Membangun Milenial Berkualitas

Salam Perspektif Baru,

Generasi milenial atau sering disebut sebagai generasi Y adalah mereka yang lahir pada kisaran tahun 1980-an sampai dengan tahun 2000-an. Dalam konteks Indonesia, generasi milenial ini dilaporkan mendominasi jumlah populasi penduduk negara kita. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020, Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa jumlah generasi milenial ada sekitar 34% dari jumlah total populasi sekitar 270 juta jiwa. Bagaimana kualitas generasi milenial kita dan bagaimana upaya mewujudkan generasi milenial yang berkualitas? Hari ini kita membahasnya bersama seorang praktisi manajemen sumber daya manusia yaitu Aloysius Budi Santoso yang berkarir sebagai Chief Executive Human Capital Development PT Astra International Tbk.

Aloysius Budi Santoso mengajak untuk kita membangun milenial yang ada di tempat kita masing-masing dengan sebaik mungkin karena mereka adalah masa depan kita. Merekalah yang akan menggantikan sebagai pemimpin-pemimpin korporasi, pemimpin-pemimpin negara, dan seterusnya.

Aloysius memberikan tips untuk membangun milenial. Pertama, kita para leader harus menjadi role model untuk mereka. Jadi, kita harus menunjukkan bahwa kita ini resilience. Kalau kita sendiri mudah patah maka mereka akan melihat contoh karena budaya timur itu sangat paternalistik.

Kedua, kita harus menjadi mentor, coach, bahkan partner bagi mereka. Jangan sok birokrasi atau ambil position karena tidak akan laku dihadapan milenial. Ketiga, jadikan perusahaan sebagai rumah kedua mereka. Menjadikan rumah ini banyak caranya, yaitu beri kesempatan mereka melakukan eksplorasi, mengambil resiko, jangan kalau salah langsung dihukum.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Aloysius Budi Santoso.

Peneliti sosial mengelompokkan mereka yang lahir pada kisaran tahun 1980-an hingga tahun 2000-an sebagai generasi milenial. Jadi, generasi milenial adalah mereka yang saat ini berada pada usia sekitar 17 hingga 35 tahun. Dari sisi manajemen sumber daya manusia (SDM), mereka ini dalam posisi usia produktif.

Bagaimana perspektif Anda sebagai praktisi manajemen SDM terhadap generasi milenial ini?

Pertama, saya selalu melihat generasi ini akan terlalu sederhana jika kita menyederhanakan satu generasi dengan satu tipologi tertentu. Jadi, dalam pengalaman saya karena kebetulan saya di holding Astra Group dan di grup perusahaan ini, mempekerjakan lebih dari 180 ribu orang, 67% nya adalah generasi milenial.

Jadi, saya melihat bahwa mereka tidak bisa kita kelompokkan, “Ohh ini tipenya adalah A atau B.” Tapi menurut saya, generasi ini ada satu kesamaan yaitu generasi ini adalah generasi yang egaliter, generasi yang lebih terbuka.

Setelah saya coba cermati, renungkan mungkin perbedaannya karena akses mereka terhadap informasi dan teknologi udah demikian terbuka. Tapi yang lain-lain sebetulnya terlalu menyederhanakan kalau mengatakan, misalnya, generasi ini adalah generasi yang mudah patah arang atau generasi yang gampangan. Pada kenyataannya saya melihatnya tidak seperti itu.

Tapi di masyarakat ada yang menyebutkannya seperti yang tadi Anda katakan bahwa ganerasi ini adalah generasi yang mudah patah arang, dan mereka menyebutnya ini sebagai “generasi strawberry” yang terlihat cantik dari luar tapi ketika menghadapi tekanan itu mudah hancur. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Saya sama sekali berbeda. Kita tidak bisa menyamaratakan satu generasi dengan sederhana mengatakan bahwa mereka adalah generasi yang patah arang atau generasi strawberry yang mudah hancur.

Dalam pengalaman saya berinteraksi dengan rekan-rekan generasi milenial ini, mereka memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, yaitu ada yang SMK, D3, ada yang lulus Universitas, ada juga lulusan dari overseas. Mereka pun pekerjaannya sangat berbeda-beda, mulai dari operator di pabrik, mekanik di workshop, planter di perkebunan, sampai yang bisnis analis di kantor pusat, sales, dan seterusnya.

Kalau saya lihat dari situ bahwasannya sebagian dari mereka itu fight for life. Mereka adalah pekerja keras, committed, loyal, dan saya lihat orang-orang seperti itu. Tapi ada juga generasi muda yang mendapat tekanan kemudian mengatakan, “Saya berhenti saja, saya ingin life balance dan seterusnya.”

Jadi, kembali saya melihat seringkali di publik dengan sederhana memandang generasi milenial seakan adalah orang yang kerjanya di satu sektor tertentu, kemudian lulusan dari universitas ternama, yang kelihatannya gampangan mudah patah, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Saya melihat di dalam kehidupan sehari-hari, bahkan tim saya sendiri, sebagian dari mereka adalah pekerja-pekerja yang luar biasa, pekerja keras, dan mau perform.

Saat ini kita berada dalam posisi dunia War of Talent yaitu perang untuk mencari SDM yang terbaik. Dengan komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh milenial, bagaimana generasi milenial di dunia kerja yang Anda lihat saat ini?

Generasi milenial di dunia kerja, ada yang committed kepada profesionalitasnya. Tapi ada juga yang mudah berpindah-pindah walaupun alasannya tidak esensial. Ada satu hal yang saya bisa garis bawahi bahwa teman-teman generasi milenial ini, dalam mencari tempat mereka berkarya atau pun mencari perusahaan, biasanya sudah punya objektif dan tujuan yang relatif lebih jelas dibandingkan dengan yang dulu, yaitu pokoknya kita asal dapat kerja dan bisa makan.

Sekarang mereka rata-rata sudah mempunyai mimpi, mempunyai objektif untuk memilih dimana mereka berkarya, bagaimana mereka memilih perusahaan yang mereka inginkan untuk bekerja. Tetapi di dalam eksekusinya ada yang sangat committed, pekerja keras, dan loyal, tapi ada juga yang dengan mudah berpindah-pindah tempat.

Salah satu yang sering dibicarakan pada generasi milenial adalah mental mereka. Banyak yang menilai mental mereka mudah patah arang atau mereka mudah baperan ketika menghadapi tekanan, dan juga mereka mudah pindah-pindah tempat kerja. Bagaimana cara membangun mental resilience yang Anda alami selama ini?

Saya kira beberapa tips tentang mental resilience adalah pertama harus mulai dengan memandang hidup dari sudut yang positif. Jadi, harus berangkat dari mindset. Kemudian yang kedua adalah kita harus memandang kegagalan adalah bagian dari pada proses belajar. Ini karena resilience bisa dibuktikan kalau kita pernah gagal dan kemudian bangkit lagi. Tapi jangan sampai gagal berkali-kali.

Ketiga, kita harus memiliki relasi dan dekat dengan seseorang atau kelompok orang. Itu sebagai sebuah penyaluran apakah Anda mempunyai keluarga yang baik atau teman, sahabat, mentor atau apapun, sehingga pada saat Anda dalam posisi yang depresi, sulit, tantangan yang besar, ada teman untuk diajak bicara.

Keempat, pengalaman saya adalah kita harus terus refleksi learning, belajar terus supaya bisa resilience. Yang terakhir adalah iman, spiritual quotient. Tentu iman akan sangat membantu kita untuk bisa mengalami kegagalan dan bangkit lagi, bukan pasrah. Tapi iman yang kemudian menumbuhkan. Itu pengalaman saya selama ini.

Apakah benar generasi milenial ini tingkat kecerdasan spiritualnya juga cukup tinggi. Kalau menurut pandangan beberapa orang, mereka lebih bersifat terbuka artinya mereka lebih percaya kepada hal-hal yang terlihat nyata dan bisa diwujudkan?

Ini pertanyaan menarik. Jujur, areal ini tidak banyak didiskusikan dan dibicarakan. Tetapi menurut saya bahwa anak-anak muda sekarang itu mempunyai keingintahuan terhadap agama dan seterusnya yang makin baik dan berkembang. Asalkan kemudian arahnya tepat, tidak menjadi konservatif dan seterusnya. Tapi kebenaran bisa bertumbuh menjadi iman yang baik. Jujur, memang ini satu hal yang jarang dibahas di dunia melenial.

Dari pengalaman Anda menangani karyawan-karyawan milenial yang mayoritas ada di perusahaan Anda, apakah sulit menangani karyawan milenial dibandingkan karyawan generasi lainnya?

Tidak, bagi saya tidak terlalu sulit. Maksudnya, saya selalu bicara dalam dua sisi karena sebagian para leader generasinya bukan milenial, tapi generasi X atau bahkan masih ada yang baby boomers, sementara timnya adalah generasi milenial.

Saya selalu melakukan pendekatan kepada kedua belah pihak. Pertama, kalau kita berinteraksi dengan generasi milenial maka kita harus humble enough untuk menganggap mereka jadi teman atau partner. Zaman sekarang kalau kita sok mempunyai jabatan, birokrasi, maka pasti lewat sudah, pasti ditinggal.

Kalau kita humble enough untuk bisa berdialog, berdiskusi, bahkan canda-canda dengan mereka dan seterusnya tanpa merasa, “Ohh saya ini direktur,” dan sebagainya, pasti itu bisa kita aminkan. Sebaliknya, saya selalu bicara kepada teman-teman milenial ini terutama yang hebat-hebat.

Kami mempunyai program management trainee (MT) dimana yang apply ada 15.000 orang, dan yang diterima hanya 15 orang. Saya hanya mengatakan bahwa kamu boleh menjadi generasi muda, milenial, tetapi pada akhirnya di dalam dunia kerja akan dibuktikan melalui result and value added. Jadi, kalau Anda sedikit-sedikit patah, sedikit-sedikit life balance, akhirnya tidak create value added and result, maka akan terlempar dari kompetisi, as simple as that.

Di dunia profesional orang akan menghargai dari value added dan result yang Anda berikan. Jadi, dalam konteks ini saya selalu bicara dua sisi. Pertama, kita harus humble enough, harus mampu berkomunikasi dengan egaliter. Tapi di sisi lain, generasi milenial harus tahu bahwa begitu masuk dunia profesional dalam dunia kerja, maka hukumnya adalah dia harus create result dan value added. Kalau tidak, maka akan kalah kompetisi dan hilang dari peredaran.

Saat kita berbicara mengenai milenial berkualitas, yang saya tahu bahwa PT Astra International Tbk memiliki atau didominasi karyawan generasi milenial. Bagaimana perusahaan Anda mengelola generasi milenial, sehingga mereka bisa berkontribusi untuk perusahaan dan juga untuk negara kita?

Pertama, kita para leader harus menjadi role model untuk mereka. Jadi, kita harus menunjukkan bahwa kita ini resilience. Kalau kita sendiri mudah patah maka mereka akan melihat contoh karena budaya timur itu sangat paternalistik.

Kedua, seperti yang tadi saya sudah sampaikan bahwa kita harus menjadi mentor, coach, bahkan partner bagi mereka. Jangan sok birokrasi atau ambil position karena tidak akan laku dihadapan milenial. Tetapi bukan berarti bahwa keputusan ada di mereka karena pada akhirnya secara struktur keputusan ada di leader.  

Ketiga, jadikan perusahaan sebagai rumah kedua mereka. Menjadikan rumah ini banyak caranya, yaitu beri kesempatan mereka melakukan eksplorasi, mengambil resiko, jangan kalau salah langsung dihukum. Kemudian kita create program-program yang membuat mereka menjadi bagian dari pada kontribusi. Ini menarik karena generasi muda sekarang makin punya kepedulian terhadap lingkungan, terhadap publik dan seterusnya.

Kami mempunyai program Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU), dimana di situ kita banyak berkontribusi untuk Indonesia melalui public contribution. Ternyata itu sangat menarik bagi mereka, dan ini merupakan bagian dari membuat perusahaan sebagai rumah kedua mereka.

Ketika berbicara bahwa menjadikan perusahaan sebagai rumah kedua bagi mereka, yang saya lihat kenyataannya bahwa generasi milenial sekarang itu sistem kerjanya adalah remote working. Mereka bekerja dimana saja dan mobile working, apalagi dengan adanya pandemi ini. Apakah bisa diwujudkan bahwa itu sebagai rumah kedua mereka?

Kembali kita harus menyuarakan terus ke publik bahwa tidak sesimpel itu. Rekan-rekan milenial yang kerja di pabrik, apa bisa remote working? Tidak. Apakah yang bekerja di workshop kami di Auto 2000 bisa remote? Tidak. Jadi, tidak semua orang remote working. Mungkin kalau consultan, head office bisa remote working, tapi sebagian besar kerjanya di pabrik.

Jadi, kembali bicara tentang remote working, itu jangan terlalu diasosiasikan bahwa semuanya bisa dilakukan remote working. Pada kenyataannya masih banyak yang harus melakukannya secara offline. Dalam konteks ini ataupun remote working rasanya tetap bisa membuat perusahan menjadi rumah kedua dengan cara atasan atau leader nya terus menjadi role model dan menjadi partner bicara. Kembali saya mengingatkan bahwa tidak semua orang bisa remote working, banyak pekerjaan yang harus offline, dioperasikan di tempat.

Tadi Anda berbicara juga mengenai semangat Astra Terpadu untuk Indonesia, dimana banyak generasi muda sudah menunjukkan kontribusinya bagi negara kita. Bagaimana kontribusi-kontribusi generasi milenial ini yang telah diberikan kepada negara kita dari program yang perusahaan Anda jalankan?

Saya kira saya melihat mereka sangat mempunyai kepedulian. Dalam public contribution kita ada empat pilar yaitu lingkungan, pendidikan, kesehatan, dan pemberian usaha kecil menengah. Rekan-rekan muda ini begitu antusias. Misalnya, ada acara Astra Mengajar ke berbagai macam Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), bahkan sampai ke daerah terpencil. Kemudian program penanaman pohon lingkungan hidup, mereka juga sangat antusias untuk berpartisipasi.

Kemarin pada waktu COVID-19, setiap posting dikontribusi kepada sumbangan untuk korban COVID-19. Mereka di garda terdepan untuk melakukan hal tersebut. Kenyataannya komposisi karyawan kami dari 180.000 itu sebanyak 67% nya adalah generasi milenial. Jadi, otomatis mereka yang paling aktif berkontribusi juga untuk hal-hal ini.

Apa yang harus kita lakukan sebagai warga masyarakat dan juga warga negara untuk membantu pemerintah dan juga negara mewujudkan milenial berkualitas sehingga mereka bisa berkontribusi maksimal kepada negara kita?

Saya kira kalau untuk membantu paling tidak kalau kita di korporasi, marilah kita membangun milenial yang ada di tempat kita masing-masing dengan sebaik mungkin, yaitu mendevelop para milenial karena mereka adalah masa depan kita. Suatu saat kita akan pensiun, akan undur diri. Merekalah yang akan menggantikan sebagai pemimpin-pemimpin korporasi, pemimpin-pemimpin negara, dan seterusnya.

Jadi, saya kira mari di tempat kita masing-masing berusaha mendevelop mereka dengan sebaik mungkin karena merekalah masa depan kita. Kalau masih punya tenaga dan dana mungkin bisa berkontribusi di berbagai macam komunitas dan sebagainya untuk mengembangkan rekan-rekan milenial.

Previous
Previous

Next
Next