Menjadikan Sampah Ladang Uang

Salam Perspektif Baru,

Pada edisi kali ini wawancara Perspektif Baru datang ke kota Garut untuk menemui narasumber kita yang aktif di pengelolaan sampah, yaitu Roni Faisal Adam yang menjabat sebagai Ketua Komite Peduli Lingkungan Hidup Indonesia. Dia dan lembaganya bergerak dalam pemberdayaan pengelolaan sampah di wilayah Kabupaten Garut, khususnya di wilayah Kecamatan Cibatu.

Menurut Roni Faisal Adam, sebetulnya sampah itu tidak akan bau bila kita mengelolanya dengan benar dan bahkan sampah itu adalah emas. Itu karena sampah adalah ladang uang, bisa menghasilkan uang bila dapat mengelola dan memanfaatkannya dengan benar. Namun, perspektif masyarakat di Indonesia itu seolah-olah tidak ingin menjadikan sampah itu uang. Seolah-olah sampah itu dibuang begitu saja. Padahal yang dibuang itu adalah uang.

Pengelolaan sampah melalui bank sampah memiliki banyak manfaat. Pertama secara ekonomis, yaitu benefit uang. Kedua, kawasan atau daerah tersebut menjadi bebas sampah, bersih, dan sehat. Ketiga, seolah-olah ada pembelajaran bahwa sisa sampah itu jangan sampai dibuang. Kembali lagi yang saya katakan tadi bahwa bisa jadi sampah itu adalah betul-betul emas.

Pertama, sampah yang layak kita jual, maka kita jual. Kalau yang tidak layak dijual, maka kita olah menjadi produk lain seperti kerajinan tangan. Kemudian sampah sayuran itu diolah menjadi kompos.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Roni Faisal Adam.

Pengelolaan sampah ini merupakan persoalan di berbagai negara karena sifat sampah yang sulit terurai, terutama sampah plastik. Ditambah lagi setiap tahun jumlah volume sampah terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. 

 

Saat kita berbicara mengenai sampah, yang terpikirkan oleh banyak orang adalah bahwa sampah itu sesuatu yang bau, kotor, dan jorok. Tetapi mengapa Anda malah berkecimpung di bidang sampah?

Jadi, ini adalah perspektif yang diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi dari Pemerintah. Sebetulnya sampah itu tidak akan bau bila kita mengelolanya dengan benar dan bahkan sampah itu adalah emas.

 

Bagaimana bisa dikatakan bahwa sampah itu adalah emas?

Itu karena sampah adalah ladang uang, bisa menghasilkan uang bila dapat mengelola dan memanfaatkannya dengan benar. Namun, perspektif masyarakat di Indonesia itu seolah-olah tidak ingin menjadikan sampah itu uang. Seolah-olah sampah itu dibuang begitu saja. Padahal yang dibuang itu adalah uang.

Saat ini pemerintah sudah ada beberapa program dalam pengelolaan sampah. Di sini kami bekerja sama dan berkolaborasi dengan Rumah Sampah Salarea, dibawah naungan Yayasan Salarea membuat bank sampah. Di sana semua warga memilah sampahnya. Sampah plastik, kertas disimpan, begitupun dengan sayuran juga disimpan.

 

Menarik, Anda bersama Yayasan Salarea membuat bank sampah untuk mengolah sampah itu menjadi emas atau akhirnya menjadi uang. Apakah di desa ini menghadapi persoalan dengan sampah?

Bukan hanya di desa ini saja, tapi ruang lingkupnya sudah Kabupaten. Di Garut sudah ada penetapan dari pemerintah kabupaten, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun sosialisasi Perdanya  kurang ke bawah, akhirnya kami di sini sejak beberapa tahun lalu bekerja sama dengan Rumah Sampah Salarea, dibawah naungan Yayasan Salarea, mendirikan bank sampah.

 

Dari man Anda mempunyai ide mendirikan Rumah Sampah Salarea dan bank sampah Salarea?

Ide pertama pada 2018 saat saya berbicara dengan Bupati mengenai pengelolaan sampah. Pada 2017 dan 2018 Kabupaten Garut mempunyai tempat pembuangan sampah yang areanya besar, ada beberapa hektar yaitu di Pasir Bajing, Kecamatan Leles. Tapi di sana itu sampahnya sudah tidak tertampung. 

Akhirnya kami mencetuskan ide tersebut dengan dorongan semua stakeholder yang ada di Cibatu. Kemudian di bawah naungan Yayasan Salarea, Alhamdulillah di Desa Wanakerta kami bangun bank sampah.

Saat ini kami sedang mempersiapkan pendirian bank sampah yang ada di Desa Padasuka. Ini karena peliknya persoalan sampah di Kecamatan Cibatu, yaitu di pinggir-pinggir jalan masih banyak tumpukan sampah, membuat kami semangat untuk mengubah supaya tidak terjadi seperti itu lagi.

 

Di perspektif Anda sampah adalah emas, tetapi di masyarakat perspektifnya adalah sampah itu sesuatu yang bau dan jorok. Bagaimana Anda mengubah perspektif tersebut? Karena tidaklah mudah untuk meyakinkan masyarakat untuk akhirnya bergabung dengan Anda terlibat dalam pengolahan sampah, dalam Rumah Sampah Salarea, dan juga bank sampah Salarea?

Jadi, itu adalah tantangan yang sangat sulit dan banyak yang harus diperjuangkan. Akhirnya, saya bertahap yaitu sosialisasi ke warga di sekitar melalui wadah yaitu tim penggerak PKK. Itu karena perempuan yang siap, sedangkan kalau laki-laki lebih mempunyai gengsi. 

Jadi, akhirnya kita ke perempuan, kami berbicara bagaimana caranya untuk pengelolaan sampah. Sebagai contoh, di desa Wanakerta kalau tidak salah di RW 02 pengelolaan sampah yang dijalankan sekarang, yaitu bank sampah sudah berjalan dan untuk sosialisasi ke bawah memanfaatkan penggerak PKK.

Jadi di setiap rumah, kita mengumpulkan sampah setiap hari di tempat sampahnya masing-masing. Kemudian tiap rumah itu sudah memisahkan antara sampah organik, non organik, dan yang lainnya. Setelah itu nanti Ibu-Ibu PKK akan datang ke rumah warga untuk mengambil sampah dan ditimbang.

 

Apakah ada mafaaat ekonominya?

Ada. Manfaat ekonominya itu bisa membantu kebutuhan rumah tangga sendiri.

 

Apa misalnya?

Jadi, sampah yang sudah ditimbang akan dijadikan uang di bank sampah. Di bank sampah itu tidak langsung memberikan uang setelah sampahnya ditimbang, tapi dikumpulkan atau istilahnya kita menabung selama satu bulan di sana. Misalnya, keluarga A mengumpulkan selama satu bulan itu ada 50 kilo, kemudian disepakati harga per kilonya berapa, baru diberikan uangnya.

 

Sistemnya mirip seperti bank konvensional. Kalau kita bicara bank tentu itu harus ada modal. Dari mana Anda dan teman-teman bisa mempunyai modal untuk menjalankan bank sampah ini sehingga masyarakat tertarik untuk ikut memanfaatkan keberadaannya?

Modal yang pertama yaitu dengan ucapan bismillah, dengan niat yang kuat, tekad yang kuat, akhirnya ini berjalan. Kedua, kita kerja sama dengan para pengusaha-pengusaha yang bisa membeli sampah kita karena sudah dipilah, ada yang plastik, kertas, dan lainnya.

 

Apa manfaat yang didapat oleh masyarakat dengan ikut terlibat pengelolaan sampah, khusunya di Desa Wanakerta yang sudah berjalan? Apakah hanya manfaat ekonomi saja yang mereka dapat yaitu dengan benefit uang dari menjual sampah-sampah plastik?

Manfaatnya banyak. Pertama secara ekonomis, yaitu benefit uang. Kedua, kawasan atau daerah tersebut menjadi bebas sampah, bersih, dan sehat. Ketiga, seolah-olah ada pembelajaran bahwa sisa sampah itu jangan sampai dibuang. Kembali lagi yang saya katakan tadi bahwa bisa jadi sampah itu adalah betul-betul emas.

 

Tadi sampah dari masyarakat tidak dibuang, tapi Anda kumpulkan. Apakah Anda buang lagi ke tempat pembuangan akhir atau Anda olah menjadi suatu produk lain?

Pertama, sampah yang layak kita jual, maka kita jual. Kalau yang tidak layak dijual, maka kita olah menjadi produk lain seperti kerajinan tangan.

 

Apa contohnya?

Contohnya, dari bungkus kopi bisa dibuat menjadi tas. Kemudian dari sedotan bekas minuman juga bisa dibuat menjadi tas.

 

Apakah laku kalau dijual lagi, dan apa ada yang mau membeli?

Alhamdulillah kalau di sini banyak yang beli. Ada juga yang bisa dijadikan tikar untuk tempat duduk.

 

Apakah dari sana berarti Anda bisa mendapat modal lagi untuk bayar sampah plastik dari masyarakat?

Betul. Kemudian yang masalah sampah sayuran beda lagi, itu diolah menjadi kompos.

 

Dalam satu minggu dan satu bulan, berapa sampah yang dihasilkan oleh masyarakat di Desa Wanakerta yang akhirnya diolah menjadi produk yang tadi Amda sebutkan?

Di Desa Wanakerta ada 16 RW tapi baru satu RW yang menjadi percontohan. Dalam satu minggu di satu RW itu sampahnya tidak terlalu banyak, hanya ada beberapa kwintal dan itu sudah dipilah.

 

Apakah pemerintah daerah mendukung kegiatan Anda ini?

Alhamdulillah mendukung, semua stakeholder mendukung yaitu pihak kecamatan, dan pemerintah kabupaten. Justru beberapa hari sebelumnya kami pernah mengobrol dengan pimpinan kita, yaitu Bapak Bupati mengenai pengelolaan sampah. 

Ini yang sangat peliknya, sudah ada Perda termasuk juga diiringi dengan Peraturan Bupati (Perbup), kendalanya adalah dasar hukumnya tidak kuat, tidak ada sanksi untuk pelanggaran yang berkaitan dengan sampah ini. Tapi tahap demi tahap kami menjalankannya, yaitu melalui bank sampah karena sudah ada dalam peraturan daerahnya. Alhamdulillah dengan adanya Perda dan Perbup tentang pengelolaan sampah, Pemerintah Kabupaten sudah mendukung.

 

Tadi di awal sudah dijelaskan bahwa lembaga Anda sudah mengelola aksi nyata mengenai sampah ini di Desa Wanakerta, dan akan melanjutkan lagi di Desa sebelahnya yaitu Desa Padasuka. Apakah tantangannya atau persoalannya sama antara Desa Wanakerta dan Desa Padasuka?

Tantangannya Alhamdulillah berbeda. Awalnya, setelah di Wanakerta itu beberapa bulan yang lalu di Cibatu ada tempat kuliner. Itulah sejarahnya di Padasuka akan dibuka tempat pengelolaan sampah. Di sana ada Taman Kuliner Cibatu yang setiap hari kebingungan untuk pembuangan sampahnya itu harus kemana. 

Akhirnya, kami dengan rekan-rekan di sini, termasuk dengan Rumah Sampah Salarea dan Yayasan Salarea ingin membuat lagi tempat pengelolaan sampah. Alhamdulillah, di Desa Padasuka ini ada tempat yang lahannya luas. Jadi, begitulah tercetusnya ide ini karena di Cibatu itu orangnya supel, sehingga bisa diajak komunikasi dengan baik. 

Alhamdulillah kami sudah menjajaki satu tempat, yaitu tempat kuliner untuk bisa nanti sampahnya itu masuk ke Desa Padasuka, yaitu dengan bank sampah yang baru.

 

Menariknya adalah kesadaran untuk pengelolaan sampah secara terpadu ini muncul dari masyarakat. Mengapa pemerintah Kabupaten Garut tidak terpikirkan untuk mengelola sampah dari tempat kuliner di Desa Padasuka ini?

Bukannya Pemerintah Kabupaten Garut tidak peduli. Justru uniknya adalah pasca dibangunnya tempat kuliner di sana, Bupati menitipkan bahwa Cibatu adalah kawasan wisata dan kawasan industri. Akhirnya setelah melalui beberapa proses, taman kuliner diresmikan oleh beliau. 

Di sana Bupati mengatakan bahwa tempat kuliner ini harus ada tempat sampahnya, harus disiapkan. Jadi, pembuatan tempat pengelolaan sampah ini juga atas dorongan dari pemerintah Kabupaten.

 

Apakah ada bantuan juga dari Pemkab untuk pengelolaan sampah di Cibatu?

Untuk saat ini tidak ada.

 

Apakah ini berarti hanya memerintahkan saja?

Memerintahkan dan baru komunikasi. Itu karena memang prosesnya tidak mudah. Cibatu itu luas, ada 11 desa, dan beberapa tempat sampah yang berjejeran di jalan. Jadi, kami hanya fokus dulu di Desa Padasuka. Untuk ke depannya mudah-mudahan dengan Rumah Sampah Salarea dan Yayasan Salarea bisa terwujud 11 desa itu satu desa memiliki satu bank sampah.

 

Menariknya juga adalah masyarakat Desa Wanakerta mempunyai persoalan sampah yang sudah diselesaikan dengan pengelolaan sampahnya. Ternyata di desa sebelahnya yaitu Desa Padasuka mengalami hal yang sama. Mengapa budaya masyarakat masih tidak memperhatikan mengenai pengelolaan sampah?

Itu karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah, walaupun sudah ada penetapan Perda dan Perbub. Justru kami di sini dengan rekan-rekan ingin ada mengenai pengelolaa sampah seperti apa. Kalau di luar negeri itu bisa secara langsung berhubungan dengan warga. Kalau pemerintah hanya mengatakan, “Jangan buang sampah sembarangan” di tiap daerah.

 

Bukankah di setiap Perda selalu ada sanksi bagi yang membuang sampah sembarangan yaitu bisa terkena hukuman kurungan tiga bulan atau denda minimal Rp 500.000. Apakah itu tidak efektif untuk membuat warga lebih peduli dalam pengelolaan sampah?

Tidak efektif karena sumber daya manusia (SDM) sedikit. Jadi, siapa yang akan memberikan sanksi? Contoh, karena penegakan Perda itu oleh Satpol PP, di sini Satpol PP tidak bisa berjalan karena SDM-nya sedikit. Mungkin kalau SDM-nya banyak, maka bisa setiap desa memiliki satu Satpol PP.

 

Sampah ini berasal dari mana saja yaitu dari aktivitas semua manusia dan dari kegiatan misalnya perkantoran, warung, pertokoan, rumah tangga, dan sebagainya. Bagaimana peran pihak-pihak lain seperti swasta dalam pengelolaan sampah yang ada di wilayah Cibatu, Kabupaten Garut ini?

Di sini belum ada pihak swasta seperti perusahaan, baru toko-toko kecil saja. Kami di sini juga persiapan untuk menjalin kerjasama dan minta dorongan dukungan dari pihak swasta maupun pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sampah di Cibatu karena walaupun sudah ada bank sampah juga tidak akan bisa semuanya masuk ke sana.

Previous
Previous

Next
Next