Mewujudkan Pemilu Kredibel
Salam Perspektif Baru,
Kita jumpa lagi untuk berbincang mengenai isu-isu politik, isu-isu demokrasi, yang mudah-mudahan bisa menjadi vitamin ruang demokrasi kita supaya semakin sehat. Ini juga menjadi salah satu cara kita untuk merayakan dan melestarikan legacy dari senior kita, almarhum Bapak Wimar Witoelar.
Kalau bicara Pemilu, ada tiga pilar penting dalam penyelenggara Pemilu. Selain KPU dan Bawaslu, ada juga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kalau bicara mengenai penyelenggara Pemilu dan DKPP, maka tidak ada yang lebih sohih dan otoritatif dari tamu kita pada hari ini yaitu Ketua DKPP Heddy Lugito.
Heddy Lugito mengatakan DKPP mengawasi para penyelenggara Pemilu yang lain, yaitu KPU dan Bawaslu dari segi etik. Kita sebagai pengawas, bukan eksekutor untuk Pemilunya. Sebetulnya kita bukan seperti Polisi Militer, tapi lebih ke menjaga agar penyelengara Pemilu yaitu Bawaslu dan KPU dari pusat sampai daerah integritasnya terjaga, sehingga hasil Pemilu juga kredibel. Kita menjaga agar dua lembaga ini tetap kridebel. Kalau lembaganya kredibel, maka hasilnya pasti akan kredibel.
Dalam dua bulan terakhir ini, sampai pekan lalu itu jumlah pengaduan itu ada 134. Kalau kita memakai logika hari kerja ada lima hari per pekan, maka dalam satu hari itu ada tiga pengaduan. Bayangkan saja, itu sangat besar dan banyak. Tiada hari tanpa sidang etik di DKPP, setiap hari pasti bersidang kasus.
Menurut Heddy Lugito, semua hal yang menyangkut dugaan pelanggaran etik penyelenggara Pemilu, mulai dari KPU-RI, Bawaslu-RI, sampai ke KPU-Bawaslu tingkat Kabupaten yang dugaan pelanggaran etik itu bisa diadukan ke DKPP. Pengadunya bisa siapa saja, yang penting mereka mempunyai hak pilih. Masyarakat yang mempunyai hak pilih boleh mengadukan ke DKPP.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancara dengan narasumber Heddy Lugito.
Sebelum kita bicara mengenai Pemilu, bagaimana Anda bertransformasi dari jurnalis, yang biasanya memantau dan memelototi proses Pemilu dari waktu ke waktu, sekarang akhirnya menjadi terlibat dan salah satu tokoh sentral dalam pilar demokrasi kita?
Tidak beda jauh dengan pekerjaan jurnalisme. Sekarang saya di lembaga etiknya, DKPP mengawasi para penyelenggara Pemilu yang lain, yaitu KPU dan Bawaslu dari segi etik. Kita sebagai pengawas, bukan eksekutor untuk Pemilunya.
Jadi, kalau jurnalis atau wartawan juga sama saja, kita juga memelototi, mengkritisi, menyampaikan kabar, memberikan informasi dari berbagai hal. Ini sebetulnya mirip yaitu sama-sama kita menyuarakan atau mengawal kebenaran, mengawal agar Pemilu berjalan dengan baik.
Sebetulnya pekerjaannya tidak beda jauh dengan wartawan. Kita memastikan bahwa Pemilu terselenggara dengan baik. Syarat Pemilu bisa berjalan dengan baik itu diantaranya adalah penyelengara yang mandiri, kredibel, dan berintegritas. Itu yang harus kita jaga. Artinya, KPU dan Bawaslu jangan sampai belok kiri, kanan, kiri, kanan. Itu etiknya harus kita jaga.
Apa kemampuan dan kebiasaan di jurnalistik yang sangat berguna di dalam tugas-tugas etik DKPP?
Sebenarnya sama saja karena menjadi jurnalis atau wartawan bekerjanya juga dalam koridor etik, tentu saja dalam koridor etik jurnalistik. Kemudian juga mewartakan yang sesuai dengan visi kita. Di DKPP ini sebenarnya juga kita mengawal mereka, jangan sampai lari dari kode etik penyelenggara Pemilu yang sudah kita tetapkan.
Sebetulnya kita bukan seperti Polisi Militer, tapi lebih ke menjaga agar penyelengara Pemilu yaitu Bawaslu dan KPU dari pusat sampai daerah integritasnya terjaga, sehingga hasil Pemilu juga kredibel. Kita menjaga agar dua lembaga ini tetap kridebel. Kalau lembaganya kredibel, maka hasilnya pasti akan kredibel.
Sejauh DKPP periode ini bekerja mengawal Pemilu 2024 nanti, apa hal-hal yang menjadi temuan atau problematika? Apakah problem-problem itu bertransformasi dari Pemilu ke Pemilu, atau problemnya ternyata sama saja dari setiap Pemilu?
Hampir sama problemnya. Kalau pada wartawan itu yang namanya kode etik jurnalistik sudah terinternalisasi dalam dirinya. Sementara di penyelengara Pemilu ini yang namanya kode etik penyelenggara Pemilu itu belum benar-benar terinternalisasi dalam dirinya. Jadi, terkadang mereka masih belok sana, belok sini, sehingga pengaduan pelanggaran etik itu sangat besar.
Dalam dua bulan terakhir ini, sampai pekan lalu itu jumlah pengaduan itu ada 134. Kalau kita memakai logika hari kerja ada lima hari per pekan, maka dalam satu hari itu ada tiga pengaduan. Bayangkan saja, itu sangat besar dan banyak. Tiada hari tanpa sidang etik di DKPP, setiap hari pasti bersidang kasus. Kalau tidak di Jakarta, pasti ada di daerah.
Kalau pelanggaran etik dilakukan oleh penyelengara di tingkat Kabupaten atau Kota, kita mempunyai kewajiban untuk menyidangkan di Ibu Kota Propinsi. Sedangkan kalau dugaan pelanggaran itu dilakukan oleh KPU dan Bawaslu Propinsi atau RI, kita mempunyai kewajiban untuk menyidangkan di Ibu Kota.
Jadi, setiap hari anggota DKPP melakukan persidangan di berbagai daerah. Sekarang ini yang posisi ada di Jakarta itu hanya Saya dan J. Kristiadi, yang lainnya ada di daerah semua untuk sidang. Itu bedanya, sebenarnya DKPP itu bersifat pasif kalau kita bedakan dengan KPK.
Apakah Bawaslu lebih aktif sifatnya?
Bawaslu pun aktif, kalau DKPP pasif. Kita terima pengaduan baru kita proses, kita sidangkan, dan kita beri sanksi. Jadi, saksinya juga sangat bervariasi mulai dari peringatan, peringatan keras, sampai peringatan keras terakhir, pemberhentian sebagai anggota, pemberhentian dari jabatannya.
Selama tiga bulan terakhir ini yang diberhentikan DKPP di daerah itu lumayan banyak. Ada dua anggota KPU kita berhentikan karena rangkap jabatan. Ada tiga anggota Bawaslu di Kabupaten Nias Selatan, yaitu dua kita berhentikan dan yang satu kita berikan peringatan keras. Itu karena kalau kita berhentikan ketiganya, maka proses Pemilunya tidak jalan. Minggu lalu kita memberhentikan anggota Bawaslu atau KPU di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Itu kira-kira selama dua bulan terakhir ini.
Apakah pemberhentian itu adalah hukuman paling tinggi yang bisa diberikan oleh DKPP?
Benar, pemberhentian itu bisa sementara, bisa pemberhentian tetap. Pemberhentian sementara itu misalnya ada klausul, harus diperbaiki ini. Kalau sudah diperbaiki, maka bisa aktif lagi. Tapi kalau tidak, maka akan menjadi pemberhentian tetap.
Bagaimana mekanisme proses pengaduan yang diterima dan yang selama ini dilakukan oleh DKPP sendiri? Siapa saja yang berhak dan boleh mengadu ke DKPP? Apakah DKPP itu menjadi jalan terakhir sebelum ada mekanisme-mekanisme DKPP lainnya?
Semua hal yang menyangkut dugaan pelanggaran etik penyelenggara Pemilu, mulai dari KPU-RI, Bawaslu-RI, sampai ke KPU-Bawaslu tingkat Kabupaten yang dugaan pelanggaran etik itu bisa diadukan ke DKPP. Pengadunya bisa siapa saja, yang penting mereka mempunyai hak pilih. Masyarakat yang mempunyai hak pilih boleh mengadukan ke DKPP.
Pengaduanya bisa melalui e-mail, pos, atau bisa datang langsung. Jadi, banyak cara dan nanti akan kita verifikasi pengaduan itu apakah sudah cukup secara administratif, pengadunya sudah melampirkan bukti diri.
Kemudian kalau verifikasi administrasinya lolos, maka akan kita verifikasi material, apakah ada alat bukti yang dilampirkan minimal dua alat bukti. Kalau kurang, maka akan kita minta tambah. Tapi kalau tidak bisa tambah atau kurang dari dua alat bukti yang kita anggap sahih, maka kami akan mengatakan, “Maaf kita kembalikan berkas Anda karena belum lengkap, tolong dilengkapi dulu. Nanti kapan saja bisa diadukan lagi.” Itu sangat mudah sekali, maka menjadi banyak pengaduan.
Bagaimana mekanisme pengambilan keputusannya? Apakah harus semua anggota yang memutuskan atau salah satu saja atau salah dua saja? Bagaimana menghadapi dissenting opinion dalam pengambilan keputusan ini?
Jadi, kita sidang bisa sekali, dua kali, tiga kali, atau secukupnya kita menggali alat bukti. Setelah itu kita akan plenokan. Pleno itu melibatkan seluruh anggota DKPP.
Meskipun tidak hadir di tempat-tempat persidangan itu.
Iya, nanti plenonya terlibat semua. Anggota DKPP itu sebenarnya ada lima yang tetap, dan ada dua yang ex-officio yaitu satu KPU dan satu lagi Bawaslu. Itu dilibatkan semua. Aturannya seperti itu, kita libatkan semua, kita gelar bukti-bukti di persidangan, kita diskusikan panjang lebar. Pleno itu juga tidak bisa sekali selesai, kadang-kadang dua sampai tiga kali baru selesai kalau masalahnya terlalu panjang.
Di pleno kita putuskan ini bersalah atau tidak, apa hukuman yang layak untuk yang bersalah, dan bagi yang tidak bersalah harus kita rehabilitasi karena impact-nya sangat berat kalau sudah diadukan mengenai kode etik. Kalau tidak kita rehabilitasi, impact-nya akan sangat berat, dan mereka tidak bisa menjadi penyelenggara. Jadi kita harus rehabilitasi.
Setelah selesai kita plenokan, misalnya dua sampai tiga kali pleno selesai, kita jadwalkan sidang pembacaan putusan. Yang membacakan putusan bisa satu orang, dua orang, atau tiga orang. Kira-kira seperti itu mekanismenya, kadang-kadang memang sedikit lama. Kadang-kadang teman-teman mengeluh, “Kenapa lama sekali?” Itu lama karena memang kita sedang banyak kerjaan, tetapi kalau sedang tidak banyak kerjaan, maka tidak akan lama.
Kadang-kadang sidang itu bisa sampai dua bulan atau tiga bulan baru bisa kita sidangkan ke daerah, itulah realitasnya. Kalau sedang banyak perkara, banyak aduan, pasti akan lama. Kalau hanya satu pengaduan, misalnya hari ini kita terima aduan, langsung kita verifikasi, maka minggu depan bisa langsung sidang.
Apakah ini artinya harus diputuskan oleh kelima anggotanya? Apakah DKPP berbeda dengan KPU dan Bawaslu yang mempunyai struktur sampai Kabupaten dan Kota, sedangkan DKPP ini hanya ada di pusat saja?
DKPP di provinsi juga ada, yaitu biasa kita sebut Tim Pemeriksa Daerah (TPD). Itu kita angkat satu orang, biasanya berlatar belakang akademisi (kampus) dan dua orang ex-officio anggota dari Bawaslu dan KPU. Mereka yang periksa di daerah-daerah. Kebanyakan dari mereka adalah akademisi di seluruh provinsi. Ketika kita sidang, mereka akan ikut sidang kita. Itu karena pada prinsipnya sidang harus ada anggota DKPP, TPD, tidak bisa sidang sendirian.
Apakah sebelum nanti ke DKPP pusat harus melewati fase pemeriksa daerah dulu?
Tidak, pemeriksa daerah hanya untuk waktu persidangan saja. Itu karena kalau yang terduga pelanggar etiknya ada di Kabupaten atau Kota, kita mempunyai kewajiban bersidang di provinsi, maka ada TPD.
Apa jenis pelanggaran yang ditemui oleh DKPP?
Sekarang ini KPU baru selesai melakukan rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Bawaslu baru selesai melakukan rekrutmen Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam). Dari situ lah banyak pengaduan kasus rekrutmen. Misalnya, rekrutmentnya dianggap tidak profesional, tidak transparan, dan biasanya yang tidak lulus itu yang mengadukan ke Bawaslu dan atau KPU di Kabupaten/Kota. Itu paling banyak.
Kasus-kasus tuduhan dugaan bekerja tidak profesional, itu yang paling banyak diadukan. Jadi, ketidakprofesionalan itu juga termasuk pelanggaran etik, termasuk juga tidak transparan bekerja, tidak akuntabel, masyarakat menilai itu.
Sekarang ini pengaduan yang paling banyak adalah berkaitan dengan rekrutmen anggota PPK dan rekrutmen anggota Panwascam. Ini karena pendaftarnya banyak, sementara yang kita butuhkan hanya dua sampai empat orang saja. Biasanya yang tidak lulus ini pasti tidak terima. Jadi, ada perilaku yang dianggap menyimpang di masyarakat.
Misalnya, dia berkata keras atau konflik sesama penyelengara, yaitu KPU sedang melakukan verifikasi faktual partai politik yang lalu di daerah. Kemudian Bawaslu tugasnya mengawasi ketika KPU melakukan verifikasi itu. Mengawasi seperti mengambil foto dan sebagainya, sehingga KPU di daerah itu tersinggung. “Kalian jangan muter-muter terus.” Mereka banyak yang protes. Jadi, ada ucapan-ucapan yang sifatnya dianggap melukai keadilan sehingga itu diadukan. Kasus-kasus banyaknya seperti itu karena yang namanya etik itu parameternya sangat luas.
Apa parameter etiknya? Apakah teriak-teriak, foto-foto terlalu berlebihan atau memuji secara berlebihan juga termasuk dalam pelanggaran etik?
Dia bekerja sebagaimana koridor pekerjaan mereka sebagai penyelenggara. Kalau KPU mengerjakan sesuai dengan tugas-tugas KPU, yaitu melaksanakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 dan turunannya, jangan lari dari sana. Itulah mengapa kemarin KPU diadukan. Ini hanya sekadar contoh saja. Jadi, pada prinsipnya kalau penyelenggara itu bekerja sesuai dengan aturan dan tahapan Pemilu, juga tidak ke sana ke sini, maka itu pasti akan baik-baik saja.
Kasusnya banyak, yaitu ada mengenai korupsi, utang piutang, perselingkuhan, dan yang paling banyak diadukan adalah rangkap jabatan. Itu karena menurut aturan, penyelenggara Pemilu yaitu KPU dan Bawaslu dari pusat sampai daerah tidak boleh merangkap sebagai apapun, bahkan menjadi dosen pun tidak boleh. Jangankan menjadi dosen, menjadi pengurus yayasan pun tidak boleh, itulah susahnya.
Itu karena pengurus yayasan kadang-kadang ada yang menjadi pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Kalau betul begitu, maka dia harus mundur karena dia harus bekerja secara full untuk Kepemiluan. Itulah beratnya sebagai penyelenggara, tidak boleh double job. Karena itu ketika saya terpilih menjadi angota DKPP, meskipun tidak ada kaitanya langsung, waktu itu saya mundur dari Komisaris di BUMN. Tapi karena bisa mengganggu integritas saya, maka saya mundur.
Apa pelanggaran yang paling berat yang diputuskan oleh DKPP dan sampai akhirnya ada sanksi paling berat?
Paling berat adalah kolusi. Ada anggota penyelenggara di daerah yang juga anggota Bawaslu mengangkat adiknya sendiri menjadi anggota Panwascam. Itu sudah kita peringatkan, tetapi masih nekat. Sebenarnya, kalau yang paling berat itu kalau menyangkut soal ada dugaan mono politik. Nantinya kalau sudah sampai tahapan Pemilu, itu mengubah hasil Pemilu. Itu yang paling berat.
Mengubah hasil pemilu itu, misalnya, Budi mendapat satu juta suara. Tiba-tiba menjadi satu juta berkurang satu, atau satu juta kurang sepuluh. Itu pelanggaran yang bisa berakibat pada hasil Pemilu. Kalau sekarang pelanggaran berat itu yang bisa berakibat pada mengganggu tahapan Pemilu.
Tahapan tersebut saat ini masih pada tahap KPU melakukan pemutakhiran data. Jangan sampai terjadi manipulasi data dengan sengaja. Misalnya, tidak memberi, tidak mencatat, tidak mendaftar seseorang sebagai pemilih. Itu adalah pelanggaran berat karena menghilangkan hak orang. Tapi itu hampir tidak ada, dan hampir tidak pernah dilaporkan.
Apa problemnya kasus kemarin yang Anda dan rekan-rekan akhirnya menterminasi itu?
Yang sudah terjadi itu adalah rangkap jabatan. Di Kabupaten Tolikara, Papua, anggota KPU-nya merangkap pekerjaan sebagai pegawai negeri sudah sekian tahun, dan sempat kita ingatkan untuk berhenti, tapi tidak dilakukan. Akhirnya kita sidang lagi, ada pengadilan lagi, kita berhentikan sementara dengan catatan harus mengembalikan seluruh uang yang diterima sebagai penyelenggara. Itu harus dikembalikan kepada negara karena tidak boleh. Kalau itu sudah di kembalikan dan minta izin atasan dan di izinkan, baru kita aktifkan lagi.