Jurnalisme Bekerja untuk Kebenaran

Salam Perspektif Baru,

Tamu kita hari ini adalah orang yang sangat qualified dalam bidang media dan juga Anggota Dewan, Pers yaitu Agung Tri Kristanto. Kita akan berbincang dan mencari perspektif tentang kebebasan ekspresi media di era saat ini setelah munculnya Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP), munculnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan juga berbagai hal yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi di dalam media.

Menurut Agung Tri Kristanto, harus diakui banyak sekali wartawan-wartawan atau jurnalis kita yang standar kompetensinya belum memenuhi apa yang ditetapkan oleh UU No.40 Tahun 1999 yang kemudian diterjemahkan salah satunya menjadi pembentukan Dewan Pers. 

Masalahnya adalah apakah wartawan atau jurnalis di Indonesia ini mempunyai kepercayaan diri untuk memenuhi standar kompetensi itu, apakah orang-orang yang mendirikan “perusahaan pers” mempunyai kepercayaan diri memenuhi standar yang disepakati bersama? 

Tidak banyak yang kemudian bisa memenuhi itu, tetapi begitu banyak orang yang kemudian menyatakan diri sebagai pers, menyatakan diri sebagai wartawan, menyatakan diri sebagai jurnalis, padahal boleh dikatakan mereka adalah sebenarnya menjadi content creator.

Jadi, apa itu dasar-dasar jurnalisme yang berlaku universal? Kita semua tahu bahwa jurnalisme itu bekerja untuk kebenaran. Sementara kalau konten tidak tunduk pada dasar-dasar jurnalisme yang berlaku global, maka itu hanya konten. Dia tidak peduli dengan kebenaran. Kedua, jurnalisme itu bertanggung jawab pada publik. Kalau kemudian ada sebuah konten yang dia bahkan membohongi publik, kita tidak bisa menyebutkan itu sebagai produk jurnalistik.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Ferdi Setiawan sebagai pewawancara dengan narasumber Tri Agung Kristanto.

Akhir-akhir ini kita mendengar, bahkan Dewan Pers sedang mengalami, ataupun banyak sekali dikeluhkan oleh teman-teman media tentang adanya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan juga Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan banyak mengancam kebebasan berekspresi. Bagaimana kondisi terkini mengenai perkembangan isu UU PDP dan RKUHP?

Kalau UU PDP sudah menjadi UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Kalau Rancangan Perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Dewan Pers sudah memberikan masukan ke sejumlah fraksi di DPR, nyaris dari sembilan fraksi yang ada di DPR sudah hampir semuanya kita berikan masukan, dan juga di pemerintahan.

Dari reaksi yang disampaikan oleh anggota DPR, umumnya menerima masukan yang disampaikan oleh Dewan Pers. Sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka Dewan Pers mempunyai kewajiban untuk menjaga, mengawal, dan melindungi kemerdekaan pers di Indonesia bersama dengan masyarakat, khususnya masyarakat pers di Indonesia.

Bagaimana perkembangan RUU KUHP? Sekarang bolanya ada di pemerintah dan DPR karena Dewan pers bukan lembaga yang ikut serta membahas sebuah rancangan undang-undang (RUU). Dewan pers bersama dengan masyarakat yang lain tentu saja akan memberikan masukan-masukan yang signifikan, sehingga sebuah RUU nanti akan menjadi UU yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan sesuai dengan harapan masyarakat. Itu yang kita jaga. 

Tentu dewan pers tidak bisa bekerja sendiri karena sebagai bagian dari masyarakat madani, maka harus bersama-sama dengan lembaga-lembaga yang lain termasuk juga komunitas pers untuk terutama menjaga pembahasan RKUHP ini untuk bisa sesuai dengan harapan.

 

Salah satu masukan yang diberikan oleh lembaga pers dan juga asosiasi lembaga pers yang tergabung di Dewan Pers adalah mengenai ancaman kebebasan mengeluarkan pendapat di dalam dunia jurnalistik. Apakah masukan itu semua sudah diberikan kepada DPR dan pemerintah melalui Dewan Pers?

Sudah, sudah diberikan dan sejumlah fraksi memberikan tanggapan yang sangat baik dan tentu saja mereka juga berharap Dewan Pers ikut mengawal. Dalam beberapa pertemuan, Dewan Pers juga diundang oleh fraksi-fraksi di DPR untuk memberikan masukan-masukan lebih detail lagi terkait dengan kebebasan berekspresi. Itu juga karena Undang-undang secara logika dan secara legal tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi.

Di UUD 1945 jelas sekali bahwa kita mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat, menyampaikan sikap, maupun hak-hak lain yang ada di pasal 28. Kalau kita baca, begitu banyak hak asasi manusia (HAM), termasuk juga kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi. 

Catatannya adalah tidak boleh UU itu bertentangan dengan konstitusi karena kita juga mempunyai Mahkamah Konstitusi yang akan mengadili bagaimana sebuah UU kalau dianggap bertentangan atau tidak sejalan dengan konstitusi. Jadi, kalaupun dalam sebuah UU termasuk KUHP nantinya kalau kemudian direvisi, dan kemudian tidak sesuai dengan harapan di publik, tentu publik masih bisa mengujinya melalui mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi.

 

Apa yang sekarang menjadi tolak ukur bagi Dewan Pers agar tidak terjadi hal-hal yang ditakutkan oleh sejumlah lembaga pers tentang pemberitaan, atau mungkin tentang hal-hal yang disampaikan kepada publik terkait dengan informasi publik?

Sebenarnya media di Indonesia itu sudah sangat terlindungi dengan UU Nomor 40 Tahun 1999, maupun konstitusi. Jadi, sebenarnya tidak ada. Kalau media elektronik juga ada UU tentang Penyiaran, UU Kebebasan Informasi Publik. Jadi, begitu banyak Undang-undang yang menjamin atau aturan hukum yang menjamin kemerdekaan pers selain Undang-undang Nomor 40. Tahun 1999.

Persoalannya, apakah masyarakat pers cukup percaya diri dengan kemampuannya, dengan kompetensi untuk melaksanakan yang namanya kemerdekaan pers itu sendiri. Seringkali kita menemukan persoalannya ada di sana. Kalau kita bicara mengenai pers, maka kita bicara mengenai wartawan atau jurnalis. 

Harus diakui banyak sekali wartawan atau jurnalis kita yang standar kompetensinya belum memenuhi apa yang ditetapkan oleh UU No.40 Tahun 1999, yang kemudian diterjemahkan salah satunya menjadi pembentukan Dewan Pers. 

Dewan Pers bersama dengan komunitas pers di Indonesia pada 2010 sudah menetapkan yang namanya standar kompetensi wartawan, sudah menetapkan standar perusahaan pers di Indonesia. Ini semua yang seharusnya juga dijalankan.

Masalahnya adalah apakah wartawan atau jurnalis di Indonesia ini mempunyai kepercayaan diri untuk memenuhi standar kompetensi itu, apakah orang-orang yang mendirikan “perusahaan pers” mempunyai kepercayaan diri memenuhi standar yang disepakati bersama? 

Tidak banyak yang kemudian bisa memenuhi itu, tetapi begitu banyak orang yang kemudian menyatakan diri sebagai pers, menyatakan diri sebagai wartawan, menyatakan diri sebagai jurnalis, padahal boleh dikatakan mereka adalah sebenarnya menjadi content creator.

Kalau conten creator tidak diwadahi oleh UU No.40 Tahun 1999. Sementara wartawan  diwadahi UU itu. Jadi ini yang menjadi tantangan kita bersama, siapapun yang sekarang menyatakan diri sebagai lembaga pers.

 

Apakah itu berati menjadi sebuah kritik?

Iya, sekarang ini banyak sekali orang yang mendirikan sebuah lembaga atau institusi yang disebut sebagai pers bukan karena idealisme. Tetapi lebih karena melihat opportunity, lebih melihat peluang karena dengan mudah sekali bisa mendapat uang dari yang namanya Google AdSense, misalnya. Kemudian larilah mereka membuat yang disebut sebagai media karena merasa mudah sekali mendapatkan uang dari iklan-iklan yang ada di YouTube, misalnya. kemudian membuatlah konten yang dilewatkan melalui media sosial.

Jadi hal-hal semacam ini, saya sebutnya pada masa lalu dan bukan hanya di Indonesia, lembaga pers itu didirikan karena basisnya idealisme. Tapi hari ini banyak orang mendirikan lembaga, yang seolah-olah pers, basisnya karena melihat opportunity

Ini yang kemudian akan makin membuat situasi tidak mudah, terutama di Indonesia dalam konteks menegakkan kemerdekaan pers, menegakkan kebenaran karena pers bekerja untuk kebenaran, menegakkan hak-hak publik karena pers bekerja untuk publik, dan membangun kesadaran dan mencerahkan masyarakat karena pers sesunguhnya mempunyai fungsi yang tidak mudah, yaitu harus mencerahkan kehidupan masyarakat.

Berarti bisa dikatakan bahwa sekarang autokritik itu berada di lembaga pers dan juga teman-teman dari jurnalis. Ini karena mereka sebenarnya mengaku-ngaku sebagai seorang jurnalis, tapi belum tersertifikasi melalui Dewan Pers. Apa upaya yang dilakukan oleh Dewan Pers sejauh ini untuk mengoptimalisasi sertifikasi dan juga memberikan pengetahuan?

Setiap tahun Dewan Pers menyelenggarakan uji kompetensi yang didukung oleh negara, didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Itu bukan kembali ke dewan pers, tetapi dikembalikan betul-betul kepada konstituen, kepada masyarakat pers. Misalnya, tahun ini kita sesuai dengan target dari APBN adalah meluluskan 1.700 wartawan atau jurnalis lolos uji kompetensi. 

Hasilnya adalah sampai akhir September atau awal Oktober 2022, kita sudah bisa meluluskan 1.902 wartawan atau jurnalis yang lolos uji kompetensi. Artinya, kita sudah bisa melampaui target. Apa itu artinya? Membacanya bukan sekadar memenuhi target, tetapi begitu banyak orang yang berprofesi sebagai wartawan atau jurnalis ingin menaikkan kompetensinya, sehingga ini yang kemudian harus diwadahi.

Di satu sisi, kemudian banyak juga organisasi yang memberikan kesempatan kepada anggotanya, misalnya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), itu organisasi yang kemudian juga mengadakan uji kompetensi untuk anggotanya sendiri. Ada juga lembaga-lembaga uji yang lain. Itu semua menunjukkan bahwa minat masyarakat khususnya mereka yang berprofesi menjadi wartawan atau jurnalis untuk menaikkan kompetensi sangat tinggi.

Tantangan untuk kita adalah bagaimana kemudian ini bisa diwadahi dengan baik, tetapi juga menghasilkan wartawan atau jurnalis dengan kompetensi yang baik. Jangan sampai kemudian hanya sekadar ingin bekerja. Ini karena menjadi wartawan itu salah satunya adalah orang hanya ingin bekerja, dan mempunyai status ini. 

Kemudian banyak juga “lembaga atau perusahaan” yang kemudian tidak memberikan kesejahteraan yang baik, mereka dilepas untuk mencari hidupnya sendiri, bahkan bisa mendatangkan penghasilan untuk perusahaannya. Hal-hal semacam ini yang menjadi tantangan kita bersama. Saya kira bukan hanya Dewan Pers, tapi juga masyarakat pers di Indonesia untuk bersama-sama membenahi.

 

Menarik sekali mengenai munculnya media-media baru dan tidak bisa dipungkiri memang banyak sekali. Bahkan di era konvergensi seperti ini banyak sekali bermunculan media-media baru yang mengatasnamakan media. Bagaimana cara Anda menjaga agar mereka tetap sadar dengan adanya kode etik jurnalis, adanya UU yang mengatur itu, sehingga tidak terpeleset media jurnalis menggunakan media baru dan tidak memenuhi kriteria dari seorang jurnalis?

Di seluruh dunia, hari ini sebenarnya kita sedikit susah mendikotomikan media arus utama yang kita kenal sebagai media cetak, media elektronik, radio, televisi, dengan media online dan media media-media baru yang salah satunya adalah media sosial bahkan media percakapan.  

Kenapa? Itu karena nyaris semua media arus utama mengembangkan platformnya juga di media sosial, dan media sosial juga menjadi platform baru dari media arus utama. Misalnya. Pada 2013 Al-Jazeera mengembangkan dirinya, mendistribusikan konten-kontennya, berita-beritanya juga melalui platform Facebook yang namanya AJ+. Jadi, hampir semuanya media-media sekarang masuk ke ranah media baru yang namanya media sosial, dan sebagainya.

Sepanjang media atau produknya itu taat kepada kode etik jurnalistik, hukum-hukum dasar jurnalisme yang berlaku universal, dan taat kepada UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, maka mereka adalah produk jurnalistik. Tetapi meskipun bentuknya adalah media cetak, media elektronik, tetapi ketika dia tidak menerapkan kode etik jurnalistik, tidak menerapkan UU No.40 Tahun 1999, dan standar dari jurnalisme yang berlaku seluruh dunia, menurut saya, itu bukan produk jurnalistik.

Jadi, literasi tentang mana produk jurnalistik dan mana yang konten saja, itu memang harus terus dilakukan pada masyarakat. Dalam konteks ini ada dua yang sebenarnya harus saya sampaikan, yaitu ada namanya konten, dan ada namanya produk jurnalistik atau berita. 

Apa itu konten? Semua hal atau informasi yang muncul di semua media, maka itu semuanya adalah konten. Tetapi apa bedanya dengan produk jurnalistik? Produk jurnalistik adalah konten yang tunduk kepada kode etik jurnalistik, yang tunduk kepada dasar-dasar jurnalisme, yang tunduk kepada UU No.40 Tahun 1999.

Jadi, apa itu dasar-dasar jurnalisme yang berlaku universal? Kita semua tahu bahwa jurnalisme itu bekerja untuk kebenaran. Sementara kalau konten yang tidak tunduk pada dasar-dasar jurnalisme yang berlaku global, maka itu hanya konten. Dia tidak peduli dengan kebenaran. Kedua, jurnalisme itu bertanggung jawab pada publik. Kalau kemudian ada sebuah konten yang dia bahkan membohongi publik, kita tidak bisa menyebutkan itu sebagai produk jurnalistik.

Kalau kita belajar dari 10 elemen jurnalismenya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, misalnya, yang ketiga adalah jurnalisme itu menjaga jarak yang sama dengan narasumbernya. Kalau ada produk yang hanya satu narasumber, kita masih bisa bertanya ini produk jurnalistik atau bukan meskipun dikerjakan oleh seorang wartawan.

Keempat, jurnalisme itu disiplin pada verifikasi. Kalau dia tidak melakukan verifikasi, maka apa bisa itu disebut sebagai sebuah produk junarlistik. Masih ada enam yang lainnya, tapi kembali kalau saya harus mengingatkan, saat ini di dunia ada konten yang bersebaran dan konten itu berisi informasi. Informasi itu bisa informasi yang benar atau informasi yang salah, tapi dia punya informasi. 

Kemudian ada konten yang berbasiskan jurnalistik, yaitu konten-konten yang kemudian mengacu pada dasar-dasar jurnalisme yang berlaku universal. Kalau di Indonesia tentu saja mengikuti kode etik jurnalistik, dan kemudian sesuai dengan UU No.40 Tahun 1999. Ini masih menjadi tantangan kita bersama.

 

Kenyataaan memang banyak sekali media-media mainstream yang justru mengambil bahan atau sumber dari media-media sosial. Apakah betul itu juga menjadi tantangan bagi lembaga pers?

Betul, menurut saya mengambil dari media sosial itu tidak masalah ketika kemudian dia mengikutinya itu sesuai dengan standar jurnalisme yang baik. Artinya, yang di media sosial itu hanya menjadi sumber saja. Kemudian dia melakukan konfirmasi kepada yang bersangkutan, dia menguji kebenarannya, kemudian melengkapi dengan datanya, dan dia menggunakan standar-standar junarlisme yang sesungguhnya.

Jadi, bukan sekadar mengambil dari media sosial, dia publikasikan melalui media onlinenya, kemudian media online yang lain mengambil dari itu, kemudian diubah-ubah hanya demi mengejar clickbait atau mengejar AdSense supaya tidak 30% sama. Yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut dengan multi level quote.

Misalnya, Ferdi Blangkon mempunyai media sosial sedang membicarakan sesuatu. Karena Anda adalah seorang public figure kemudian diambil oleh sebuah media, atau wartawan di media online atau apapun. Diambil tanpa konfirmasi, kemudian diturunkan begitu saja, kemudian ditambah-tambah dan dibolak-balik. Kemudian media lain juga mengambil lagi. Ini yang terjadi dan yang makin memperburuk wajah pers di Indonesia.

Bagaimana kemudian media dan wartawan mempunyai percaya diri bahwa dia betul-betul menerapkan standar kompetensinya dengan baik, menerapkan standar perusahaannya dengan baik, dia menerapkan dasar-dasar jurnalisme yang baik, yang menerapkan kode etik dengan baik dan tentu saja UU. Kalau dia mempunyai kepercayaan diri untuk itu, seharusnya dia tidak ada masalah. Tapi yang terjadi adalah mencoba mengejar peluang saja, dengan mengabaikan idealisme.

Previous
Previous

Next
Next