Cancel Culture Perlu Kebijaksanaan Publik

Salam Perspektif Baru,

Kali ini kami Bersama seorang narasumber yang menarik dan selalu ada yang baru kalau bicara dengan dia. Narasumber kita adalah Inaya Wahid atau akrab kita panggil dengan Mbak Nay. Kita membicarakan mengenai Cancel Culture.

Menurut Inaya Wahid, cancel culture memang menjadi polemik bahkan banyak sekali hal-hal yang kemudian akhirnya dipakai menjadi senjata untuk menjatuhkan orang lain hanya karena dia tidak suka. Akhirnya, itu menjadi sesuatu yang bahkan dipakai untuk menang-menangan. Ini yang kemudian jadi menyulitkan dan bahkan akhirnya jadi merusak cancel culture itu sendiri.

Dalam hal ini perspektif kita tetap harus perspektif korban karena salah satunya adalah untuk bicara saja mereka itu risikonya besar sekali, dan kerugiannya sering kali jauh lebih besar.

Yang penting kita tidak menyalahkan korban dulu. Kemudian tanya apa maunya korban. Kalau memang dituntut secara hukum, bantu supaya itu bisa terjadi. Itu dulu, ada proses hukum. Kalau misalnya tidak juga tidak apa-apa, tapi jangan korbannya disalahkan dulu karena itu bebannya berat sekali. Jika nanti secara hukum tidak terbukti, iya sudah. Kalau untuk cancel culture-nya sendiri memang perlu kebijaksanaan publik.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro dan Arie Putra sebagai pewawancara dengan narasumber Inaya Wahid.

Setelah sekian lama dunia pertunjukan kita terdampak betul karena pandemi. Para pemain-pemain teater kita seperti ludruk, wayang, dagelan, dan ketoprak sempat manggung di layar tanpa penonton alias hybrid. Akhirnya Nay embali lagi untuk main teater dan Indonesia kita kembali lagi dengan penonton dan pangung yang asli, bukan penonton bayaran.

 

Apakah ini efek setelah para seniman teater atau seni pertunjukan kita bertemu dengan Presiden, sehinga Presiden yang baik hati dan pemurah itu memberikan fasilitas dan kemudahan bagi para pemain teater bisa kembali beraksi dan berakting?

Iya, akhirnya setelah dua tahun bisa tampil lagi, meskipun tetap dengan modifikasi-modifikasi seperti bangku tidak boleh diisi semua. Sebenarnya ini bisa menjadi alasan bagus, misalnya, pusing karena tiket tidak terjual semua maka itu tidak terlalu kelihatan bahwa tidak laku. Tapi tinggal bilang saja bahwa ini sesuai Prokes.

 

Arie Putra:

Artinya, protokol kesehatan (Prokes) membuat situasi yang sedih menjadi tidak terlalu sedih. Apakah benar begitu?

Betul.

Saya tidak tahu apakah itu benar-benar efek dari pertemuan dengan Presiden atau tidak. Tapi kita harus mengakui bahwa problem itu ada, bahwa memang teman-teman seniman panggung, seniman yang butuh keramaian memang terdampak sekali. Mungkin kalau seperti seniman lukis masih bisa mengerjakan lukisannya dari rumah. Apalagi saat ini panggungnya lebih banyak diambil oleh para politisi juga. Jadi, kompetisinya juga semakin besar.

Persoalan itu memang ada dan nyata untuk mereka. Mungkin akan ada bentuk-bentuk yang berbeda dengan keramaian-keramaiannya, tapi yang pasti kemarin itu senang sekali bisa bertemu dengan publik lagi. Kalau biasanya selesai petunjukan itu para pemain akan tetap di panggung agar penonton bisa foto bersama dan segala macam, kemarin itu dibatasi. Jadi, kami tidak melakukan itu karena interaksi dibatasi, tentu saja karena ada physical distancing dan segala macam. Tapi itu tidak mengurangi bahwa kami senang sekali bahwa itu akhirnya muncul lagi.

 

Budi Adiputro:

Pertunjukan tersebut dilakukan di Yogyakarta dengan judul Tabib Suci. Apakah betul Mbak?

Iya betul, Tabib Suci.

 

Budi Adiputro:

Yang kami tahu dalam pertunjukkan tersebut ada nama-nama besar seperti Mbak Nay, Mas Butet, Agus Noor, Cak Lontong, Mucle, dan lain-lain. Dengan adanya nama-nama besar dalam panggung teater sehingga itu bisa dianggap bahwa mendapatkan keistimewaan, kemudahan atau privilege. Bagaimana perspektif Mbak Nay dan teman-teman seniman tersebut mengenai seniman wayang, ludruk, ketoprak kita dan sebagainya yang mungkin masih terdampak pandemi ini?

Saya tidak tahu apakah kemudahan itu di dapat misalnya karena ada nama Mas Butet, itu bisa jadi iya atau bisa jadi tidak. Saya tidak mengerti dan tidak paham karena secara teknis bukan kami yang mengerjakan. Tapi yang pasti misalnya publik kemudian menonton karena ada nama-nama seperti Cak Lontong, itu tentu saja sesuatu yang tidak perlu disangkal. Menyangkal atau menjadikan itu sebagai sesuatu yang humblebrag tidak akan memberikan kebaikan bagi siapapun.

 

Arie Putra:  

Apa gunanya humblebrag itu mbak?

Mungkin untuk menaikkan branding saja.

 

Budi Adiputro:

Apa jalan yang bisa di tempuh teman-teman untuk bisa mengusahakan ini?

Maksud ku adalah kalau pun memang iya, tidak apa-apa. Misalnya teman-teman di pertunjukkan tersebut mengajak teman-teman tari atau local sources untuk kemudian juga muncul.

 

Budi Adiputro:

Jadi, bisa menggandeng lebih banyak lagi orang dalam pertunjukan ini.

Betul. Dan tidak bisa menyangkalnya karena memang privilege-nya ada. Saya selalu memberikan contohnya adalah Gus Dur. Kalau untuk saya, Gus Dur sampai hari ini adalah orang yang tidak bisa privilege nya itu ditandingi oleh siapapun. Privilege itu based on identity, tidak ada yang bisa menandingi Gus Dur.

Dari segi apapun semua identitasnya adalah identitas yang privilege yaitu dia laki-laki, muslim, Jawa, muslimnya bukan sekadar muslim tapi dia sunni dan bukan hanya sekadar sunni, dari kelompok sunni pun dia ada di kelompok terbesar yaitu di Nahdlatul Ulama (NU). Di NU bukan sekadar NU, dia adalah cucunya pendiri NU. Kemudian on top of it all, dia jadi presiden. Kurang apa lagi? Privilege nya luar biasa. Tapi yang kemudian dia lakukan adalah menggunakan itu semua untuk kepentingan orang lain.

 

Budi Adiputro:

Orang-orang privilege ini yang menurut saya penting juga untuk didukung karena dia mempunyai tanggung jawab untuk menggendong dan mempunyai dampak untuk lebih baik orangnya.

 

Arie Putra:

Tidak ada yang salah dengan privilege nya, tapi yang menjadi masalah adalah Anda akan pakai untuk apa privilege nya.

 

Budi Adiputro:

Betul, termasuk di zaman sekarang yaitu di era cancel culture, media sosial, dan macam-macam, orang-orang privilege ini ternyata bisa menjadi pelaku kekerasan seksual ataupun menjadi korban sekaligus. Karena ke-privilege-an itu bisa memancing orang untuk berbuat fitnah tertentu pada Anda atau justru melindungi Anda dari kejahatan seksual yang sekarang juga banyak diperbincangkan.

 

Arie Putra:

Jadi, cancel culture ini sedang heboh dan membuat orang cemas sehingga semuanya ingin staycation. Sekarang orang sudah tidak pakai kata check in karena dianggap tidak beradab.

 

Budi AdiPutro:

Hal tersebut terkait dengan pelecehan. Misalnya, kasus yang terjadi pada Gofar Hilman, ada dua trigger tentang apa yang terjadi kepada Gofar Hilman dimana karirnya bisa dibilang habis setelah dianggap sebagai pelaku pelecehan yang itu tidak bisa dibuktikan secara hukum, tetapi akhirnya ada cancel culture lagi karena ada dugaan pembiaran kasus pelecehan yang juga sampai sekarang belum ada titik terang. Akhirnya kita berdebat lagi tentang siapa korban dan siapa pelakunya.

 

Bagaimana mendefinisikan korban dan bagaimana mendefinisikan pelaku? Bagaimana juga kita menghadapi cancel culture yang semakin lama semakin tebal gap disparity-nya karena concern itu berlaku pada saat itu terjadi, tapi tiga atau empat tahun setelah itu belum tentu concern nya masih berlaku?

Kemarin sempat menjadi pembahasan juga, ada yang mengaku mendapat kekerasan seksual, dilecehkan, di “grepe-grepe” dan segala macam. Ternyata tiba-tiba muncul screenshot dari pihak satunya yang dituduh ternyata itu konten dan bahkan karena ditolak dibuatlah seakan-akan itu adalah pelecehan. Bahwa kemungkinan-kemungkinan itu ada, jelas ada.

Ada kasus-kasus seperti itu, tapi tetap paling penting itu kita perspektifnya adalah perspektif korban dulu karena untuk bisa keluar menjadi korban dan bicara di publik itu berat sekali. Problemnya adalah biasanya mereka di-stigma dan bahkan disalahkan.

Jadi, istilahnya sudah menjadi korban kekerasan seksual, kemudian menjadi korbannya publik karena di salah-salahkan, entah karena pakai bajunya bagaimana, keluar malam, dan sebagainya. Padahal kekerasan seksual itu terjadinya bukan karena hal-hal seperti itu, tapi terjadi karena ada relasi kuasa yang timpang.

Relasi kuasa itu sudah jelas bahwa si korban ada “di bawahnya” si pelaku, itu sudah pasti. Pelaku melihat ada relasi kuasa yang timpang. Dia berkuasa atas si korban sehingga dia bisa melakukan hal itu. Itu dulu yang menjadi landasan.

Jadi, ketika ada orang yang kemudian bicara dan segala macam, kita tetap fokus di situ dulu, dia harus dilindungi dulu. Ini penting ada Undang-Undangnya. Kalau UU-nya sudah ada maka itu semua lebih mudah, ada payung hukumnya. Nantinya akan ada koridor hukum dimana dia kemudian terbukti bersalah atau tidak, itu juga penting.

Kalau bagi saya pribadi, cancel culture itu memang menjadi polemik bahkan banyak sekali hal-hal yang kemudian akhirnya dipakai menjadi senjata untuk menjatuhkan orang lain hanya karena dia tidak suka. Akhirnya, itu menjadi sesuatu yang bahkan dipakai untuk menang-menangan. Ini yang kemudian jadi menyulitkan dan bahkan akhirnya jadi merusak cancel culture itu sendiri. Yang pertama, yang perlu dilakukan oleh publik adalah ketika ada orang yang bicara bahwa dia terkena kekerasan seksual, fokus di situ dulu untuk mendukung korbannya dulu.

 

Budi Adiputro:

Apakah gerakan mendukung korban di media sosial itu sebenarnya sudah benar?

Yang penting kita tidak menyalahkan korban dulu. Kemudian tanya apa maunya korban. Kalau memang dituntut secara hukum, bantu supaya itu bisa terjadi. Itu dulu, ada proses hukum. Kalau misalnya tidak juga tidak apa-apa, tapi jangan korbannya disalahkan dulu karena itu bebannya berat sekali. Jika nanti secara hukum tidak terbukti, iya sudah. Kalau untuk cancel culture-nya sendiri memang perlu kebijaksanaan publik.

Terkadang banyak sekali orang-orang yang kemudian memunculkan kembali dosa-dosa zaman dulu, misalnya tahun 1900 sekian dia pernah bicara apa, kemudian itu dimunculkan lagi. Itu seakan-akan berarti orang harus benar-benar bersih dari lahir sampai hari ini untuk dianggap bahwa dia memang orang baik. Padahal tidak begitu, ada proses juga.

Mungkin ada hal-hal yang 15 atau 20 tahun lalu dianggap bukan pelecehan atau dianggap itu sesuatu yang normal, itu juga ada. Tapi tidak memberikan ruang untuk orang kemudian berproses dan segala macam, menurut saya, itu juga sedikit menyulitkan kita. Tapi bagaimana kemudian menolong orang untuk bertanggung jawab, bukan menghancurkannya, bukan kemudian me-judge habis-habisan atau julid habis-habisan, bukan itu poinnya.

 

Arie Putra:

Apakah cancel culture ini terjadi ketika mekanisme formal hukum itu tidak berjalan dengan optimal sehingga orang memilih pengadilan jalanan atau pengadilan netizen?

Saya bukan dalam kapasitas bisa menjawab itu, dan saya bukan pengamat sosial atau segala macam. Kalau dari kacamata pribadi saya, itu bisa jadi iya atau bisa jadi tidak. Dalam artian ketika misalnya pengadilan itu berjalan, secara sosial orang juga kemudian mempunyai opini tentang korban ataupun tentang pelaku. Apakah itu sesuatu yang organik yang memang murni karena publik baca kemudian mempunyai opini tentang itu? Atau itu sesuatu yang memang di desain atau di lead ke arah situ, bisa jadi. Itu memang bagian dari publik yang muncul, baik itu organik maupun tidak.

Misalnya kasus Gofar Hilman, apakah itu karena sudah tidak percaya dengan sistem pengadilan kita yang tidak berjalan atau sistem hukum kita yang tidak berjalan dengan baik? Bisa jadi. Tapi sebagai publik dan secara personal, mungkin kalian akan melakukan tindakan seperti tidak ingin beli burger-nya dia lagi karena kasus yang sedang dia hadapi saat ini. Itu sesuatu yang sangat mungkin dan sangat wajar terjadi.

Saya tidak tahu juga kalau ini dibilang bahwa akibat dari pengadilan jalanan yang belum tentu juga. Bisa jadi memang secara organik orang juga tidak akan mau lagi. Tetapi banyak juga yang kemudian survive dari cancel culture itu. Misalnya ada juga dulu kasus video porno yang tersebar kemana-mana, tapi kemudian sekarang dia sudah survive. Saya tidak bicara itu betul atau tidak, tapi saya sedang mengatakan bahwa ada kejadian- kejadian itu.

 

Arie Putra:

Cancel culture adalah the extension of political correctness. Jadi, ada kaitannya dengan konsep political correctness yang mana politik itu dianggap sebagai perjuangan diskursif. Misalnya, jangan pakai kata pembantu, tapi pakai kata ART yang mana gajinya pun tetap sama saja. Jadi, tidak menyelesaikan masalah juga. Social security nya sama-sama tidak ada juga, hanya mengganti nama saja. Termasuk juga cancel culture itu juga sebuah diskursif movement. Jadi, dia perjuangan bahasa.

 

Apakah dengan maraknya perjuangan bahasa ini, itu seiring dengan Anda melihat sebagai aktivis perempuan, pendampingan atau support yang begitu real, yang begitu day to day dan mengembalikan korban ini kepada jalur yang semula lagi, mengembalikan dia kepada kehidupannya yang lebih optimis lagi, itu beriring sejalan atau memang ramainya hanya diskursif tapi pada praktiknya korban tetap sendiri?

 

Budi Adiputro:

Bahkan korban sendiri kadang-kadang merasa bahwa dengan dia speak up justru malah dia semakin dirugikan karena dia akan ditekan, akan diekspose oleh banyak orang dan itu malah merugikan dalam konteks culture kita.

 

Arie Putra: Jangan-jangan yang mengerjakan cancel culture ini hanya ingin disebut sebagai pejuang atau hanya untuk memuji dirinya sendiri saja.

Ya, stalking the ego. Misalnya, dari kemarin muncul percakapan mengenai dikebiri atau tidak, hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Tapi berapa banyak orang yang kemudian membicarakan apa yang terjadi dengan korban-korbannya, apa yang masih dilakukan, pemulihan apa yang bisa didapatkan oleh korban-korbannya?

Berapa banyak diskursus tentang itu dibanding yang satunya lagi yaitu kita fokus pada si pelakunya? Lebih banyak yang mana? Pasti lebih banyak yang ke pelakunya. Jadi, perspektif kita tetap harus perspektif korban karena salah satunya adalah untuk bicara saja mereka itu risikonya besar sekali dan kerugiannya itu sering kali jauh lebih besar.

 

Budi Adiputro: Tidak bisa hanya sekedar speak up saja.

 

Arie Putra: Apakah itu berarti ketika cancel culture kepada pelaku ini semakin kencang di sosial media, semua orang tampil untuk membela, ternyata juga bukan victim first?

 

Budi Adiputro: Sebagai pembela dia bisa merasa dirinya relevan terhadap isu atau sebagai pejuang gender.

Pejuang keyboard, padahal dia hanya perlu pakai jempol saja. Setelah itu dia akan lupa, sedangkan korbannya harus tetap merasakan segala traumanya. Ini beberapa kali kejadian ketika di forum, mereka kemudian menggaung-gaungkan bahwa “Ayo bersuara” dan segala macam, padahal tidak sesimpel itu dan tidak segampang itu. Bahkan saya pernah bertemu pembicara-pembicara yang berbicara sama seperti itu karena banyak sekali orang yang bertanya apa yang harus dilakukan. Seharusnya tidak seperti itu. Pertama, yang perlu dicek itu adalah dia memang ingin speak up atau tidak.

Yang kedua, kalau kemudian pilihannya antara bicara dan penanggulangan secara hukum atau pemulihan, yang harus didahulukan adalah pemulihan dulu. Itu yang sebenarnya jauh lebih penting. Ada yang kemarin bahkan teman-temannya kena semua, padahal perkara hanya satu space saja, sama-sama jadi pembicara. Sampai kemudian “dirujak” juga oleh netizen. Padahal dia tidak kenal dengan orang yang melakukan. Jadi, tidak tahu, kadang-kadang hari ini menjadi dog eat dog world.

Kalau bagi saya fokus kita selalu fokus di korban, fokus ke kebaikannya korban dulu. Bagaimana memulihkan dia dulu, bagaimana agar dia tidak trauma lagi dan segala macam. Itu bukan tentang cancel culture atau tidak, bukan tentang teriak-teriak untuk speak up atau tidak, tapi fokus di korban. Itu artinya melihat apa kebutuhan korban. Itu sebenarnya jauh lebih penting dibandingkan berkoar-koar dan segala macam.

 

Budi AdiPutro:

Bagaimana mengkonversi dukungan dan keberpihakan kepada korban yang biasa kita hadirkan melalui pancaran sosial media kita masing-masing dalam sebuah tindakan nyata? Bagaimana mengkonversi energi yang besar ini, sementara begitu sudah sampai di grass root energinya tidak ada?

Berikan dukungan, tidak stigma korban, dan tuntut pelaku untuk kemudian diproses secara hukum. Ini sama seperti kasus Herry Wirawan, itu yang dilakukan oleh publik. Itu sudah lebih dari cukup. Misalnya, menekan aparat hukum untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap pelaku, itu yang bisa dilakukan dan perlu energi besar. Itu karena pernah terjadi ketika kasus seorang Ibu yang kemudian berusaha untuk menangkap pelaku kekerasan seksual terhadap anaknya, begitu lapor tidak ditanggapi, tapi begitu berita tersebut viral baru ditanggapi.

 

Budi Adiputro:

Ada juga kasus seperti misalnya ada orang yang sudah men-spill sesuatu, ketika diminta ke ranah hukum orang ini atau lembaga pendamping hukum justru tidak terlalu serius dalam menyelesaikan problem yang sudah terlanjur di-spill ini ke ranah hukum. Itu yang terjadi pada Gofar, dan terjadi juga pada beberapa kasus lain yang sudah terlanjur jelek sebagai terduga pelaku kekerasan ini.

Saya tidak akan bicara apakah Gofar pelaku atau korban. Tapi saya akan bicara bahwa bagaimana konversi energi tadi. Yang kita bisa lakukan yaitu tuntut supaya penegak-penegak hukum atau lembaga-lembaga pendampingan hukum untuk melakukan tugasnya dengan baik. Kita bisa melakukan pantauan seperti itu. Menurut saya lebih baik energinya difokuskan ke situ, walaupun kadang-kadang memang kurang memuaskan ego.

Previous
Previous

Next
Next