Monolog Negeri Sarung
Salam Perspektif Baru,
Kembali lagi bersama saya Inaya Wahid. Seperti biasanya, saya mempunyai tamu yang menarik sekali. Hari ini saya akan ditemani oleh seorang kiai muda yaitu K.H. Muhammad Shalahuddin Al Warits dari Pondok Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk Sumenep. Bulan lalu, dia menulis naskah untuk sebuah pertunjukan yang judulnya “Monolog Negeri Sarung.”
Shalahuddin Al Warits mengatakan dia menulis Dunia Sarung dari perspektif berbeda, yaitu dari seorang penjual sarung keliling atau kalau di dalam tradisi kami itu Mbok Bakul sarung, yang biasanya dia datang ke rumah-rumah, ke rumah Kyai, ke rumah Bu Nyai, bertamu sambil menjajakan sarung. Baik itu sarung yang umum atau kadang-kadang sarung-sarung khusus dari tenunan masyarakat tertentu, atau bisa juga sarung batik dan semacamnya, baik untuk perempuan untuk laki-laki, juga biasanya datang ke pondok-pondok santri.
Kita melihat maraknya kekerasan seksual itu yang disimbolkan dengan dunia sarung, yang sebenarnya itu masalah apa yang ada dibalik sarung, bukan masalah sarungnya. Sarung itu hanyalah seperti label, seperti merek yang sebenarnya fungsinya bukan hanya menutupi tetapi juga menjaga. Jadi, kalau orang yang pakai sarung seharusnya dia menunjukkan sesuatu yang bukan hanya disimbolkan, tapi betul-betul dia mampu untuk menjaga apa yang ditutupi oleh sarung itu.
Dia ingin menjelaskan tentang pesantren itu sendiri, pesantren sudah berubah, ada transformasi ketika bentuknya berubah, polanya berubah, maka masalah-masalahnya juga berubah. Saya yakin kalau pesantren itu memegang tradisinya, hal-hal semacam itu tidak akan pernah terjadi.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Inaya Wahid sebagai pewawancaradengan narasumber K.H. Muhammad Shalahuddin Al Warits.
K.H. Muhammad Shalahuddin Al Warits biasa dipanggil dengan Ra Mamak, selain sebagai Kyai pengasuh dari Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, juga seorang penulis. Bulan lalu, dia menulis naskah untuk sebuah pertunjukan yang judulnya “Monolog Negeri Sarung.”
Apakah boleh diceritakan bagaimana tiba-tiba bisa sampai menulis naskah, dan sebenarnya pertunjukannya kemarin itu tentang apa?
Terima kasih Inaya, saya senang sekali bisa mengobrol di Perspektif Baru ini. Bulan lalu naskah yang saya tulis ditampilkan di Makara Art Center Universitas Indonesia, dan penampil atau aktornya yaitu Inaya Wahid. Saya merasa terhormat sekali. Saya juga tidak menyangka kalau naskah monolog itu bisa tampil dan dimainkan oleh Inaya.
Saya diajak oleh jaringan teman-teman dunia santri di Makara Art Center, ada Mas Sastro, Mas Yayat, Cak Tarno, dan rekan-rekan lainnya di sana. Jadi, saya juga senang karena itu tidak jauh dari dunia saya. Saya senang saja disuruh menulis monolog itu, yang sebenarnya tidak butuh waktu yang lama untuk menuliskan karena mungkin itu sebagian dari pengalaman sehari-hari.
Tentang apa naskah Ra Mamak tersebut?
Karena yang diminta mengenai dunia sarung, tiba-tiba saya terpikir untuk menulis dari perspektif berbeda, yaitu dari seorang penjual sarung keliling atau kalau di dalam tradisi kami itu Mbok Bakul sarung, yang biasanya dia datang ke rumah-rumah, ke rumah Kyai, ke rumah Bu Nyai, bertamu sambil menjajakan sarung. Baik itu sarung yang umum atau kadang-kadang sarung-sarung khusus dari tenunan masyarakat tertentu, atau bisa juga sarung batik dan semacamnya, baik untuk perempuan untuk laki-laki, juga biasanya datang ke pondok-pondok santri.
Mbok Bakul ini dengan cara begitu tentu dia banyak pergaulan karena satu pondok itu biasanya dia bisa datang paling cepat setiap minggu sekali saja karena pondok yang lain juga menunggu. Dengan begitu dia banyak pengalaman dan tentu dia mempunyai perspektif tertentu. Tetapi jarang yang mengangkat perspektif itu. Bagaimana sebenarnya perspektif Mbok sarung ini? Karena sibuk melayani pembeli. Tiba-tiba ada ide, ada tawaran untuk menuliskan monolog Negeri Sarung, saya langsung terpikir tentang Mbok Bakul sarung ini.
Apa yang menarik dari Mbok Bakul sarung ini?
Seperti yang saya sampaikan tadi karena banyaknya pengalaman itu. Saya melihat kegigihannya, dan dia bisa dengan luwes. Biasanya penjual itu ada tempat khusus, misalkan mereka menjajakan makanan, maka menjajakan makanannya itu di tempat-tempat tertentu yang diizinkan oleh pengurus. Tapi kalau Mbok Bakul sarung ini kadang-kadang lebih khusus karena barangnya juga khusus. Jadi, dia bisa masuk ke kamar santri, dia bisa di tempat-tempat tertentu.
Di situ saya melihat bukan hanya kegigihan, tapi juga pasti banyak pengalaman yang terserap, dan kalau dilihat dari sisi dia kira-kira itu seperti apa? Karena pasti dia mempunyai banyak cerita sebenarnya.
Kadang-kadang Mbok Bakul sarung itu dalam pengalaman kami memang menceritakan sesuatu. Misalnya, “Saya tadi bertemu dengan Kyai ini.” Kemudian dia menceritakan ini dan itu yang kadang-kadang berbau mistik, kadang-kadang mengenai isu-isu tertentu. Karena dia bisa berjumpa dengan Kyai, sementara kami santri itu jarang sekali bertemu Kyai. Mungkin hanya ikut sholat berjamaah, jarang sekali bisa bercakap-cakap. Sementara Mbok Bakul ini bisa setiap minggu bertemu dengan Kyai.
Di dalam naskahnya, Ra Mamak menceritakan ada banyak sekali kritikan sebenarnya. Kritikan baik itu dalam dunia pesantren sendiri maupun juga dalam dunia secara sosial, bahkan ada yang berbau politik, dan segala macam. Kalau menurut Ra Mamak, apa sebenarnya kritikan yang paling besar yang membuat Ra Mamak menjadi concern saat ini dalam dunia pesantren, sehingga merasa perlu dimasukkan dalam naskah monolog Negeri Sarung?
Kebetulan juga karena bulan lalu merespons dari banyaknya isu tentang adanya dugaan kekerasan seksual yang ada di lingkungan pesantren, yang barangkali itu terjadi tidak hanya di pesantren tapi di banyak lembaga-lembaga, baik itu pendidikan bahkan mungkin lembaga pemerintah juga.
Di lembaga-lembaga apapun kekerasan seperti itu bisa terjadi, tetapi karena khusus di ranah pendidikan dan saya juga aktif di sana, maka rasanya saya harus mengambil sikap, ada semacam panggilan, ini harus didudukan, harus diletakkan di atas meja, dilihat dan juga dibicarakan dengan lebih terbuka untuk kita mengevaluasi diri sendiri, mengevaluasi kalangan pendidikan.
Itu karena kalau pendidikan saja sudah seperti itu, bagaimana kemudian yang lain. Juga kita ingin melihat sebenarnya pesantren-pesantren itu bagaimana sikapnya dengan hal ini? Apakah membiarkan ataukah seperti apa.
Saya kebetulan disebut sebagai salah seorang yang dari kecil hidup di dunia pesantren, saya merasa bertanggung jawab untuk menyuarakan itu, dan menunjukkan bahwa kami punya sikap untuk itu. Yang menarik kaitannya dengan Mbok Bakul sarung adalah Mbok Bakul sarung itu diantara cerita-ceritanya, dia itu melambangkan orang yang lebih dewasa dari kebanyakan santri. Jadi, kadang-kadang dia lebih bebas berbicara dengan pengalamannya, kadang juga ada cerita-cerita jorok dan semacamnya, sehingga santri-santri senang dengan itu.
Itu sebenarnya menunjukkan satu perspektif tertentu bahwa di dunia pesantren itu begitu kaya dengan banyaknya pandangan. Itu adalah jalan keluar bagi kita untuk menjawab permasalahan-permasalahan pesantren. Jadi, pandangan-pandangan di luar textbook pesantren itu, di luar box pesantren, bisa-bisa itu solusinya.
Kita melihat maraknya kekerasan seksual itu yang disimbolkan dengan dunia sarung, yang sebenarnya itu masalah apa yang ada dibalik sarung, bukan masalah sarungnya. Sarung itu hanyalah seperti label, seperti merek yang sebenarnya fungsinya bukan hanya menutupi tetapi juga menjaga. Jadi, kalau orang yang pakai sarung seharusnya dia menunjukkan sesuatu yang bukan hanya disimbolkan, tapi betul-betul dia mampu untuk menjaga apa yang ditutupi oleh sarung itu.
Sebenarnya kalau dalam kondisi nyatanya, apakah betul seperti yang kita lihat karena kemarin banyak sekali kasus seperti ada yang mencabuli 13 santrinya, ada yang mencabuli begitu banyak santrinya dan ternyata susah sekali ditangkap karena dia anak Kyai dan segala macam?
Kalau Ra Mamak sendiri yang memang ada dalam dunia pesantren, apakah melihat memang itu gambaran yang banyak terjadi di pesantren?
Saya ingin menjelaskan tentang pesantren itu sendiri, pesantren sudah berubah, ada transformasi ketika bentuknya berubah, polanya berubah, maka masalah-masalahnya juga berubah. Saya yakin kalau pesantren itu memegang tradisinya, hal-hal semacam itu tidak akan pernah terjadi.
Sederhananya adalah pesantren-pesantren yang kuat dengan tradisinya, dimana Kyai itu tidak menyebut dirinya sebagai Kyai, kecuali masyarakat yang memanggilnya. Dia mendirikan pesantren karena masyarakat menitipkan anaknya, memondokkannya, bukan dia membuat bangunannya dulu, baru menarik siswa untuk masuk sebagaimana yang terjadi belakangan.
Kalau dulu, Kyai dulu duduk, dia dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat, masyarakat datang menitipkan anaknya, kemudian dari mulut ke mulut semakin ramai, seperti itu. Ketika seperti itu, tanggung jawab kyainya juga besar karena dititipkan.
Jadi, bukan Pesantren itu menyebarkan brosur. Yang kami lihat karena ada pola berubah saat ini, pesantren itu berubah, yang kita tiba-tiba melihat ada pesantren baru muncul, mungkin bermula dari bangunannya. Jadi, bangunannya dulu daripada orangnya, dari pada Kyai dulu.
Kadang-kadang kita juga sering melihat adanya Kyai yang dia menjadi Kyai dengan label yang kita tidak tahu siapa yang melabelinya. Padahal biasanya yang melabeli Kyai itu adalah masyarakat setempat atau Kyainya juga, Kyai menyebut yang lainnya Kyai juga. Kalau Kyai tidak menyebut dia sebagai Kyai, lalu dia itu siapa?
Dengan adanya perubahan pola di pesantren seperti itu, maka peluang potensi-potensi masalah menjadi semakin beragam. Kalau pesantren yang perlu kita ingat adalah pesantren itu cerminan masyarakat, maka dia itu terbuka sifatnya dengan kondisi masyarakat. Semakin pesantren itu tertutup, maka semakin akan banyak potensi masalah di dalamnya, termasuk masalah kekerasan atau kekerasan seksual.
Jadi, hanya pesantren yang sangat eksklusif yang mungkin seperti itu. Kalau pesantren yang terbuka itu tidak mungkin. Pesantren itu harus menjaga tradisi, dekat dengan masyarakat karena kehadiran pesantren dan Kyai itu untuk menyelesaikan masalah masyarakatnya, bukan menambah masalah di masyarakatnya.
Dengan maraknya kondisi pesantren yang berubah, yang sekarang Kyai nya tiba-tiba menjadi self-proclaimed, kemudian menjadi eksklusif dan akhirnya menimbulkan banyak sekali masalah, termasuk salah satunya adalah kekerasan seksual.
Apa yang sebenarnya bisa dilakukan dan penting untuk dilakukan agar kejadian-kejadian seperti yang kemarin tidak muncul lagi?
Kita memang harus memperkuat dunia pesantren ini dengan berubahnya dan bahkan berpindahnya pemaknaan terhadap pesantren itu sendiri. Kami di dalam beberapa kali diskusi di kelompok diskusi kami di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPAI), salah seorang pembicara bahkan menyebutkan sekarang ada Sudo Pesantren yaitu pesantren yang sebenarnya tidak betul-betul pesantren karena ke luar dari tradisi pesantren yang harus ada Kyainya, harus ada pengajian kitab klasiknya, harus ada masjidnya, santrinya dan sebagainya.
Pembelajaran kitab klasik pesantren ini menjadi penting karena pada sejatinya pesantren ini adalah lembaga, institusionalisasi keulamaan yang dimana kalau dalam tradisi kami Al ulama itu waratsatul anbiya, yaitu ulama ini yang meneruskan nilai-nilai profetik, yang meneruskan apa yang dibawakan oleh Nabi, terus turun temurun dilembagakan menjadi satu lembaga bernama pesantren. Tapi belakangan pesantren ini berubah, ada banyak lembaga yang meniru pesantren.
Misalnya, Boarding School itu jelas bukan pesantren karena di sana hanya ada pondokannya saja, tapi tidak ada unsur-unsur lain yang dikenal di dalam tradisi pesantren, tidak ada Kyainya yang datang lebih dulu, tidak ada pengajian kitab kuning. Kenapa kitab kuning itu penting? Karena kitab itu yang membawa pewarisan profetik, pewarisan dari Nabi.
Jadi, ini penting ketika melihat pesantren dari sudut itu. Di situ kita melihat yang harus kita lakukan. Kalau saya melihat adalah kembali melihat pesantren itu dalam tradisinya, bagaimana pesantren itu lahir dan bagaimana pesantren itu berubah.
Apa yang mungkin berubah, istilahnya itu ada yang tetap, ada yang berubah, ada yang memang selalu stabil, ada yang tsabit, ada yang sifatnya berkembang, ada yang statis, dan ada yang dinamis, ada nilai-nilai dasar dalam pesantren itu yang tidak bisa berubah. Terutama pesantren itu selalu berpegang pada tokoh budayanya yaitu Kyai-Kyainya.
Kalau kita bisa melacak pesantren itu sampai ke sana, saya pikir jaminan bahwa pesantren itu akan memberikan nilai yang diharapkan di masyarakat itu pasti. Jadi, yang harus kita lakukan sekarang ini adalah kembali melongok ke dalam pesantren itu. Kita harus mengenali betul apa yang tetap dan apa yang berubah di dalam pesantren itu.
Kalau kita melihat satu pesantren sebenarnya pesantren itu akarnya atau induknya itu kemana? Kalau sudah jelas induknya pasti anaknya juga jelas, atau kalau memang induknya jelas, tapi kenapa anaknya begini? Pasti ada yang berubah, ada pola yang berubah di sana, pasti ada tradisi-tradisi yang sudah tergerus daripada akarnya itu. Itu yang harus kita lakukan, memang memperkuat institusi pesantren ini dengan apapun, dengan kritik atau dengan apapun yang kira-kira akan membangun itu semua.
Jadi, ternyata pengawasan itu bahwa masyarakatlah yang kemudian mempunyai kekuatan untuk mengecek pesantrennya ini sebenarnya jelas atau tidak. Kita semua bisa belajar sebelum memasukkan anaknya ke pesantren, penting juga untuk para orang tua mengecek seluk beluk pesantren dengan benar, sumbernya seperti apa, induknya bagaimana, sehingga kita akan lebih yakin bahwa anak-anak kita akan baik-baik saja, tumbuh menjadi santri-santri yang baik. Kita mempunyai rasa aman yang lebih tinggi.
Terima kasih banyak Ra Mamak sudah mengobrol dengan saya hari ini. Apakah ada pesan-pesan yang ingin disampaikan sebagai penutup?
Sama-sama, saya juga menyampaikan terima kasih.Saya tidak mempunya pesan yang khusus, tapi pada intinya adalah bahwa pesantren itu salah satu bagian dari pendidikan yang khas di negeri kita tercinta ini. Pendidikan yang lahir secara organik yang itu jangan hanya disupport oleh pemerintah melalui adanya Undang-undang semata yang sifatnya administratif dan birokratis. Tetapi harus dilihat sebagai bagian dari khasanah yang intangible yang dimiliki oleh bangsa ini dan diperkuatkan dengan apa yang dibutuhkan oleh pesantren itu. Apa vitamin-vitamin yang khas untuk pesantren? Apakah hanya peraturan saja? Apakah pesantren harus dinegaraisasi dulu agar bisa kuat? Saya rasa tidak begitu.
Berikan tempat yang tepat untuk pesantren dan diperlakukan sebagaimana ia, juga diberikan apa yang dibutuhkan sesuai kebutuhan pesantren, bukan sesuai kebutuhan negara saja, bukan sesuai kebutuhan orang lain saja. Saya pikir begitu, saya mohon maaf jika masih banyak yang luput dari perbincangan kita.