Menjadikan Desa Kekuatan Ekonomi Baru
Salam Perspektif Baru,
Wilayah kehidupan masyarakat kita pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu perkotaan dan pedesaan. Saat kita berbicara mengenai desa, wilayah pedesaan di Indonesia banyak yang berada di sekitar hutan, bahkan berada di dalam hutan. Hari ini kita membahas mengenai pembangunan desa dengan memanfaatkan pengelolaan kawasan hutan untuk kesejahteraan. Narasumber kita adalah Martua T. Sirait, Wakil Direktur Eksekutif The Samdhana Institute Kantor Operasi Indonesia, dan juga Ketua Alumni Fakultas Kehutanan Mulawarman, Samarinda cabang Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Martua Sirait mengatakan desa di sekitar kawasan hutan akan menjadi satu kekuatan ekonomi baru dari sektor-sektor yang mungkin tidak dilirik sebelumnya. Sekarang masyarakat mulai melihat dan memanfaatkan jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan.
Misalnya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ada kegiatan ekowisata di kaki-kaki Gunung Merbabu. Konsepnya adalah kopi-kopi nikmat, ada kemping, dan menawarkan keindahan alam dengan fasilitas-fasilitas bukan berbintang, fasilitas-fasilitas terbatas yang disukai anak-anak muda.
Contoh yang lebih menarik lagi adalah membawa para champion barista tuna netra dan barista tuna rungu untuk mengajarkan barista di kampung. Tujuannya, untuk menarik mereka yang difabel di kampung yang kadang-kadang tinggal di rumah saja agar keluar terlibat di situ. Ternyata hasilnya bukan main, bahkan kelompok itu menjual paket yang waktu itu belajar kopi dengan orang tuna netra.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Martua T. Sirait.
Sepengetahuan kami, Samdhana Institute adalah Pusat Pembaharuan Sosial dan Lingkungan Asia. Apakah itu benar?
Terlalu besar kalau disebut seperti itu. Mungkin lebih tepatnya adalah satu komunitas orang -orang yang bekerja untuk pembaharuan di pedesaan dengan pendekatan damai dan juga baik terhadap lingkungan serta pembangunan yang lestari.
Cocok sekali kalau kita bicara mengenai desa dan hutan dengan Anda. Hutan merupakan kawasan yang sangat erat kaitanya dengan aktivitas lingkungan, sosial, budaya dan juga ekonomi masyarakat. Banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan, bahkan juga di dalam hutan, menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.
Bagaimana potensi ekonomi dari pengelolaan hutan ini untuk pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakatnya?
Kita tahu hutan di Indonesia cukup luas yaitu hampir mencapai 70% dari luas daratan Indonesia, sehingga tentunya akan beririsan banyak dengan wilayah-wilayah pedesaan. Di pedesaan tentunya ada usaha kebun rakyat, ada hutan yang dikelola masyarakat, lahan pertanian, maupun pemukiman juga yang masih banyak ada di dalam kawasan hutan.
Di masa lalu ini banyak dianggap sebagai masalah, tetapi sekarang kita melihatnya terbalik yaitu sebagai potensi. Berapa banyak masyarakat yang ada di dalam wilayah kawasan hutan yang mengelola secara aktif wilayah tersebut? Itu perlu diberikan tempat yang pas. Ruang-ruang ini penuh dengan potensi dan inovasi. Jadi, bukan hanya kita melihat potensi hutannya saja atau kayunya saja, tetapi ada masyarakatnya di sana dengan inovasi-inovasi. Itu saya pikir perlu kita lihat sebagai potensi daripada hutan itu sendiri.
Bagaimana cara kita menempatkan potensi yang pas terhadap hutan untuk pembangunan desa dan juga kesejahteraan masyarakatnya?
Kita tahu pembangunan saat ini, terlebih pasca ada Udang-Undang tentang Desa, dimana desa mendapatkan insentif besar, pendanaan yang besar, dan perhatian yang besar untuk wilayahnya. Tetapi potensi-potensi itu tentu kita lihat. Kalau dia berbentuk lahan, banyak terletak pada apa yang ada di dalam dan usaha-usaha apa yang dilakukan di dalamnya.
Di masa lalu masyarakat banyak sekali bergantung pada kayunya, yang dianggap sebagai potensi desa atau potensi hutan. Tetapi sekarang ini bukan hanya kayunya, tetapi juga usaha-usaha masyarakat dalam bentuk ekowisata. Sekarang banyak sekali kegiatan wisata. Jadi yang dilihat sebenarnya jasanya, seperti jasa layanan alam yang diberikan, udara yang sehat, air yang baik dan cukup.
Juga, jasa-jasa lingkungan lain termasuk wisata dan hasil-hasil selain daripada kayu yang ternyata jauh lebih banyak. Misalnya, dari buah-buahan, biji-bijian, akar-akaran, dan sebagainya yang erat kaitannya dengan pangan sehat. Apalagi pada kondisi COVID-19, banyak yang mencari madu. Harga madu dimana-mana melambung tinggi. Dari mana sumber madunya? Tetap dari lingkungan hutan lingkungan yang sehat, yang ada di sekitar pedesaan dan hutan kita.
Apakah jasa lingkungan tersebut selama ini sudah bisa dimanfaatkan untuk membangun desa dan kesejahteraan masyarakatnya?
Mungkin belum optimal, tetapi harus kita berikan contoh supaya kita yakin bahwa itu bisa. Saya berjalan ke banyak lokasi dimana tenaga listrik di masyarakat desa bersumber dari pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Listriknya sendiri dihasilkan dari jasa lingkungan itu. Bayangkan listrik yang harus kita bayar dengan token, itu semua bisa dibayarkan oleh alam. Yang kita perlukan adalah tentu membangun infrastruktur dan sedikit merawat.
Jasa lingkungan dari bentuk energi listrik ini manfaatnya luar biasa, otomatis untuk pembelajaran anak sekolah, penerangan, dan kegiatan-kegiatan lain. Dengan adanya listrik di pedesaan itu akan sangat bermanfaat. Itu satu segmen yang kita ambil.
Jasa lingkungan lain yang saat ini terus kita gunakan adalah jasa matahari. Proses fotosintesa yang menghasilkan buah, akar, daun, dan sebagainya dari tanaman. Jasa-jasa lain masih banyak lagi. Kalau kita melihat hasil-hasil daripada buah yang dikelola masyarakat yaitu kopi, karet, cokelat, dan banyak sekali buah-buahan tropis yang ada itu adalah satu jasa-jasa lingkungan sebenarnya.
Kalau di masa lalu banyak yang bentuknya diambil dari alam langsung dan tidak dibudidayakan, tapi sekarang dengan kemampuan kita membudidayakan bahkan bisa dibudidayakan di bawah tegakan hutan. Itu menjadi satu daya dan nilai tambah dari jasa lingkungan.
Apa saja jasa lingkungan yang diberikan? Itu termasuk tanah yang subur dari proses humus atau daun-daun yang jatuh yang gugur menjadi kompos. Itulah kompos alami kita. Itu jasa lingkungan yang mahal harganya. Daripada kita harus memupuk satu lahan pertanian, sebenarnya menanam di bawah tegakan adalah suatu proses mendapatkan jasa lingkungan dari proses pembusukan yang ada.
Apakah saudara-saudara kita yang tinggal di pedesaan sudah mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan jasa lingkungan ini?
Kadangkala masyarakat yang tinggal di pedesaan tidak punya kesadaran kolektif bahwa itu adalah potensi. Kadang-kadang orang lain yang melihat potensi itu. Itu memang perlu banyak berkomunikasi untuk mendiskusikan hal-hal itu, dan membuat masyarakat di pedesaan bangga dengan apa yang dia punya, serta sadar betul akan apa yang dia punya dan juga sangat hati-hati mengambil keputusan-keputusan penting atas aset-aset di desanya. Tidak dengan mudahnya memberikan kesempatan itu kepada investor, padahal dia bisa melakukannya. Tentu ada inovasi-inovasi baru.
Pada kesempatan ini seharusnya kita membawa anak-anak muda kota kembali ke desanya untuk mengisi kekosongan-kekosongan itu. Saya menyebutnya kekosongan karena di banyak tempat mungkin sudah terisi, tapi di banyak tempat masih kosong. Bekal pengetahuan kita di kota kadang-kadang tidak siap juga untuk mengisi kekosongan itu di pedesaan.
Saat ini dimana desa menjadi perhatian, pedesaan menjadi penting. Yang terlihat ini menjadi satu gap atau satu ruang yang perlu diisi oleh anak muda yaitu untuk inovasinya, pengetahuannya untuk membantu proses di desa. Bukan hanya untuk membangun desanya, tapi untuk membangun dirinya, membangun dirinya dari desa.
Saya berikan contoh tapi bukan iklan, baru-baru saja kami ada diskusi mengajak Singgih Kartono yaitu yang membuat gerakan bersepeda pagi atau yang dia sebut “Spedagi”. Bahkan dia membuat sepeda dari bambu di kampungnya sendiri. Dia berpikir jangka panjang, dia memang berasal dari kampung yaitu di Temanggung.
Dia kembali ke kampungnya dan mulai memakai ilmu yang dia punya dengan keahliannya untuk membuat sesuatu. Dia menghidupkan kembali semangat-semangat kampung dan pasar-pasar kampung dikuatkan kembali dengan aturan-aturan kampung yang dikembalikan bahwa tidak memakai plastik dan betul-betul makanan-makanan sehat yang disajikan atau dijual di pasar itu. Dimulai dengan pasar yang setiap 30 hari sekali. Dia ingin menyampaikan bahwa potensi itu ada di sini, kearifan lokalnya ada di sini, hanya tinggal dihidupkan kembali.
Untuk menghidupkan potensi tersebut tentu saja salah satu faktor adalah dana. Tadi dikatakan tidak akan mudah memanggil investor besar. Dari mana masyarakat desa bisa mendapatkan dana untuk memanfaatkan potensi-potensi tersebut?
Saya belum bergeser ke persoalan dana, tapi bicara aset karena aset itulah yang penting. Kalau dia mempunyai tanah di sana, misalnya itu merupakan kawasan hutan, maka dia perlu kepastian akses. Kalau hutan adat maka mendapatkan kepastian atas hutan adatnya bahwa itu adalah milik masyarakatnya, dan apapun yang dia lakukan tidak akan diambil dari mereka. Kadang-kadang orang menyebutnya kepastian tenure.
Kalau skema perhutanan sosial, skema-skema hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan sebagainya mendapatkan hak akses 35 tahun untuk mereka mengelola itu, kemudian dia boleh memperpanjang. Dengan modal itu apapun juga bisa menjadi berkembang asetnya, tentu akan dimulai dari kecil.
Ada pengalaman lain yang dilakukan oleh teman-teman dengan membuat kedai kopi dan tempat kemping. Banyak sekali usaha-usaha masyarakat desa, terutama anak-anak muda di sana sekarang membuat itu di kawasan hutan dekat kampungnya, dan mengurus perizinannya. Kedai kopi itu tidak banyak yang dibutuhkan, salah satunya yang dibutuhkan adalah saung. Kemudian tempat kempingnya di pelataran yang paling tidak ada air dan toilet.
Dari situ dia berkembang. Setelah itu dia mempunyai uang dan membeli peralatan yang lebih baik. Di sana pun kopinya juga bukan kopi mahal seperti gerai kopi di mall. Jadi minum kopi enak di lingkungan yang indah dan bagus, sampai ke kemping itu bukan main.
Selama COVID-19 saya pergi ke beberapa tempat yang kebetulan ada tempat kempingnya juga. Saya melihat antusiasme di kalangan anak muda untuk pergi kemping dengan protokol kesehatan itu lumayan tinggi. Mereka mau dan siap membayar untuk menyewa tempat dan membeli kopi. Dari sana aset atau dana modal ini terakumulasi. Mereka bisa membeli tenda dome dan menyewakannya. Dari situlah akumulasi kapital di pedesaan yang dilakukan oleh anak-anak muda yang saya lihat menuju kepada kekuatan ekonomi rakyat.
The Samdhana Institute termasuk lembaga yang aktif membangun desa, baik dengan beragam upaya termasuk salah satunya adalah perhutanan sosial. Apakah bisa diberikan contoh desa yang telah berhasil dibangun untuk menjadi inspirasi bagi desa-desa lainnya?
Yang menginspirasi ini sebenarnya anak-anak mudanya di kampung. Di Kabupaten Batang, Jawa Tengah ada satu lembaga namanya BOBAT singkatan dari Bocah Batang. Mereka mengembangkan kegiatan ekowisata bersama masyarakat di kampung. Itu menarik sekali. Dia memfasilitasi 5 - 12 kegiatan-kegiatan ekowisata kampung di Kabupaten Batang sampai di kaki-kaki Gunung Merbabu.
Konsepnya adalah kopi-kopi nikmat, ada kemping, dan menawarkan keindahan alam dengan fasilitas-fasilitas bukan berbintang, fasilitas-fasilitas terbatas yang disukai anak-anak. Bahkan ada berapa tempat yang terlalu penuh sehingga mereka menutup tempatnya. Setiap akhir pekan tempat ini selalu ramai dan penuh sekali. Sekarang sangat berkembang, tapi itu di Jawa.
Kami mencoba juga di luar Jawa, kami memfasilitasi di Samares, Biak Numfor, Papua. Di sana mempunyai potensi wisata yang bagus sekali. Ada pantai yang indah, kemudian jalan sedikit naik ke atas ada danau di atas gunung yang mungkin hanya 20 menit jalan kaki dari sana.
Di situ ada dua tempat wisata yang sekaligus dimiliki oleh masyarakat yang dikembangkan oleh organisasi desanya untuk dikelola. Mulai dari bagaimana parkirnya, bagaimana membayar karcis untuk masuk, bagaimana membayar makan, semua itu bisa tertata, dan sekarang sudah mulai ada souvenir.
Banyak sekali nilai tambah dari yang kecil-kecil itu untuk berkembang, dan bisa melibatkan lebih banyak orang lagi terlibat di sana. Bukan hanya yang memiliki tanah, tapi yang mempunyai kemampuan membuat souvenir pun bisa juga ikut mendapatkan keuntungan.
Jadi dari penjelasan Anda tergambar bahwa program perhutanan sosial tersebut terintegrasi dengan program pembangunan desa. Apakah betul begitu dan bagaimana cara mengintegrasikannya?
Memang tidak mudah karena kita punya struktur organisasi desa sendiri dan biasanya anak-anak muda kreatif itu jalan sendiri. Perlu satu semangat untuk menyatukan itu. Kalau di beberapa tempat anak-anak muda itu dimasukkan ke dalam Karang Taruna.
Saya berikan contoh di Desa Ciwaluh, Sukabumi, Jawa Barat. Sekarang mereka sudah bisa berjualan paket wisata. Kami pernah tubing di sana. Kita jalan kaki menuju ke air terjun di dalam Taman Nasional, mereka bisa mendapat perizinannya, kemudian tubing, ada ngopi, dan sebagainya. Kegiatan itu melibatkan Karang Taruna, mereka yang mengelolanya, terintegrasi dengan kampung atau desa dan berhasil dengan baik.
Pada kelompok-kelompok masyarakat adat biasanya juga mudah. Mereka biasanya yang anak muda adat dekat dengan tua-tua adat dan organisasi desa atau struktur desa. Itu juga terjadi di kasepuhan Karang, di Kabupaten Lebak, Banten. Di Papua pun begitu, tanah lebih banyak dikuasai oleh adat, tapi adat bekerjasama dengan Kampung, bahkan difasilitasi juga oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Biak yang sangat getol memfasilitasi proses-proses itu.
Apakah sekarang desa sudah bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi untuk daerah-daerah tersebut?
Mungkin belum semua, tapi saya percaya suatu saat akan terjadi karena ini akan menjadi satu kekuatan ekonomi baru dari sektor-sektor yang mungkin tidak dilirik sebelumnya. Ini akan membawa semangat enterpreneur baru di kalangan anak muda, harapan besar di kalangan anak muda.
Saya berikan contoh yang lebih menarik lagi. Ada kelompok disabilitas atau difabel di dalam desa, kami mencoba dengan membawa para champion barista tuna netra dan barista tuna rungu untuk mengajarkan barista di kampung. Tujuannya, untuk menarik mereka yang difabel di kampung yang kadang-kadang tinggal di rumah saja agar keluar terlibat di situ.
Ternyata hasilnya bukan main, bahkan kelompok itu menjual paket yang waktu itu belajar kopi dengan orang tuna netra. Jadi, mata kita ditutup, kita bayar untuk belajar bagaimana kalau kita tuna netra dan membuat kopi. Mereka yang tuna netra mengajarinya dan itu bisa berhasil. Itu merupakan satu paket yang unik dan akhirnya orang banyak mencari. Bukan untuk menikmati kopi, tapi lebih dari itu yaitu mereka ingin belajar membuat kopi dengan cara orang tuna netra.