Food Estate Bukan Solusi Mengatasi Krisis Pangan
Salam Perspektif Baru,
Saat ini negara kita sedang giat melaksanakan pembangunan pangan yang disebut dengan Food Estate atau lumbung pangan nasional, salah satu lokasinya ada di Sumatera Utara. Hari ini kita berbincang-bincang mengenai food estate di Sumatera Utara dengan narasumber Doni Latuparisa yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Walhi Sumut.
Menurut Doni Latuperisa, WALHI melihat proyek food estate ini seperti monopoli dan terjadi perubahan corak produksi masyarakat, yaitu dari tani menjadi buruh tani. Itu karena masyarakat dialokasikan bibit, mereka semua terima, kemudian mereka melakukan penanaman dan hasil tani mereka itu diberikan kepada off taker. food estate ini juga sedikit banyak mengubah cara produksi masyarakat dari petani menjadi buruh tani.
Doni mengatakan kalau memang pemerintah ataupun negara melihat bahwa negara justru sedang mengalami krisis pangan, tentu menjawabnya adalah dengan kedaulatan pangan. Hari ini food estate justru menunjukkan bagaimana negara sebagai pemegang kendali atau pemegang otoritas terhadap sumber daya dan sumber penghidupan itu justru otoriter. Jadi, kepentingan negara atau keberpihakan negara itu hanya pada pembangunan-pembangunan skala besar yang itu justru memarjinalkan kepentingan-kepentingan masyarakat.
Kalau Walhi melihatnya, dan karena kita sudah melakukan kajian dengan teman-teman Serikat Petani Indonesia (SPI) di Sumatera Utara, bahwa untuk menjawab krisis pangan justru ini dikembalikan saja kepada masyarakat.
Kita melihat SPI memiliki Desa Daulat pangan. Bagaimana mereka bisa memproduksi dari mulai benih, mereka menyemai benih sendiri, mereka melakukan penanaman, mereka atau petani menjual dengan harga tinggi, kemudian mereka bisa memiliki lahan sendiri. Ini juga bagian dari konsep kedaulatan pangan bagaimana petani itu berdaulat atas tanahnya sendiri.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Doni Latuparisa.
Program lumbung pangan nasional atau food Estate yang salah satu lokasinya di Sumatera Utara (Sumut) disebut menjadi solusi mencegah krisis pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan di Sumut dan juga di negara kita. Bagaimana perspektif Anda dan lembaga Anda yaitu Walhi Sumut mengenai program food estate ini?
Di tengah krisis pandemi pada 2020 hingga hari ini negara ingin menjawab krisis pangan melalui proyek infrastruktur food estate. Jadi, untuk menjawab krisis pangan di pandemi COVID-19, pemerintah mencanangkan program food estate, dan yang menjadi lokasi prioritas adalah Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah. Dari proyek ini diharapkan menghasilkan produk pangan yang mampu untuk memenuhi kebutuhan manusia dari komoditas tanaman hortikultura, pertanian, perkebunan, dan peternakan serta perikanan.
Walhi melihat ini jangan sampai seperti proyek-proyek sebelumnya yang dilaksanakan pada 2010. Wacana proyek pembangunan lumbung pangan sudah dijalankan di Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 886.000 hektar. Kemudian di Bulungan juga sekitar 298.000 hektar. Tentu proyek ini bisa kita katakan gagal karena tidak berlanjut.
Di era pemerintahan Presiden Jokowi, proyek Food Estate masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014 - 2019 dan kemudian baru direalisasikan pada 2020. Untuk merealisasikan proyek ini, dua provinsi yaitu Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara secara regulasi masuk dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.24 Tahun 2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food Estate.
Proyek ini sebenarnya tidak sepenuhnya diterima oleh organisasi masyarakat sipil, antara lain WALHI, Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Center for Environmental (ICEL), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Itu karena khawatir bahwa proyek ini kembali gagal seperti proyek-proyek food estate sebelumnya yang ada di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian justru dampaknya kepada lingkungan dan masyarakat.
Berapa luas wilayah food estate di Sumut dan apa saja tanaman yang ditanam di sana untuk program ini?
Untuk di Sumatera Utara luas yang dialokasikan hampir 65.000 hektar dan ada di empat kabupaten yaitu di Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Pakpak Bharat, dan Tapanuli Tengah. Masing-masing luasnya adalah sekitar 23.000 hektar di Humbang Hasundutan, 8.000 hektar di Tapanuli Utara, 12.000 hektar di Pakpak Bharat, dan 16.800 hektar di Tapanuli Tengah.
Pada tahap awal ini yang sudah masuk tahap produksi ada di Humbang Hasundutan, yaitu di satu wilayah namanya Desa Ria-Ria di Kecamatan Pollung ada 1.000 hektar yang dialokasikan sebagai lokasi super prioritas. Ini yang sedang berjalan dan komoditasnya adalah kentang dan bawang.
Kebijakan food estate atau program lumbung pangan nasional ini bertujuan menjaga ketahanan pangan dalam negeri dengan membuka lahan pertanian secara masif. Di Sumut begitu besar sekali luas lahannya, tetapi organisasi Anda dan beberapa organisasi petani serta organisasi sipil lainnya menunjukkan ketidak setujuan dengan program ini karena khawatir akan gagal. Mengapa Anda dan teman-teman menilai bahwa ini bisa gagal lagi?
Kita khawatir jika proyek ini gagal justru akan membuka peluang baru untuk kepentingan-kepentingan lain karena dari 65.000 hektar yang dialokasikan di Sumatera Utara yang sudah masuk tahap land clearing ada 1.000 hektar. Jika ini gagal tentu akan ada potensi yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain seperti industri ekstraktif atau pariwisata, ataupun hal-hal lain untuk kepentingan hutan tanaman industri, misalnya.
Di Sumatera Utara sejak 1980-an, paling tidak di Tanah Batak khususnya karena wilayah food estate ada di Tanah Batak - Tapanuli Raya, permasalahan agraria ini sudah berlangsung sejak lama. Jadi masuknya food estate ini dikhawatirkan akan menambah daftar baru konflik perampasan tanah ataupun konflik pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara. Hari ini mungkin negara memiliki otoritas atau memegang kendali terkait dengan tanah dan sumber daya, kemudian mengesampingkan situasi di lapangan.
Proyek food estate ini kalau kita lihat yang diresmikan oleh presiden pada Oktober 2020 ternyata memang sudah masuk ke satu kali panen dan hasilnya juga tidak produktif. Kalau kita lihat komoditas yang diproyeksikan yaitu tanaman kentang dan bawang itu berbeda jauh dengan pengetahuan masyarakat dengan tanaman-tanaman atau komoditas mereka yang sudah turun-temurun, paling tidak ada haminjon dan andaliman.
Andaliman adalah komoditas utama masyarakat di wilayah Tapanuli Raya, dimana tanaman ini tidak hanya sebagai komoditas ekonomi tapi juga memiliki nilai sosial historis. Jadi, sebagai adat juga. Andaliman dan haminjon ini sudah turun-temurun, bahkan dalam proses penyadapan ataupun operasi produksinya juga menggunakan nilai-nilai adat. Tentu kalau proyek ini terus dijalankan akan mengalienasi produk-produk lokal seperti andaliman dan haminjon. Perlu diketahui bahwa haminjon ini adalah kemenyan.
Apakah menurut Anda seharusnya agar hasilnya produktif itu ditanami oleh tanaman-tanaman yang memang asli wilayah tersebut, seperti haminjon atau kemenyan? Apakah tidak cocok kalau tanaman hortikultura, kentang dan sebagainya? Apakah ini berarti pilihan tersebut salah?
Iya, karena memang pengetahuan lokal masyarakat tidak sesuai dengan komoditas yang diproyeksikan oleh pemerintah. Masyarakat juga mengetahui bahwa tanaman haminjon atau kemeyan dan tanaman andaliman adalah tanaman milik mereka. Sementara yang diproyeksikan kentang dan bawang ini adalah pengaturan baru bagi mereka, sehingga mereka harus adaptasi lagi dan potensi gagal panen ada kalau ini terus diproyeksikan.
Mengapa tanaman besar seperti tanaman hortikultura? Itu karena memang proyek food estate ini dikembangkan untuk menjawab krisis pangan dari hulu sampai hilir. Jadi, dari mulai produksinya ditentukan oleh pemerintah, kemudian off taker-nya juga sudah ditentukan oleh pemerintah, siapa yang mengambil produk hasil petaninya, kemudian dijadikan produk turunan dari industri pangan.
Kita di WALHI melihat justru proyak food estate ini seperti monopoli dan terjadi perubahan corak produksi masyarakat, yaitu dari tani menjadi buruh tani. Itu karena masyarakat dialokasikan bibit, mereka semua terima, kemudian mereka melakukan penanaman dan hasil tani mereka itu diberikan kepada off taker.
Apakah off taker ini adalah korporasi besar? Dan apakah salah jika korporasi besar ikut membantu mengurus pangan supaya kita tidak tergantung lagi pada impor pangan?
Kalau off taker ini memang kepentingannya untuk masyarakat, tentu dalam permasalahan agraria atau tenurial sudah diberikan kepada masyarakat. Tapi hari ini dari 1.000 hektar yang dialokasikan ke berbagai wilayah super prioritas, hanya 215 hektar yang diberikan kepada masyarakat dalam hal pengelolaan, 785 hektar itu diberikan kepada tujuh off taker.
Kalau kita lihat di website pemerintah memang sudah ada tujuh off taker. Ini yang kemudian dikhawatirkan. Ketika petani wajib menjual ke off taker, hasil tani ini tentu harganya di monopoli oleh mereka. Petani tidak bisa menentukan harga mereka sendiri, kemudian mereka juga harus bekerja sebagai buruh tani.
Tentu ini yang dirugikan adalah masyarakat dan lingkungan, belum lagi memang pengalokasian lahan ini di areal-areal yang memang kalau misalnya kita merujuk dari Permen LHK 24/2020 bahwa lokasi kehutanan itu bisa dijadikan kawasan food estate melalui mekanisme kawasan hutan untuk ketahanan pangan. Jadi, selain dampaknya ke masyarakat, kemudian terjadi tumpang tindih permasalahan agraria di sana dan juga mengalienasi produk dari masyarakat itu sendiri.
Apakah Anda dan lembaga tidak masalah jika food estate ini dilaksanakan di kawasan non hutan atau misalnya di kawasan yang memang tanahnya adalah tanah petani atau tanah negara lainnya?
Kita lihat saja dalam proses bagaimana masyarakat adat di Pandumaan Sipituhuta di wilayah Tapanuli Raya, mereka mengusulkan tanahnya untuk kepentingan tanah adat atau tanah ulayat itu sudah tujuh tahun lamanya. Artinya sejak 2012 mereka sudah mengusulkan wilayahnya menjadi hutan adat. Tetapi pada prosesnya, tujuh tahun kemudian baru mereka mendapatkan atau pengakuan wilayah adat mereka. Berbeda dengan penetapan kawasan food estate ini, sehingga terjadi ketimpangan di situ.
Jadi, kalau kita lihat ketimpangan dalam penetapan kawasan adat dengan penetapan kawasan sebagai food estate ini jauh berbeda dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat harus berjuang tujuh tahun lamanya, sementara negara menetapkan kawasan food estate di wilayah mereka itu hanya butuh waktu enam bulan, dari Juli 2020 diterbitkan Permennya, kemudian pada Oktober 2020 negara sudah menetapkan wilayah-wilayah yang dijadikan super prioritas.
Bagaimana sikap WALHI ketika food estate ditempatkan di wilayah-wilayah yang kita katakan terlantar? Kalau kita merujuk pada keinginan dari organisasi masyarakat sipil, tentu wilayah-wilayah terlantar ini sebenarnya sudah ada masyarakat - masyarakat yang paling tidak mereka sudah mengelola lahannya di situ.
Harapannya untuk tanah terlantar ini, apakah itu bekas HGU atau pertambangan itu dialokasikan kepada masyarakat dan didistribusikan melalui skema tanah objek reforma agraria ataupun perhutanan sosial. Jangan kemudian ini diberikan kepada korporasi lagi ataupun kepada kepentingan lain yang memang hanya kepentingannya pada profit, dan itu menegasikan dari kepentingan-kepentingan masyarakat dan lingkungan.
Bagaimana sebenarnya usulan WALHI Sumut untuk menjawab masalah pangan, khususnya mewujudkan kedaulatan pangan ini?
Kalau memang pemerintah ataupun negara melihat bahwa negara justru sedang mengalami krisis pangan, tentu menjawabnya adalah dengan kedaulatan pangan. Hari ini food estate justru menunjukkan bagaimana negara sebagai pemegang kendali atau pemegang otoritas terhadap sumber daya dan sumber penghidupan itu justru otoriter. Jadi, kepentingan negara atau keberpihakan negara itu hanya pada pembangunan-pembangunan skala besar yang itu justru memarjinalkan kepentingan-kepentingan masyarakat.
Jika ingin menjawab krisis pangan, justru negara tidak mengambil langkah-langkah top down seperti ini. Seharusnya negara sebagai pemegang kendali kekuasaan dan sebagai aktor penuh untuk menjalankan roda pemerintahan melihat lebih dalam bagaimana permasalahan konteks pertanian ataupun konteks agraria di lapangan. Negara seharusnya mengalokasikan tanah baik itu melalui skema tanah objek reforma agraria atau perhutanan sosial itu sebagai alat produksi masyarakat. Kemudian untuk menjawab produktivitas masyarakat, tentu negara harus bertanggung jawab dan memastikan kapasitas masyarakat itu sendiri.
Jadi, kalau misalkan hari ini negara melihat bahwa food estate mampu menjawab produktivitas pangan skala nasional, kemudian masyarakat dianggap sebagai petani subsisten, justru ini tugas negara bagaimana mengalokasikan tanah dan meredistribusi lahan kepada masyarakat. Kemudian membantu meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga produktivitas pertaniannya meningkat dan juga menjamin hak-hak petani bagi mereka sendiri.
Jangan kemudian justru kepentingan-kepentingan masyarakat yang dipinggirkan, kemudian kepentingan korporasi besar yang memang itu adalah kepentingan profit dan justru masyarakat yang menjadi buruh tani. Itu tidak menjawab dari kepentingan-kepentingan menjawab krisis pangan.
Kalau kita lihat kembali, masuknya food estate ini sedikit banyak mengubah cara produksi masyarakat dari petani menjadi buruh tani. Itu karena awalnya mereka bertani subsisten, bertani untuk kepentingan mereka, kemudian mereka juga bertani dengan kearifan lokal, tidak merusak lingkungan, tidak menggunakan pestisida, ataupun karena mereka menyadap haminjon atau andaliman. Dengan masuknya ini juga dikhawatirkan menggunakan pestisida yang itu mengganggu ekosistem di kawasan Danau Toba.
Anda mengatakan bahwa konsep food esate ini memarjinalkan masyarakat, dalam hal ini kepentingan petani. Tapi di satu sisi di media-media massa, pemerintah atau negara mengklaim bahwa program ini melibatkan banyak petani lokal. Bagaimana kenyataan yang sebenarnya di lapangan?
Kalau kita lihat memang masyarakat yang bekerja dalam proyek food estate ini, tapi dalam pengalokasian lahan kita lihat saja, yang menjadi contoh yang dialokasikan 1.000 hektar di Sumatera Utara sebagai lokasi super prioritas dari 65.000 hektar, hanya 215 hektar yang dikelola oleh masyarakat, sedangkan 785 hektar justru dikelola oleh off taker, tujuh perusahaan yang ada di Sumatera Utara.
Ini sudah menjadi indikasi bahwa perubahan itu terjadi antara masyarakat sebagai petani yang mengelola lahan mereka sendiri, kemudian dialokasikan sebagai buruh tani dengan bekerja di wilayah super prioritas tadi.
Kalau Walhi melihatnya, dan karena kita sudah melakukan kajian dengan teman-teman Serikat Petani Indonesia (SPI) di Sumatera Utara, bahwa untuk menjawab krisis pangan justru ini dikembalikan saja kepada masyarakat. Lahan-lahan ini dan produktivitas yang ditingkatkan adalah tugas negara untuk bagaimana meningkatkan kapasitas dan produktifitas dari masyarakat. Biarkan masyarakat itu berdaulat atas tanahnya sendiri tanpa campur tangan dari korporasi-korporasi yang mengintervensi.
Bagaimana seharusnya untuk menjawab tantangan mengatasi krisis pangan ini, dalam hal ini mengatasi ketergantungan pada impor pangan. Apakah memang tidak bisa dilakukan secara masif dalam hal ini secara besar?
Kalau narasinya adalah food estate ini menjawab krisis pangan, proyek yang sudah pernah berjalan pada 2010, 2012 dan 2013 tentu seharusnya sudah menjawab krisis pangan yang terjadi di Indonesia. Tapi kenapa ini tidak bisa menjawab dan proyek ini justru ditinggalkan? Itu karena memang proyek food estate ini hanya sebagai proyek infrastruktur yang tidak berkelanjutan.
Kemudian kita lihat selama kurun waktu 2020, sejak Permen LHK itu diterbitkan hingga hari ini kita belum melihat bahwa permasalahan pangan di Indonesia selesai. Bahkan kalau misalnya kita lihat dari media-media dan kajian WALHI, justru proyek ini sempat gagal panen di Sumatera Utara, dan belum bisa menjawab krisis pangan sebagaimana yang diinginkan oleh negara.
Tadi Anda mengatakan untuk menjawab tantangan pangan di Indonesia itu mengajukan konsep kedaulatan pangan. Apakah bisa dijelaskan lebih rinci mengenai konsep kedaulatan pangan ini dan apakah sudah ada penerapan kedaulatan pangan ini di Sumatera Utara?
Kalau di organisasi masyarakat sipil, kita melihat SPI memiliki Desa Daulat pangan. Bagaimana mereka bisa memproduksi dari mulai benih, mereka menyemai benih sendiri, mereka melakukan penanaman, mereka atau petani menjual dengan harga tinggi, kemudian mereka bisa memiliki lahan sendiri. Ini juga bagian dari konsep kedaulatan pangan bagaimana petani itu berdaulat atas tanahnya sendiri.
Ketika ingin menjawab krisis pangan melalui konsep kedaulatan pangan ini, justru negara yang sudah mengalokasikan sembilan juta hektar yang diperuntukkan untuk tanah objek reforma agraria ini bisa di distribusikan kepada masyarakat, dan ini tentu menjadi keinginan masyarakat bersama untuk tanah-tanah mereka menjadi milik mereka sendiri.
Bukan seperti hari ini beberapa wilayah di Sumatera Utara, baik itu rakyat penunggu, masyarakat adat, dan masyarakat-masyakat yang tinggal di tanah mereka, justru diokupasi oleh perusahan -perusahan yang memang menganggap itu izin kosensi atau hak guna usaha mereka. Ini kemudian mengganggu dari kepentingan-kepentingan petani yang berdaulat atas tanahnya sendiri.