Membangun Perspektif Ramah Disablitas

Salam Perspektif Baru,

Kota merupakan daerah yang menjadi tempat tinggal bagi semua orang, salah satunya tentu saja kaum disabilitas. Kota yang nyaman dan ramah menjadi dambaan setiap warganya, termasuk warga disabilitas. Jadi, sudah sewajarnya jika daerah perkotaan dilengkapi dengan fasilitas yang dapat membantu kaum disabilitas dalam berkegiatan sehari-harinya. Ini karena merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas. Guna membahas kota ramah disabilitas sebagai bagian pemenuhan hak asasi manusia, kami menghadirkan narasumber Fatimah Asri Muthmainnah, Anggota Komisi Nasional Disabilitas (KND).

Menurut Fatimah Asri, di negara kita harus diakui memang masih banyak pemikiran dan praktek yang mencerminkan belum memahami apa itu disabilitas dan inklusi disabilitas. Kendala yang paling utama adalah sebenarnya perspektif. Jadi, belum terbangun perspektif dan imajinasi tentang penyandang disabilitas pada pemangku kebijakan atau pembuat kebijakan khususnya pimpinan daerah yang ada di setiap kota-kota.

Artinya, ketika ini belum disadari atau belum dikenal betul bagaimana disabilitas, bagaimana inklusi disabilitas, maka assesmen kebutuhan saja sulit dilakukan. Artinya, ketika kemudian ada kartu penyandang disabilitas, ataupun bantuan-bantuan, ataupun program-program pemerintah untuk penyandang disabilitas menjadi tidak tepat sasaran, menjadi tidak terukur, menjadi tidak terarah karena belum memahami betul apa itu kebutuhan penyandang disabilitas.

Tidak semua memahami ini, banyak yang sudah merasa paham tetapi tidak paham sepenuhnya. Ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah (PR) KND untuk mengampanyekan bagaimana perspektif, bagaimana imajinasi tentang disabilitas dari mulai pimpinan, mulai pemerintah pusat, kementerian lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kota sampai ke pemerintah desa.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber  Fatimah Asri  Muthmainnah.

Mewujudkan kota yang ramah bagi penyandang disabilitas menjadi salah satu kunci mewujudkan Indonesia yang inklusi. Apakah saat ini kota-kota di Indonesia sudah dapat digolongkan sebagai kota yang ramah disabilitas?

Kalau bicara secara konteks Komisi Nasional Disabilitas (KND), saat ini KND baru terbentuk belum ada satu bulan, sehingga kami belum memiliki alat kerja. Jadi, belum bisa memaparkan secara valid data-datanya. Tetapi dari kerja-kerja berjejaring sebelum kami menjadi komisioner, kami sudah melakukan sebuah kajian bagaimana kami menilai sebuah kota atau daerah yang memiliki perspektif kota ramah disabilitas.

Dari kerja-kerja berjejaring, dari pengalaman itu, kami bisa menilai ada beberapa kota yang memang walaupun belum sepenuhnya, tetapi sudah memenuhi indikator dari kota yang ramah disabilitas, sebut saja di Jawa Tengah ada Solo Raya. Kalau tidak salah, kota Solo yang menjadi percontohan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR). Kemudian ada Klaten, Boyolali, Karanganyar, Yogyakarta. Di luar Jawa Tengah, ada Surabaya, Jakarta, Balikpapan.

Kalau ditanya, “Apa indikatornya kota ramah disabilitas itu?” Dari kerja berjejaring, kami melakukan kajian bahwa ada tiga indikator bagaimana sebuah kota dinyatakan ramah disabilitas. Pertama, indikator struktur artinya tentang kebijakan. Apakah sebuah kota itu sudah memiliki payung hukum yang nanti akan diimplementasikan dalam pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas.

Kedua, indikator proses yaitu apakah ada pelibatan penyandang disabilitas dalam proses pelaksanaan pembangunan, mulai dari Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) sampai tingkat desa (Musrenbangdes). Kemudian apakah ada data pilah tentang penyandang disabilitas. Kemudian dari indikator hasil itu, apakah sudah terjadi aksesibilitas pada fasilitas umum dan pelayanan publik.

Kalau ada pertanyaan, “Apakah kota-kota di Indonesia ini sudah ramah disabilitas?” Ini kita baru bicara tentang Perda, payung hukumnya saja. Kantor Staf Presiden (KSP) baru memiliki data 20 provinsi dari 34 yang memiliki peraturan daerah (Perda), kemudian ada 18 kota dan 16 kabupaten dari ratusan kota yang ada di Indonesia. Jadi, bisa disimpulkan sendiri.

Jadi bisa disimpulkan masih banyak kota-kota di Indonesia yang belum ramah disabilitas. Apa sebenarnya kendala bagi kota-kota di Indonesia untuk mewujudkan bahwa kota mereka itu ramah untuk disabilitas?

Kendala yang paling utama adalah sebenarnya perspektif. Jadi, belum terbangun perspektif dan imajinasi tentang penyandang disabilitas pada pemangku kebijakan atau pembuat kebijakan khususnya pimpinan daerah yang ada di setiap kota-kota.

Artinya, ketika ini belum disadari atau belum dikenal betul bagaimana disabilitas, bagaimana inklusi disabilitas, maka assesmen kebutuhan saja sulit dilakukan. Artinya, ketika kemudian ada kartu penyandang disabilitas, ataupun bantuan-bantuan, ataupun program-program pemerintah untuk penyandang disabilitas menjadi tidak tepat sasaran, menjadi tidak terukur, menjadi tidak terarah karena belum memahami betul apa itu kebutuhan penyandang disabilitas.

Contoh, membangun guidance block di kota tetapi menabrak pohon, menabrak tiang, menabrak lampu kota, dan sebagainya. Itu karena memang belum disadari betul sebenarnya apa yang dibutuhkan oleh netra.

Misalnya juga, disediakan pelatihan-pelatihan untuk para penyandang disabilitas, tetapi tidak disediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI), sehingga kelompok tuli terkendala untuk bisa menerima informasi sepenting itu. Jadi, pertama kali adalah membangun perspektif dan imajinasi tentang disabilitas, supaya mengerti betul bagaimana nanti pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dari penyandang disabilitas.

Bagaimana bisa kepala daerah tidak mempunyai perspektif ramah disabilitas? Apa penyebabnya. Padahal mereka seharusnya sebagai seorang kepala dan juga katakanlah seorang yang berpendidikan tentu pasti harus mempunyai perspektif ramah disabilitas?

Tidak semua memahami ini, banyak yang sudah merasa paham tetapi tidak paham sepenuhnya. Ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah (PR) KND untuk mengampanyekan bagaimana perspektif, bagaimana imajinasi tentang disabilitas dari mulai pimpinan, mulai pemerintah pusat, kementerian lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kota sampai ke pemerintah desa.

Kampanye ini menjadi wajib, bahkan tidak cukup di situ karena kita juga akan lakukan itu kepada masyarakat luas. Masyarakat luas juga harus memahami bagaimana disabilitas karena masyarakat non disabilitas juga akan berpotensi untuk menjadi disabilitas sewaktu-waktu, apakah karena kecelakaan, sakit, atau karena apa. Ini yang akan kami lakukan di KND. Kami akan berjejaring dengan stakeholder yang ada untuk benar-benar bisa memahamkan bagaimana disabilitas ini kepada semuanya.

Apakah selama ini sebelum ada KND tidak pernah ada kampanye untuk membangun perspektif yang ramah bagi disabilitas?

Ini saya rasa sudah dilakukan oleh beberapa organisasi penyandang disabilitas. Tetapi saya kira ketika disabilitas hanya berjalan sendiri, hanya bersuara sendiri, selama ini seperti monolog. Jadi memang butuh dorongan dari sebuah institusi yang memiliki kewenangan untuk ikut mendukung supaya suara ini bisa didengar oleh semuanya. Satu lagi adalah sinergi dengan pemerintah, dengan mitra pembangunan, dengan organisasi-organisasi yang memiliki concern kepada disabilitas itu juga penting.

Apa fasilitas utama yang harus ada agar kota tersebut bisa digolongkan sebagai kota yang ramah disabilitas?

Kalau untuk fasilitas umum yang jelas harus ada jalan untuk aksesibilitas kursi roda, kemudian guidance block untuk netra, juru bahasa isyarat untuk kelompok tuli. Kemudian pelayanan artinya aksesibilitas itu ada di semua instansi, baik itu di bidang kesehatan, ataupun lainnya.

Di bidang pendidikan pun sama, apakah ada sekolah umum yang sudah menerima penyandang disabilitas? Kemudian aksesibilitas di rumah ibadah yang menjadi mimpi besar para penyandang disabilitas untuk bisa merasakan beribadah di rumah ibadah itu.

Juga harus ada berbagai kemudahan yang bisa diakses oleh para penyandang disabilitas terutama di ranah hukum. Ketika seorang disabilitas harus berhadapan dengan hukum, mulai dari bersaksinya di kepolisian sampai nanti di pengadilan, itu harus dibantu aksesibilitasnya supaya jalannya hukum dan keadilan itu benar-benar bisa dirasakan, tidak terganggu oleh hambatan komunikasi dari penyandang disabilitas tersebut.

Bagaimana contoh-contoh dari kota yang ramah disabilitas di luar negeri?

Walaupun saya pribadi ataupun KND belum pernah melakukan studi banding secara langsung, tetapi dari sharing pengalaman bahwa negara-negara yang memang memiliki penghormatan terhadap HAM sudah otomatis akan menjelma menjadi negara dengan kota-kota yang ramah disabilitas.

Artinya, negara itu dan kota-kota itu memang sudah terbangun kesadaran dan perspektif tentang disabilitas. Kemudian sudah ada aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas pada pelayanan publik dan fasilitas umum dalam rangka Penghormatan, Perlindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan hak-hak penyandang disabilitas (5P).

Negara-negara Eropa, negara-negara maju sudah memberikan contoh, terutama negara-negara Skandinavia seperti Finlandia dan Norwegia. Jadi tidak heran kalau nanti pada Juli 2022, Global Disability Summit akan dilaksanakan di Norwegia.

Saya pernah mengadakan webinar dengan seorang orang tua WNI yang ada di Jerman, kemudian memiliki penyandang disabilitas. Dalam testimoninya, itu memperlihatkan betul bagaimana concern pemerintah Jerman terhadap perlindungannya kepada penyandang disabilitas. Jadi, masyarakat Indonesia yang mendapat beasiswa di Jerman, mereka harus menjadi relawan, harus menjadi pendamping untuk penyandang disabilitas.

Artinya, orang tua di Jerman yang memiliki penyandang disabilitas sudah tidak perlu bingung antara memilih merawat anak atau bekerja di luar rumah. Itu sudah jangan dibahas lagi tentang aksesibilitas pelayanan publiknya. Bahkan untuk pendamping saja, negara itu benar-benar hadir untuk penyandang disabilitas dengan menyediakan pendamping tersebut. Itu contoh yang harus kita tiru, di negara kita belum seperti itu.

Bagaimana Anda melihat di negara kita sendiri?

Di negara kita, harus diakui memang masih banyak pemikiran dan praktek yang mencerminkan belum memahami apa itu disabilitas dan inklusi disabilitas. Karena itu tadi kampanye yang saya sebutkan, kampanye tentang Penghormatan, Perlindungan, Pemenuhan, Penegakan, Pemajuan Hak Asasi Manusia penyandang disabilitas memang harus kita lakukan.

Dalam hal ini tentu saja fungsi Komisi Nasional Disabilitas (KND) sangat penting. Apa upaya yang akan dilakukan oleh KND untuk menumbuhkan perspektif dan pemahaman mengenai upaya mewujudkan pembangunan yang inklusi di Indonesia?

Tentu saja sesuai mandat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2020 tentang KND, maka KND akan melakukan kerja-kerja monitoring, evaluasi, advokasi, tentang Pemenuhan Perlindungan dan Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dengan tetap memegang standar indikator.

KND akan melakukan mendorong pembentukan Perda-perda di semua kota dan kabupaten di Indonesia,karena pemenuhan hak itu adalah implementasi dari regulasi-regulasi tersebut. Jadi, bagaimana akan bicara ramah disabilitas, kebijakannya saja belum ada.

Yang kedua juga sama, memastikan bagaimana pelibatan penyandang disabilitas, organisasi penyandang disabilitas itu diakui dan dilibatkan dalam proses pembangunan nasional di setiap kabupaten kota. Kami akan memantau ini secara langsung atau akan datang langsung. Kalau bisa memang datang kepada pimpinan daerahnya, bersilaturahmi sambil berdiskusi. Kita akan mengadakan kampanye, zoom, atau dalam bentuk apa pun.

Kita akan memanfaatkan media yang ada, baik itu media sosial, media tatap muka, atau apa pun, yang penting bagaimana perspektif dan imajinasi disabilitas itu terbangun sampai kami benar-benar melihat hasil kerja kami menjadi agen perubahan dari aksesibilitas akomodasi layak yang ada di semua kabupaten kota.

Selain regulasi, yang penting juga untuk mewujudkan pembangunan inklusi atau yang ramah disabilitas tentu saja adalah partisipasi publik yang memegang peranan penting. Apa partisipasi publik yang dapat disumbangkan untuk dapat mendorong terwujudnya kota ramah disabilitas?

Terutama ini tentang publik penyandang disabilitas, maka partisipasi atau pelibatan publik penyandang disabilitas itu menjadi sangat penting. Mulai dari perencanaan, proses, bahkan pemantauan. Jadi ada istilah, “Jangan bicara tentang kami kalau tanpa melibatkan kami”.

Mulai dari perencanaan kita memang sudah harus diundang, tidak cukup hanya datang di Musrenbang saja. Tetapi benar-benar kita dilibatkan juga dalam prosesnya. Mulai dari pembuatan Perda, kita harus benar-benar didengar, aspirasi kita seperti apa, sehingga Perda yang dihasilkan pun nanti mampu mengakomodir semua kebutuhan penyandang disabilitas.

Pun dalam pelibatan di proses-proses pembangunan sampai pemantauannya. Apakah kemudian indikator sebuah pembangunan itu dinyatakan berhasil, maka itu yang harus merasakan dampaknya adalah penyandang disabilitas sendiri. Jadi, yang ditanya bukan orang yang non disabilitasnya, tapi adalah penyandang disabilitasnya. Sederhananya seperti itu.

Previous
Previous

Next
Next