Mengatasi Sampah Melalui Aplikasi

Salam Perspektif Baru,

Jumpa lagi bersama saya Budi Adiputro, seperti biasa kita akan berbincang untuk tetap menggelorakan sebuah motto dari Wimar Witoelar bahwa Perspektif Baru ini adalah tempat untuk promoting good guy. Hari ini yang kita ajak berbincang pada hari ini mengenai kelestarian lingkungan atau keberlanjutan lingkungan kita adalah Rizyan Angga, seorang pegiat lingkungan, mungkin bisa disebut juga sociopreneur, dan technopreneur.

Anggapan orang adalah sampah ini kotor dan tidak ada harganya. Tapi di sini kita ingin mencoba mengatakan “There is a value indeed.” Valuenya ada dari sampah ini. Jadi, satu kilogram sampah yang kamu kumpulkan mungkin nanti bisa berubah menjadi sesuatu dan bisa berguna bagi orang lain.

Contohnya, seperti yang sekarang di plastic bank. Di sana ada namanya individual collector, yaitu kalau kita mengumpulkan sampah kemudian diletakkan di salah satu cabang plastic bank, maka di sana ada namanya market price dan kita bisa mendapatkan incentive token.

Jadi, ada insentif, dan intensif ini adalah part of behavior change yang sedang saya galakkan juga di sini. Kalau kita ingin melakukan sesuatu itu harus ada reward and punishment nya. Jadi, di sini ada reward nya juga dan misalnya mereka nanti tidak aktif akan ada punishment nya juga. Inilah bagian dari bagaimana kita mengubah tanggapan orang untuk melihat value dari sampah tersebut, dan mengajak mereka untuk bisa bersama-sama menjaga alam lagi.

Perlu ada gerakan nyata untuk bisa membuat peraturan atau punishment bagi yang masih membuang sampah ke sungai, atau masih membuang sampah sembarangan. Juga perlu ada reward bagi orang-orang yang bisa mengatasi masalah-masalah ini. Contohnya, seperti aplikasi Qlue.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancara dengan narasumber Rizyan Angga.

Anda memakai bahasa bahwa daripada kita mengutuk kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin. Mengapa Anda tertarik dan akhirnya ingin terjun di dunia mencari jalan tengah untuk berbagai problem lingkungan kita yang sebenarnya isu ini tidak terlalu banyak dipedulikan orang? 

Kalau di media online itu traffic and click nya tidak terlalu besar dibandingkan dengan berita politik atau gosip. Tapi ini penting sekali bukan hanya untuk kita, tapi bagi anak cucu kita dan kelestarian umat manusia. Bagaimana Anda bisa masuk dan kenapa akhirnya memilih jalan tengah tadi?

Jadi, kalau saya tarik lagi ke belakang, pengalaman hidup saya dalam segi profesional pekerjaan, saya sempat berada di Qatar membuat namanya teknologi agency. Di situ saya sudah pernah merasa dimana posisi saya adalah pencipta polusi, atau bisa dikatakan pendosa bagi lingkungan. 

Pada 2019 sampai 2020 ketika pertama kali datang yang namanya COVID-19, saya pribadi merasakan bahwa hidup itu berubah 180 derajat. Di saat kita berlomba-lomba sebelum COVID-19 membuat sesuatu yang bisa mengubah dunia menjadi lebih simpel, tapi di sana kita tidak memperhitungkan yang namanya dampak ke dunianya sendiri.

Saat kita berada di era COVID-19, saya melihat bahwa ini saatnya kita kembali lagi. Kalau bumi atau dunia ini sudah marah, semua ide-ide bagus yang kita lakukan, atau kita ciptakan itu semua nothing. Selama ini kita hanya against the world, kita hanya menciptakan apa yang menurut kita bagus untuk dunia, bagus untuk masyarakat. Tetapi saat COVID-19 kita belajar bagaimana cara menghargai lagi. Di situlah titik balik saya.

Pertama kali saya melihat isu sampah adalah ketika saya sedang jalan-jalan ke Bali dengan keluarga selama kurang lebih dua bulan. Sewaktu ke pantai, saya melihat sampah itu tiap akhir tahun datang ke pantai-pantai. Jadi, yang kita nikmati di sana bukan pantai lagi, tapi sampah. Saya pernah menemukan bungkus mie instan tahun 1992. Itu saya temukan pada 2021 dan belum terurai.

 

Apakah itu Anda temukan di pantai?

Betul, waktu itu saya dan anak saya sedang jalan, dan saya mencoba mengajak anak saya untuk bersih-bersih lingkungan sekitar, dan menemukan sampah tersebut. Memang belum banyak berubah, tapi terlihat itu sudah lama sekali di laut dan sudah mulai ada parasit-parasitnya.

Saat itu saya mempunyai usaha sendiri yang bergerak di bidang minuman dan masih menggunakan botol plastik pada waktu itu. Sewaktu saya ke sana, saya banyak bertanya dan saya melihat sendiri bahwa sampah plastik itu menjadi masalah besar di Bali waktu itu. Kemudian ada teman yang menyarankan, kalau ingin buka usaha di Bali atau expand usaha di Bali, salah satu caranya adalah harus mengganti packaging menjadi kaca.

Dari segi untuk peduli dengan alam, kaca memang bagus karena kita bisa pakai berulang lagi. Tetapi dari segi bisnis, saya mengatakan tidak bisa karena biayanya terlalu tinggi. Sedangkan harga jual produk saya di bawah Rp 20.000. Itu tidak mungkin terjadi kalau saya ganti kaca.  Jadi, saya mencoba berhubungan dengan beberapa inisiasi di Bali. Saya sangat salut di Bali inisiasi-inisiasinya sangat berpegang teguh dengan, “Ayo selamatkan bumi dari plastik-plastik.”

 

Apakah benar yang orang katakan bahwa COVID membuat alam kita menjadi lebih baik. Bahwa dua tahun COVID membuat kondisi alam kita menjadi lebih baik, sampah menjadi lebih sedikit, kondisi yang tadinya tercemar menjadi tidak tercemar lagi. Bagaimana menurut Anda?

Sebelumnya saya koreksi sedikit, yang mengatakan kalau selama COVID sampah menjadi semakin sedikit itu salah besar. Itu karena saat COVID kita stay at home, kita tidak kemana-mana, dan saat ingin keluar untuk beli makan saja itu seperti takut sekali. Jadi, apa solusinya? Solusinya adalah mereka pesan online semuanya. Lalu, bagaimana online atau restoran atau rumah makan itu menjamin kehigienisannya? Yaitu dengan menggunakan bungkus plastik.

Jadi, kalau dikatakan bahwa saat COVID membuat sampah menjadi semakin sedikit, itu tidak benar karena justru sampah semakin banyak. Di situlah banyak persepsi orang yang berpikir dunia menjadi lebih baik itu betul, tapi untuk sampah justru meningkat.

 

Apa dampaknya dari kita kebanjiran sampah, apalagi saat ini kita mempunyai varian baru yang lumayan serius yaitu sampah masker?

Kalau dilihat dari data sebenarnya semuanya sudah ada. Misalnya, yang sedang saya kerjakan  saat ini, kita bisa melihat dalam satu bulan di masa COVID 2021, kita menghasilkan 500 sampai 1.000-ton sampah per bulannya.

 

Apakah itu di Indonesia?

Ini bukan seluruh Indonesia, hanya di suatu daerah tempat saya beroperasi.

 

Apakah ini berarti lebih meningkat dibandingkan era-era sebelumnya?

Sebenarnya bisa dikatakan peningkatannya signifikan dari yang sebelumnya. Jadi, itu se-sederhana sebuah sedotan. Sedotan itu ada bungkusnya, kalau kita memesan makanan secara online, kemana bungkusnya dibuang, dan berapa kali kita memesan minuman atau makanan dalam satu hari melalu online?

 

Banyak sekali efeknya, mungkin sampahnya juga menjadi lebih berkali-kali lipat. Jadi, ternyata COVID itu hanya memindahkan sampah saja dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam, bahkan tidak mengurangi. Bagaimana menurut pengamatan Anda mengenai animo masyarakat dan civil society yang juga ikut mulai peduli dengan isu sampah, terutama plastik ini?

Sebenarnya untuk sekarang saya cukup bahagia karena semua orang sudah mulai sadar, apalagi banyak inisiasi-inisiasi atau organisasi yang bergerak di isu sampah. Hanya saja satu, yang kebetulan juga sekarang sedang saya dalami, yaitu yang kita perlukan di Indonesia adalah behavior change.

Apa maksudnya? Saya juga berkaca pada pengalaman saya satu bulan kemarin, sewaktu saya ke Jepang, saya dapat undangan dari salah satu organisasi di sana dan pemerintah Jepang juga. Salah satu topik yang saya bawa dan dibahas di sana adalah mengenai recycling.

Kita tahu bahwa di Jepang mereka sudah diajarkan dari kecil untuk menjaga kebersihan, termasuk kebersihan kelasnya juga, segregasi juga sudah dilakukan di sana. Jadi, ini yang saya ingin coba buat di Indonesia, behavior change is play a big role di sustainability dan juga circular economy yang ada sekarang. Kalau kita sendiri tidak sadar bahwa sampah plastik itu berbahaya, siapa lagi yang akan sadar? 

Anggapan orang adalah sampah ini kotor dan tidak ada harganya. Tapi di sini kita ingin mencoba mengatakan “There is a value indeed.” Valuenya ada dari sampah ini. Jadi, satu kilogram sampah yang kamu kumpulkan mungkin nanti bisa berubah menjadi sesuatu dan bisa berguna bagi orang lain.

 

Apa value yang bisa diterima, dan bagaimana merangsang atau mendorong orang-orang untuk terlibat, bukan terlibat dalam menyumbang sampah tapi terlibat juga dalam gerakan memperbaiki dan merehabilitasi sampah ini?

Mungkin alasan yang pertama dan yang paling klise adalah pedulilah juga untuk masa depan anak-anak kita, itu valuenya. Sekarang banyak sekali gerakan-gerakan seperti mengumpulkan satu kilogram sampah kemudian diletakkan di trast bank, sehingga itu ada market value nya. Di sini lah value yang juga bisa diterapkan di Indonesia. 

Sayangnya, banyak orang berpikir bahwa itu adalah kerjaan pengumpul sampah atau pemulung, tapi mereka belum tahu bahwa pemulung-pemulung itu ada yang memiliki mobil Mercy dan kawan-kawannya.

Inilah yang mesti kita timbulkan juga bahwa pekerjaan mengambil sampah atau mengumpulkan sampah dan ditempatkan di tempat tertentu yang sudah ditunjuk itu bisa membuahkan hasil juga untuk kita.

 

Apakah bisa Anda berikan satu atau dua contoh cerita agar kita bisa membayangkan bahwa menjadi pengumpul sampah itu bisa menghasilkan juga?

Contohnya, seperti yang sekarang di plastic bank. Di sana ada namanya individual collector, yaitu kalau kita mengumpulkan sampah kemudian diletakkan di salah satu cabang plastic bank, maka di sana ada namanya market price dan kita bisa mendapatkan incentive token.

Ada beberapa inisiasi juga yang sudah berhubungan dengan saya. Salah satunya dari Switzerland sedang berkomunikasi dengan saya dan kita banyak berdialog. Uniknya adalah kalau kita bisa spotting melalui aplikasinya, spotting tempat sampah dan setiap kita spotting tempat sampah dan sudah diverifikasi, maka nanti kita akan mendapatkan token point. Ini bisa ditukarkan dengan apa saja, misalnya NFT cryptocurrency atau ditukarkan dengan bahan-bahan kebutuhannya.

 

Artinya ada insentif.

Ada insentif, dan intensif ini adalah part of behavior change yang sedang saya galakkan juga di sini. Kalau kita ingin melakukan sesuatu itu harus ada reward and punishment nya. Jadi, di sini ada reward nya juga dan misalnya mereka nanti tidak aktif akan ada punishment nya juga. Inilah bagian dari bagaimana kita mengubah tanggapan orang untuk melihat value dari sampah tersebut, dan mengajak mereka untuk bisa bersama-sama menjaga alam lagi.

 

Apa hambatan, tantangan, dan keuntungannya?

Untuk behavior change sebenarnya ada dua target. Pertama adalah generasi kita dan atas kita, kemudian generasi bawah kita target keduanya. Setiap target ini mempunyai gamification sendiri-sendiri, dari kita ada insentif. Untuk yang bawah kita atau generasi anak-anak sekarang atau anak kecil lagi, mereka itu membutuhkan education as a part of their learning or school. Seperti yang saya katakan pertama bagaimana caranya kita mencari jalan tengah, bukan against them dengan cara part of behavior change.

 

Apakah teknologi juga membantu?

Teknologi sangat membantu, tapi teknologi yang bagaimana dulu? Kalau teknologi untuk recycling itu sangat membantu, teknologi untuk aplikasi sangat membantu, apalagi untuk menciptakan traceability dimana kita bisa melihat sampah ini berasal dari mana, siapa yang mengambil, dan sebagainya.

 

Sampah itu selama ini menjadi beban pemerintah daerah dimanapun, bahkan di Jakarta. Bagaimana Anda melihat sebagai orang yang menggiati problem ini sehari-hari, pemerintah kita baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam menangani pengelolaan sampah ini? Bagaimana Anda dan teman-teman pegiat recycling sampah menilai dan mencoba menutupi celah dan lubang yang ada?

Dari perspektif saya sendiri itu perlu adanya kesinambungan antara semua stakeholder, dari mulai masyarakat, penggiat swasta, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat itu perlu ada kesinambungannya masing-masing. Perlu ada gerakan nyata untuk bisa membuat peraturan atau punishment bagi yang masih membuang sampah ke sungai, atau masih membuang sampah sembarangan. Juga perlu ada reward bagi orang-orang yang bisa mengatasi masalah-masalah ini. Contohnya, seperti aplikasi Qlue.

Kemudian dari segi masyarakat sendiri harus ada kesadaran untuk menjaga lingkungannya. Kalau tidak, maka akan banjir lagi. Kalau tida ada punishment nya, maka mereka akan tetap membuang sampah sembarangan. Tapi mereka pun tidak akan gerak kalau tidak ada reward nya. Ini yang lagi saya kerjakan juga sebetulnya, adanya penanaman pendidikan mengenai bahaya sampah dan prakteknya itu dimulai dari sejak dini. 

Kita semua tahu saat di TK atau SD pasti ada tulisan “Jangan buang sampah sembarangan karena membuat banjir.” Namun, tidak ada pelajaran dan tidak relevan. Ini juga yang saya ambil dari Jepang, mereka memberitahukan seperti itu, tapi juga mereka mempraktekkan langsung sejak dini. Jadi, semuanya menempel di kepala.

 

Jadi, dia dipaksa tidak hanya untuk menghafal saja tapi juga dipaksa untuk melakukannya. 

Betul, itulah yang saya inginkan.

 

Apakah Anda optimis melihat orang, terutama generasi mudanya semakin lama semakin peduli dengan isu ini?

Beberapa bulan belakangan ini saya memang banyak bertemu dengan anak-anak muda hebat atau generasi di bawah kita. Mereka sudah mulai mengerti mengenai bahaya sampah kelautan. Saya baru saja mendapat kesempatan untuk bisa memimpin satu Beach Clean Up dan juga berdiskusi dengan anak-anak dari umur lima sampai 16 tahun. 

Di situ saya cukup kaget juga, saya hanya melempar satu pertanyaan yaitu bagaimana caranya kita menjaga alam apalagi fauna-fauna di lautan supaya tidak terkena sampah? Anak umur lima tahun mengatakan ke saya, “Kita harus berhenti membuang sampah ke laut.” Hanya itu saja dan itu cukup banyak artinya. Ini benar-benar membuat mata saya melek, “Ok, berarti intinya seperti itu.” Berarti dari anak kecil ini masih melihat banyak orang yang masih membuang sampah ke lautan. Jadi, seperti itulah yang saya lihat. Sekarang anak-anak kecil sudah mulai sadar.

Previous
Previous

Next
Next