Tips Menyusui Bayi di Masa Pendemi Covid-19

Salam Perspektif Baru,

Hari ini kita membahas menyusui bayi di masa pandemi COVID-19. Narasumber kita adalah Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar, yang juga merupakan Konsultan Laktasi bersertifikat Internasional.

Menurut Nia Umar, bagi Ibu yang mengidap positif COVID-19 bergejala ringan, maka menyusui sebaiknya tetap dipertahankan. Jadi, tetap menyusui anaknya dengan catatan menjalankan protokol kesehatan dengan ketat yaitu masker tidak boleh lepas, cuci tangan sebelum dan sesudah menyusui, serta semua permukaan yang disentuh oleh ibu harus dibersihkan dengan cairan disinfektan.

Bagi Ibu-Ibu yang gejalanya lebih berat yang mungkin tidak bisa bersama bayinya, maka Ibu bisa memerah ASI dan ASI tersebut bisa diberikan kepada anggota keluarga atau pengasuh yang dalam kondisi sehat untuk diberikan kepada anaknya. Jangan sampai saat memerah ASI tidak memakai masker dan tidak cuci tangan pakai sabun karena itu juga bisa berisiko. Jadi protokol kesehatan harus dilakukan dengan baik.

Selama masa Pandemi COVID-19, AIMI tetap melakukan pendampingan konseling, tapi konselingnya secara teleconceling, yaitu telepon dan video call. Itulah yang dilakukan oleh para konselor menyusui di AIMI yang ada di seluruh penjuru Nusantara.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Nia Umar.

Pada pekan pertama Agustus terdapat peringatan hari besar internasional, yaitu Pekan Menyusui Sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 hingga 7 Agustus. Pekan Menyusui Sedunia merupakan cara yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) dan UNICEF guna mendukung Ibu menyusui di seluruh dunia untuk mengoptimalkan kesehatan Ibu dan anak.

 

Namun kondisi pandemi COVID-19 saat ini telah mengakibatkan terjadinya perubahan pola hidup dan banyak pelayanan kesehatan rutin yang terganggu, seperti tidak beroperasinya Posyandu, serta pelayanan konseling Ibu hamil dan menyusui di Puskesmas banyak yang tutup. Apakah pemberian ASI eksklusif selama masa Pendemi COVID-19 mengalami penurunan atau malah sebaliknya?

Memang benar sekali bahwa pandemi COVID-19 mengubah banyak struktur dinamika di dalam masyarakat, khususnya untuk Ibu menyusui. Dukungan menyusui ini menjadi lebih krusial dan menjadi sangat sensitif karena kondisinya adalah menyusui seringkali membutuhkan dukungan bantuan yang sifatnya tatap muka yang bisa melihat posisi bayi menyusui, dan memastikan posisinya benar.

Kemudian pelayanan-pelayanan di tempat persalinan tidak mungkin juga berhenti karena pandemi, tidak mungkin kita tidak membantu Ibu melahirkan. Jadi pelayanan-pelayanan ini tetap harus ada, tetapi tentunya harus mengedepankan aspek-aspek baby friendly atau sayang bayi supaya bayi tetap mendapatkan kesempatan bisa menyusu pada ibunya, serta para ibu masih sempat dan masih diberdayakan untuk bisa menyusui anaknya.

Sesuai dengan tema Pekan Menyusui Sedunia tahun ini, menyusui adalah tanggung jawab bersama, jadi penting sekali untuk kita tekankan ke masyarakat bahwa sebenarnya menyusui itu adalah hak seorang Ibu, dan menyusu adalah hak seorang anak.

Ketika ada hak maka ada kewajiban. Jadi, kewajibannya bukan ada di Ibu tetapi kewajibannya ada pada orang-orang yang ada di lingkaran Ibu-Ibu tersebut. Mulai dari pasangan, keluarga, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, masyarakat, perusahaan, sampai ke pemerintah.

Jadi, penting sekali kita memastikan orang-orang yang ada di sekitar Ibu ini berkewajiban bagaimanapun caranya untuk bisa mengupayakan agar pasangan Ibu dan anak ini tidak terpisahkan dan tidak kesulitan untuk bisa menyusui dan menyusu.

 

Saat masa pandemi bisa saja antara seorang Ibu dan bayinya terpisah, misalnya, Ibunya terkena COVID-19. Apakah masih tetap bisa dilakukan upaya untuk menyusui tersebut?

Menurut rekomendasi badan kesehatan dunia seperti WHO, UNICEF, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, bahkan Ikatan Dokter Anak Indonesia, menyatakan bahwa menyusui itu tetap bisa dilanjutkan dengan catatan-catatan penting yang harus diperhatikan.

 

Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan?

Kalau Ibu yang mengidap positif COVID-19 bergejala ringan, maka menyusui sebaiknya tetap dipertahankan. Jadi, tetap menyusui anaknya dengan catatan menjalankan protokol kesehatan dengan ketat yaitu masker tidak boleh lepas, cuci tangan sebelum dan sesudah menyusui, serta semua permukaan yang disentuh oleh ibu harus dibersihkan dengan cairan disinfektan.

Ini penting sekali untuk diupayakan karena sudah jelas ASI tidak menularkan COVID-19. Bahkan ada banyak sekali studinya di luar negeri bahwa ternyata di dalam ASI itu banyak antibodi yang melindungi anak dari COVID-19. Yang menularkan adalah droplet, sehingga penting untuk Ibu tetap bermasker, tidak memegang mata atau area muka, dan lebih sering cuci tangan pakai sabun. Jadi, protokol kesehatan (Prokes) ketat itu penting.

Pada Ibu-Ibu yang gejalanya lebih berat yang mungkin tidak bisa bersama bayinya, maka Ibu bisa memerah ASI dan ASI tersebut bisa diberikan kepada anggota keluarga atau pengasuh yang dalam kondisi sehat untuk diberikan kepada anaknya. Jangan sampai saat memerah ASI tidak memakai masker dan tidak cuci tangan pakai sabun karena itu juga bisa berisiko.

Jadi, tidak ada rekomendasi yang menghalang-halangi atau justru menghentikan menyusui. Justru menyusui itu penting sekali supaya daya tahan tubuh anak tetap baik. Ketika ibu dalam kondisi gejala ringan, sebenarnya pemisahan justru akan menurunkan daya tahan tubuh ibu dan daya tahan tubuh anak karena kalau dipisah pasti akan rewel anaknya dan ibunya kepikiran. Jadi, sebenarnya memang tidak perlu dipisahkan, tetapi Prokes dijalankan dengan baik.

 

Bagi yang bergejala berat harus lebih ketat protokol kesehatannya. Dalam hal ini seandainya gejala berat yang terjadi pada Ibu berdampak pada ASI yang tidak keluar, apakah bisa bayi tersebut mendapatkan donor ASI?

Ini banyak sekali pertanyaan yang masuk terkait donor ASI. Memang selama pandemi ini AIMI mendapatkan pertanyaan terkait donor ASI lebih banyak dan lebih sering karena kondisinya memang banyak juga Ibu hamil yang melahirkan bayi prematur, bahkan berita kurang baiknya adalah banyak Ibu-Ibu yang wafat juga ketika melahirkan. Akibatnya banyak anak-anak yang piatu selama pandemi ini. Jadi, permintaan donor ASI benar-benar bertambah di AIMI.

Sebenarnya donor ASI ini bisa membantu, tapi sifatnya hanya sementara dan harus dilihat kasus per kasusnya. Tidak bisa dipukul rata bahwa semua orang yang merasa ASI-nya kurang, kemudian mencari donor ASI, tidak seperti itu.

Biasanya kalau yang merasa ASI-nya kurang, atau ternyata ibunya mengalami kondisi berat sehingga tidak bisa memerah, maka perlu didampingi keluarganya oleh konselor menyusui dan dilihat strategi seperti apa baiknya untuk kondisi ini. Itu karena kita tidak melakukan skrining kesehatan bagi pendonor, kita juga tidak melakukan tes skrining dari ASI perahnya, sehingga kita tidak pernah bisa tahu apa yang terbawa di dalam ASI itu. Jadi, sebaiknya harus berhati-hati.

Sampai saat ini kita belum memiliki bank ASI, jadi sebaiknya donor ASI ini disikapi dengan hati-hati. Saran saya adalah cobalah melalui fasilitas kesehatan. Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sudah ada rumah sakit pemerintah yang menyalurkan dan menerima donor ASI, tetapi harus menjadi pasien di situ. Yang saya tahu seperti di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), bayi-bayi yang lahir prematur di Perinatologi RSCM biasanya mereka menerima donor ASI, dan RSCM menerima ASI-nya dengan menskrining ASI perah yang didonorkan.

Jadi, saran saya sebaiknya tetap berhati-hati. Kalau memang Ibunya wafat dan perlu mencari donor ASI, sebaiknya dicari dari keluarga terlebih dahulu. Barangkali ada keluarga yang bersedia menjadi Ibu susuan, itu akan jauh lebih baik karena kita jadi tahu kondisi kesehatan si Ibu. Kalau donor ASI untuk anak-anak yang piatu itu tidak mungkin kita akan meminta dari orang terus menerus sampai anak ini berumur 2 tahun. Tapi kalau dia mendapat ASI dari Ibu susuan, maka ini akan lebih visibel jangka panjangnya.

Apakah ketika Ibu susuan tersebut akan mendonorkan ASI atau menyusui harus di skrining tes PCR juga untuk memastikan dia bebas dari COVID-19?

Kalau untuk ASI-nya sendiri, itu tidak menyebarkan COVID-19. Jika Ibunya memerah dengan Prokes yang baik, maka seharusnya tidak membawa virus COVID-19. Tetapi yang di khawatirkan skrining penyakit yang lain, contohnya HIV dan Hepatitis C. Itu yang harus diperhatikan. Jadi penyakit itu yang menjadi catatan.  

Idealnya memang sebaiknya skrining supaya enak sama enak, karena kadang-kadang ada orang yang tidak tahu bahwa ternyata dia sudah mengidap penyakit itu. Tetapi jika tidak memungkinkan dan karena ini keluarga, paling tidak dianggap sebagai upaya untuk anak bisa tetap mendapatkan ASI. Ini kenapa saya lebih menyarankan keluarga, paling tidak kita bisa tahu kondisi Ibu susuan selama ini sehat dan juga tidak mengidap penyakit apapun. Tapi memang idealnya adalah skrining itu baik.

 

Masa pandemi ini membuat banyak kendala dalam menyusui seperti misalnya kalau Ibunya meninggal, maka si bayi akan kehilangan ASI yang dia butuhkan. Tapi di satu sisi Indonesia belum mempunyai Bank Donor ASI. Apa yang menyebabkan Indonesia belum mempunyai Bank Donor ASI?

Itu karena banyak faktor. Mengenai donor ASI ini memang menjadi isu yang bersinggungan di banyak sektor, banyak isu-isu yang implikasinya terkait isu sosial budaya, kepercayaan, agama, dan masyarakat. Jadi donor ASI ini menjadi isu yang sedikit sensitif. Untuk itu memang ada tantangan-tantangan khusus.

Dalam hal ini yang paling krusial adalah dari perspektif agama karena kita adalah mayoritas beragama Islam. Di Islam ada istilah Ibu susuan, anak susuan, dan saudara sepersusuan. Saudara sepersusuan ini menjadikan kompleksitas donor ASI dan bank ASI menjadi lebih menantang.

Di dunia, Bank ASI bukan hal yang aneh, atau bukan hal yang tidak lazim. Di beberapa negara lain sudah banyak. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Finlandia, Swedia, Bank ASI adalah hal yang jamak. Jadi, mereka mengumpulkan ASI donor dari para ibu dan dimasukkan dalam satu wadah besar, dan dipasteurisasi. Kemudian itu ditempatkan dalam wadah kecil-kecil dan diserahkan ke ibu-ibu yang mendapatkan rekomendasi.

Jadi, tidak bisa langsung datang ke banknya dan langsung meminta. Ini seperti donor darah, jadi harus ada surat yang menyatakan bahwa memang bayi ini perlu donor. Setelah itu baru bisa datang untuk mengambil.

Kalau di negara seperti Brazil, Vietnam, Singapura yang sudah memiliki sentra-sentra seperti ini beda caranya, mereka mengumpulkan donor ASI dari satu Ibu. Misalnya, saya akan mendonorkan ke bank ASI di kota Rio, Brazil, maka saya akan di data berupa nama saya, menyumbangkan berapa, kemudian disimpan oleh mereka untuk di-skrining. Tentu sebelum itu saya tes kesehatan terlebih dahulu. Semua Bank ASI akan meminta tes kesehatan, kemudian ASI saya diperiksa oleh mereka dan mereka akan mencarikan pasangan penerima ASI saya.

Jadi, lebih one on one dari satu Ibu ke pasangan Ibu lain, atau satu pasang anak dan ibu ke pasangan ibu dan anak yang penerimanya. Ini sama dengan Singapura dan Vietnam juga seperti itu. Sebenarnya ini yang visible dengan Indonesia, kita bisa mengadopsi yang ini karena kalau yang dicampur jadi satu, maka isu Ibu susuannya jadi bingung, ini anaknya siapa. Kalau yang dari Brazil modelnya itu bisa ditiru.

Berita baiknya memang saat ini Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan dan AIMI juga terlibat di dalamnya, sedang menyusun rancangan Peraturan Kementerian Kesehatan terkait dengan donor ASI. Harapannya nanti SOP-nya, protokolnya dan cara-caranya bisa lebih detail diatur dan banyak fasilitas kesehatan. Harapannya memang ini semua nanti bisa di-pool di fasilitas kesehatan. Jadi, fasilitas kesehatan itu bisa menerima donor ASI, bisa menskrining seperti di rumah sakit Rio, Brazil.  

Jadi, semua itu diatur sedemikian rupa keamanannya sehingga donor ASI ini lebih terjamin, lebih memudahkan, dan juga membantu banyak orang dan tepat sasaran. Kita tunggu saja, semoga rancangan peraturan Kementerian Kesehatan tentang donor ASI bisa segera digulirkan. Ini supaya kita juga bisa mendapatkan manfaatnya terutama untuk anak-anak yang lahir dalam kondisi yang cukup sulit, seperti bayi-bayi prematur dan bayi-bayi yang piatu. Bantuan ini akan sangat dibutuhkan sekali.

 

Saat ini belum terbentuk Bank ASI di Indonesia. Aapa yang dilakukan oleh AIMI untuk membantu bayi-bayi yang tidak bisa mendapatkan ASI, baik kehilangan Ibu maupun ibunya tidak bisa menghasilkan ASI yang cukup untuk dia?

Pertanyaannya bagus sekali karena memang banyak sekali terjadi di masyarakat. Setiap kali ada ibu yang wafat atau ibu yang melahirkan, pasti dalam hitungan menit salah satu pengurus atau anggota relawan AIMI mendapat pesan melalui whatsapp. Sekarang ini AIMI sudah ada di 18 propinsi dan di 10 kota tingkat Kabupaten di seluruh Indonesia. Relawan kami sudah hampir 1.000 orang, kira-kira begitu estimasinya.

Jadi, banyak sekali pesan-pesan permohonan yang masuk ke AIMI. Yang biasanya kami lakukan adalah kami mengatakan kepada siapapun yang mengirimkan pesan, Jika kami bisa dihubungkan dengan keluarga yang membutuhkan ASI ini, kami akan bantu dampingi untuk konseling terlebih dahulu.

Konseling dalam artian kami jelaskan bahwa donor ASI pada kondisi Ibu yang wafat itu memang tidaklah mudah. Sebaiknya mencari keluarga terdekat terlebuh dahulu karena tidak mudah mencari orang yang mempunyai stok ASI berlimpah dan mau terus-menerus membantu. Kita harus realistis.

Kalau pada kondisi Ibu yang melahirkan bayi prematur, dan ibunya sedang dalam pemulihan, biasanya kami juga bantu mendampingi supaya ibunya di encourage, disemangati untuk memerah secara rutin. Jadi, kami konseling bagaimana cara memerahnya, bagaimana menyimpan ASI perahnya, dan bagaimana memberikan ASI perahnya dengan harapan ketika nanti Ibunya sudah bertemu dengan bayinya bisa banyak skin to skin, bisa menjalankan perawatan metode kanguru (digendong di dada Ibunya).

Jadi, kami melakukan pendampingan konseling. Dalam kondisi pandemi ini kami melakukan konselingnya secara teleconceling, yaitu kami telepon dan video call. Itulah yang dilakukan oleh para konselor menyusui di AIMI di seluruh penjuru Nusantara.

 

Di masa pandemi ini konseling dilakukan secara virtual. Apakah banyak yang mau tetap melakukan konseling secara virtual. Tidak semua masyarakat Indonesia terbiasa atau mempunyai akses internet. Kedua, juga mungkin mereka tidak mudah memahami dibandingkan secara tatap muka?

Memang itu kendala dan tantangan yang kami rasakan sekali. Tapi memang kondisinya kami sendiri menyadari, yaitu untuk bisa datang dan bertemu dalam kondisi pandemi ini sangatlah tidak ideal. Itu karena kami juga tidak tahu, barangkali bisa jadi saya sedang positif COVID-19 tapi tidak bergejala, kemudian bertemu Ibu yang baru melahirkan. Itu bisa berisiko untuk menulari.

Jadi, menurut kami, ini memang jalan yang tidak mudah tetapi perlu diupayakan. Kami bersyukur bahwa pemerintah sudah melihat telekonseling ini menjadi salah satu upaya,  walaupun memang benar sinyal telepon dan paket data ini tidak semua bisa akses. Mudah-mudahan ini bisa menjadi tugas bersama juga untuk bisa menyamaratakan akses internet untuk banyak masyarakat karena memang pada kondisi seperti ini justru sangat dibutuhkan.

Saya rasa juga yang penting adalah kalau dari AIMI kami menggaungkan lebih besar lagi tentang perlindungan menyusui ini. Harapannya, ketika misalnya kita bisa bekerja sama dengan Puskesmas, para tenaga kesehatan yang memang terjun langsung di masyarakat yang ada di garis depan itu bisa terpapar informasinya, dan mereka tahu mencari bantuan ASI itu ke mana.

Jadi, yang kami bisa lakukan adalah mencoba menyampaikan informasi secara estafet. Kami berusaha terlibat dengan Pemerintah dan Dinas Kesehatan setempat supaya upaya-upaya advokasi kami untuk promosi perlindungan dan dukungan untuk menyusui bisa bergulir. Kami tahu pemerintah dan tenaga kesehatan yang ada di garda depan itulah yang memang menjadi kuncinya. Harapan kami adalah ketika mereka tahu AIMI bisa melakukan ini paling tidak mereka tahu bisa menghubungi kita kemana.

Previous
Previous

Next
Next