Bank Tanah Tidak Perlu Ada

Salam Perspektif Baru,

Setiap tahun jumlah penduduk terus meningkat sangat pesat, baik di dunia maupun di negara kita. Tentu saja ini berdampak pada kesediaan tanah yang semakin terbatas dan ditambah lagi harga tanah yang terus melambung. Menyikapi hal tersebut banyak negara di Eropa, Afrika, Asia membentuk Bank Tanah sebagai sarana manajemen pertanahan. Saat ini negara kita telah membentuk Bank Tanah untuk mengatasi persoalan-persoalan tanah. Kita akan membahas topik ini dengan narasumber yaitu Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Zenzi Suhadi.

Menurut Zensi Suhadi, Bank Tanah tidak perlu ada karena Indonesia mempunyai 340-an suku yang mempunyai sistem pengakuan hak dan sistem pengelolaan terhadap bidang tanah. Hukum itu seharusnya dirancang oleh negara untuk melindungi sistem kepemilikan yang sudah ada di tingkatan masyarakat ataupun masyarakat adat. Mengapa harus bentuknya perlindungan terhadap sistem kepemilikan? Itu supaya tanah tidak dimaknai hanya sebagai media tumbuh, tidak dimaknai hanya sebagai ruang atau tempat.

Kalau digeneralistik dengan sistem Bank Tanah di seluruh Indonesia, kita menggunakan konsep yang dilahirkan bukan dari Indonesia, maka kita akan menghancurkan pengetahuan yang sudah mengidentifikasi, mendefinisikan, dan beradaptasi dengan lingkungan dan alam di Indonesia.

Skema Bank Tanah itu akan memperparah, baik itu dampak kerugian di masyarakat secara materil maupun dampak terhadap lingkungan. Itu karena dalam skema Bank Tanah itu tidak akan mempunyai perspektif lingkungan.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Zenzi Suhadi.

Salah satu persoalan yang pelik dan rumit di negara kita adalah soal pertanahan. Saat ini kesedian tanah makin terbatas, ditambah lagi dengan harganya yang terus melambung diduga karena adanya spekulan tanah dan mafia tanah. Persoalan-persoalan pertanahan tersebut telah menjadi salah satu latar belakang pemerintah membentuk Bank Tanah. Bagaimana perspektif  Anda dan juga WALHI mengenai kehadiran Bank Tanah di negara kita?

Saya ingin mengawali dengan satu hal yang paling mendasar, menurut saya, bahwa tidak ada tanah yang dimerdekakan itu tanpa pemilik. Indonesia dari Papua sampai Aceh itu luas daratannya 192 juta hektar dan tidak ada dari tanah itu tanpa pemilik.

Sistem Bank Tanah ini sebenarnya sudah generasi kedua di Indonesia. Generasi pertama sistem Bank Tanah ini di Indonesia sebenarnya sudah ada dengan sistem penunjukkan kawasan hutan. Jadi pada akhir tahun 1970-an,  dari 192 juta daratan Indonesia, 132 juta hektar itu menjadi hutan negara yang oleh negara itu ditunjuk sebagai kawasan hutan.

Mengapa kawasan hutan ini saya golongkan ke sistem seperti Bank Tanah? Itu karena pada prakteknya selama 40 tahun ini kawasan hutan yang ditunjuk oleh negara dengan berbagai fungsinya, dia tidak serta merta untuk melindungi kawasan itu sebagai hutan dengan fungsinya, yaitu fungsi ekosistem dan fungsi sosial.  Penunjukan dan sistem regulasi dalam kawasan hutan, dalam 40 tahun ini berkembang menjadi satu skema menguasai tanah oleh negara, dan memberikan tanah tersebut kepada pihak ketiga.

Saya ambil contoh, dari 132 juta hektar hutan tersebut sekarang tinggal menjadi 128 juta hektar. Kemana empat jutanya? Empat jutanya itu dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit, untuk tambang, tetapi dia tidak sesederhana itu. Sesungguhnya yang dilepaskan untuk sawit dan tambang lebih dari empat juta tersebut. Itu karena pengurangan angka dari 132 menjadi 128 itu bukan dalam satu titik peta, tetapi di 17 provinsi.

Jadi, ada wilayah yang dilepaskan dan ada juga wilayah baru yang ditunjuk menjadi kawasan hutan seperti di Papua. Papua ditunjuk menjadi kawasan hutan untuk menutupi pelepasan kawasan hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Skema menguasai kawasan atau daratan oleh negara dan kemudian menyerahkan ruang atau tanah tersebut kepada pihak ketiga yang bukan pemilik sebelumnya, itulah yang menjadi sumber masalah saat ini. Masalah itu, baik masalah lingkungan dalam bentuk kebakaran hutan, bencana banjir, maupun masalah dalam bentuk konflik antara masyarakat dengan perusahan, masyarakat dengan negara, serta PR bagi negara dimana kejahatan perampasan sumber daya alam itu masih meluas.

 

Sebenarnya, bagaimana skema Bank Tanah yang dibentuk oleh pemerintah ini? Apakah akan sama seperti sebelum-sebelumnya yaitu penguasaan tanah dan lahan yang saat ini dikatakan mencapai 132 juta hektar bahkan sekarang tinggal hanya 128 juta hektar?

Kalau saya melihat Bank Tanah ini merupakan generasi kedua, dimana negara menggunakan hak untuk menguasainya. Namun itu tidak digunakan untuk mewujudkan dan mendistribusikan kesejateraan bagi rakyat. Bank Tanah ini akan bekerja terhadap wilayah-wilayah tertentu, pertama terhadap kawasan yang dilepaskan dari kawasan hutan. Kedua, terhadap wilayah-wilayah yang diinginkan oleh negara untuk masuk Bank Tanah.

Ketiga, terhadap wilayah yang habis masa izinnya karena hak pengelolaan oleh korporasi itu mempunya masa waktu. Jadi, kalau Hak Guna Usaha (HGU) 30 sampai 32 tahun itu akan masuk ke Bank Tanah. Tetapi dalam prakteknya sebenarnya tidak perlu ada Bank Tanah.

 

Mengapa tidak perlu ada Bank Tanah?

Itu karena Indonesia mempunyai 340-an suku yang mempunyai sistem pengakuan hak dan sistem pengelolaan terhadap bidang tanah. Hukum itu seharusnya dirancang oleh negara untuk melindungi sistem kepemilikan yang sudah ada di tingkatan masyarakat ataupun masyarakat adat. Mengapa harus bentuknya perlindungan terhadap sistem kepemilikan? Itu supaya tanah tidak dimaknai hanya sebagai media tumbuh, tidak dimaknai hanya sebagai ruang atau tempat.

Kita menjadi bulan-bulanan banjir, kebakaran hutan, itu karena dalam kacamata ekonomi dan regulasi hukum, kita hanya menempatkan ruang itu sebagai media tumbuh atau sebagai media produksi dari bisnis. Padahal setiap ruang itu mempunyai fungsi ekologis, fungsi lingkungan yang menyangga kehidupan dan peradaban manusia. 

Misalnya kawasan gambut, itu sebenarnya kawasan perairan gambut. Tapi karena dia hanya dimaknai sebagai ruang untuk tumbuhnya sawit dan pohon akasia, dia dipaksa menjadi daratan sebagai bidang tanah. Konsekuensinya ketika musim panas terjadi, maka kebakaran terjadi di sana, asap banyak. Jadi, cost dan beban negara justru meningkat.

Hukum di negara itu seharusnya dipakai untuk melindungi sistem kepemilikan di masyarakat karena di masyarakat tanah itu tidak ditempatkan hanya sebagai alat produksi. Sistem kepemilikan di masyarakat itu ada tanah pribadi untuk dia berusaha secara pribadi, ada tanah komunal, ada tanah sebagai wilayah perlindungan sosial, ada tanah menjadi wilayah perlindungan terhadap lingkungan hidup dan kehidupan manusia.

Kalau digeneralistik dengan sistem Bank Tanah di seluruh Indonesia, kita menggunakan konsep yang dilahirkan bukan dari Indonesia, maka kita akan menghancurkan pengetahuan yang sudah mengidentifikasi, mendefinisikan, dan beradaptasi dengan lingkungan dan alam di Indonesia.

 

Tadi dikatakan bahwa skema Bank Tanah ini merugikan masyarakat dan juga masyarakat adat. Di satu sisi skema yang lama penguasaan tanah oleh negara yaitu berupa kawasan hutan negara juga merugikan masyarakat dan juga masyarakat adat. Dari dua skema ini, mana yang lebih merugikan? Apakah skema yang lama atau skema Bank Tanah atau ada skema alternatif yang bisa memberikan nilai positif bagi masyarakat?

Skema Bank Tanah itu akan memperparah, baik itu dampak kerugian di masyarakat secara materil maupun dampak terhadap lingkungan. Itu karena dalam skema Bank Tanah itu tidak akan mempunyai perspektif lingkungan.

Kalau penunjukkan kawasan hutan, itu masih mempunyai perspektif perlindungan terhadap lingkungan karena ada konservasinya, ada lindungnya, ada hutan produksinya, walaupun sistem pembagian fungsi kawasan hutan ini memunculkan persoalan di Indonesia. Itu karena sistem ini, yaitu sistem pembagian fungsi kawasan hutan itu dirumuskan dan ditentukan wilayahnya secara top-down tanpa diidentifikasi fungsi real dalam ekologis terhadap wilayah tersebut, sehingga wilayah yang seharusnya kawasan konservasi menjadi hutan produksi, wilayah yang seharusnya menjadi kawasan produksi bagi masyarakat menjadi fungsi lindung.

Bank Tanah ini akan lebih parah karena memaknai ruang dan bidang tanah hanya ansi sebagai tanah, sebagai media produksi, alat produksi, objek dari satu bisnis.

Bagaimana skema yang akan lebih baik dari ini? Sebenarnya tidak akan ada yang lebih baik dari negara mengenali rakyatnya, negara mengenali, mengidentifikasi, menginventarisir sistem kepemilikan yang berkembang dan berfungsi di tingkatan masyarakat. Ini yang harus dilindungi oleh negara. 

Kalau ini dilakukan, satu, kita tidak akan ada konflik. Kedua, angka bencana kita akan menurun. Itu karena ketika masyarakat menempatkan suatu wilayah, fungsinya menjadi lindung, ada pertimbangan secara ekologis dan sosialnya. Kenapa mereka mempertimbangkan suatu wilayah itu menjadi kawasan lindung? Itu karena ketika suatu wilayah itu berubah, merekalah pihak pertama yang akan menerima dampak bencananya.

Kalau sekarang itu tidak adil, negara menempatkan suatu wilayah sebagai wilayah yang harus dieksploitasi, tetapi pengambil keputusannya di Jakarta. Mereka tidak tahu berapa volume air yang akan masuk perkampungan ketika wilayah tersebut dieksploitasi. Atas pertimbangan-pertimbangan ini, kami melihat bahwasannya negara sudah gagal mengenali rakyatnya sendiri. Kedua, mulai dari skema penunjukkan kawasan hutan, kemudian Bank Tanah, negara tidak bekerja dalam kerangka mendistribusikan kesejahteraan dan menjaga keadilan bagi rakyat.  

 

Tadi telah dipaparkan mengenai dampak negatif kehadiran Bank Tanah bagi masyarakat umum dan juga masyarakat adat, dan sebaiknya keberadaan Bank Tanah ini tidak dilanjutkan. Namun saya melihat beberapa negara di Eropa maupun di Afrika, dan juga Asia, ada sejumlah negara yang menerapkan Bank Tanah. Apa perbedaan Bank Tanah yang dibentuk oleh pemerintah kita dengan Bank Tanah yang sudah dibentuk oleh pemerintah -pemerintah lain di luar negeri?

Saya belum mempelajari mendalam sistem dan regulasi serta peruntukan bank-Bank Tanah yang dibuat di negara lain. Tetapi sistem Bank Tanah yang dibuat Indonesia ini berbahaya karena dua hal yang secara substansial itu diamanahkan oleh konstitusi untuk dilindungi dan diwujudkan oleh negara. 

Pertama, mengenai hak atas tanah. Kedua, mengenai hak manusia untuk tumbuh dan berkembang dengan peradabannya. Kedua-duanya ini dihancurkan oleh sistem penguasaan tanah oleh negara, baik itu dari proses penunjukkan kawasan hutan maupun Bank Tanah yang ada sekarang. Kalau ini dilanjutkan, maka konflik agraria yang sudah ada, kehancuran lingkungan sudah ada, bencana yang sudah ada, ini tidak akan terselesaikan. 

Terakhir, kenapa dari kawasan hutan Indonesia seluas 132 juta hektar mengakibatkan bencana, menimbulkan kerugian negara, tetapi tidak berkontribusi kepada kesejahteraan rakyat dan perekonomian negara? Itu karena wilayah yang dikuasai oleh negara melalui skema penunjukkan kawasan hutan, itu jauh melampaui kemampuan negara untuk mengawasinya. Bayangkan, 132 juta hektar harus diawasi oleh polisi kehutanan, itu tidak akan cukup.

Satu sisi, sistem penunjukkan kawasan hutan yang nanti akan ada Bank Tanahnya, itu memisahkan satu hubungan antara rakyat di dalam dan sekitarnya dengan bidang tanah tersebut. Ketika hubungan ini, baik itu hak maupun relasi sosial maupun relasi ekologisnya diputus antara rakyat dengan tanah tersebut, maka rasa tanggung jawab dari rakyat untuk melindunginya juga akan hilang.

 

Jadi, apa sistem manajemen pertanahan yang cocok untuk kita yang menguntungkan bagi masyarakat karena sistem penguasaan tanah melalui hutan negara terbukti merugikan masyarakat dan juga merusak lingkungan. Sistem Bank Tanah pun juga ternyata akan merugikan masyarakat dan juga berisiko terhadap kelestarian alam. Kalau dari sudut rekan-rekan masyarakat sipil, apa sebaiknya sistem manajemen pertanahan kita ini?

Itu sudah ada di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, itu harus diturunkan. Undang-undang Pokok Agraria itu secara filosofis dan substansial dirumuskan dengan sudah mengikuti karakteristik sosial hubungan antara manusia Indonesia yang agraris dengan ruangnya.

Kalau sekarang, para pemimpin politik Indonesia selalu dalam setiap lima tahun menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Kita ini bukan negara agraris, kita adalah bangsa agraris. Kenapa saya mengatakan bahwa kita adalah bangsa agraris? Itu karena manusia yang ada di Indonesia mempunyai pengetahuan, melaksanakan kehidupan, dan melindungi serta tumbuh bersama dengan budaya agraris itu.

Kalau negara belum bisa untuk dikatakan negara agraris karena dari regulasi, kebijakan negara tidak menunjukkan kebijakan agraris. Justru regulasi kita menghancurkan sistem kita yang agraris. Kalau kita ingin bentuk satu sistem pengolahan tanah, perlindungan tanah di Indonesia, maka harus kembali ke Undang-Undang Pokok Agraria dan diturunkan ke dalam peraturan pemerintah untuk pelaksanannya.

 

Tadi dikatakan bahwa kita harus kembali ke Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960. Tapi kenyataannya sejak tahun 1960 sampai kini konflik agraria itu banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Mengapa keberadaan regulasi tersebut juga belum menjamin untuk menghilangkan konflik agraria?

Itu karena Undang-undang Agraria diamputasi oleh negara.

 

Dimana diamputasinya?

Undang-undang Agraria tidak dapat diimplestasikan karena peraturan pelaksanaannya tidak dibuat, dan justru yang dibuat adalah undang-undang sektoral yang berlawanan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Apa undang-undang sektoral kita? Yaitu Undang-Undang Kehutanan, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Perkebunan. Bagaimana bentuk perlawanannya? Itu karena di undang-undang sektoral memperbolehkan merampas tanah rakyat, dan memperbolehkan pihak ketiga menguasai tanah dalam jumlah yang luas. Secara mendasar ini substansialnya.

Jadi, kalau kita ingin membangun suatu sistem, kita harus kembali ke Undang-Undang Pokok Agraria. Kalau Undang-undang Pokok Agraria sekarang tidak berlaku, itu karena kesalahan negara sendiri. Justru saya menilai negara ini tidak menjadi negara agraris karena Undang-undang sektoral tersebut. Undang-undang sektoral tersebut tidak mencerminkan bahwa pembuatnya itu mempunyai pemahaman dan cita-cita terhadap Indonesia sebagai negara agraris.

Previous
Previous

Next
Next