Melihat Ke depan dengan Opsi Solusi
Salam Perspektif Baru,
Saya Jaleswari Pramodhawardani akan membawakan acara dengan tema penyelesaian kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Kita akan langsung berbincang-bincang dengan tokoh atau aktor utama tentang penyelesaian GKI Yasmin, yaitu Walikota Bogor Bima Arya.
Bima Arya mengatakan kita sering kali lupa bahwa perbedaan atau keberagaman adalah keniscayaan, tetapi kesatuan dan kebersamaan itu harus selalu diperjuangkan, it’s not given, bukan hal yang gratis dan tiba-tiba. Jadi dirinya sangat optimis kalau semua mempunyai kesadaran bahwa kebersamaan harus diperjuangkan, dan semua persoalan yang mengancam kebersamaan harus dicicil menyelesaikannya, maka penguatan kebersamaan akan terus terjadi.
Menurut Bima Arya, setiap konflik kita harus pelajari anatominya dan paham substansinya. Di sini substansinya adalah pemenuhan hak, ada jemaat gereja yang membutuhkan tempat baru supaya mereka bisa dengan nyaman, aman, dan damai dalam beribadah.
Salah satu kunci penyelesaian konflik tersebut adalah melihat ke depan dengan opsi solusi. Saya tawarkan beberapa opsi solusi di situ. Itu adalah kata kunci pertama, sehingga semuanya saya ajak berbicara fokus ke solusi. Itu adalah kata kunci pertama, sehingga semuanya saya ajak berbicara fokus ke solusi. Jadi kuncinya di sini adalah dirinya membuka semua opsi, tidak mau menutup opsi apapun supaya semuanya mau untuk berdiskusi.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Jaleswari Pramodhawardani sebagai pewawancara dengan narasumber Bima Arya Sugiarto.
Seperti kita ketahui bersama bahwa peristiwa pada Minggu, 8 Agustus 2021 boleh jadi merupakan momentum yang luar biasa dan mengharukan bagi Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin karena perjuangan mereka selama 15 tahun akhirnya berbuah manis. Walikota Bogor Bima Arya menyerahkan dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kepada pengelola GKI Yasmin di lokasi rencana pembangunan rumah ibadah, yaitu di Jalan R. Abdullah Bin Nuh, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.
Sebelumnya kasus ini kerap disoroti baik secara nasional maupun internasional oleh organisasi seperti Freedom House dan Human Rights Watch. Dalam laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang dilakukan lembaga dalam negeri maupun internasional, persoalan GKI Yasmin senantiasa menjadi catatan buruk perlindungan terhadap minoritas.
Apakah Anda bisa ceritakan kepada kita semua tentang bagaimana proses penyelesaian GKI Yasmin? Ini pasti akan memberikan inspirasi bukan hanya bagi kita semua, tetapi juga bagi kepala-kepala daerah lainnya. Model penyelesaian GKI Yasmin ini bisa dijadikan contoh yang bisa ditiru di daerah lain.
Terimakasih Dhani. Senang sekali bisa kembali ke Perspektif Baru setelah 14 tahun, yaitu pada 2007 saya pernah di wawancarai oleh (Alm) Wimar Witoelar.
Pada 2014 ketika saya baru dilantik menjadi Walikota, ada dua hal yang membuat saya tidak rela. Pertama, mengapa Bogor itu dijuluki sebagai kota Angkot? Padahal dulunya tidak pernah ada yang namanya kota Angkot. Kedua, mengapa Bogor itu di cap intoleran? Padahal saya lahir di Bogor, keluarga saya lahir dan besar di Bogor, tidak ada itu intoleran.
Kemudian saya mempelajari kasus yang membuat Bogor dijuluki sebagai kota intoleran, yaitu kasus GKI Yasmin. Begitu saya pelajari memang ini rumit dan ribet sekali karena dalam konteks hukum semuanya memiliki justifikasi masing-masing atas posisi legalnya.
Kunci pertama adalah ketika pada 2015 saya diundang oleh Ombudsman, saya sampaikan bahwa jangan kita melihat ke belakang tapi mari kita melihat ke depan dengan opsi solusi. Saya tawarkan beberapa opsi solusi di situ. Itu adalah kata kunci pertama, sehingga semuanya saya ajak berbicara fokus ke solusi. Jadi kuncinya di sini adalah saya membuka semua opsi, saya tidak mau menutup opsi apapun supaya semuanya mau untuk berdiskusi.
Kalau kita sudah menutup opsi, maka akan ada pihak yang disingkirkan. Tapi ketika saya mengatakan bahwa saya terbuka untuk semua opsi, misalnya, opsi untuk mendirikan di tempat itu, opsi untuk bergeser, ataupun opsi untuk berbagi lahan, dan sebagainya. Itu merupakan poin pertama yang fokus pada opsi solusi dengan keterbukaan semuanya.
Kedua, tonggak yang juga sangat monumental adalah ketika pihak gereja membentuk Tim Tujuh pada November 2017. Itu karena memang gereja juga memiliki banyak pandangan yang berbeda. Ada yang setuju berbagi lahan artinya lahan itu ada sebagian untuk masjid dan sebagian juga untuk gereja. Tetapi ada yang tidak setuju dan lebih ingin misalnya tetap di situ, sehingga kemudian dibentuklah Tim Tujuh.
Ketika sudah ada Tim Tujuh yang ditunjuk resmi oleh Majelis Sinode, perundingan berjalan dengan jauh lebih lancar dan efektif. Di Tim Tujuh inilah kita fokus kepada opsi-opsi tadi dan Tim Tujuh inilah yang menyempakati untuk membuang opsi berbagi lahan. Kemudian tinggal dua opsi, yaitu kembali di situ atau bergeser.
Saya sampaikan kepada tim tujuh bahwa saya ingin skenario ideal bagi semua, yaitu mari kita sama-sama menjajaki untuk tetap mendirikan di tempat awal dengan catatan warga menerima. Dua tahun kita melakukan pemetaan, kita betul-betul mengkaji sampai rumah siapa, kepala keluarganya siapa, apakah masih setuju atau tidak, bersama-sama dengan gereja dan dengan teman-teman Babinsa, Bhabinkamtibmas, camat, lurah, dan lain-lain.
Setelah dua tahun kami sampaikan ke Tim Tujuh bahwa di situ warga ada yang masih belum menerima, ada yang sudah menerima tetapi ada yang trauma. Mereka ini tidak mau bukan karena isu akidah atau kristenisasi, tapi mereka trauma karena dihadapkan pada masa-masa yang penuh dengan kerumunan, penuh dengan kerusuhan, ada yang menolak, ada demo, dan sebagainya. Jadi mereka tidak mempunyai pertimbangan kecuali traumatik.
Saya laporkan ini ke Tim Tujuh, dan Tim Tujuh kemudian menyepakati secara bulat untuk menempuh opsi relokasi. Walaupun saya sampaikan waktu itu ke teman-teman tim tujuh bahwa pemerintah kota masih ingin mengupayakan untuk skenario ideal, yaitu meminta warga untuk bekerja sama dalam pendirian rumah ibadah di Yasmin.
Apa metode, strategi atau kiat-kiat yang dilakukan untuk menghadapi bahwa ternyata proses ini tidak mudah?
Saya lanjutkan terlebih dahulu yang sebelumnya, yaitu saya dan jajaran Pemerintah Kota akan terus mengikhtiarkan supaya skenario ideal terjadi. Saya mau menunggu satu atau dua tahun, tapi kalau bisa batasannya adalah masa jabatan saya karena ini adalah janji saya.
Memang saya bisa saja tidak mengambil risiko untuk menyelesaikan ini, tapi karena ini didorong oleh rasa ketidakrelaan saya bahwa kota saya tercinta ini dicap sebagai kota intoleran, maka ini harus selesai di masa jabatan saya. Tetapi kemudian jawaban dari teman-teman Tim Tujuh adalah, “Tidak Pak Wali, kita ingin gereja ini harmonis dan menyatu dengan lingkungan. Jadi kalau masih ada yang trauma, lebih baik tidak kita paksakan.”
Kemudian muncullah babak yang sangat menentukan dan bersejarah kita bersama-sama mencari tempat, dan sudah jalan Tuhan ternyata sekitar 1 km dari lokasi yang lama ada lokasi yang akan dikuasai oleh Pemkot karena ada proses ruislag di situ. Kemudian kami tawarkan ke gereja, gereja menyambut dengan syarat dan dengan catatan bahwa warga menerima.
Teman-teman tim tujuh mengatakan bahwa mereka senang diberikan hibah tangan oleh Pemkot, tetapi kalau warga tidak menerima maka tidak ada artinya. Akhirnya mulailah bersama-sama suatu proses yang saya kira ini juga menjadi pelajaran bagi semua.
Jadi kalau dulu pada 2005 yang mengurus izin gereja hanya beberapa orang saja dari panitia gereja, misalnya. Kalau sekarang kami berkomunikasi dengan tokoh agama, dengan RT, RW, Forkopimda, Camat, Lurah bahkan masjid yang terdekat ini juga membantu. Kita bekerja bersama-sama untuk meyakinkan bahwa ada kebutuhan di situ.
Bagaimana dengan yang menolak? Apa pendekatan dan strategi yang dilakukan oleh Anda?
Warga yang menolak di daerah situ ada satu organisasi, kemudian kita lakukan komunikasi secara intensif. Ada Camat yaitu Ibu Hesti yang saya tugaskan betul-betul untuk fokus membangun komunikasi dan berdialog. Jadi, ketika saya datang sudah enak berdialognya. Kami terus meyakinkan, membangun komunikasi, saya dan Ibu Camat sering datang untuk berkunjung dan berdiskusi dengan semuanya. Alhamdulilah, kemudian mereka mengizinkan dan mereka mendukung. Jadi, saat ini warga lokal yang terdekat semuanya sudah mendukung.
Ini artinya dalam penyelesaian konflik melibatkan semua pihak, dimana yang kontra pun juga diajak berdialog.
Saya sampaikan bahwa hasil ini adalah hasil komunikasi dengan yang mendukung maupun yang tidak mendukung. Jadi, semua kita bangun komunikasi. Ada teman-teman di internal gereja yang berbeda pandangan, tapi sampai saat-saat terakhir kita memproses IMB kami pun masih berkomunikasi karena harapan kami semuanya pihak internal gereja akan bulat nantinya bersama-sama ibadah di gereja yang baru.
Tetapi kalau hari ini masih ada internal gereja yang berbeda pandangan, kami rasa itu wajar karena konfliknya sudah lama dan kami terus membangun komunikasi. Saya yakin pihak gereja bisa juga merangkul semuanya dan memiliki cara sendiri, yang pada akhirnya gereja ini akan mendatangkan keberkahan, keadilan, dan kedamaian bagi semuanya.
Apakah ada peristiwa-peristiwa yang menurut Anda unik atau perlu untuk di-share bersama dalam proses yang saya rasa rumit dan berkelok, tetapi juga butuh kesabaran? Apa kata kunci dari semua proses itu?
Pertama, kami belajar bahwa resolusi konflik itu tidak bisa hanya berputar pada dimensi hukum semata. Kedua, tidak bisa mengandalkan jalur formal saja. Jadi harus informal, harus intensif, harus kekeluargaan, dan lain-lain. Pernah beberapa kali kami agak kecewa karena ada pendekatan yang sangat formal yang kemudian justru membuat situasinya mundur.
Jadi, ada undangan formal dan ada di dalam ruangan. Sedangkan kalau saya bertemu warga, Pak Ustad, Pak Kyai dan semuanya kadang-kadang di warung, kadang-kadang nongkrong di rumahnya, kadang-kadang juga tidak bicara apa-apa, kecuali ngobrol-ngobrol biasa saja untuk membangun pendekatan kepada semua. Jadi itu kata kuncinya.
Kemudian saya melihat dan sangat mensyukuri adanya dukungan dari semua pihak. Bukan saja di tingkat lokal tetapi di tingkat nasional kami juga berkomunikasi dengan PBNU, PP Muhammadiyah, teman-teman Kementerian, ormas-ormas, dan lain lainnya. Yang penting adalah semuanya mempunyai pemetaan dan frekuensi yang sama, masalah kemudian arahnya kemana itu persoalan lain. Paling tidak kita komunikasikan dulu, sehingga semuanya update karena beberapa kali ada kendala komunikasi, tidak sampai informasinya sehingga ada persoalan.
Apa yang perlu kita perhatikan dan menjadi strategi ke depan dalam menghadapi kasus-kasus serupa seperti GKI Yasmin? Saya rasa di Indonesia kasus-kasus seperti GKI Yasmin terjadi di beberapa daerah dan pembelajaran dari apa yang terjadi dalam kasus GKI Yasmin juga penting untuk ditebarkan, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi semua pihak.
Saya kira ada tiga hal yang bisa dikatakan lesson learn dan menjadi keyword-nya. Pertama adalah substansi. Setiap konflik kita harus pelajari anatominya dan paham substansinya. Di sini substansinya adalah pemenuhan hak, ada jemaat gereja yang membutuhkan tempat baru supaya mereka bisa dengan nyaman, aman, dan damai dalam beribadah.
Krisisnya adalah pemenuhan hak, dan konstitusi kita memerintahkan kepala daerah dan semua dari kita untuk menjamin pemenuhan hak. Itu yang harus kita sadari, dan yang lain harusnya berada pada level berikutnya. Jadi, pertama secara substansi adalah pemenuhan hak. Itu yang kita perjuangkan. Saya kira setiap kepala daerah harus berani mengambil risiko kalau ingin tuntas. Jangan sampai kemudian dibiarkan atau ambil aman sehingga tidak selesai. Apa pun ikhtiar kita harus ke arah pemenuhan hak.
Kedua adalah opsi. Agar konflik ini bergerak menuju penyelesaian semua harus tetap memiliki ownership, harus memiliki sense yang sama terhadap masalah ini. Supaya semuanya memiliki ownership yang sama, maka semua opsi harus dibuka, tidak boleh ada yang ditutup, dan tidak boleh ada yang dibuang dulu. Jadi, kita start dengan opsi yang sama. Jadi, seperti saya ceritakan tadi di awal bahwa saya buka semuanya, terbuka dengan semua opsi, baru kemudian kita pikirkan satu-satu.
Ketiga adalah mediasi. Ini penting karena kita pelajari dalam berbagai kasus resolusi konflik bahwa tidak selalu hukum itu menjadi panglima. Tidak selalu solusi dalam bentuk legal atau hukum ini menjadi hakim yang bisa diterima semua. Seringkali proses mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah atau pihak ketiga justru lebih efektif karena opsinya sudah dibuka.
Di Bogor kami mengikhtiarkan model mediasi tadi yaitu berbicara dengan Tim Tujuh, berbicara dengan komunitas, berbicara dengan DMI, MUI, FKUB, dan semuanya sehingga mencapai satu perspektif yang sama dan frekuensi yang sama. Jadi, kuncinya adalah substansi, opsi, dan mediasi.
Jadi, berapa jauh jarak GKI Yasmin yang baru dengan yang lama?
Kira-kira satu kilometer, tetapi tempat yang ini lebih cantik, lebih indah, dan view-nya lebih bagus. Kalau tempat yang lama memang sedikit crowded karena perkembangannya cepat. Catatan juga bahwa lokasi yang lama masih tetap dimiliki oleh gereja. Kami menyepakati dengan pihak Sinode bahwa pemanfaatan lahan yang lama nantinya akan selalu dikomunikasikan dengan pemerintah kota. Tetapi tidak disepakati bahwa akan digunakan untuk tempat ibadah. Apakah nanti akan digunakan untuk fungsi lain, untuk fasilitas publik, atau bahkan dijual. Itu nanti akan dikomunikasikan dengan Pemerintah Kota.
Kapan kira-kira peletakan batu pertama direncanakan?
Terakhir kami diskusi dengan teman-teman tim tujuh, itu ditargetkan pada Oktober 2021 bisa meletakkan batu pertama. Mudah-mudahan bisa terlaksana karena ini tonggak bersejarah bagi kita semua.
Apa harapan Anda setelah melihat penyelesaian yang berbuah manis ini ke depannya? Apa yang perlu mendapatkan perhatian dari kepala daerah sehingga kasus-kasus serupa itu bisa diselesaikan dengan baik dan damai?
Kita sering kali lupa bahwa perbedaan atau keberagaman adalah keniscayaan, tetapi kesatuan dan kebersamaan itu harus selalu diperjuangkan, it’s not given, bukan hal yang gratis dan tiba-tiba. Negara ini selama puluhan tahun di zaman Orde Baru dengan segala catatannya melakukan nation building secara sistematis. Hari ini kita tidak boleh lalai, kita membangun nation building, kita membangun kebersamaan dengan berbagai instrumen termasuk di antaranya adalah mencicil persoalan-persoalan yang mencederai kebersamaan tadi. Harus berani dilakukan dengan segala risikonya.
Jadi saya sangat optimis kalau semua dari kita mempunyai kesadaran bahwa kebersamaan harus diperjuangkan dan semua persoalan yang mengancam kebersamaan harus dicicil menyelesaikannya, maka penguatan kebersamaan akan terus terjadi, itu yang pertama.
Kedua, saya kira yang menjadi kunci adalah tetap kembali kepada keikhlasan kita untuk menempatkan kepentingan yang lebih besar di atas semua. Karena kalau kita berpikir hanya elektoral politik, hanya berpikir khawatir kelompok ini, khawatir faktor politik ini, maka tidak akan ada persoalan yang selesai. Semua pasti ada risikonya. Tapi kita kembalikan lagi ke substansi kita, apa yang ingin kita selesaikan maka kemudian kita akan dimudahkan untuk bisa menyelesaikan itu.
Kita harus yakin dengan prinsip yang tadi Anda sampaikan.
Betul, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Tapi tugas sebagai pemimpin adalah memberikan apa yang dibutuhkan oleh warganya.
Satu lagi, saya melihat pembelajaran yang sangat penting adalah bagaimana komunikasi dibangun di semua tingkatan pemerintahan dan masyarakat. Ini memerlukan koordinasi yang baik, tidak bisa Pemerintah Kota saja. Kami berkoordinasi dengan Kantor Staf Presiden (KSP) sejak 2014, dengan Menko Polhukam, dengan Menteri Agama, dengan Kapolri, Menteri Dalam Negeri, dan saya meng-update juga dengan gubernur.
Jadi dari atas, kanan, kiri, dan sampai bawah, semua dibangun supaya selaras. Seringkali resolusi konflik terhambat karena ada perbedaan perspektif antara bupati, walikota dengan gubernur. Tentang model yang akan dikembangkan dalam mencari solusi itu sangat penting yaitu komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi.