Komitmen Politik Presiden pada Masyarakat Adat

Salam Perspektif Baru,

Masyarakat adat sesungguhnya bukanlah hal yang asing bagi kita. Indonesia adalah negara dengan populasi masyarakat adat yang tinggi dengan perkiraan mencapai sekitar 40 sampai 70 juta jiwa. Hari ini mari kita bicarakan mengenai masyarakat adat dengan narasumber yang kompeten yaitu Deputi II Kantor Staf Presiden, Abetnego Panca Putra Tarigan.

Menurut Abetnego, Presiden Jokowi tidak perlu ditanya lagi komitmen politiknya terhadap masyarakat adat.  Pertemuan-pertemuan mulai dari jilid satu sampai jilid kedua dengan masyarakat adat pun jalan terus, walaupun di dalam banyak kesempatan banyak pihak menganggap bahwa progresnya tidak sebesar yang diinginkan atau diharapkan. Tetapi kalau kita lihat sebenarnya sudah cukup banyak perkembangan. Itu dari sisi presiden.

Dari sisi kebijakan terkait dengan tata masyarakat adat, sebenarnya masuk di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan juga di Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Kehadiran RUU Masyarakat Adat juga dinilai penting, hanya saja yang menjadi tantangan di kita adalah jangan sampai undang-undang itu malah menciptakan sesuatu yang tidak jelas apa yang diatur. Misalnya, kemampuan kita untuk bisa ruang lingkup ini diatur sampai sejauh mana, itu juga menjadi sangat penting.

Kemudian yang kedua juga berkaitan dengan hal-hal apa saja yang perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan ini karena kita bicara identitas terkait dengan masyarakat adat, ini juga perlu didefinisikan dengan cukup baik.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Abetnego Tarigan.

Masyarakat adat merupakan komponen pembentuk Republik Indonesia dan cermin dari kemajemukan Indonesia. Masyarakat adat juga tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Bagaimana posisi dan komitmen Presiden Jokowi selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dalam konteks masyarakat adat ini?

Pertama, saya berterima kasih karena sudah diundang di kesempatan yang baik ini untuk bertemu kembali, diskusi, dan mengobrol untuk bisa memperkaya pengetahuan dan pemahaman kita terkait dengan berbagai isu, dan pada kesempatan ini kita akan membahas masyarakat adat.

Saya di dalam banyak kesempatan menyampaikannya seperti ini, “Pak Jokowi itu tidak perlu di tanya lagi komitmen politiknya.” Kemudian pernyataan beliau tersebut sudah berkali-kali juga disampaikan. Itu dari sisi beliau dalam konteks secara posisi sikap politiknya.

Pertemuan-pertemuan mulai dari jilid satu sampai jilid kedua dengan masyarakat adat pun jalan terus, walaupun di dalam banyak kesempatan banyak pihak menganggap bahwa progresnya tidak sebesar yang diinginkan atau diharapkan. Kira-kira begitu. Tetapi kalau kita lihat sebenarnya sudah cukup banyak perkembangan. Itu dari sisi presiden.

Dari sisi kebijakan terkait dengan tata masyarakat adat, sebenarnya masuk di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan juga di Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Setiap tahun itu selalu masuk, misalnya berkaitan dengan revitalisasi dan aktualisasi nilai budaya dan kearifan lokal. Juga bagaimana indikator-indikator dalam konteks melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan nilai budaya, terutama budaya tradisi yang dimiliki oleh masyarakat adat.

Kita mengetahui bahwa di dalam RPJMN banyak program prioritas terkait dengan pengembangan wilayah adat sebagai pusat pelestarian budaya dan lingkungan hidup. Ini sebenarnya ada, hanya memang kita tahu bahwa, di ruang media terutama yang kita lihat, masyarakat adat itu banyak sekali dilihat dari perspektif agraria, dari sudut tanah, wilayah, dan ini memang masih ada banyak berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi. Tetapi secara umum terkait dengan isu masyarakat adat ini di program pemerintah selalu ada.

 

Tadi Anda mengatakan bahwa komitmen Presiden Jokowi tidak perlu ditanya dan tidak perlu diragukan, tapi masyarakat ingin bukti. Apa bukti yang telah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi untuk masyarakat adat terutama dalam hal menjamin dan melindungi mereka?

Misalnya satu contoh adalah sejak Indonesia merdeka, administrasi kependudukan Suku Anak Dalam itu baru diurus di periode-periode ini. Memang dulu diurusnya dalam pendekatan charity, artinya dibangunin rumah dan sebagainya. Namun dalam konteks sebagai warga negara sebenarnya terabaikan karena tidak masuk di dalam sistem administrasi kependudukan kita.

Ini yang kita sedang coba dorong bagaimana masyarakat-masyarakat yang terpencil dan bahkan nomadik seperti Suku Anak Dalam, mungkin nanti juga Suku Punan dan sebagainya, begitu juga dengan di Papua, ini bisa dilakukan. Kita tahu bahwa semua itu sekarang berkaitan dengan pelayanan publik, berkaitan dengan perlindungan sosial, jaminan sosial dari pemerintah, dan hal-hal lain. Itu semua terhubung dengan administrasi kependudukan kita.

Saya yakin Anda sudah hafal Nomor Induk Kependudukan (NIK) sekarang. Kalau dulu mungkin tidak hafal NIK karena sekarang ditanyakan semua. Bahkan kalau zaman dulu kita biasa meninggalkan KTP di rumah, tidak dibawa kemana-mana karena takut hilang. Kalau sekarang kita harus bawa terus karena semua berkaitan dengan itu.

Kita bisa membayangkan bagaimana situasi masyarakat-masyarakat itu yang tidak ada pengadministrasian oleh negara, tentu hak-hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak-hak anak mereka untuk mendapat pendidikan akan terlewatkan juga. Sementara konsepnya kita selama ini sering sekali membuatkan projek A atau projek B lebih seperti charity. Padahal seharusnya itu adalah tangung jawab negara. 

 

Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi ada Rancangan Undang – Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat, dan telah dua kali masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Mengapa hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan padahal ini sudah sangat dinantikan oleh masyarakat?

Jadi, selain tadi yang saya sampaikan terkait dengan bagaimana pemerintah secara terus-menerus  memastikan hak-hak masyarakat dan semua warga negara itu terpenuhi, di sisi lain walaupun tidak cepat misalnya pengakuan-pengakuan hutan adat akan terus berjalan.

Terakhir, presiden menyerahkan beberapa Surat Keputusan (SK) tentang Hutan Adat di kawasan Danau Toba dan ini terus berjalan. Belum lagi misalnya yang berkaitan dengan program -program di masing-masing kementerian terkait bagaimana yang secara spesifik memang untuk masyarakat adat.

Memang RUU masyarakat adat ini masuk di dalam Prolegnas dan prosesnya sedang berjalan di DPR. Kita tahu bahwa ketika bicara masyarakat adat di dalam konteks undang-undang, maka perlu kita mempertimbangkan juga melihat bagaimana posisi DPR. Misalnya ketika sudah diajukan oleh DPR dan kemudian dikirimkan kepada pemerintah, pasti pemerintah harus menyiapkan respon terkait dengan hal itu. Sama juga dengan RUU yang lain karena dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memang begitu.

Jadi, kalau dari sisi pemerintah sejauh ini, misalnya dari sisi kami yaitu Kantor Staf Presiden (KSP), memang terus mengupayakan ada komunikasi lintas kementerian lembaga untuk mengantisipasi nanti kalau RUU tersebut disampaikan ke pemerintah. Tujuannya memang untuk memastikan kesiapan dan secara pengalaman KSP mempunyai pengalaman yang cukup untuk mendorong proses persiapan pemerintah menghadapi RUU yang diajukan oleh DPR, dalam hal ini sebagai inisiatif DPR, dan kemudian diajukan kepada pemerintah untuk dibahas.

 

RUU mengenai masyarakat adat diajukan menjadi usul inisiatif oleh DPR dan bukan diajukan oleh pemerintah. Apakah dalam hal ini dari sisi pemerintah melihat bahwa RUU ini penting juga atau tidak penting karena merasa sudah ada bahwa masyarakat adat dimasukkan dalam sistem administrasi kependudukan dan sebagainya?

Kalau dilihat itu dinilai penting, hanya saja yang menjadi tantangan di kita adalah jangan sampai undang-undang itu malah menciptakan sesuatu yang tidak jelas apa yang diatur. Misalnya, kemampuan kita untuk bisa ruang lingkup ini diatur sampai sejauh mana, itu juga menjadi sangat penting.

Kemudian yang kedua juga berkaitan dengan hal-hal apa saja yang perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan ini karena kita bicara identitas terkait dengan masyarakat adat, ini juga perlu didefinisikan dengan cukup baik. Ini memang selalu akan menjadi dinamika, kalau tidak mau disebut perdebatan. Bagi teman-teman yang penggiat di masyarakat adat, itu mungkin cukup clear. Tapi bagi publik, itu belum tentu.

Misalnya, saya sebagai orang dari Sumatera Utara, dari etnis Batak, saya menganggap bahwa saya adalah masyarakat adat. Itu cara berpikir logik yang umum. Tetapi ketika kita berbicara tentang masyarakat adat yang selama ini dibicarakan oleh organisasi masyarakat sipil, dan kemudian juga selama ini yang memperjuangkan isu-isu masyarakat adat memang mendefinisikannya sedikit ketat, yaitu mereka yang bergantung kepada alam, lingkungannya dan sumber daya yang mereka miliki, kemudian menjalankan tradisi dalam kehidupannya, juga praktek-praktek di dalam tata kelola itu memang masih menggunakan norma-norma dan ketentuan-ketentuan adat.

Hal-hal seperti ini memang menjadi satu upaya yang sangat perlu memperhatikan berbagai dinamika yang ada, termasuk juga dari para ahli dan sebagainya. Ini sebabnya kenapa KSP mendorong untuk beberapa putaran-putaran diskusi baik di kementerian koordinator (Menko) maupun juga di kementerian-kementerian terkait untuk bisa clear yang saya katakan tadi, mulai dari definisi mengenai masyarakat adat, sampai kepada pemahamannya, supaya jangan sampai nanti undang-undang ini ada, tetapi tidak operasional juga. Ini yang perlu diperhatikan, sehingga memang perlu benar-benar menjaga.

Misalnya, saya memiliki pertanyaan liar sebagai pribadi yaitu, masih banyak di kita kerajaan atau kesultanan-kesultanan lama yang masih menganggap dirinya bagian dari masyarakat adat dan mempunyai legitimasi untuk membicarakan mengenai adat. Hal-hal seperti ini memang perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh supaya undang-undang ini memang benar-benar berhasil dirumuskan, disepakati, dan kemudian dijalankan, serta menjawab kebutuhan kita.

Saya yakin Anda dan teman-teman semua, pasti cara berpikirnya itu cukup banyak melihat masyarakat adat yang memang marjinal dan sangat bergantung dengan alam dan lingkungan yang ada di dalamnya, dan juga praktek-praktek yang ada.

Kalau saya secara sederhana, misalnya teman-teman atau saudara kita yang mendapat SK hutan adat, itu yang paling kelihatan, paling tangible, paling visible. Dia hidup dengan alamnya, mengelola hutannya, mempunyai sistem, dan sebagainya. Itu bagi kita yang memahami, tapi bagi publik luas belum tentu paham, sehingga di dalam proses ini perlu penggodokan dan komunikasi yang lebih intensif lagi.

 

Apakah ada target dari pemerintah Jokowi bahwa ini bisa selesai dalam dua tahun agar ini menjadi legacy bagi Jokowi ketika meninggalkan masa jabatan Presiden?

Kalau dari sisi kami di KSP, kami berupaya maksimum agar nanti kalau proses di DPR sudah  berjalan, pemerintah bisa secara cepat untuk membahas usulan undang-undang ini. Terkait dengan target dua tahun, ini perlu pengawalan lebih lanjut di DPR terutama karena ini dikatakan sebagai inisiatif di DPR. Mungkin akan banyak berharap pemerintah melakukan upaya intervensi melalui hubungan antara pemerintah dan DPR.

Tapi dari sisi kami yang pasti kami akan terus untuk mendorong proses ini di lintas kementerian/ lembaga untuk bisa dibahas terus, sehingga nanti kita dari sisi pemerintah siap menghadapi terkait dengan RUU ini ketika diajukan ke pemerintah oleh DPR.

 

Bagaimana langkah strategis KSP untuk mendorong percepatan penetapan peraturan daerah terkait masyarakat adat ini?

Dalam konteks ini, KSP sebagai bagian dari pemerintah pusat tentu tidak serta merta bisa sembarangan masuk karena ada juga kewenangan, peran dan fungsi dari masing-masing kelembagaan. Kita tahu memang di banyak daerah ada kesulitan-kesulitan terkait bagaimana peraturan-peraturan daerah ini.

Kalau kita mengacu ke peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini, bisa dikatakan posisi pemerintah dalam satu kelompok yang disebut masyarakat adat itu di-Perda-kan memang menjadi tantangan karena tidak semua Pemda juga mempunyai pemahaman dan semangat yang sama. Ditambah lagi, cara berpikirnya juga masih melihat bahwa dia juga bagian dari masyrakat adat karena mempunyai marga, dan kenapa yang disana dikasih sedangkan yang di sini tidak. Itu yang selalu kami hadapi, kami terima informasi-informasi di lapangan terkait dengan tidak munculnya Perda - Perda.

Kemudian yang kedua, kita tahu juga kelompok masyarakat adat ini bisa saya katakan minoritas, dalam arti dilihat dari jumlah. Saya menemukan di banyak tempat karena jumlahnya kecil, itu tidak signifikan untuk politik lokal, sehingga elit-elit lokal itu tidak melihat sesuatu yang penting untuk dibuatkan kebijakan yang namanya Perda untuk melindungi itu. Ini satu realitas yang ada di tengah-tengah kita.

Memang di berapa kesempatan kami menggunakan upaya itu melalui koordinasi dengan Kementerian LHK dan juga dinas-dinas lingkungan hidup. Itu karena kalau kita baca undang-undang otonomi daerah terkait dengan keberadaan masyarakat adat ini, pengurusannya ada di dinas lingkungan hidup. Kami berkomunikasi dengan pihak-pihak di sana untuk bagaimana mendorong supaya kebijakan itu ada dalam hal ini Perda.

Kalau kita lihat terakhir Perda-perda yang ada dengan SK hutan adat di kawasan Danau Toba, itu prosesnya panjang sehingga memang perlu upaya-upaya untuk ini. Di sini juga kami menyadari dari banyak organisasi masyarakat sipil, dari banyak akademisi dari masyarakat adat, merasa perlunya undang-undang ini supaya ada payung besarnya, supaya di daerah juga tidak terlalu sulit seperti situasi sekarang ini yang masyarakat adat itu diatur di dalam berbagai undang-undang sektoral.

 

Saat ini belum ada Perda dan juga belum ada undang-undangnya, sehingga oleh teman-teman saya dari organisasi masyarakat sipil itu dinilai sebagai yang memicu terjadinya kasus tindak kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat atau istilah mereka itu adalah kriminalisasi masyarakat adat dan itu terus masih terjadi di masa pandemi ini. Bagaimana upaya strategis KSP untuk mencegah atau meminimalkan kasus-kasus tindak kekerasan ini terhadap masyarakat adat?

Kalau dilihat terkait dengan kekerasan ataupun konflik-konflik yang ada, itu mayoritas kita bisa identifikasi berkaitan dengan konflik agraria dan sumber daya alam. Jadi, bisa dikatakan begitu dan itu yang paling manifes, kelihatan atau visible. Memang ada konflik-konflik yang berkaitan dengan aliran kepercayaan, itu juga kami lihat karena ada mengembangkan atau menjalankan kepercayaan tertentu dianggap itu tidak sesuai dengan ajaran agama dan sebagainya. Tapi kalau kita lihat kejadian di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, ataupun di Papua itu berkaitan dengan persoalan tanah.

Kami di KSP sekarang sedang mendorong untuk revisi beberapa Peraturan Presiden (Perpres) yang berkaitan di dalam pengaturan atau pun juga pengurusan berkaitan dengan hak atas tanah dalam kerangka reforma agraria. Misalnya, di Perpres 86 tentang reforma agraria kami sedang mendorong supaya direvisinya itu secara eksplisit menyebut masyarakat adat di dalamnya.

Ini untuk mempertegas supaya tidak hanya di dalam undang-undang pokok agraria atau pun juga di undang-undang kehutanan, sampai di dalam konteks Peraturan Presiden-nya itu bisa memuat soal subjek tadi yaitu masyarakat adat. Jadi, ini sedang jalan, tim saya sedang ada di Yogyakarta juga dengan kementerian untuk membicarakan terkait dengan revisi penyesuaian-penyesuaian kebijakan ini.

Previous
Previous

Next
Next