Merdeka Belajar Terkendala Infrastruktur

Salam Perspektif Baru,

Kali ini kita akan berbicara mengenai pendidikan Indonesia dengan seorang pakar, cendekiawan, dan seorang pendidik yang rekam jejaknya dalam dunia pendidikan kita sudah tidak perlu lagi kita pertanyakan. Sudah bersama saya hari ini ada Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed., seorang cendekiawan muslim, seorang pendidik, dan jabatan strukturalnya ini yang paling terakhir yaitu sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Kita melihat negara-negara yang kuat adalah negara yang memang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang hebat. Pilihan untuk memperkuat SDM adalah pilihan yang memang harus dilakukan karena kita tidak bisa lagi mengandalkan kekayaan sumber daya alam (SDA) karena itu akan habis pada waktunya. Bahkan mungkin habis sebelum waktunya jika tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Pilihan Merdeka Belajar itu bisa jadi pilihan yang tepat, tetapi infrastrukturnya tidak siap, guru-gurunya tidak siap. Misalnya, ketika jurusan akan dihapuskan tapi pada konsentrasi, itu kemudian terkendala oleh gurunya siap atau tidak, sarana prasarananya siap atau tidak.

Yang repot lagi adalah infrastruktur politiknya karena pendidikan sekarang ini sudah menjadi bagian dari otonomi daerah, dan kita melihat bagaimana ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dengan kebijakan daerah. Apa yang dikatakan oleh kementerian tertentu di tingkat pusat belum tentu menjadi bagian dari apa yang dilakukan oleh bupati, walikota di kabupaten dan kota.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancaradengan narasumber Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed.

Kita akan bicara mengenai dunia pendidikan, terutama sekarang ini kita sudah diingatkan lagi tentang tahun 2045 dimana kita akan sampai di 100 tahun Indonesia merdeka, satu abad kita. Kabarnya kita harus gemilang, kita harus bisa tampil di dunia sebagai negara yang maju, tidak hanya masuk anggota G20 lagi, tapi negara yang maju.

 

Katanya, pendidikan itu menjadi kunci yang penting sekali untuk mencapai kegemilangan pada 2045. Bagaimana Prof. Mu’ti melihatnya?

Saya setuju sekali itu, bagaimana pendidikan menjadi sarana mobilitas sosial, mobilitas politik, dan juga mobilitas nasional, baik pada level individu, masyarakat, maupun bangsa. Kita melihat negara-negara yang kuat adalah negara yang memang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang hebat.

Pilihan untuk memperkuat SDM adalah pilihan yang memang harus dilakukan karena kita tidak bisa lagi mengandalkan kekayaan sumber daya alam (SDA) karena itu akan habis pada waktunya. Bahkan mungkin habis sebelum waktunya jika tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Saat ini yang banyak kita andalkan adalah non renewable resources, itu sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui, dan itu akan habis. Tetapi kalau yang kita bangun adalah SDM, maka memang itu akan menjadi kekuatan yang sangat menentukan Indonesia di masa yang akan datang.

 

Menurut Prof. Mu’ti, apakah jalan atau cita-cita menuju sana itu sudah kita mulai dari hari ini, atau apakah antara jargon, realita, dan usahanya itu tidak sinkron? Bagaimana Prof?

Itu yang saya khawatirkan. Saya khawatir tidak ada roadmap-nya. Jadi, kita ini seperti dejavu. Istilanya, kita ini muter-muter saja, bongkar pasang yang tidak menggambarkan betapa kita ini punya roadmap yang jelas untuk bagaimana kita membangun bangsa ini dari sudut SDM. Kita lihat kebijakan pendidikan ini ternyata masih berlaku lagu lama yaitu, “Ganti Menteri ganti kebijakan.”

 

Dan ganti jargon baru, juga ganti slogan baru.

Betul, jadi tidak berlaku lagi, “Aku masih seperti yang dulu.” Itu tidak ada. Kekhawatiran saya, kebetulan saya lumayan lama di Badan Akreditasi Nasional Sekolah Madrasah di Kemendikbud kemudian terakhir saya di Badan Standar Nasional, kita sepertinya belum memiliki roadmap yang jelas, sehingga siapapun yang menjadi menteri arah tujuan itu akan sama. Yang mungkin berbeda adalah bagaimana cara menujunya, atau mungkin akselerasinya.

Inilah yang memang menurut saya menjadi salah satu masalah yang sangat serius, kenapa kemudian masa depan pendidikan kita ini memang dari waktu ke waktu belum memberikan kepada kita arah yang jelas. Walaupun kita tidak boleh pesimistis karena kita melihat sekarang ini berbagai kebijakan yang dibuat oleh Menteri Nadiem dengan jargon “Merdeka Belajar” dan sudah diluncurkan 22 seri, tapi tidak menimbulkan impact yang serius terhadap perubahan.

Bahkan kemudian juga menimbulkan berbagai persoalan baru dalam kebijakan yang memang menurut pandangan saya tidak memiliki konstruksi filosofis, dan tidak memiliki konstruksi kultural yang sangat kuat.

Merdeka Belajar adalah jargon baru atau slogan baru yang tentu saja membuat kita lebih optimis karena selama ini kita merasa bahwa dunia pendidikan, apa yang dikerjakan dan diajarkan di sekolah ataupun kampus tidak nyambung dengan kebutuhan dunia usaha. Menteri Nadiem berusaha untuk mengawinkan ini dengan Merdeka Belajar, dan dengan berbagai programnya. Tetapi Prof. Mu’ti justru pesimis setelah melihat sekian tahun antara philisofische grondslag nya dengan cultural grondslag nya ini tidak match.

 

Bagaimana perspektif Prof. Mu’ti mengenai ini?

Sebenarnya secara filosofis dalam konteks dunia pendidikan, Merdeka Belajar itu bukan konsep yang baru. Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro sudah meletakkan dasar-dasar Merdeka Belajar melalui pendidikan Taman Siswa yang dia rintis, dan itu menjadi bagian dari konstruksi pendidikan nasional. Bahkan Hari Pendidikan Nasional pun mengikuti tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantoro. Kemudian slogan pendidikan Tut Wuri Handayani juga merupakan slogan dari Ki Hajar Dewantoro.

Tetapi konsep Merdeka belajar Ki Hajar Dewantoro ini sepertinya tidak ditangkap secara utuh oleh timnya Menteri Nadiem. Itu karena kalau kita bicara Merdeka Belajar dalam konteks konsep Ki Hajar Dewantoro itu ada dua makna.

Pertama, pendidikan merupakan sarana untuk memerdekakan manusia. Jadi, menjadi manusia yang merdeka. Esensi dari pendidikan sebenarnya ada di situ. Itu karena pembeda antara seorang berilmu dengan seorang yang mungkin kita sebut dalam ekstrem “tidak berilmu”, itu pada kemampuan untuk melakukan upaya-upaya liberasi. Librasi bukan liberalisasi.

Yang sekarang ini terjadi nampaknya librasi itu berubah menjadi liberalisasi, yang itu secara filosofis dan dalam konteks pendidikan sangat jauh berbeda. Kita sebagai bangsa Indonesia ini tetap harus berpijak, dan harus mengikuti dengan sangat-sangat seksama bagaimana nilai-nilai utama, dan nilai-nilai dasar kita sebagai bangsa Indonesia.

Kemudian dalam konteks pembelajaran, sebenarnya juga Merdeka Belajar itu bukan sesuatu yang baru. Dalam teori pendidikan humanistik, terutama kalau kita mengikuti pendapatnya Carl Rogers. Dia sejak 1960-an sudah mengenalkan Freedom to Learn  dengan psikologi humanistik. Memang orang itu merdeka belajar, bisa belajar apa saja, dan kemudian bisa memilih apa yang ingin dia pelajari, dan dia tidak boleh belajar dalam suasana yang tertekan.

Jadi dia harus enjoy dalam belajar, harus dalam suasana yang menyenangkan, dan berbagai penjelasan secara akademik apa makna dari Freedom to Learn itu. Konstruksi ini nampaknya belum kuat terbangun dalam konteks slogan “Merdeka Belajar” yang sekian serinya sudah diluncurkan oleh Menteri Nadiem.

Ini mengenai perdebatan filosofis, pendidikan itu sebenarnya kalau kita kembali kepada pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum. Poinnya ada di situ sebenarnya. Karena itu pendidikan adalah hak semua warga negara, dan semua warga negara itu berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu.

Dalam konteks ini, pendidikan itu berusaha untuk membangun manusia seutuhnya. Membangun manusia seutuhnya itu adalah manusia yang mereka memiliki kepribadian yang utama, kemudian memiliki kemampuan-kemampuan yang memungkinkan dia untuk mendapatkan kehidupan dan penghidupan. Kehidupan itu adalah hidup kita dan penghidupan itu adalah sustainability dia untuk bagaimana mendapatkan rizki, income dan sebagainya.

Ada gejala dimana kebijakan Menteri Nadiem sepertinya sangat terpengaruh oleh aliran dimana pendidikan itu driven by market. Jadi, pendidikan ini sepertinya sangat didominasi oleh orientasi pekerjaan. Sementara kita melihat realitas sekarang ini, terutama dikaitkan dengan Merdeka Belajar dan slogan yang dipakai sekarang adalah Link and Match, yang itu juga sebenarnya bukan slogan yang baru.

Pada 1980-an, sewaktu Wardiman Djojonegoro menjadi Mendikbud, ini juga yang dia pakai karena dia sebagai seorang alumni Jerman sangat terinspirasi oleh sistem pendidikan di Jerman. Memang Link and Match berjalan dengan sangat baik di Jerman karena ada kesinambungan, dan keseimbangan antara dunia industri dengan dunia pendidikan.

 

Bukankah itu yang ingin dijawab dengan Merdeka Belajar, yaitu Link and Match yang lebih real, yang lebih konkrit, dan tidak hanya sekadar jargon.

Iya, tetapi untuk kita bisa nge-link seperti kita wawancara sekarang, maka itu perlu ada perangkatnya, perlu ada gadget-nya. Kemudian juga perlu ada sinyalnya, bahkan tidak hanya itu, perlu ada paket datanya juga. Jadi, untuk menuju Link and Match itu harus ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi.

Dalam konteks Jerman, industrialisasinya berjalan dengan sangat kuat. Jerman adalah negara yang memang menjadi welfare state karena industrinya sangat kuat di sana. Industri di Jerman  menjadi begitu kuat karena didukung oleh inovasi-inovasi dari vocational school atau vocational institution, yang memang di Jerman itu menjadi bagian dari kekuatan inovasi dalam dunia industri.

Problem kita sekarang ini, kita tidak memiliki seperti yang ada di Jerman. Industri kita ini belum menjadi industri yang kemudian bisa match dengan dunia pendidikan. Misalnya, saya sedikit tracking ke belakang, Link and Match Wardiman itu kalau boleh saya mengatakan gagal pada waktu itu. Walaupun kemudian beliau membuat terobosannya, ketika itu SMA dibuat dua jalur yaitu jalur A dan jalur B. Jalur A untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Jalur B untuk masuk dunia kerja. Kemudian itu tidak berhasil, dan ketika tidak berhasil lalu ganti menteri dan ganti kebijakan.

Sekarang ini kita lihat kondisi Indonesia juga hampir sama. Apakah kita melihat bahwa sekarang ini kita mempunya industri yang canggih seperti yang dimiliki Korea Selatan, yang melompat luar biasa dengan kekuatan industrinya. Korea Selatan itu tidak hanya mengekspor industri berbasis teknologi tinggi, tapi juga pada saat yang sama mengekspor budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari industri mereka yang berkembang dengan baik itu.

Kita ini tidak punya landasan sosial yang cukup kuat. Jadi, kelemahan Link and Match sekarang itu terletak pada tiga hal. Pertama, pada infrastruktur pendidikan dan industri yang tidak mendukung. Kedua, infrastruktur sosial yang juga tidak mendukung. Ketiga, infrastruktur politik yang juga tidak mendukung.

Kenapa saya katakan ini tidak mendukung? Karena infrastruktur industri kita sekarang tidak mempunyai industri yang strategis. Dulu kita pernah punya yang namanya Sekolah menengah Kejuruan (SMK).  Harapannya SMK itu adalah mencetak tenaga kerja yang siap masuk di dunia kerja. Dengan slogan yang dulu kita yakini yaitu “SMK Bisa”, kita percaya diri sekali pada waktu itu. Tapi setelah berjalan sekian tahun, mulai muncul sinisme “Bisa apa loe?” Dan itu juga problematik karena yang kita hasilkan dengan lulusan SMK itu adalah mereka tidak memiliki high skill tetapi low skill.

Waktu itu ada konsep bahwa SMK bekerjasama dengan dunia usaha dan industri, ternyata tidak bisa juga karena tidak seimbang antara pertumbuhan SMK dengan dunia usaha dan dunia industri. Lalu, sekarang SMK yang dianggap tidak berhasil dalam konteks menciptakan tenaga kerja itu diubah slogannya. Sekarang slogannya menjadi BMW yaitu Bekerja, Melanjutkan, dan Wirausaha. Sekarang slogannya berubah seperti itu karena mereka tidak bisa masuk dunia kerja dan tidak terserap.

 

Upaya vokasi dengan SMK sudah dilakukan, upaya dengan berbagai macam inovasi dan program-program sudah dilakukan, tapi tetap tidak bisa nyambung antara dunia usaha dengan dunia pendidikan. Apa langkah-langkah awal yang bisa kita ciptakan dengan itu?

Melanjutkan yang tadi, saya baru membahas yang pertama adalah infrastruktur. Kemudian yang kedua, infrastruktur sosialnya juga belum terbangun. Seharusnya kalau kita memang ingin mengembangkan pendidikan dengan bagaimana kita menciptakan industri itu, seharusnya kita  tidak mengarahkan pendidikan untuk orang masuk dunia kerja, tetapi menciptakan lapangan pekerjaan.

Sementara ada kultur di kita ini bahwa sebagian besar generasi bangsa kita masih lebih suka bekerja, dia apply pada pekerjaan tertentu, masuk menjadi pekerja kantoran atau jadi pegawai. Bahkan kadang-kadang menjadi pegawai itu menjadi bagian dari ukuran strata sosial.

 

Karena itu tes CPNS itu masih diminati oleh jutaan orang.

Betul, itu yang saya sebut dengan infrastruktur budayanya, infrastruktur sosialnya. Mindset masyarakat ini harus diubah, mereka harus menjadi entrepreneur. Untuk menjadi entrepreneur itu tidak harus mereka masuk dunia kerja, mengisi pos-pos pekerjaan ini. Tetapi dia justru creating a job dan kemudian mengembangkan imajinasi, dan kreativitas bagaimana mereka bisa bekerja.

Sebenarnya sekarang trennya sudah dimulai. Pilihan Merdeka Belajar itu bisa jadi pilihan yang tepat, tetapi infrastrukturnya tidak siap, guru-gurunya tidak siap. Misalnya, ketika jurusan akan dihapuskan tapi pada konsentrasi, itu kemudian terkendala oleh gurunya siap atau tidak, sarana prasarananya siap atau tidak.

Yang repot lagi adalah infrastruktur politiknya karena pendidikan sekarang ini sudah menjadi bagian dari otonomi daerah, dan kita melihat bagaimana ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dengan kebijakan daerah. Apa yang dikatakan oleh Kementerian tertentu di tingkat pusat belum tentu menjadi bagian dari apa yang dilakukan oleh bupati, walikota di kabupaten dan kota.

Ketika menteri mengatakan A, bupati atau walikota belum tentu mengatakan Yes, I do. Itu karena menurut mereka, “Ok, you can say A. but, I want to do B.” Problemnya sekarang seperti itu, sehingga kendala ini juga tidak menjadi masalah yang sederhana.

Kalau kemudian kita bicara industri, jangan lupa bahwa industri-industri itu yang mengelola adalah pemerintah daerah, sehingga harusnya ada roadmap, ada yang mengkritik. Bagaimana menteri akan membuat roadmap, kalau roadmap pendidikannya juga hanya dibuat PowerPoint. Itu yang sampai sekarang ditagih oleh DPR.

Oleh karena itu kembali kepada yang praktikal, menurut saya, Merdeka Belajar ini memang harus dibangun dulu konstruksi filosofisnya. Librasi itu memang jangan sampai mengarah kepada liberalisasi. Itu sudah harus sama, satu visi secara nasional di tingkat guru dan para pengambil kebijakan pendidikan karena ujung-ujungnya yang menjadi pelaksana itu adalah para guru dan pengambil kebijakan.

Para pengambil kebijakan itu tidak hanya para pejabat di Kemendikbud, tapi juga kepala dinas dan juga para penyelenggara pendidikan termasuk misalnya masyarakat yang menyelengarakan pendidikan. Ini harus sama dulu visinya, arahnya ingin ke mana. Jangan sampai kemudian masyarakat ini hanya melihat ini sebagai perubahan dan jalani saja, just do it karena nanti pada waktunya juga berubah lagi.

Misalnya, dengan slogan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) itu juga tidak disertai dengan perubahan yang signifikan di dunia perguruan tinggi. Misalnya, kurikulum merdeka yang menjadi bagian dari rancang bangun dari Merdeka Belajar itu tidak sepenuhnya juga dipahami oleh guru-guru. Ini karena sebagian besar guru kita adalah produk pendidikan lama yang masih berbasis mata pelajaran dengan model pelatihan yang lama. Untuk melatih guru dengan kurikulum Merdeka membutuhkan waktu sangat lama karena harus mengubah mindset mereka.

Kemudian yang kedua, juga harus melibatkan jaringan yang sangat kuat sehingga tidak cukup dengan hanya guru penggerak yang kemudian sekarang juga entah bagaimana kabarnya, kita tidak tahu. Kemudian yang ketiga, itu memang harus ada dukungan kebijakan. Dukungan kebijakan ini sangat berkait dengan birokrasi, sistem kepegawaian, dan banyak lagi aspek yang ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.

Menurut saya, Menteri Nadiem harus bekerja keras untuk membangun visi yang sama ini, membangun mind, dan kemudian membangun mindset karena inti dari perubahan itu ada pada perubahan mindset, banyak sekali teori tentang itu. Kalau kita bicara pada Al-Quran, Allah itu tidak akan mengubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu tidak mengubah mindset mereka.

Sekarang yang harus dibangun adalah mindset dulu, kalau mindset itu berubah, maka perubahan mindset murid itu dimulai dari perubahan mindset guru. Teknologi yang secanggih apapun, itu penentunya adalah siapa yang menggunakan teknologi. User of technology not the technology itself.

Kalau ini tidak dibangun, bisa jadi orang yang mempunyai teknologi canggih tetapi ternyata penggunanya tidak canggih, orang punya smartphone ternyata yang smart itu phone nya dan yang punya tidak smart, atau misalnya penggunanya smart tetapi tidak berkeadaban, sehingga kecerdasannya dalam menggunakan HP yang cerdas itu ternyata justru digunakan untuk hal yang tidak baik. Itu sebenarnya yang harus dibangun dulu.

Seharusnya di awal yang digenjot adalah pelatihan-pelatihan guru, pelatihan-pelatihan dosen, disamakan dulu visinya, disamakan dulu mindsetnya, baru kemudian infrastruktur politiknya diperkuat, infrastruktur penunjang yang mendukung program ini juga diperkuat sehingga harus berjalan sinergi bukan paralel antara industri dengan pendidikan.

Menurut saya, hal itu memang tidak bisa diselesaikan dengan berjalan sendiri-sendiri seperti ini.Menteri Perindustrian entah jalan ke mana, Menteri Pendidikan entah jalan ke mana, itu yang membuat kemudian waktu kita diskusi mengenai vokasi, berbagai macam ide-ide besarnya yang revolusioner itu ternyata tidak membumi, tidak berjalan dengan mulus di bawah karena landasan-landasan nya tidak dibangun dengan cukup kokoh.

Previous
Previous

Next
Next