya sama, dan dikelola dari pusat kita di Salarea Foundation dan rumah sampahnya, baik secara sosialisasi, kampanye, juga aktivitas penyerapan sampah di masyarakatnya. Ketika semakin banyak simpul-simpul MPL yang berdiri, maka otomatis sampah yang bisa diserap juga semakin banyak.

Memang tidak semudah itu menggerakkan masyarakat. Saya pernah merekrut tiga orang, tapi tiga itu hanya saat awal saja semangat kemudian berikutnya capek sendiri karena mengelola sampah hanya begitu-begitu saja dan berulang-ulang. Jadi, pasti semangat dan dinamikanya naik turun. Jadi dibangun komunitas untuk pendekatannya karena agar bisa saling melengkapi satu sama lain, sehingga semangatnya tetap bisa dipertahankan untuk kesinambungannya.

Pengelolaan bank sampah yang sifatnya mandiri ataupun hanya sektoral saja banyak yang tidak bisa bertahan lama, kecuali memang mereka bisnis sampah dari rongsokan maka bisa bertahan karena dia jual beli sampah. Tapi kita ada unsur kampanye, edukasi, dan unsur pemberdayaan yang lebih kompleks dan rumit pendekatannya, daripada sebatas bisnis rongsokan dimana beli putus saja sudah selesai. Ada sampah dibeli, kalau tidak ada tidak apa-apa.

Kalau kita bagaimana mendisiplinkan masyarakat, memberdayakan relawan-relawan untuk tetap menjaga semangat dan kepeduliannya, untuk tetap berkegiatan lingkungan, sehingga ini menjadi motor penggerak yang terus berputar dan berpacu. Mudah-mudahan ini bisa menular ke wilayah-wilayah yang lain. Aktivitas ini baru satu tahun berjalan dan Alhamdulillah saya mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak baik pemerintah lokal, maupun swasta.

Ada satu yang belum bisa kita tangani adalah masalah sampah basahnya. Masalah sampah basah itu membutuhkan tempat yang khusus, alat-alat yang khusus, dan teknik-teknik penanganan khusus. Dampak lingkungan ketika mengolah sampah yang basah itu lebih rumit daripada mengolah sampah plastik yang hanya mencuci, memisahkan, dan menggiling sampai bentuk biji.

Sampah basah itu potensial untuk mendapatkan pendapatan juga dengan cara diolah menjadi kompos.

Salah satu tahap ketika kita sudah bisa mengefektifkan rumah sampah dan MPL, serta membangun simpul-simpul MPL di berbagai kampung, berbagai desa, dan kecamatan adalah kita ingin masuk ke pengolahan sampah basah. Itu karena kebutuhan sampah organik di kecamatan Cibatu, Garut juga tinggi karena sebagai sentra pertanian dan perkebunan. Kebutuhan tersebut masih banyak didatangkan dari luar karena lokal belum bisa memanfaatkan sampah-sampah itu. Sebenarnya banyak sisi ekonomi yang bisa dimanfaatkan dari keberadaan sampah.

Kita sebagai relawan mentalnya harus benar-benar mental baja, perlu pengorbanan dan pengabdian di dalamnya. Jangan berharap saat kita tiap minggu turun ke lapangan untuk mengumpulkan sampah, maka langsung mendapatkan uang jatuh dari langit dan bisa dinikmati. Tapi setidaknya semangat ini yang membedakan temen-temen relawan dengan anak-anak muda yang sibuk main HP, sibuk main motor kebut-kebutan, dan segala macam. Mereka mau berbau -bauan mengumpulkan sampah.

Satu sisi lagi, ibu-ibunya pun kita berdayakan. Sampah sampah plastik khususnya dari bungkus kopi itu kita sulap menjadi kerajinan tangan berupa tempat tisu, tas, dompet, dan segala macam. Itu sedang kita upayakan dengan baru dua kali pelatihan dan kita menghasilkan beberapa Ibu-Ibu yang sudah mahir.

Setelah menampung banyak-banyak produksi tadi, semula kita akan mengelar lelang sampah dan kreativitas sampah dalam sebuah pameran. Tapi karena PPKM, maka tidak bisa. Itu karena kalau menjual paving block seharga Rp 7.000 ke masyarakat, maka itu tidak akan laku. Tapi kalau menjual paving block ke pejabat, tokoh masyarakat, dan pengusaha bisa dengan harga mahal. Ini bukan mengenai harga paving block, tapi lebih ke menghargai partisipasi masyarakat yang sudah membantu pemerintah dalam mengurangi persoalan sampah.

Previous
Previous

Next
Next