Dana JHT Milik Pekerja
Salam Perspektif Baru,
Hari ini kita membahas mengenai klaim Jaminan Hari Tua (JHT) saat usia 56 tahun dengan perwakilan dari kelompok pekerja atau buruh yaitu Sumiyati, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Perempuan dan Anak Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Pekerja Nasional (SPN).
Sumiyati mengatakan kita memprotes keras karena esensinya JHT itu diberikan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja agar dia bisa bertahan hidup demi hari tuanya. Kalau bicara JHT sebagai tabungan hari tua, maka itu berarti milik kita, dan kita sebagai pemilik tabungan seharusnya bisa setiap saat mengambilnya. Itu pengertian yang seharusnya kita sama-sama satu persepsi.
Selama ini JHT yang ada digunakan untuk bertahan hidup sampai mendapatkan pekerjaan kembali, entah itu untuk wirausaha atau untuk modal awal bahkan untuk menutupi kebutuhan makan keluarga karena dia tidak mempunyai penghasilan. Selama ini seperti itu.
Menurut Sumiyati, kebijakan organisasi SPN dari tingkat konfederasi hingga federasi adalah akan tetap melakukan aksi-aksi penolakan yang berjilid-jilid sampai pemerintah benar-benar mencabut Permenaker No.2/2022. Itu karena kita keberatan, yang pasti keberatan tentang isi Permenaker tersebut di pasal 3 tentang peserta mencapai usia pensiun.
Kita akan melakukan aksi-aksi karena kita tahu dan mungkin secara umum juga tahu dana di BPJS Tenaga Kerja ada sekitar Rp 372 triliun dan dari jumlah itu 70% adalah dana JHT. Artinya, dana itu adalah dana JHT milik kami.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Sumiyati.
Kehadiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) bisa dicairkan saat usia 56 tahun telah menimbulkan kekisruhan dan protes keras dari publik. Salah satu kelompok yang memprotes tentu saja adalah kalangan pekerja atau buruh. Mengapa Anda dan teman-teman menolak Permenaker ini?
Terimakasih atas kesempatan yang sudah diberikan kepada saya untuk hadir di sini menjelaskan bagaimana carut marut tentang protes keras kita sebagai buruh yang merasa dirugikan terkait dengan pemberlakuan Permenaker No.2/2022 sehubungan dengan pencairan JHT.
Persoalannya kenapa kita memprotes keras karena pertama bahwa aturan yang lama berdasarkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015, yang sudah diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo terkait dengan JHT, menyebutkan bahwa pencairan JHT diatur dan bisa tertunda hanya satu bulan dengan kepesertaan lima tahun. Peraturan Pemerintah tersebut menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015. Di sana tercantum bagaimana pengaturan JHT diberikan kepada orang yang pensiun, cacat total, cacat tetap, kemudian orang yang meninggal.
Di Peraturan Pemerintah No.46/2015 mengatur tentang PHK juga terkait dengan pemberian JHT, dan itu tertundanya hanya satu bulan. Tapi di dalam Permenaker No.2/2022 ini Menteri Ketenagakerjaan memberlakukannya pada usia 56 tahun. Artinya, dia menganggap bahwa JHT hanya berhak diberikan pada usia-usia pensiun yaitu 56 tahun.
Padahal pada saat JHT muncul, waktu itu masih program Jamsostek pada awalnya, ada empat program yaitu ada jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua. Esensinya JHT itu diberikan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja agar dia bisa bertahan hidup demi hari tuanya.
Jadi itu sebagai bekal menuju hari tua bukan diberikan pada saat memasuki usia pensiun karena dulu tidak ada jaminan pensiun. Saat ini memang diatur ada program jaminan pensiun, tapi kemudian kenapa JHT jadi ikut-ikutan dianggap bahwa itu jaminan untuk memenuhi kebutuhan hari tua dan akan diberikan pada usia 56 tahun.
Menurut saya, ini sangat tidak adil, apalagi ketika kita melihat jaminan hari tua itu dibayarkan berdasarkan keringat dari buruh itu sendiri sebesar 2% dan 3,7% dari pengusaha atau pemilik kerja. Artinya itu adalah milik kita atau hak kita. Kenapa hak kita kemudian diatur?
Jangan berlandaskan karena ada pasal yang mengatur tentang pengelolaan itu di dalam Undang-Undang (UU) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tapi harus dilihat bahwa pada saat ini kondisi buruh sedang terpuruk. Kita semua difokuskan dengan kondisi pandemi yang belum berakhir, PHK juga banyak terjadi, anggota kami saja yang tadinya sekitar 340.000 orang kemudian karena pandemi dan banyak PHK saat ini tinggal 211.000 anggota. Artinya ada sekitar 100.000 yang hilang gara-gara pandemi.
Saat ini kondisi masih susah, buruh dirugikan, difokuskan hanya untuk pemenuhan gizi dan pemenuhan ekonomi keluarga karena dia harus bertahan hidup dalam pandemi yang berkepanjangan. Tapi tiba-tiba pemerintah dalam hal ini Menteri Ketenagakerjaan membuat aturan baru yang jelas-jelas memberangus juga, sehingga kondisi buruh semakin terpuruk dan semakin miskin.
Kemarin tentang aturan-aturan surat edaran bagaimana THR dicicil, kemudian ada Keputusan Menaker Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja selama masa Pandemi, di situ menghilangkan esensi tentang collective bargaining dan esensi tentang dimana pekerja berhak mendapatkan upah berdasarkan normanya. Tapi di situ kemudian diatur tentang re-negosiasi upah.
Jadi, seakan-akan norma upah yang tadinya upah minimum Kabupaten atau Kota seharusnya diberikan, itu seakan-akan di re-negosiasikan ulang dan kebijakan asertif tidak muncul di situ. Kemudian sekarang Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 terkait dengan pencairan JHT yang harus ditunda sampai 56 tahun.
Jadi, intinya penjelasan Anda bahwa Permenaker ini sangat-sangat merugikan kalangan pekerja atau buruh.
Betul.
Dari kacamata pemerintah yang saya dapat informasi dari media massa bahwa inti JHT ini adalah tabungan jangka panjang atau tabungan hari tua. Sedangkan untuk kalangan buruh yang kehilangan kerja seperti yang Anda sebutkan tadi, pemerintah katanya sudah mempersiapkan semacam program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), ada juga program bantuan sosial (Bansos), dan program-program bantuan UMKM.
Bagaimana menurut Anda bahwa pemerintah katanya sudah mendukung buruh dan memang ini hanya untuk tabungan jangka panjang?
Pertama, kalau bicara tabungan maka itu berarti milik kita, dan kita sebagai pemilik tabungan seharusnya bisa setiap saat mengambilnya. Itu pengertian yang seharusnya kita sama-sama satu persepsi. Berbeda dengan asuransi, kalau asuransi ada masa atau pentahapan pengambilannya. Ini yang nampaknya kita sedikit keberatan dengan penafsiran bahwa JHT harus berdasarkan usia 56 tahun baru bisa diambil. Ini jadi masalah yang besar bagi kami.
Kemudian tadi bahwa pemerintah sudah menyiapkan kalau selama pemutusan hubungan kerja ada JKP. Pertama, yang harus dilihat bahwa di dalam jaminan kehilangan pekerjaan itu ada beberapa syarat, yaitu dia harus peserta yang membayar. Artinya, orang tersebut harus menjadi peserta aktif BPJS, sementara banyak perusahaan yang memang belum mendaftarkan pekerjanya semua menjadi bagian dari kepesertaan BPJS.
Ini berarti ketika ada pekerja yang terkena PHK, tidak semua pekerja mendapatkan hak terkait jaminan kehilangan pekerjaan karena ada syarat dan ketentuan yang menjadikan dia bisa mengalami disclaimer atau kehilangan manfaat.
Kemudian bahwa benar JKP yang sudah dicanangkan oleh pemerintah itu terdiri dari rekomposisi iuran, kalau tidak salah 0,22% dan ada modal awal sebesar Rp 6 triliun. Rekomposisi iuran dari iuran yang diterima diakumulasi di dalam jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Logikanya, ketika kita membayar iuran untuk jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, kemudian anggaran itu atau dana kita yang sudah dibayar iurannya selama ini kemudian dialokasikan untuk jaminan kehilangan pekerjaan, apakah itu adil? Itu persoalannya.
Kalau bilang bahwa selama ini sudah ada Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang diberikan kepada pekerja, berapa persen yang diserap pekerja yang mengalami PHK selama pandemi atau pekerja yang masih bekerja selama pandemi mendapatkan BSU tersebut? BSU tersebut tidak bisa menyerap atau sebagai pemenuh selama masa pandemi ini kepada seluruh pekerja yang mengalami kesulitan. Ini yang harus dilihat karena banyak juga BSU yang tidak tepat sasaran. Ini juga harus menjadi bahan evaluasi.
Jadi kalau bicara JKP, pemberiannya hanya selama enam bulan yaitu 45% pada saat awal diberikan untuk tiga bulan pertama, kemudian tiga bulan berikutnya 25%. Artinya, kalau bicara dengan maksimal penghasilan 5 juta maka 25% nya berarti hanya sekitar Rp 1.250.000. Apakah cukup untuk menghidupi selama masa PHK sampai mendapatkan pekerjaan?
Apakah dengan adanya JHT yang bisa dicairkan kapan saja itu cukup membantu buruh untuk melanjutkan hidupnya?
Selama ini JHT yang ada memang digunakan untuk bertahan hidup sampai mendapatkan pekerjaan kembali, entah itu untuk wirausaha atau untuk modal awal bahkan untuk menutupi kebutuhan makan keluarga karena dia tidak mempunyai penghasilan. Selama ini seperti itu.
Banyak pekerja termasuk saya karena saya sempat bekerja di pabrik kemudian terkena PHK, kita cairkan JHT untuk makan selama kita mencari pekerjaan baru. Artinya, itu cukup menjadi penenang sementara sampai kita mendapatkan pekerjaan baru. Apalagi setelah Undang-Undang Cipta Kerja diterbitkan membuat kesulitan pekerjaan semakin bertumpuk karena ketidakpastian pekerjaan, ketidakpastian pendapatan, ketidakpastian akan jaminan sosial, yang disclaimer ini semakin marak dan semakin banyak.
Jadi, usia 35 - 45 itu rata-rata sudah susah mencari pekerjaan. Kalau dulu masih ada status pekerja tetap, sedangkan sekarang hubungan kerja sudah berubah lebih rentan, lebih fleksibel karena sekarang sudah kontrak, outsourcing, dan sebagainya.
Dulu maksimal masa kontrak tiga tahun kemudian bisa diangkat menjadi karyawan tetap yang artinya ada jaminan untuk permanen. Kalau sekarang maksimal lima tahun, belum lagi tentang kontrak-kontrak jangka pendek. Itu banyak dilakukan karena kompetisinya lebih luas dan lapangan kerja semakin sedikit, fresh graduate banyak. Apalagi Indonesia mengalami bonus demografi, dimana angkatan kerja banyak, sementara lapangan kerja saat ini sedikit. Itu jadi persoalan besar.
Bagaimana sebenarnya dampak pada rekan-rekan Anda yang buruh, yang tidak bisa mencairkan JHT ini karena terhalang usianya belum 56 tahun?
Yang pasti kalau yang sudah berlalu mereka sudah dapat. Tetapi yang sekarang ini mereka kesulitan karena JKP pun mereka belum dapat, sedangkan JHT harus menunggu sampai usia 56 tahun. Mereka menjerit, mau makan dari mana? Usaha juga sedang sulit karena sekarang kita sedang disibukkan oleh pandemi. Usaha sulit dan ekonomi lagi lesu.
Dia harus bertahan hidup di tengah pandemi, dia harus berpikir keras bagaimana untuk memenuhi gizi keluarga agar tetap sehat, staminanya baik, agar terhindar dari pandemi COVID-19 yang sekarang melalui varian omicron mudah menyebar dan mudah menular, meskipun tidak terlalu berat seperti varian delta. Tapi persoalannya pekerja saat ini banyak mengalami kesulitan karena dia terpapar oleh COVID-19, kemudian dia juga harus terkena PHK, dan dia tidak ada cadangan uang untuk bertahan hidup.
Bagaimana dengan program JKP, Bansos dari pemerintah dan juga bantuan untuk UMKM? Apakah itu berjalan untuk rekan-rekan Anda yang kehilangan pekerjaan?
Ada yang mendapatkan, tapi banyak juga yang belum. Seperti yang saya sampaikan tadi, bahwa BSU itu tidak diterima oleh seluruh kawan-kawan pekerja atau buruh yang saat ini kondisinya sulit di tengah pandemi. Yang terkena PHK tidak semua menerima, bahkan bantuan UMKM yang ada bantuan untuk modal itu tidak semua bisa menyerap. Bisa saja sosialisasi pemerintah kurang massif, juga aksesnya yang mungkin tidak semua orang paham sehingga tidak semua bisa mengakses itu. Bahkan JKP pun juga tidak semua menerima.
Apa yang Anda lakukan jika ketentuan ini tetap berlaku di masyarakat Indonesia?
Yang pasti kebijakan organisasi kami dari tingkat konfederasi hingga federasi adalah kita akan tetap melakukan aksi-aksi penolakan yang berjilid-jilid sampai pemerintah benar-benar mencabut Permenaker No.2/2022.
Itu karena kita keberatan, yang pasti keberatan tentang isi Permenaker tersebut di pasal 3 tentang peserta mencapai usia pensiun. Dimana di situ bicara tentang manfaat JHT bagi peserta mencapai usia pensiun, kemudian juga peserta yang berhenti bekerja sebagaimana dimaksud harus meliputi peserta mengundurkan diri, peserta terkena pemutusan hubungan kerja, peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Artinya, peserta yang termasuk di dalamnya ini berhak mengambil pada usia 56 tahun. Ini jelas yang menjadi kesulitan tersendiri bagi kita karena kita banyak mengalami kesulitan, sedangkan pemerintah juga tidak bisa maksimal. Padahal negara dalam hal ini harus bertanggung jawab terhadap keadaan rakyat yang mengalami kemiskinan secara sistematis maupun secara sosial.
Anda tadi mengatakan akan melakukan penolakan secara berjilid-jilid. Apakah penolakan yang dimaksud itu adalah melakukan demo?
Iya, kita akan melakukan aksi-aksi karena kita tahu dan mungkin secara umum juga tahu dana di BPJS Tenaga Kerja ada sekitar Rp 372 triliun dan dari jumlah itu 70% adalah dana JHT. Jadi, meskipun di dalam UU SJSN Pasal 7 mengatur tentang bagaimana Dewan Jaminan Sosial itu diberikan kewenangan untuk mengusulkan kebijakan investasi tentang jaminan sosial nasional, yang saat ini dana-dana tersebut ada di dalam alokasi investasi di surat utang negara, dalam bentuk deposito sekitar Rp 54 triliun, kemudian saham juga ada Rp 48 triliun. Artinya, dana itu adalah dana JHT milik kami.
Apakah mereka ada kesulitan mengatur terkait dengan kecukupan dana terhadap pencairan JHT? Itu seharusnya sangat transparan, jangan kemudian membuat kebijakan yang menurut kami meskipun pemerintah dalihnya bahwa itu sudah dikembalikan aturannya mengacu pada UU SJSN. Tapi bahwa selama ini yang berlaku berdasarkan PP No.60/2015 itu bisa dicairkan setelah satu bulan.
Itu bagi kami menjadi hukum kebiasaan yang sudah berjalan, dan itu memudahkan dalam memenuhi kesulitan-kesulitan yang kita alami ketika kita terkena PHK. Seharusnya pemerintah melihat itu dan saat ini kondisi kita makin sulit ekonomi dan sulit segala-galanya. Seharusnya jangan ditambah kesulitan itu.
Mengapa Anda tidak membawa ini ke Mahkamah Agung untuk melakukan judicial review, daripada Anda harus melakukan demo berjilid-jilid, turun ke jalan yang saat ini juga kita tahu masih masa pandemi COVID-19?
Persoalannya kami akan kalah.
Mengapa Anda begitu yakin kalah sebelum melakukan judicial review?
Itu karena rujukannya pasti UU SJSN, kemudian ada peraturan pelaksanaannya yang memang waktu itu dianggap bahwa ini tidak sejalan dengan undang-undang SJSN karena JHT bisa dicairkan satu bulan. Pertimbangannya, ketika kita mengajukan yudicial review pasti kajiannya akan menguji kepada UU di atasnya karena ini peraturan pelaksana dari Undang-Undang. Kalau diuji kepada Undang-Undang di atasnya maka otomatis kita akan kalah.
Persoalannya, pada saat Permenaker No.19/2015 itu dianggap tidak sejalan dengan UU SJSN, mengapa itu bisa berjalan sampai tujuh tahun? Perubahan terhadap Permenaker No.19/2015 itu terjadi setelah tahun 2022, baru ada Permenaker No.2/2022. Artinya, ini sudah dianggap menjadi hukum kebiasaan.
Kalau aturan berlaku dikembangkan menjadi hukum positif artinya itu menjadi hukum kebiasaan yang sudah berjalan selama ini. Kalau dianggap tidak sejalan dengan UU SJSN, kenapa kemudian tidak diubah pada saat itu? Mengapa harus menunggu selama tujuh tahun dulu sampai merasa itu menjadi hukum yang berlaku saat ini? Padahal itu sudah menjadi kebiasaan bagi kita ketika pencairan JHT. Ini menurut saya yang tidak konsisten di pemerintah.
Kemudian yang tidak bijak lagi adalah ketika kita lagi mengalami masa-masa sulit, kita semuanya belum membaik. Memang ada pertumbuhan ekonomi 3%, tapi itu hanya dari sektor batubara dan kelapa sawit. Sektor manufaktur belum bisa menyumbang, belum bisa membaik kondisinya. Belum lagi sektor-sektor yang padat karya, belum membaik kondisinya. Jadi, artinya kebijakan yang dibuat pemerintah ini tidak bisa, meskipun dalihnya adalah mengembalikan, ada JKP, dan segala macam.
Apakah tidak ada cara lain, misalnya melakukan dialog dengan Menteri Tenaga Kerja ataupun dengan DPR untuk adanya perubahan kebijakan ini?
Kita pernah melakukan aksi dan minta audiensi. Tapi lagi-lagi menurut saya Ibu Menteri tidak menanggapi dengan baik. Sampai detik ini Ibu Menteri sudah menyampaikan bahwa dia sudah membuat kebijakan yang benar. Dia merasa sudah menjadi Ibu yang baik bagi buruhnya, bagi tenaga kerja yang seharusnya dia berikan perlindungan terkait kesejahteraan pekerja. Tapi lagi-lagi kita merasa tidak diperlakukan dengan baik. Hak kita yang seharusnya kita bisa mencairkan kapanpun karena itu adalah tabungan kita, itu pun ditunda berdasarkan kebijakan yang dia buat. Dia berdalih itu baik, tapi itu tidak baik bagi kami.