Manfaatkan Sampah Menjadi Listrik

Salam Perspektif Baru,

Setiap hari kita menghasilkan sampah. Kini sampah telah menjadi masalah besar bagi kota-kota besar di seluruh dunia termasuk kota-kota besar di Indonesia. Tumpukan sampah yang menggunung, bau menyengat, serta sampah yang mengotori dan mencemari lingkungan merupakan masalah yang membuat pusing semua orang. Di banyak negara terutama di negara-negara maju, upaya yang dilakukan salah satunya adalah dengan menghadirkan pembangkit listrik tenaga sampah untuk mengolah sampah menjadi energi listrik. Hari ini kita berbincang-bincang khusus dengan seorang akademisi yang ikut menangani proses pengolahan sampah menjadi energi listrik di kampusnya yaitu Dr. Munawar Khalil, dosen tetap di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.

Menurut Munawar Khalil, membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) bermanfaat besar untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, yaitu untuk mengatasi masalah sampah, kemudian sampah tersebut bisa kita manfaatkan untuk menghasilkan energi yang lebih hijau. Ini seperti sekali dayung, dua pulau terlewati. Jadi kita mengurangi polusi permasalahan sampah sekaligus menghasilkan energi yang lebih hijau.

PLTSa sangat mungkin sekali dikembangkan untuk skala kelurahan. Seperti yang kami lakukan di Universitas Indonesia, itu skalanya memang besar. Satu reaktor itu bisa menampung 250 kilogram. Tetapi sebenarnya itu bisa kita perkecil skalanya untuk rumah tangga ataupun kelurahan dan pembuatannya juga tidak terlalu mahal.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Dr. Munawar Khalil.

Berbicara mengenai sampah, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah sampah adalah dengan membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Belum lama ini Universitas Indonesia (UI), tempat Anda mengabdi, menghadirkan PLTSa berkapasitas 234 kWh. Mengapa UI tertarik untuk membangun PLTSa? Apakah UI juga mempunyai masalah dengan tumpukan sampah?

Sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut, sebenarnya ini bukan masalah UI saja. Seperti yang sudah disampaikan Anda, itu bukan masalah yang biasa saja. Bahkan di luar negeri pun masalah pengendalian sampah menjadi problem. Selain sampah, energi pun juga menjadi masalah yang sama. Seperti yang kita tahu pada pertemuan COP 26 di Glasgow dan G20, menyatakan bahwa kita berkomitmen untuk memperoleh nett zero emissions pada 2060.

Jadi, dengan fakta bahwa sebagian besar sumber energi yang kita pakai sekarang di Indonesia adalah berasal dari fossil fuels. Kita mulai mencari teknologi apa saja yang kita bisa implementasikan untuk menyelesaikan dua masalah ini sekaligus. Jadi ini untuk mengatasi masalah sampah, kemudian sampah tersebut bisa kita manfaatkan untuk menghasilkan energi yang lebih hijau.

Tentunya implementasi tersebut tidak bisa serta-merta kita lakukan di skala besar. Kami di akademisi mencoba untuk bekerja sama dengan pihak industri, dalam hal ini PT Paiton Energy, yang sangat memfasilitasi kami untuk membuat suatu pembangkit listrik tenaga sampah skala kecil. Itu akan kami jadikan sebagai platform untuk melakukan berbagai macam penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat untuk nanti mungkin hasilnya bisa kita implementasikan ke skala yang lebih besar.

Bagaimana bentuk kerja sama antara lembaga Anda yaitu Univesitas Indonesia dengan PT Paiton Energy dalam menghadirkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)?

Ketika kampus beroperasi secara normal, kita bisa menghasilkan sampah organik sekitar delapan sampai sembilan ton per hari. Kebanyakan itu memang dari sampah kantin, sampah makanan, dan sebagainya, ditambah dengan daun-daun dan ranting-ranting.

Kebetulan saya pernah melakukan suatu riset menghitung berapa banyak kalau kita manfaatkan semua sampah organik yang ada di Indonesia, terutama yang berasal dari pemotongan hewan dapat berupa bentuk kotoran hewan. Kemudian hasil dari pemotongan hewan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dalam bentuk teknologi biogas.

Kami mempublikasikan itu di jurnal internasional dan publikasi tersebut sampai ke Paiton Energy. Kemudian Paiton Energy tertarik untuk mengeksplor lebih jauh apakah ini bisa di implementasikan.  Jadi, Paiton Energy melalui program CSR mereka mendonasikan kurang lebih delapan unit biodigester yang kemudian kami bangun di Laboratorium Parangtopo FMIPA UI yang dapat memproses dua ton sampah per hari.

Apa tantangan Indonesia dalam pengelolaan dan pengurangan sampah ini?

Secara umum ada tiga tantangan, yang pertama adalah teknologi. Jadi, penguasaan teknologi kita memang masih sangat kurang terkait dengan bagaimana kita bisa memanfaatkan sampah. Tetapi sebenarnya pemerintah memberi dukungan sangat besar, melalui Direktorat Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dengan melakukan beberapa terobosan-terobosan.

Misalnya, dengan melakukan inisiatif co-firing. Sampah dalam bentuk wood chips (sampah berbasis kayu), sampah perkotaan itu bisa digunakan untuk men-generate listrik melalui co-firing. Jadi selama ini pembangkit listrik yang berbahan bakar batubara itu bisa di replace dengan bahan bakar sampah.

Kemudian melalui program-program seperti biogas yang kami lakukan, dengan pembangunan bioreaktor yang memanfaatkan sampah organik, sampah rumah tangga, makanan dan  sebagainya. Ada juga pembuatan biodiesel dari minyak jelantah yang itu juga merupakan sampah. Memang untuk membuat teknologi ini dari skala yang kecil menjadi skala yang besar itu perlu tantangan besar.

Kedua, memang investasi itu diperlukan. Itu karena teknologi tidak bisa dipisahkan antara tantangan yang satu dengan tantangan yang lain, sehingga pelaku industri pun karena memang teknologinya tidak kita kuasai secara mumpuni sedikit ragu untuk mengadopsi teknologi teknologi ini untuk diimplementasikan di industrinya masing-masing.

Kemudian kebijakan juga menjadi hal yang penting untuk kita perhatikan. Jadi, mulai dari teknologi, investasi, dan kebijakan harus diperhatikan. Tetapi saya optimis dalam beberapa tahun ke depan, dan kita juga melihatnya dari trend yang kita dapatkan dari laporan kinerja Kementerian ESDM bahwa dalam bauran energi baru dan terbarukan itu porsi dari bioenergi, artinya energi yang dihasilkan oleh biomassa dari sampah, kenaikannya cukup signifikan dibandingkan dengan teknologi renewable yang lain seperti, geothermal ataupun solar.

Kalau berbicara dari sisi teknologi, apa keunggulan dari pembangkit listrik tenaga sampah ini dibandingkan dengan teknologi-teknologi energi terbarukan lainnya yang menghasilkan listrik seperti angin, panas bumi, dan sebagainya?

Pertama, saya selalu mengatakan bahwa kita seperti sekali dayung, dua pulau terlewati. Jadi kita mengurangi polusi permasalahan sampah sekaligus menghasilkan energi yang lebih hijau, dan ada juga by product-nya dalam bentuk fertilizer. Sampah yang diproses oleh mikroorganisme dalam proses biodigester itu diubah menjadi biometana yang kemudian bisa digunakan untuk pembangkit listrik ataupun bisa digunakan sebagai replacement elpiji yang kita punya sekarang.

Kalau tidak salah sejak 2014 kita sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengatur kualitas biometana ini. Jadi, kalau kita kompres itu nanti juga bisa digunakan untuk memasak dan sebagainya. Atau mungkin kalau ke depan ada kendaraan yang berbahan bakar gas, maka biometana yang dihasilkan dari proses biodegester ini kemudian diproses sedemikian rupa menjadi Compressed Biomethane Gas (CBG) yang comparable dengan Compressed Natural Gas (CNG). Itu bisa digunakan untuk transportasi, tidak hanya pembangkit listrik. Kemudian by product nya juga bisa dipakai sebagai pupuk.

Berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk membangun atau menghadirkan pembangkit listrik tenaga sampah ini dari sisi investasi?

Kalau investasi sebenarnya tidak terlalu mahal, tetapi yang pertama itu karena proses  pembangkitan listrik dari biodigester ini menggunakan mikroorganisme, sehingga memang sangat tergantung dari kondisi lingkungan. Sama seperti teknologi-teknologi yang lain, misalnya solar tergantung dari seberapa besar paparan sinar matahari pada daerah tersebut, ataupun tenaga angin yang sangat tergantung dari musim. Biodigester ini juga sama, kemampuan mikroorganisme untuk memproduksi biometana ini sangat tergantung dari banyak hal.

Yang kami pelajari sekarang memang sangat tergantung dari suhu. Misalnya, di musim panas sekitar Juni hingga Agustus, itu produksinya sangat baik. Tetapi saat musim hujan, tidak terlalu banyak sinar matahari, kelembaban tinggi, itu produksinya menjadi turun sehingga biayanya menjadi sangat fluktuatif. Kemudian kualitas dari biometana yang dihasilkan pun kadang-kadang dicemari oleh kontaminan lain, seperti gas CO2 ataupun Hidrogen Sulfida yang kalau kita mau gunakan sebagai alternatif dari CNG untuk transportasi dan sebagainya harus melalui proses filtrasi.

Jadi gas-gas pengotor tadi harus difilter kemudian di kompresi lagi, itu juga memerlukan kajian-kajian untuk mengoptimasi. Memang untuk saat ini kita masih belum punya angka yang pasti untuk produksi biogas dalam skala besar seperti apa. Tetapi saya optimis dengan kita melakukan kajian-kajian tadi, biaya itu akan bisa kita tekan sehingga investasi itu juga bisa menjadi lebih murah seperti itu.

Apakah semua jenis sampah bisa diolah menjadi energi listrik?

Sebenarnya pertanyaan tersebut bisa dijawab “Ya”. Jadi, semua sampah bisa diolah menjadi listrik, hanya teknologinya saja yang berbeda. Kalau kita pecah menjadi dua tipe sampah, ada sampah organik, dan ada sampah anorganik.

Sampah organik itu biasanya mengandung karbon. Biasanya yang masuk dalam kategori ini adalah sampah-sampah rumah tangga, bekas makanan, ranting, dahan, pohon. Itu bisa kita manfaatkan untuk membuat salah satunya biogas melalui teknologi yang kami punya, salah satunya di Universitas Indonesia.

Kita bisa juga menggunakan sampah tersebut sebagai bahan bakar. Tadi yang saya sebutkan di awal, co-firing. Jadi dibuat menjadi pelet-pelet tertentu terutama misalnya sampah kayu itu digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik, yang selama ini kita menggunakan batu bara. Kemudian sampah itu dibakar dan bisa juga digunakan untuk insinerasi. Jadi, sampah tersebut dibakar kemudian menghasilkan listrik langsung.

Kemudian yang anorganik, sampahnya memerlukan proses yang lain lagi. Ada yang kita sebut sebagai pirolisis, misalnya plastik ataupun ban bekas. Itu diolah sedemikian rupa dengan menggunakan teknologi pirolisis, kemudian dihasilkan biofuel. Biofuel ini yang kemudian bisa kita jadikan sebagai analog dari bahan bakar dalam bentuk bensin.

Biasanya kalau plastik botol PET atau polipropilena, kita proses dengan pirolisis ini akan menghasilkan biofuel yang grid-nya itu seperti bensin. Kalau ban bekas misalnya kita proses dengan menggunakan pirolisis, maka itu dapat menghasilkan biofuel yang grid-nya seperti solar atau diesel. Jadi banyak sekali sebenarnya sampah yang bisa diolah, tergantung prosesnya seperti apa.

Apakah pembangkit listrik tenaga sampah ini bisa dikembangkan untuk skala kelurahan?

Sangat mungkin sekali, dan itu memang program kita. Seperti yang kami lakukan di Universitas Indonesia, itu skalanya memang besar. Satu reaktor itu bisa menampung 250 kilogram. Tetapi sebenarnya itu bisa kita perkecil skalanya untuk rumah tangga ataupun kelurahan dan pembuatannya juga tidak terlalu mahal.

Biasanya saat kita melakukan pendampingan terhadap suatu komunitas, saya pernah melakukan pendampingan kepada komunitas peternakan untuk program pengabdian kepada masyarakat, kita menggunakan toren air sebagai reaktornya. Kemudian kita masukkan sampah-sampah organik, kita masukkan makro organisme di situ, dan dia akan mengolah sendiri, itu kalau biogas.

Pirolisis pun sama. Jadi pirolisis yang tadi saya jelaskan - misalnya mengolah sampah plastik ataupun ban bekas, atau sampah-sampah anorganik yang tidak bisa terdegradasi secara natural, itu juga bisa kita buat menjadi skala kecil. Itu saya kira memang pembuatannya juga tidak terlalu mahal. Jadi, sangat mungkin sekali.

Apakah memang ini bisa dioperasikan oleh sumber daya manusia umum, atau memang harus dioperasionalkan dari sumber daya khusus seperti orang-orang yang terlatih atau seperti mahasiswa-mahasiswa Anda?

Saya kira tidak. Memang di awal kita akan adakan pendampingan, tapi saya kira untuk pengoperasiannya tidak membutuhkan kemampuan yang tinggi karena memang misalnya hanya memasukkan sampah saja, kemudian maintenance-nya saja. Jadi, kita di awal mungkin kita bisa lakukan pendampingan-pendampingan.

Di Universitas Indonesia pun kami juga sudah melakukan banyak sekali program-program seperti ini. Harapannya, dengan fasilitas yang diberikan oleh PT Paiton Energy, kita bisa menjadikan itu sebagai lab kecil dan best practice apa saja yang bisa kita berikan kepada para penggunanya nanti.

Misalnya, kapan waktu terbaik memasukkan sampah, rasio sampah seperti apa, kalau mau mem-purifikasi sampahnya menggunakan material apa, dan sebagainya. Hal-hal tersebut saya kira tidak memerlukan suatu keahlian khusus. Jadi kita tinggal bisa memberikan informasi ini kepada para penggunanya nanti.

Apa yang menjadi syarat utama agar pembangkit listrik tenaga sampah ini bisa dikembangkan untuk skala kecil sampai tingkat skala kelurahan?

Pertama, memang yang krusial adalah yang jenis sampahnya. Jenis sampahnya harus dipilih yang memiliki rasio karbon dan hidrogennya tinggi. Kedua, itu adalah air yang digunakan tidak boleh air yang mengandung klorin, misalnya air dari PDAM karena biasanya sudah di-treat dengan menggunakan klorin untuk membunuh bakteri. Yang memproduksi biogas itu adalah mikroorganisme. Jadi kalau kita menggunakan air yang berasal dari perusahaan air minum, biasanya airnya sudah mengandung antibakteri, jadi nanti bakterinya mati.

Sebaiknya menggunakan air sumur ataupun air sungai yang tidak mengandung anti bakteri. Sisanya sangat fleksibel, misalnya lahan itu tidak menjadi masalah. Ada yang malah menggunakan lahan yang sangat kecil dan tekanan gasnya juga sangat rendah. Tidak ada kekhawatiran untuk ada ledakan dan sebagainya. Jadi, sangat-sangat aman.

Previous
Previous

Next
Next