Indonesia Kurang Ada Negarawan
Salam Perspektif Baru,
Hari ini Perspektif Baru mempunyai host baru yaitu saya, Inayah Wahid. Kita akan berbincang-bincang dengan tamu yang sangat spesial karena ini edisi spesial yaitu edisi Agustusan. Tamu kita adalah Gustika Fardani Jusuf atau yang lebih dikenal sebagai Gustika Jusuf Hatta. Dia cucu dari Founding Father kita yaitu Bung Hatta, tapi Gustika dikenal dengan bebagai macam sepak terjangnya. Mulai sebagai researcher di Imparsial, juga aktif di NGO working group on Women, Peace, and Security sebagai Co-Director. Gustika mungkin sama statusnya dengan saya yaitu sebagai Social Justice Warrior (SJW) di sosial media.
Menurut Gustika, kalau dilihat dari berbagai aspek, maka kondisi Indonesia saat ini sangat jauh sekali dari yang diharapkan dulu oleh our Founding Fathers and Mothers. Ini karena politisi sekarang kurang memiliki perspektif negara. Jadi, sepertinya Indonesia itu kurang ada negarawan.
Maksudnya, berbeda sekali dengan Bung Hatta dan KH. Wahid Hasyim yang memiliki perspektif negara dan menjalankan perjuangan itu memang untuk sesama, bukan untuk keren-kerenan saja. Kalau sekarang itu rasanya kalau pun ada gerakan sesuatu, sering kali hanya untuk keren-kerenan.
Gustika mengatakan, dulu our founding fathers and mothers membuat negara Indonesia ingin visinya di awal bahwa kesejahteraan bisa merata. Tapi kesejahteraan dan keadilan saat ini memang hanya dirasakan oleh satu golongan tertentu. Jadi, kalau Bung Hatta dan semua pejuang-pejuang itu menaruh manusia terlebih dahulu. Mereka berjuang untuk manusia Indonesia di dalamnya. Ini yang saya rasa paling luput dari perspektif pembuat kebijakan saat ini, mereka tidak memikirkan manusianya dulu.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Inayah Wulandari Wahid sebagai pewawancara dengan narasumber Gustika Jusuf Hatta.
Bagaimana Gustika memandang 76 tahun kemerdekaan Indonesia ini? Apakah sudah sesuai dengan apa yang dulu dibayangkan atau divisikan oleh Datuk pada saat membangun negara ini?
Sejujurnya tidak sama sekali saat dilihat dari koruptor yang minta dibebaskan dari hukuman, ekspresi dari seni yang kemudian ditangkap orangnya. Jadi, saya yakin ini sangat jauh dari yang dibayangkan.
Ini sering sekali dibicarakan bahwa Bung Hatta orang yang penyabar dan tidak pernah marah, mungkin sekarang kalau beliau masih ada pasti sudah “ngomel-ngomel” menggunakan bahasa Belanda. Artinya, ini sangat jauh sekali dari yang diharapkan. Mungkin tidak perlu dibuka detailnya seperti apa, tapi saya yakin Inayah dan seluruh pembaca tahu kira-kira bagaimana.
Maksudnya, secara ekonomi saja Indonesia sekarang sangat kapitalis. Koperasi tidak berjalan, dan koperasi yang ada seperti simpan pinjam justru ujung-ujungnya merugikan anggota-anggotanya. Jadi kalau bisa dilihat dari berbagai aspek, ini sangat jauh sekali dari yang diharapkan.
Apa kira-kira yang menyebabkan kita hilang arah seperti ini, sehingga tidak sama dengan apa yang sudah divisikan?
Saya rasa karena politisi sekarang kurang memiliki perspektif negara. Maksudnya, berbeda sekali dengan Bung Hatta dan KH. Wahid Hasyim yang memiliki perspektif negara dan menjalankan perjuangan itu memang untuk sesama, bukan untuk keren-kerenan saja. Kalau sekarang itu rasanya kalau pun ada gerakan sesuatu, sering kali hanya untuk keren-kerenan.
Lalu, kenapa bisa sampai seperti ini? Kemarin saya baru mengikuti kelas tentang bagaimana negara dan kapital serta bentuk politik di Indonesia, bahwa memang sekarang yang berada dalam anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kepentingan bisnis. Jadi, segala macam kebijakan yang dikeluarkan memang mengarah ke sana, yang menguntungkan orang yang memiliki kapital.
Misalnya, mengapaOmnibus Law tiba-tiba bisa tembus, itu sangat jelas kenapanya. Sekarang ini kita dikuasai oleh orang-orang seperti itu, yang tidak memiliki perspektif hak asasi manusia, dan hanya ingin mencari untung sendiri. Jadi, saya rasa karena itulah kita tidak maju.
Kita sedang membicarakan mengenai 76 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang kalau menurut Gustika sama sekali melenceng dari yang dulu dibayangkan oleh para founding father kita. Padahal 76 tahun itu dekat sekali dengan 100 tahun Indonesia yang digadang-gadang akan menjadi golden momentum untuk Indonesia, terutama karena akan ada bonus demografi juga. Dengan kondisi Indonesia saat ini, bagaimana kamu memproyeksikan Indonesia 100 tahun lagi?
Tidak tahu, kalau saya disuruh prediksi seperti itu. Kebetulan saya tidak mempunyai dasar untuk membuat prediksi, dalam arti secara ilmiah karena saya tidak meneliti di situ. Tapi kalau opini saya, jika 76 tahun Indonesia masih saja seperti ini maka bisa kacau, bisa jadi ada intervensi -intervensi tertentu.
Kita juga masih ada konflik internal, misalnya di Papua, karena pemerintah sama sekali tidak bertanggung jawab atas hak asasi mereka. Sebenarnya, sebelumnya sudah pernah sedikit direndam oleh Gus Dur, everyone loves him di Papua. Tapi semakin lama kebijakannya berubah menjadi sangat sekuritisasi dan militeristik, itu bisa menjadi bom waktu. Kenapa tidak ada pendekatan humanis lagi seperti di era Gus Dur? Saya bicara seperti ini bukan karena ada Inayah di sini, tapi ini merupakan contoh bagaimana maju selangkah, kemudian mundur lagi.
Jadi, saya tidak bisa memprediksi bagaimana dalam 100 tahun nanti. Bisa jadi dalam beberapa tahun ini ada satu figur yang muncul, yang mungkin memberi harapan baru. Sebelumnya pernah terjadi, ada harapan baru bahwa yang masuk politik bukan lagi orang-orang yang sama, bukan anaknya siapa-siapa (orang tersohor di negara kita), dan bukan muka-muka lama. Namun, ternyata ketika sudah berjalan ada kepentingan bisnis lagi yang jadinya sama saja.
Saya tidak bisa memprediksikan itu akan seperti apa, yang saya bisa katakan adalah bahwa sepertinya Indonesia itu kurang ada negarawan. Jadi, kalau seperti ini terus maka bonus demografi pun akan diperlakukan sebagai objek. Orang muda seharusnya bisa menjadi bonus supaya menciptakan ekonomi yang mungkin lebih baik, tapi apakah kita memikirkan kesejahteraan mereka?
Ibu saya selalu cerita ketika dia mendapat beasiswa sekolah S2 di Jepang pembahasanya adalah bagaimana kalau orang-orang muda nanti sudah menjadi tua? Karena kalau sudah tua, mereka akan susah untuk menciptakan sesuatu, bahkan akan bergantung kepada negara dan itu hak mereka.
Sekarang Ibu saya sudah 65 tahun dan masih kerja full time karena memang dia tidak bisa kalau tidak kerja. Apakah terbayang orang-orang yang seperti itu bagaimana? Ibu saya saja dari yang latar belakangnya memiliki privilege seperti itu, bagaimana orang yang tidak memiliki privilege sama sekali? Bagaimana harus berjuangnya? Bisa jadi akan semakin kacau.
Jujur, saya tidak memiliki landasan ilmiah untuk membuat prediksi. Tapi memang banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya. Bagaimana nanti kalau saya sudah tua? Walaupun itu masih terbilang jauh.
Kalau misalnya mengacu pada Bung Hatta yang sudah memberikan vision atas pembangunan negara ini, apa yang sebenarnya hilang sehingga sampai kamu bisa memprediksi kalau kita masih seperti ini, maka Indonesia 100 tahun tidak bisa lebih baik, bahkan bonus demografi pun juga tidak ada gunanya. Apa yang hilang dari Bung Hatta yang tidak kita temukan hari ini?
Kalau dari Bung Hatta secara individu, menurut yang saya pelajari dari buku dan yang saya dengar dari orang-orang yang pernah kenal dengan beliau, memang ketika mengambil misi ingin masuk politik maka itu betul-betul dijalankan.
Kalau tidak salah bahasa Yunani dari politik artinya kepentingan bersama. Poli itu berarti macam-macam, sedangkan Tik itu bersama. Menurut yang saya tahu, itu betul-betul dijalankan oleh Bung Hatta. Tapi Kalau sekarang mungkin politik itu dijadikan kendaraan oleh orang untuk menguntungkan kepentingan pribadi. Jadi, bukan untuk kepentingan bersama lagi, tapi kepentingan sendiri saja.
Itu mungkin perbedaan jauhnya antara Bung Hatta dan banyak politisi-politisi sekarang, bisa dikatakan mungkin 95% dari politisi sekarang. Saya yakin masih ada orang-orang yang baik, tapi memang susah maju kalau misalnya tidak mempunyai kapital dan uang. Apalagi pasang baliho sekarang sudah kelihatan harganya berapa. Sedangkan mereka harus pasang baliho agar dikenal.
Kalau mereka mempunyai program-program yang bagus tapi tidak mendapat dukungan partai, maka akan sia-sia karena memang sistemnya sudah terbentuk sedemikian rupa, sehingga orang baik susah muncul di permukaan.
Kemerdekaan tahun ini banyak sekali menyuarakan mengenai pemuda. Pemuda itu adalah harapan bangsa. Kita juga tahu bahwa dulu para Founding Fathers kita masih muda, bukan hanya Bung Hatta. Saya ingat kakek saya mungkin jauh lebih muda dari usia saya sekarang pada saat bersama Bung Hatta mendirikan negara ini.
Hari ini juga yang disuarakan itu adalah anak-anak muda. Jadi sampai diperlukan staf khusus untuk para pemuda ini, sampai benar-benar semuanya untuk milenial. Sekarang mungkin generasi Z yang menjadi targetnya.
Bagaimana Gustika sebagai perwakilan anak muda melihat itu? Apakah benar mereka merupakan harapan bangsa, kunci negara dan kunci masa depan? Bagaimana pendapat Gustika, terutama dalam situasi Indonesia 76 tahun ini?
Sebenarnya menurut saya yang paling salah dari pandangan pembuat kebijakan adalah menyama-ratakan semua orang muda. Jadi, orang muda di desa, orang muda di kota, orang muda di kota kecil, di gunung, di pantai itu semuanya dibuat sama. Padahal dari lataran sosial ekonomi dan pendidikan jelas berbeda.
Memang benar bahwa orang muda harus diperhatikan, tapi apakah kita melihat sebuah kemajuan di orang muda sekarang karena adanya program-program khusus orang muda? Saya rasa itu juga sulit dirasakan.
Mungkin saya bisa mengatakan sebagai orang muda, saya sulit merasakan itu secara langsung. Atau mungkin karena saya orang mudanya juga yang sudah mendekati tua, sudah mendekati 30 tahun dan bukan gen Z, sehingga bukan targetnya. So, I don’t know about that.
Misalnya, kita membicarakan mengenai perempuan, waktu awal-awal orang sedang heboh mengenai keterwakilan perempuan, ada salah satu orang di United Nations (UN) mengatakan bahwa ini bukan taraf perempuan dan diaduk. Jadi, perempuan itu bukan gula yang dimasukkan ke kopi, kemudian diaduk dan selesai.
Orang muda pun sama seperti itu. Walaupun kita mempunyai orang-orang muda di parlemen, sebagai staf khusus, dan lain-lain, kalau mereka tidak memahami masalah-masalah orang muda, tidak memahami sejarah, tidak memahami apa sih isu-isu yang ada di dalamnya, maka percuma saja. Itu yang kurang lebih saya rasakan sekarang. Yang penting ada orang mudanya. Jadi, terkesan tokenistik sekali.
Tapi apakah kebijakannya itu ramah terhadap orang muda? Tentu tidak. Misalnya, orang muda dari umur nol saja ketika lahir tidak bisa mendapat akte karena orang tuanya tidak ada biaya atau lain hal. Kemudian nanti susah untuk masuk sekolah, atau ketika mereka sudah bersekolah dengan surat pengantar RT sebagai syarat administrasinya, ketika ingin kuliah juga susah lagi karena tidak ada surat-surat tambahan yang lainnya lagi.
Jadi, itu juga permasalahan orang muda. Menjadi permasalahan orang muda juga kalau membicarakan masa depan adalah tentang lingkungan. Indonesia masih jahat sekali dengan lingkungannya. Pemerintah kita mempunyai hobi membabat hutan, orangutan sampai kehilangan rumahnya, harimau jalan-jalan dan kelaparan.
Saya sebagai orang Jakarta merasakan sekali bahwa Jakarta akan sinking karena sudah banyak dokumenter mengenai itu. Mengapa pemerintah seperti tidak ada sense of emergency yang lebih? Sekarang itu fokusnya hanya ke investasi, tapi investasi itu siapa yang akan menikmati kalau bukan kalangan menengah ke atas atau kalangan oligarki?
Saya rasa, dulu our founding fathers and mothers membuat negara Indonesia ingin visinya di awal bahwa kesejahteraan bisa merata. Tapi kesejahteraan dan keadilan saat ini memang hanya dirasakan oleh satu golongan tertentu.
Memang untuk urusan orang muda, terkadang saya skeptis karena saya banyak melihat orang-orang muda di sekeliling saya yang kelakuannya minus sekali. Misalnya, dia baru umur 20 tahun sudah menjadi komisaris, mempunyai bodyguard dan gayanya sombong sekali. Padahal Inayah saja yang Bapaknya presiden kemana-mana santai saja.
Apalagi kalau bentuknya muda, tapi ternyata pikirannya status quo, sampai mural saja tidak boleh. Jadi, apa harapan kamu bagi 76 tahun merdeka. Saya ingin mengaitkannya dengan prinsip-prinsip kakekmu. Apa yang perlu dibawa hari ini untuk Indonesia 76 tahun?
Saya realistis saja, daripada kecewa lebih baik tidak usah berharap. Tapi kalau harus dikaitkan dengan apa yang kira-kira harus terus didorong dan saya yakin tidak muncul di pidato kenegaraan yang ada di MPR setiap tahun adalah mengenai perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).
Jadi, kalau Bung Hatta dan semua pejuang-pejuang itu menaruh manusia terlebih dahulu. Mereka berjuang untuk manusia Indonesia di dalamnya. Ini yang saya rasa paling luput dari perspektif pembuat kebijakan saat ini, mereka tidak memikirkan manusianya dulu.
Kalaupun misalnya membicarakan manusia secara SDM yang berkualitas, kenapa tidak dijembatani? Misalnya, mereka dari kelompok rentan atau dari kelompok yang ekonominya menengah ke bawah, maka harus ada akses yang lebih baik untuk menjadikan mereka SDM yang berkualitas. Tapi untuk menjadi SDM yang berkualitas terlebih dahulu memang hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi. Dan itu yang selama ini saya rasa sangat luput dari program-program pemerintah.
Memang saya mendengarkan saja dari tahun ke tahun bahwa HAM jarang sekali disebut atau bahkan programnya nyaris tidak ada. Adanya hanya bagaimana membuat kita menjadi robot, meningkatkan skill A-B-C, tapi humanisnya tidak ada. Jadi, mungkin itu yang perlu dijadikan perhatian. Jujur, kalau saya ditanya harapan adalah lebih baik saya tidak berharap daripada kecewa nantinya.