Literasi Digital untuk Kesetaraan Gender
Salam Perspektif Baru,
Dewasa ini semakin marak isu mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih populer dikenal dengan istilah kesetaraan gender. Hari ini kita membahas topik tersebut dengan seorang pakar sosiologi yaitu Dr. Harmona Daulay, S.Sos., M.Si., yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan III FISIP Universitas Sumatera Utara dan Ketua Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia.
Menurut Harmona Daulay, kalau kita lihat masalah isu kesetaraan gender sebenarnya masih belum sesuai dengan harapan yang ideal. Belum dalam konteks kesetaraan yang sangat equal. Ini kita lihat dari data-data. Jadi, yang mengatakan belum ideal bukan saya, tapi kita melihat dari data-data bahwa perkembangannya ada tapi belum baik, walaupun kita sudah mempunya Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender.
Kehadiran digital di satu sisi bisa mendukung pada kesetaraan gender karena perempuan-perempuan yang mempunyai akses literasi digital bisa tampil, bisa memanfaatkan itu untuk kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Tapi dia menjadi isu ketidaksetaraan ketika infrastrukturnya tidak dapat difasilitasi, kemudian mereka dengan pendidikannya rendah, literasi digitalnya rendah, maka itu akan tetap memberikan kesenjangan atau gender gap.
Harmona Daulay mengatakan peranan laki-laki sangat penting untuk kesetaraan gender karena menurut saya pada perempuan yang dengan nilai patriarki, perjuangan perempuan juga dianggap sinis, dianggap feminis itu tukang melawan, feminis itu tidak sesuai dengan norma. Padahal feminis itu adalah orang yang peduli dengan isu kesetaraan dan feminis, itu bisa laki-laki.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Dr. Harmona Daulay, S.Sos., M.Si.
Isu kesetaraan gender merupakan hak asasi kita sebagai manusia. Kesetaraan gender juga merupakan isu utama dalam pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia. Selama ini Pemerintah kita sangat giat membangun kesetaraan gender. Bagaimana kondisi kesetaraan gender di Indonesia saat ini?
Pertama, saya mengucapkan Selamat Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Kita mempunyai Hari Perempuan Indonesia tanggal 20 Desember dengan peringatan Hari Ibu dalam konteks perjuangan perempuan Indonesia yang dimulai dari tahun 1928. Kalau kita lihat masalah isu kesetaraan gender sebenarnya masih belum sesuai dengan harapan yang ideal.
Bagaimana maksudnya belum sesuai harapan?
Belum dalam konteks kesetaraan yang sangat equal. Ini kita lihat dari data-data. Jadi, yang mengatakan belum ideal bukan saya, tapi kita melihat dari data-data bahwa perkembangannya ada tapi belum baik, walaupun kita sudah mempunya Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender.
Sebenarnya Pemerintah sudah serius sejak tahun 2000 untuk membuat kebijakan yang responsif gender, yang itu diamanahkan untuk pemerintahan provinsi, kabupaten, kota, termasuk juga di bidang perguruan tinggi untuk mengawali isu gender ini.
Kalau kita lihat perkembangan dalam Gender Development Index (GDI) Tahun 2020, kita berada di 107 dari 189 negara. Juga di ASEAN untuk isu ketidakadilan gender kita masih di posisi yang belum baik. Kita bisa lihat Index Kesetaraan Gender Indonesia menduduki posisi tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
Sebenarnya kita optimis, kita tetap berbenah, kita tetap mengkondisikan isu-isu ketidaksetaraan gender itu dalam perspektif yang seharusnya berkeadilan. Seharusnya tidak ada lagi stereotip terhadap perempuan yang menyudutkan mereka, tidak ada lagi diskriminasi karena stereotip sosial, tidak ada lagi marginalisasi, peminggiran perempuan karena dirinya perempuan. Jadi, pelan-pelan nanti pada masyarakat dunia yang banyak menganut sistem patriarki, dimana nilai patriarki itu memberikan banyak privilege terhadap laki-laki.
Apa penyebab keseteraan gender di Indonesia masih dikatakan rendah karena berada di peringkat 107?
Saya kira mengubah struktur, sistem, pola pikir, dan habitus masyarakat itu tidak mudah, apalagi gendernya dianggap taken for granted. “Ya sudahlah, memang laki-laki dan perempuan itu berbeda.”
Saya setuju laki-laki dan perempuan berbeda, secara sex kita berbeda, secara gender kita berbeda dalam pengertian laki-laki itu maskulin dan perempuan itu feminim. Itu karena ketika saya perempuan konstruksi sosialnya adalah saya feminim, ketika seseorang lahir sebagai laki-laki maka konstruksinya maskulin. Tetapi problemnya maskulin dan feminim itu dinilai berbeda dalam masyarakat.
Jadi, sistem kita yang seharusnya itu pelan-pelan nilai-nilai kesetaraan itu seharusnya menjadi praktek sosial, tidak menjadi slogan. Misalnya, yang lahir anak laki-laki atau perempuan, kalau perempuan nanti dianggap menjadi beban. Sedangkan kalau laki-laki menjadi kebanggaan rumah tangga. Mungkin ini contoh sederhananya.
Di masyarakat kita sering melihat atau mungkin pernah mengalami atau juga terjadi, ketika anak-anaknya berprestasi kadang-kadang yang disebut adalah Bapaknya. Tetapi ketika anak-anaknya kurang berprestasi atau punya masalah sosial, maka yang disalahkan adalah mamanya, mungkin karena mamanya kerja, dan sebagainya. Itu ada tanggung jawab sosial yang seolah-olah sepenuhnya ada pada ibu.
Padahal di dalam rumah tangga peran ayah dan ibu dalam domestik dan publik seharusnya seimbang. Ketika perempuan mempunyai pekerjaan di domestik, kebanyakan laki-laki tidak menyentuh. Saya tidak mengatakan kesetaraan gender, kita bicaranya sama rata dalam pengertian semua kasus pada tempat yang sama, tidak. Tapi ketika kita bicara gender, isu perempuan perkotaan, relasi gender perkotaan itu berbeda dengan di desa, termasuk nanti kalau dalam kontek digital itu beda lagi.
Saat ini kita sudah berada di dunia digital, banyak pihak menyebut bahwa dunia digital ini membuka peluang juga untuk membantu mewujudkan kesetaraan gender. Apakah Anda melihat hal itu juga atau justru sebaliknya dunia digital ini justru membuat ketidaksetaraan makin melebar?
Kita tahu dunia digital itu memerlukan keterampilan digital dan literasi digital. Sebenarnya pada perempuan-perempuan yang mempunyai kecerdasan digital atau literasi digitalnya baik, ini sangat peluang karena saya lihat di dunia digital semua orang bisa jadi konten kreator, orang bisa menyebarkan informasi termasuk berbisnis, kampanye, dan sebagainya mereka bisa lakukan itu.
Problemnya, ketika perempuan-perempuan yang punya pendidikan baik, maka itu tentu memberikan kesempatan yang luas untuk eksis, berkarir, populer. Tapi keterbatasan perempuan dengan pendidikan rendah dengan infrastruktur yang kurang baik di pedesaan misalnya, itu menjadi masalah tersendiri, termasuk juga dengan pendidikan perempuan yang berbeda dengan laki-laki.
Kalau kita lihat partisipasi ekonomi, perempuan lebih rendah dari laki-laki, termasuk juga dari data PBB yaitu anak laki-laki rata-rata tamat SMP, sedangkan anak perempuan hanya SD. Itu datanya di dunia yang termasuk bisa terjadi di Indonesia.
Jadi menurut saya, di satu sisi dia bisa mendukung pada kesetaraan gender karena perempuan-perempuan yang mempunyai akses literasi digital bisa tampil, bisa memanfaatkan itu untuk kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Tapi dia menjadi isu ketidaksetaraan ketika infrastrukturnya tidak dapat difasilitasi, kemudian mereka dengan pendidikannya rendah, literasi digitalnya rendah, maka itu akan tetap memberikan kesenjangan atau gender gap.
Itu karena mereka akan ketinggalan secara berita, mereka tidak bisa memanfaatkan untuk marketing UMKM-nya, mereka tergantung dengan laki-laki, dan sebagainya. Itu akan menimbulkan kesenjangan tentunya ketika para perempuan-perempuan tidak siap di keterampilan teknik dan teknologi.
Dunia digital tidak bisa dihindari dan kita sudah memasuki dunia digital. Bagaimana upaya atau cara agar perempuan-perempuan dan kelompok yang terpinggirkan ini tidak dikucilkan dari dunia digital?
Tentu saya rasa perlu dukungan semua pihak baik pemerintah, NGO, dan keluarga untuk dilakukan pemberdayaan pengetahuan tentang digitalnya. Jadi, pelatihan-pelatihan digital, pelatihan literasi, dan pelatihan-pelatihan misalnya di dunia kita ada tentang isu kekerasan-kekerasan yang terjadi seksual, dan sebagainya.
Misalnya, di digital itu dilakukan pengawalan untuk sosialisasi, untuk pendampingan cara-cara menggunakan, kemudian kejahatan-kejahatan siber yang juga banyak menimpa perempuan. Itu tentu harus dibagikan, kalau bahasa zaman dahulu adalah Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE).
Jadi, pengawalan itu saya rasa tidak bisa lepas, apalagi kalau kita bicara ibu. Dia seharusnya secara ideal mempunyai kemampuan digital, apalagi saat zaman pandemi ibu itu menjadi guru di rumah saat anak-anak sekolah di rumah. Memberdayakan ibu itu sangat penting karena ibu itu menjadi jendelanya keluarga untuk melihat dunia.
Kalau ibunya tidak paham literasi digital, tidak paham konten-konten atau web yang tidak baik dan sebagainya, saya rasa itu menjadi riskan untuk sosialisasi kepada generasi atau anak karena kita tahu agen sosialisasi yang primer adalah keluarga.
Anak itu dibentuk di keluarga dulu. Ketika ibu-ibu memanfaatkan misalnya dia buka platform yang mencerdaskan cara dia berpikir, mencerdaskan keterampilan-keterampilan kesehatan, atau yang lain, maka nanti akan berpengaruh kepada anak dan masyarakat. Jadi, saya rasa ibu juga sangat penting diajari untuk lebih high tech, dan untuk high tech itu ada disparitas antar ibu-ibu di kota dan di desa. Itu juga menjadi satu PR kita bersama.
Satu sisi memang dunia digital itu membuka peluang untuk kesetaraan gender. Di satu sisi lain dunia digital ini juga bisa menjadi ancaman ketidaksetaraan bahkan boleh dikatakan adalah kejahatan digital untuk perempuan dengan perempuan menjadi korban kejahatan digital. Bagaimana upaya melindungi perempuan dari kejahatan-kejahatan digital?
Kuncinya saya rasa tetap literasi, yaitu literasi media, literasi digital. Kemudian diberi tips-tips umum bagaimana berhati-hati mengunggah status dan sebagainya untuk orang yang suka bermedia sosial.
Kemudian jangan follow akun-akun yang tidak berguna, diberitahu untuk memiliki wawasan mengenai platform yang tidak baik, cari tontonan-tontonan dari media digital yang positif. Juga jangan cepat percaya karena namanya dunia digital atau anak sekarang menyebutnya dunia maya (dumay) itu banyak sekali pengetahuan-pengetahuan, kewaspadaan-kewaspadaan yang harus kita bekali terhadap semua perempuan, sehingga mereka tidak terlalu lugu.
Itu karena kita lihat saat ini banyak dari mereka yang kenalan di dunia maya, kemudian ikut, dibawa, hilang, dan sebagainya. Itu termauk hal-hal yang menjadi macam-macam masalah sosial seperti prostitusi online, dan sebagainya.
Saya rasa penguatan-penguatan literasi, pengetahuan, dan pendidikan sebenarnya harus dari awal karena kalau pendidikannya terbatas tentu biasanya logical knowledge-nya terbatas, sehingga tidak bisa mensortir dari gegap gempitanya informasi, gegap-gempitanya hal-hal atau bujukan-bujukan di media sosial yang itu membahayakan dia.
Dengan jumlah pengguna yang besar, teknologi digital seperti media sosial menawarkan banyak peluang untuk keseteraan gender. Tetapi untuk mewujudkannya tidak mudah. Salah satu faktor yang sering disebut oleh publik adalah faktor maskulinitas. Bagaimana Anda melihat faktor maskulinitas ini dalam membantu terwujudnya kesetaraan gender terutama di Indonesia?
Maskulinitas dalam dunia patriarki itu tentu menjadi pihak dominannya, feminitas itu pihak yang didominasi. Fakta secara umumnya begitu. Hegemonic Masculinity dalam pengertian dunia laki-laki itu menjadi penting, dan dunia perempuan itu masuk pada dunia sektor domestik yang tidak penting.
Jadi, dengan hegemonic masculinity yang terjadi termasuk di media, saya rasa dunia digital sekarang ini memberikan ruang untuk konstruksi-konstruksi yang dibangun dalam dunia maskulin.
Misalnya, zaman dulu yang namanya cantik itu cantik yang konstruksi barat seperti Barbie, langsing, tinggi, putih, kurus. Di dunia digital sekarang, saya lihat di Youtube ada perempuan Vlogger yang tidak memakai standar cantiknya Barat. Jadi, mereka pakai lokal. Misalnya, ada selebgram namanya Kekeyi, dia beauty vlogger yang membahas mengenai kecantikan. Kalau dianggap dia tidak ideal dalam konteks cantik konstruksi luar betul, tapi mereka percaya diri.
Saya lihat ada beauty vlogger, perempuan-perempuan yang memberikan pengetahuan yang dia miliki dengan blog, tiktok, real, dan sebagiannya. Saya rasa itu memberikan posisi bahwa mereka ada, mereka berani tampil. Kalau kita bahas memakai teori feminis, ini sudah masuk ke feminis fomo.
Misalnya, iklan Dian Sastro mengenai rambut zaman dulu, pasti Pak Hayat lebih suka perempuan yang rambutnya panjang terurai, hitam terurai. Tapi sekarang Dian Sastro mengatakan bahwa “Rambut aku Kata aku”. Jadi, rambut keriting, rambut panjang, rambut pendek, pakai jilbab, itu ya “Rambut aku, Kata aku.” Itu menunjukkan strong-nya perempuan.
Kebebasan media membuat semua orang bisa meng-upload, memposting, membuat konten kreator. Itu memberikan ruang-ruang eksistensi perempuan, dan dari hal itu kita diuntungkan. Tetapi ketika berita-berita itu menyudutkan perempuan, berita-berita itu memberikan kampanye bahwa perempuan itu seharusnya di rumah saja, atau kampanye bahwa anak perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi. Ketika konten-kontennya berisi intimidasi-intimidasi begitu, maka itu tidak baik apalagi kalau itu banyak followernya.
Dengan sekarang youtuber-youtuber ataupun orang-orang top di media, saya merasa seharusnya mereka mempunyai perspektif gender. Jadi, ketika orang mengikuti dia, dia mempunyai sisi-sisi atau dia bisa mengkampanyekan, apalagi PBB termasuk Indonesia juga mengkampanyekan he for she bahwa kita perjuangan gendernya tidak bisa perempuan saja, harus laki-laki juga.
Itu karena secara historis, dulu historisnya, perempuan merasa ada ketidakadilan dalam terminologi women in development, yaitu perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan. Kemudian itu berubah, ternyata strategi itu tidak cocok. Jadi, women and development. Dan terakhir, tidak bisa kita tidak melibatkan laki-laki, sehingga namanya Gender and Development (GAD).
Itu karena ada perbedaan antara bicara perempuan dengan bicara gender. Bicara perempuan itu kita memberdayakan perempuan, kebutuhan praktis perempuan harus kita pikirkan. Kalau dia tidak ada kerja, misalnya istri nelayan tidak kerja, maka kita berikan keterampilan membuat produk ikan menjadi olahan. Tapi ketika kebutuhan strategis adalah saat perempuan dia mengalami KDRT, dia tidak bisa masuk ke politik karena perempuan harus dikawal, itu kita memerlukan he for she. Jadi, laki-laki yang mendukung pada perjuangan perempuan. Itu kampanyenya.
Seberapa pentingnya peranan laki-laki ini untuk kesetaraan gender?
Sangat penting karena menurut saya pada perempuan yang dengan nilai patriarki, perjuangan perempuan juga dianggap sinis, dianggap feminis itu tukang melawan, feminis itu tidak sesuai dengan norma. Padahal feminis itu adalah orang yang peduli dengan isu kesetaraan dan feminis, itu bisa laki-laki.
Jadi, kita dalam relasi sosial, relasi laki-laki dengan perempuan di masyarakat itu laki-laki dan perempuan. Ketika relasi itu ingin dibangun dalam konteks harmoni, dalam konteks kesetaraan, kalau laki-laki tidak dilibatkan, maka itu akan berbahaya dan tidak jalan programnya.
Itu sama dengan ketika kita ingin mengangkat derajat perempuan, kemudin kita katakan kalau kamu di pukul, KDRT, kamu harus melapor. Itu tidak bisa lagi memakai wacana lama bahwa urusan KDRT itu adalah urusan pribadi. Tidak bisa begitu karena itu sudah masuk ranah hukum. Kalau ada orang dipukul di sebelah rumah saya, saya melaporkan, itu bukan delik aduan. Itu bisa kita laporkan.
Jadi, laki-laki sangat dibutuhkan karena saya percaya dan saya tahu bahwa saya adalah orang feminis. Tapi saya merasa kita harus harmoni, perempuan dengan laki-laki itu relasinya bagaikan siang dan malam, saling membutuhkan. Kalau di ibaratkan kepala dan leher, kepala berdiri itu membutuhkan leher dan leher berdiri itu membutuhkan kepala. Jadi, saya rasa hubungannya adalah hubungan saling. Walaupun kita berbeda, kita tidak mendapatkan perbedaan dalam stereotip sosial, tetapi kita sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, peran gender kita laki-laki dan perempuan, apalagi gender itu konstruksi dan bisa berubah.