Memajukan UMKM melalui Pasar Digital
Salam Perspektif Baru,
Saya yakin sebagian besar dari Anda yang sekarang sedang mengikuti wawancara khusus Perspektif Baru ini merupakan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Jadi, kita bahas topik prospek UMKM Indonesia ke depan yang sekarang pasarnya telah memasuki era internet atau digital. Narasumber kita Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki.
Menurut Teten Masduki, UMKM kita sudah sangat kuat daya tahannya atau bisa dibilang tahan banting. Mereka melakukan inovasi dan transformasi ke digital, ini yang saya kira paling menyelamatkan. UMKM kita harus siap untuk masuk ke era digital economy. Indonesia yang berada di kawasan Asia Tenggara diprediksi nilai dari digital ekonominya sekitar Rp 1.700 triliun pada 2025. Jangan sampai nanti market digital kita malah di dominasi oleh produk luar.
Saat ini Alhamdulillah sudah ada 16,4 juta UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, naik 105% kalau dibandingkan dengan sebelum pandemi. Ini perecepatan yang luar biasa. Tapi pemerintah mematok target 30 juta pada 2024.
Pemerintah sekarang sedang menyiapkan mereka dengan berbagai program dan kemitraan dengan teman-teman di e-commerce untuk masuk ke pasar digital. Pemerintah juga bermitra dengan teman-teman di e-Commerce untuk akselerasi UMKM kita go-digital melalui program pendampingan, kurasi produk, perbaikan misalnya branding, dan juga pendampingan bagaimana strategi marketing di digital.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Teten Masduki.
Saat ini Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia telah menjadi sendi utama perekonomian karena jumlah UMKM Indonesia telah mencapai lebih dari 65 juta unit. Bagaimana perkembangan UMKM di Indonesia selama masa pandemi ini? Apakah UMKM kita ikut terdampak oleh pandemi?
Seperti kita ketahui bahwa UMKM merupakan tulang punggung perekonomian nasional dari krisis ke krisis sejak 1998. Kemudian sekarang UMKM juga terdampak, tetapi di sisi lain UMKM juga menjadi solusi bagi ekonomi nasional di tengah kelesuan ekonomi saat ini. Kita tahu bahwa UMKM terdampak dari dua sisi, yaitu dari sisi supply dan demand.
Kalau kita lihat data terakhir sebelum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), 85% responden UMKM, berdasarkan riset Mandiri Institute, itu sudah kembali normal. Itu sebelum PPKM pada tahun ini, di kuartal kedua.
Tapi kalau kita lihat kuartal terbaru, setelah pelaksanaan PPKM di level 4, survei terbaru kami dengan Indosat dan United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa 42% sudah beroperasi secara normal dan tidak ada juga UMKM yang mempunyai niat untuk tutup usaha. Yang hebatnya lagi, ternyata penurunan penjualan tidak sebesar yang dibayangkan semula, rata-rata hanya 30%.
Ini ada kaitan dengan bantuan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional cukup tepat, yaitu banyak bantuan untuk pelaku UMKM yang mengalami masalah cash flow karena permintaan turun. Jadi, program restrukturisasi bisa sangat membantu mereka untuk menunda pembayaran cicilan dan bunganya, termasuk hibah bagi usaha mikro yang belum reachable. Ini merupakan program yang paling tepat sasaran karena banyak UMKM yang memang membutuhkan modal kerja di tengah pandemi ini.
Selain bantuan pemerintah, apakah ada faktor lain yang membuat UMKM ini mampu bangkit di tengah masa pandemi ini?
Tentu ada, saya kira UMKM kita sudah sangat kuat daya tahannya atau bisa dibilang tahan banting. Mereka melakukan inovasi dan transformasi ke digital, ini yang saya kira paling menyelamatkan. Jadi, kadar daya beli masyarakat turun, konsumsi masyarakat turun, dan konsumsi masyarakat sekarang lebih diarahkan kepada kebutuhan pokok dan pemeliharaan kesehatan atau home care. Sekarang kalau kita lihat UMKM yang bisa banting setir menyesuaikan dengan market baru, permintaan baru, adalah yang bisa bertahan, termasuk mereka yang terhubung ke platform digital.
Pada saat ini pasar telah memasuki era digital atau internet, apakah UMKM Indonesia memang sudah siap menghadapi era digitalisasi pasar ini?
UMKM kita harus siap untuk masuk ke era digital economy. Indonesia yang berada di kawasan Asia Tenggara diprediksi nilai dari digital ekonominya sekitar Rp 1.700 triliun pada 2025. Jangan sampai nanti market digital kita malah di dominasi oleh produk luar. Karena itu pemerintah sekarang sedang menyiapkan mereka dengan berbagai program dan kemitraan dengan teman-teman di e-commerce untuk masuk ke pasar digital.
Saat ini Alhamdulillah sudah ada 16,4 juta UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, naik 105% kalau dibandingkan dengan sebelum pandemi. Ini perecepatan yang luar biasa. Tapi pemerintah mematok target 30 juta pada 2024. Jadi, ini saya kira satu target yang cukup besar yang Insya Allah bisa tercapai.
Target 30 juta UMKM masuk ke pasar digital itu sangat besar. Ini tentu saja harus disokong oleh literasi mengenai pasar digital. Bagaimana kondisi literasi mengenai media sosial atau pasar digital ini di para pelaku UMKM yang sebagian besar juga adalah masyarakat kelas bawah?
Kalau kita lihat survei kami dengan UNDP dan Indosat, sebenarnya 62% UMKM kita sudah terhubung ke platform online. Meskipun sebagian besar melalui media sosial, belum terhubung ke e-commerce.
Kalau kita lihat juga infrastruktur kita sudah cukup baik yaitu infrastruktur internet, 85% wilayah Indonesia sudah bisa terhubung ke internet, dan hanya sekitar 20 ribuan desa yang masih belum terlalu baik akses internetnya sekitar 15%. Jadi, desa kita akses internetnya masih relatif belum layak. Yang kita lakukan sekarang adalah bagaimana menyiapkan mereka melalui berbagai program pendampingan, kurasi produk, supaya mereka bisa terhubung ke platform digital.
Datanya memang menunjukkan bahwa ada tiga isu besar UMKM di dalam digitalisasi. Pertama adalah literasi digital. Ini terutama bagi usaha mikro yang background pendidikannya masih rendah, dan sebagainya. Jumlahnya, 20% sampai 25% UMKM di desa, tidak memiliki ponsel smartphone, dan internet. Kedua adalah kapasitas dan kualitas, atau daya saing produk UMKM kita.
Problem pertama, saya kira tidak menjadi masalah karena sekarang ini pelaku usaha mikro yang tidak bisa jualan langsung di internet karena berbagai alasan. Itu bisa dibantu dengan para reseler, banyak anak-anak muda dari kampus, para pekerja ASN, atau di sektor formal yang “nyambi” jualan produk-produk UMKM di platform digital. Saya kira ini sangat membantu dan memang harus diakui tidak semua, terutama yang mikro bisa berjualan di internet.
Selain soal literasi, juga soal SDM. Jadi, mereka tidak cukup memiliki SDM. Di satu sisi harus fokus di produksi dan di sisi lain mereka juga harus berjualan di internet yang perlu strategi tersendiri dari segi marketingnya. Yang kita ingin lakukan sekarang adalah bagaimana mengembangkan UMKM kita di platform digital berdasarkan trade area.
Jadi, kita dorong produksi mereka untuk masuk ke platfom daerah, platfom lokal, atau platfom captive market. Kemudian kita dorong untuk masuk ke pasar digital nasional dan global.
Bagaimana dengan tudingan bahwa para pelaku UMKM yang memasuki pasar digital adalah para reseller dari barang-barang produk luar negeri. Apakah betul, dan apakah tidak ada dari produk-produk Indonesia yang dijual langsung di pasar digital ini?
Harus diakui memang kalau melihat data dari teman-teman Indonesian E-Commerce Association (idEA) memang lebih dari 50% masih produk dari luar negeri yang dijual. Tapi kami ada beberapa komitmen, misalnya dengan Shopee dan Lazada, dimana mereka tidak lagi menjual produk impor khususnya untuk pakaian muslim, kuliner, dan juga produk-produk pria.
Ini saya kira cukup baik bahwa UMKM kita bukan sekadar terhubung ke ekosistem digital, tapi juga bagaimana bisa bertahan dan bisa bersaing. Di platform digital juga persaingannya cukup ketat, ada brand-brand besar yang juga masuk ke platform digital. Jadi UMKM kita perlu di tingkatkan daya saing produknya.
Apa saja strategi dan program-program dari Kementerian Koperasi dan UKM untuk membantu UMKM kita bisa menghadapi persaingan di pasar digital, khususnya mengenai marketing digital ini?
Kita ada berbagai pendekatan bagaimana UMKM kita bisa memanfaatkan pasar digital kita yang besar. Pertama, tentu kita harus mulai mengatur sistem perdagangan kita di internet ini supaya jangan banyak produk luar negeri yang masuk ke dalam negeri, apalagi mereka melakukan dumping.
Kedua, sekarang kita juga ada pengadaan barang jasa di Pemerintah. Itu juga melalui perdagangan secara digital, pengadaannya itu sudah secara digital. Misalnya, sekarang 40% belanja Kementerian dan Lembaga Negara harus membeli produk UMKM dan koperasi, sehingga mereka sekarang kita sedang dorong untuk masuk ke e-Catalog di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Itu termasuk juga kami ada kerja sama dengan BUMN, dimana belanja BUMN juga harus menyerap produk UMKM lewat pasar digital BUMN. Jadi ini pasar yang sangat besar, 40% APBN itu bisa menyerap produk UMKM melalui pengadaan secara elektronik.
Di sisi lain, kami juga bermitra dengan teman-teman di e-Commerce untuk akselerasi UMKM kita go-digital melalui program pendampingan, kurasi produk, perbaikan misalnya branding, dan juga saya kira pendampingan bagaimana strategi marketing di digital. Itu yang saya kira sekarang ini cukup efektif untuk mendorong UMKM kita berani on boarding di platform digital.
Bagaimana bagi para UMKM kita yang ingin mengakses program pendampingan ini? Apa yang mereka harus lakukan jika ingin mendapatkan program pendampingan dari pemerintah?
Kita bagi beberapa pendekatan. Pertama, kita kerja sama dengan pemerintah daerah dan di tiap daerah kami sudah ada Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT). Saya kira sekarang sudah lebih dari 70 PLUT yang kami jadikan sebagai tempat pelatihan untuk UMKM yang mau go-digital. Mulai dari strategi marketing, termasuk misalnya ada studio fotonya dan sebagainya.
Kami juga menyediakan materi-materi pembelajaran melalui edukukm.id. Di situ banyak sekali materi, termasuk juga kami menyediakan saluran konsultasi bagi siapa saja pelaku UMKM yang mempunyai permasalahan dengan bisnisnya, termasuk yang berurusan dengan digitalisasi.
Jadi, kami membuka ruang begitu besar karena kami ingin semakin banyak UMKM kita untuk masuk ke go-digital. Di SMESCO juga kami mengembangkan program Sparc Campus, juga program kakak asuh atau incubator bagi UMKM yang kami bidik, yang bisnis modelnya inovatif untuk kita scaling up lebih besar, termasuk juga masuk ke pasar digital nasional maupun global.
Bagaimana upaya yang harus dilakukan UMKM jika ingin ikut dalam pengadaan pasar digital tadi?
Misalnya, pengadaan untuk makanan minuman untuk keperluan rapat-rapat di Kementerian atau Lembaga. Saya kira teman-teman UMKM bisa masuk ke aplikasi Bela Pengadaan di LKPP. Saya kira bisa juga masuk ke on boarding di e-Catalog LKPP mengenai produk-produk yang bisa ditawarkan kepada pemerintah. Jadi, ini saya kira siapa pun bisa memanfaatkan saluran ini untuk menjual produk-produk melalui pasar digital.
Kita ingin mendorong mereka untuk on boarding juga ke e-Commerce, tapi terintegrasi dengan Bela Pengadaan di LKPP, termasuk juga yang Sistem Informasi Pengadaan di Sekolah (SIPLah) yang nilainya sekitar 54 triliun. Itu juga kami kerja samakan dengan platform e-Commerce, SIPLah, dan terhubung juga dengan Bela Pengadaan LKPP. Jadi sesimpel itu sebenarnya. Yang harus kita siapkan sekarang adalah bagaimana misalnya membantu standarisasi produknya supaya mereka mempunyai daya saing di pasar digital.