Generasi Muda Menatap Pemilu 2024
Salam Perspektif Baru,
Kita akan membahas mengenai sejauhmana generasi Z menatap Pemilu 2024. Kita membahasnya dengan pakar yang mempunyai kapasitas sangat luar biasa mengenai psikologi politik internasional, dan khususnya psikologi politik Indonesia, yaitu Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si.
Prof. Hamdi Muluk mengatakan hakikat politik tidak berubah secara substansi bahwa keputusan bersama harus diambil, bahwa ada kontestasi, bahwa ada proses-proses ritual demokrasi dari kampanye Pemilu, ada partai politik dan seterusnya, tetap bagiannya tidak berubah. Yang berubah adalah lansekap perilakunya. Masalah kita hari ini adalah politik kita itu masih memakai cara lama sedangkan anak milenial ini aspirasinya sudah melompat 10 sampai 20 tahun ke depan.
Contohnya, kita masih alergi bicara mengenai e-voting sedangkan bagi anak Z yang saya tanya dia bingung, “Mengapa orang tua enggan sekali e-voting? Padahal teknologinya sekarang maju, tingkat keamanannya juga sudah maju. Sebenarnya orang tua ini paham teknologi atau tidak?”
Menurut Hamdi Muluk, generasi milenial harus kuat menyuarakan apa perbaikan yang mendasar. Misalnya, mendorong parlemen threshold yang lebih ketat, sehingga partai itu bisa secara demokratis, bisa dikonsolidasi menjadi tiga atau empat saja. Itu akan lebih sehat. Jadi, kita akan lebih mudah menata demokrasi.
Berikut wawancara Perspektif Baru dengan narasumber Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si. dan sebagai pewawancara Ferdi Setiawan.
Saat menatap Pemilu 2024, generasi milenial dan juga generasi Z disuguhkan berbagai video, berbagai gambar di media sosial yang mereka konsumsi setiap hari mengenai kegiatan politikus dan kegiatan calon presiden. Bagaimana perpektif Profesor mengenai hal ini?
Kalau kita membicarakan generasi muda, khususnya generasi milenial yang mungkin didefinisikan kira-kira usia 26 sampai 41 tahun, dan generasi Z didefinisikan nanti pemilih pemula usia 17 sampai 21 tahun, dua angkatan ini yang membedakan dari generasi saya dan Anda adalah mereka lahir di era teknologi informasi itu menjadi pervasif.
Artinya, masuk pada sendi-sendi kehidupan sedemikian dalam, dan ada yang mengatakan ini istilahnya digital native atau warga negara digital. Jadi, saat dia lahir itu teknologi digital sedang booming. Keadaannya mungkin seperti anak saya ketika dia melihat bangkai telepon kabel yang ada di rumah, dia heran ini apa, sama juga saat dia melihat tape recorder. Ini karena saat mereka lahir itu sudah zamannya smart phone, dia lahir saja sudah ada internet. Jadi, memang dia lahir di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Tentu kita harus pahami juga kalau internet itu dicabut, mungkin seperti juga mencabut oksigen, mereka pasti bingung. Banyak yang mengatakan bahwa sekarang tidak ada makanan tidak apa-apa, tidak ada snack tidak apa-apa, asalkan ada sinyal. Jangan sampai menjadi fakir pulsa karena itu lebih mengkhawatirkan. Dari perspektif psikologi, cara mereka berperilaku tentu berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, atau istilahnya perilaku mereka itu dimediasi oleh teknologi informasi dan teknologi internet.
Dalam definisi politik, itu sebenarnya tidak berubah dari zaman plato sampai zaman sekarang, itu sama saja. Politik adalah seni untuk mengatur kehidupan publik dimana keputusan-keputusan publik yang menyangkut hajat hidup kita bersama ini kita bicarakan, kita kontestasikan. Artinya, ini memang tidak dimonopoli oleh satu kelompok. Kalau dimonopoli itu namanya kerajaan. Sedangkan kalau tidak dikontestasikan atau turun-temurun, hanya diurus satu golongan itu namanya oligarki.
Jadi, demokrasi itu menghendaki partisipasi, ada dialog, ada partisipasi supaya kehidupan bersama ini bisa kita bicarakan bersama, sehingga keputusan politik itu bisa diambil. Semua mekanisme yang hari ini kita ributkan menjelang 2024 menjadi suatu keniscayaan bahwa dibukalah kontestasi antara banyak pihak, siapa yang dirasa mampu mengemban mandat itu dalam sebuah Pemilu dipercaya untuk mengurus urusan publik. Artinya, definisi politik tidak berubah dari dulu sampai sekarang, termasuk saya.
Masalahnya hari ini yang harus disadari oleh banyak orang termasuk juga politisi adalah lansekap perilakunya sudah berbeda. Kalau dulu tidak ada yang namanya perilaku yang mediated by technology. Dulu mungkin juga diperantarai teknologi, tapi yang paling top adalah televisi. Ingat zaman dulu tontonannya Wimar Witoelar yang paling spektakuler pada zaman Presiden Soeharto adalah “Cabut Gigi.” Pada waktu itu orang sudah heboh, dianggap itu sudah kemajuan besar. Akhirnya, ditertawakan oleh orang, apa hebatnya acara itu? Padahal pada zaman dulu acara itu hebat sekali.
Apakah benar bahwa generasi Z dan generasi milenial itu benar-benar apolitis?
Saya sambung sedikit supaya ini menjadi bahan refleksi kita. Saya seringkali mengatakan hakikat politik tidak berubah secara substansi bahwa keputusan bersama harus diambil, bahwa ada kontestasi, bahwa ada proses-proses ritual demokrasi dari kampanye Pemilu, ada partai politik dan seterusnya, tetap bagiannya tidak berubah. Yang berubah adalah lansekap perilakunya. Masalah kita hari ini adalah politik kita itu masih memakai cara lama sedangkan anak milenial ini aspirasinya sudah melompat 10 sampai 20 tahun ke depan.
Contohnya, kita masih alergi bicara mengenai e-voting sedangkan bagi anak Z yang saya tanya dia bingung, “Mengapa orang tua enggan sekali e-voting? Padahal teknologinya sekarang maju, tingkat keamanannya juga sudah maju. Sebenarnya orang tua ini paham teknologi atau tidak?”
Kampanye sekarang itu sudah pakai cara tiktok, sudah pakai instagram, dan mereka itu sudah lebih cerdas daripada kita. Mereka sudah paham mulai dari konten, gambarnya, pencahayaannya, ini sesuai atau tidak dengan anak muda.
Masalahnya orang tua kita masih terperangkap di masa lalu, mulai dari politisi, partai politik, penyelenggara Pemilu, dan bahkan pemerintahannya. Jadi, kalau saya lihat ini ada gap. Kita masih hidup di zaman perpolitikan yang dulu, walaupun secara hakikat tentu tidak berubah. Politik dari dulu tetap ujung-ujungnya adalah bagaimana keputusan politik diambil secara demokratis. Hanya saja caranya berbeda, termasuk juga misalnya kelakuan-kelakuan politisi.
Dulu kalau kita berpolitik itu rumusnya adalah asal bapak senang, menjilat kiri dan kanan, masih feodal. Sedangkan anak-anak sekarang jijik melihat itu. Menurut mereka, “apakah orang-orang itu tidak bisa lebih kreatif?”
Apakah pesan-pesan itu sampai?
Sebenarnya sampai. Kalau kita melihat survei hampir semua milenial mengatakan tidak berminat kalau ditanya tertarik atau tidak untuk masuk partai politik. Itu karena dia melihat cara partai politik mengelola politik itu sendiri masih dengan cara-cara lama. Sedangkan mereka perlu yang kekinian. Jadi, orang menganggap bahwa partisipasi generasi Z ini rendah di politik atau orang menafsirkan bahwa mereka tidak melek politik, kira-kira begitu.
Sebenarnya bukan tidak melek, mereka paham bahwa kehidupan publik ini harus dikelola bersama. Hanya saja ada kesenjangan generasi dan cara melihat persoalan. Notabene orang-orang old di politik dan cara berpikir anak muda ini sudah berbeda. Itu harus dijembatani.
Memang itu realitanya. Jadi, yang ditakutkan justru kalau memang mereka disebut melek politik, tetapi mereka tidak paham apa itu politik. Akhirnya, hanya ikut-ikutan pemilihannya.
Sebenarnya kalau kita ingin kampanye ke anak muda mengenai hakikat politik itu tidak terlalu sulit. Hanya memang ada masalah yang mendasar, menurut saya, mengapa anak-anak muda ini sedikit skeptis melihat perpolitikan kita.
Seperti yang saya singgung tadi, menurut mereka orang-orang tua itu kolot sekali memakai inovasi itu susah sekali. “Apa susahnya e-voting? Itu akan menghemat uang banyak. Tidak akan ada lagi kejadian-kejadian petugas Pemilu meninggal karena menghitung kertas suara masih dengan cara manual.”
Anak melenial tidak masuk di kepala mereka cara-cara kuno itu. Sama juga misalnya kenapa tidak pakai cara-cara yang lebih kekinian seperti menggalang dana kampanye dengan kitabisa.com dan segala macam. Itu mereka kreatif semua.
Anak-anak muda biasanya kalau dianggap dia “emoh” atau enggan politik, kemudian Anda menafsirkan dia tidak melek politik, tidak ingin partisipasi, tidak masuk partai, tidak ikut-ikutan, itu karena orang-orang tuanya kolot dan konservatif.
Tapi paradok juga, saya melihat data walaupun anak-anak muda sedikit sinis dengan politik kita, Alhamdulilah partisipasinya tidak rendah. Itu yang saya takjub, partisipasinya tidak rendah, coba dicek data KPU. Walaupun betul yang namanya non-voting atau yang orang bilang Golput itu memang orang-orang muda dan orang-orang tua yang sakit, jangkauannya jauh. Itu wajar-wajar saja. Sebenarnya kalau kita membaca anak Z ini partisipasinya tidak terlalu buruk juga.
Dari penjelasan Profesor tadi, sebenarnaya kalau dari survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan partisipasi politik generasi Z dan milenial itu bahkan meningkat 85,9%. Benar kata Profesor bahwa artinya mereka sebenarnya berpartisipasi. Tapi dalam survei tersebut juga disebutkan bahwa memang sangat rendah minat mereka untuk terjun ke politik.
Jadi, kalau survei CSIS itu untuk tingkat vote, mereka mau vote. Namun mereka memang untuk masuk partai politik, menjadi relawan, ikut aktif kampanye, atau bentuk-bentuk keterlibatan yang lebih aktif, mereka tidak mau. Itu karena bagi mereka dunia politik itu tidak menarik. Kalau Bahasa mereka itu terlalu old.
Masalah politik kita yang sebenarnya dan harus dibukakan ke mata anak muda, saya paham mengapa anak-anak muda ini akhirnya juga skeptis melihat politik di luar masalah coblos, penyakitnya adalah politik kita memang bisa dalam pengertian tertentu itu meaningless.
Artinya, partai politik terlalu banyak, ada 44, fragmented, terpecah-belah dan tidak ada sosok yang jelas dalam partai politik. Mereka kebingungan membuat branding. Branding-nya rebutan. Misalnya, kalau kita bicara partai kiri yaitu ada PDIP, ada Gerindra, dan kadang-kadang ada Nasdem yang ke kiri-kirian dalam pengertian tertentu. Kemudian orang bertanya apa bedanya Nasdem dengan Demokrat dengan Hanura karena sama saja. Partai Islam juga pecah menjadi banyak. Sebenarnya partai yang utama itu tidak lebih dari tiga.
Tadi disebutkan dari hasil studi Profesor, apa yang terkuak dari fakta tersebut?
Jadi, kami membuat alat ukur untuk melihat bagaimana masyarakat awam ini berpikir tentang ideologi. Banyak yang mengatakan bahwa orang itu tidak mengerti ideologi. Kalau disebut kamu kiri atau kanan, liberal atau konservatif, atau kamu sedikit fundamentalis, atau kamu sedikit sekuler dan seterusnya. Itu varian-varian ideologi. Mereka memang tidak tahu, tapi kalau kita pancing melalui sejumlah pernyataan tentang pilihan-pilihan kebijakan, kita tahu arah ideologinya dan kami memetakan. Akhirnya ketemu tiga poros dimensi ideologi.
Pertama, berporos kepada dimensi katakanlah semacam dimensi apakah negara ini mau diatur berdasarkan prinsip agama atau prinsip sekuler? Itu kutubnya. Dari orang yang ingin negara diatur berdasarkan prinsip sekuler, sampai sangat agamis, atau fundamentalis. Kedua, ada orang berpikir ingin negaranya diatur dengan prinsip pasar bebas, atau sangat sosialis. Ketiga, dimensi nilai-nilai sosial. Jadi, ada orang yang ingin negara ini diatur dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang liberal, dan ada juga dengan nilai-nilai konservatif.
Bercermin dari tiga aspirasi ideologi itu, seharusnya partai politik itu cukup ada tiga atau empat. Misalnya, partai sosialis jadi dua varian, kemudian ada partai agama dan partai nasionalis juga. Dengan begitu partai itu berbenah dan menjadi jelas identitasnya. Kalau jelas identitasnya, maka orang mau mengkaitkan dirinya menjadi pengikut partai itu karena aspirasi ideologinya terkanalisasi. Itu karena juga kanalisasi ideologi tidak perlu sampai 44.
Celakanya dengan sistem yang semuanya multipartai itu konsekuensinya kita menjadi sulit membangun yang namanya constituency. Keterikatan antara pemilih dengan sebuah partai yang jelas sosoknya, yang jelas ideologinya, jelas programnya, termasuk jelas kandidatnya siapa atau Party-ID nya jelas. Dengan begitu terbentuk constituency.
Kalau terbentuk constituency, misalnya Pemilu hanya ada tiga partai, kalau ada yang menang itu jelas siapa pemenangnya dan jelas kepada siapa kita meminta pertanggung jawaban. Kalau sekarang di parlemen, karena partai itu ada 12, masing-masing meraih suara ada yang empat, lima, enam, tujuh, dan paling besar 20%, mereka akan mengatakan begini, “Jangan minta tanggung jawab saya dong, saya menang hanya 10%, saya berkoalisi dengan yang lain.”
Situasi ini jadi seperti pedagang sapi. Sampai kapan kita begini terus? Anak muda mengerti logika itu, makanya mereka skeptis. Memangnya ada perbedaannya kalau yang menang partai A, partai B, partai C, atau partai D? Nanti di parlemen juga kongkalikong lagi karena semua merasa kecil. Saya ingin mengatakan kegilaan ini kapan kita mau putus sebenarnya?
Apakah Party-ID tadi bisa melekat di era digitalisasai dan media sosial sekarang?
Sangat bisa. Yang saya khawatirkan adalah ketika misalnya Party-ID atau ideologisasi partai-partai itu tidak jalan, partai-partai akhirnya mengandalkan kepada karisma tokoh. Ini tidak sehat dalam praktik demokrasi.
Dimana-mana yang namanya partai politik itu adalah kerja-kerja ideologis di negara-negara maju, dan dia berakar di situ. Dengan begitu ketika kerja ideologis itu di kaderisasi di partai dan orang terlatih dalam melakukan kerja-kerja politik, terbentuk kemampuan politik, terbentuk konstituensi antara aktor politik dan masyarakat yang memilih dia, terjalin simbiosis. Dengan begitu Party-ID menjadi jalan, dan politik menjadi sesuatu yang lebih predictable.
Kalau di negara kita itu ajaib. Hari ini partai A menang, kemudian besok tiba-tiba partainya nyungsep dan diganti lagi partainya. Kalau di negara luar juga bisa begitu, tapi mereka lebih jelas. Misalnya di Amerika Serikat, hari ini Partai Republik tidak begitu mengena di hati publik, maka besok dia pindah ke Partai Demokrat, jadi jelas. Kalau di negara kita, itu akrobatnya jadi banyak. Itu masalah, belum lagi mempunyai konsekuensi kepada kerepotan melaksanakan Pemilu yang rumit, itu banyak pilihannya.
Satu lagi yang ingin saya katakan, dalam ilmu Psychology of Decision Making, dalam ilmu psikologi cara kita melakukan proses pengambilan keputusan itu hampir impossible orang bisa melakukan penilaian yang benar ketika pilihannya itu sampai lebih dari empat, lima, bahkan enam. Apalagi ada calon anggota legislative (Caleg) pilihannya 40 partai dan ke bawahnya ada 10, bagaimana tidak pusing?
Jadi, yang diminati oleh pemilih Indonesia adalah Pilpres karena calonnnya sedikit atau misalnya Pilkada karena hanya dua atau tiga calon, jelas. Tapi lagi-lagi repotnya dengan Pilkada, orang bingungnya begini, calon si A diusung oleh kombinasi lima partai yang spektrumnya dari kiri sampai ke kanan bisa menyatu untuk Provinsi, dan untuk Kabupaten beda lagi.
Orang menjadi bingung, sebenarnya partai ini ideologinya apa? Akhirnya, terjadilah gejala yang disebut dalam political psychology yaitu personalization of politic. Jadi, politik menjadi sangat personal. Kalau politik menjadi sangat personal, nanti muncul penyakit-penyakit lain seperti masalah kebencian. Itu karena orang melihatnya sangat personal nantinya.
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh Parpol, Komisi Pemilihan Umum, dan juga generasi milenial?
Menurut saya, generasi milenial harus kuat menyuarakan apa perbaikan yang mendasar. Misalnya, mendorong parlemen threshold yang lebih ketat, sehingga partai itu bisa secara demokratis, bisa dikonsolidasi menjadi tiga atau empat saja. Itu akan lebih sehat. Jadi, kita akan lebih mudah menata demokrasi. Kalau demokrasi itu sudah “ajeg” dan partai-partai itu mulai bekerja benar, baru kita bisa berharap generasi milenial itu akan bisa terjun ke politik secara sepenuh hati.
Bagaimana untuk KPU dan Parpol?
Mereka harus mendengarkan keluhan banyak orang. Mau sampai kapan seperti ini? Sebenarnya ini untuk DPR, walaupun kita paham DPR kalau mengambil keputusan itu seperti mengamputasi kakinya sendiri.